10
![]() |
ABU SUCI |
Vinneka Tunggal Eka |
Di India umat Hindu-Dharma gemar sekali menggunakan tilak (yaitu tepung sari) yang berwarna merah di tengah-tengah kedua alis mata, dan sering tilak ini ditambah dengan beras basah (bije) yang merupakan lambing kemakmuran dari Dewi Sri. Tilak ini bukan sekadar penghias belaka, namun memang dianggap sakral dan bermanfaat bagi kesehatan jiwa-raga umat yang mengenakannya. Nama lain tilak adalah pottu dan juga kum-kum. Warna merah adalah simbol dharma yang penuh dengan karunia, juga bermakna simbol rajasik yang penuh dengan aktivitas dan dinamika duniawi. Semua upacara suci, baik di rumah maupun di kuil, akan diakhiri dengan pemberian tilak, agar secara duniawi manusia ini sukses dalam pekerjaan dan dharmanya sehari-hari.
Ada tilak cair yang berwarna broken-white (keputih-putihan). Tilak ini terbuat dari bubuk cendana yang dibasahi dan dikenakan di atas ke dua alis mata oleh para brahmana, pendeta, resi-resi aliran tertentu dan para sishya yang brahmacari. Ada berbagai metode penggunaan tilak yang satu ini. Kaum Waisnawa, yaitu pengikut Wishnu, Narayana, Krishna dan Awatarnya, melukis huruf U di kening mereka sebagai simbol Sang Atman yang bersemayam di lokasi tersebut. Sedangkan kaum Shiwais melukiskan tiga garis menyilang dengan tilak yang sama ini di kening mereka sebagai lambing mata ketiga dan sekaligus tiga loka yang hadir di jagat-raya ini.
Ada juga kaum yogi yang telanjang atau hampir telanjang menggosokkan abu suci ke seluruh badan mereka, dan ada juga yang hanya setitik saja di kening. Ada yang menggunakan jari manis, dan ada juga yang menggunakan jempol tangan kanan untuk mengoles abu suci dan tilak ini, masing-masing karena berdasarkan konsep purusha dan prakriti, namun makna penggunaan pada hakikatnya selalu sama, para ahli spiritual berpendapat bahwa semenjak manusia masih primitif, maka manusia sudah bemar mengoles warni sebagai tindakan proteksi dari berbagai serangga maupun fenomena-fenomena alam, termasuk kaum aborigin di seluruh dunia, termasuk saudara-saudara kita di Papua.
Ada juga para ahli yang berpendapat tradisi ini tidak eksis di zaman Weda, namun amat popular di zaman puranik dan dimulai di India Selatan. Pada masa-masa yang lalu, keempat golongan warna menggunakan tilak ini secara berbeda, bahkan juga dengan warna-warnanya. Misalnya kaum brahmana menggunakan chandan (cendana) sebagai tilak karena cendana adalah simbol satvik dan kesucian, jadi pas untuk orang-orang suci. Para Kshtriya menggunakan kum-kum merah karena merah adalah simbol berani, atau pemberani pembela Negara. Waishya menggunakan tilak berwarna kuning dari kunyit, simbol kekayaan, kemakmuran, penerangan dan penghalau asura. Kaum Sudra menggunakan tepung bhasma yang hitam atau kasturi, juga arang, simbol dari pengabdian kepada ketiga warna di atas. Namun perjuangan almarhum Mahatma Gandhi merubah semua itu, kaum buruh dan petani yang dianggap Harijan (Umat Hari, Krishna) harus dihormati sewajarnya karena tanpa mereka kehidupan tidak akan berjalan seperti seorang manusia tanpa kedua kakinya. Diskriminasi ini sudah tidak nampak lagi di India.
Tidak berbentuk U dari kaum Waisnawa, yang terbuat dari serbuk basah cendana disebut chandan-tilak, sedangkan tilak bagi kau Shiwais disebut Tripundra (tiga garis melintang) bhasa, pemuja Dewi Dhurga Ma menggunakan kombinasi merah dan abu suci. Kesemuanya bermakna sesajen kepada Yang Maha Esa dalam bentuk pemasrahan diri secara total kepadaNya, dan dioleskan di kening karena di titik inilah hadir Ajna charka, di mana hadir Sang Atman. Biasanya sang pendeta menyertai penggunaan tilak ini dengan doa-doa tertentu disertai dipa dan campher yang menyala. Abu suci yang disertakan merupakan simbol dari tanah kembali ke tanah. Itulah sebabnya para kaum yogi mengoleskannya ke seluruh badan mereka sebagai simbol penyerahan diri, atau sebagai anak bumi Pertiwi ini, mereka biasanya hidup seorang diri atau secara berkelompok di hutan atau ashram sunyi, dan makan seadanya, dan minum hanya dari pemberian orang-orang atau dari air tadah hujan. Mereka senantiasa bersikap brahmacari dan hanya turun ke sungai Gangga pada saat Kumbamela atau pada hari-hari suci tertentu. Walaupun di dunia jumlah mereka amat sedikit, namun umat Hindu-dharma percaya bahwa doa mereka demi lestarinya jagat-raya dan isinya senantiasa di dengar oleh Hyang Maha Kuasa, dan oleh karena mereka inilah turunlah kebajikan dan para dewa dari masa ke masa melindungi kehidupan di bumi ini. Om Sarwam Bhutam Manggalam adalah doa mereka yang berarti semoga seluruh ciptaan sejahtera hendaknya sesuai kodrat Hyang Maha Esa.
Ada satu fenomena penting yang perlu diperhatikan setiap insan Hindu, yaitu bahwasanya seluruh raga kita memancarkan energi dalam bentuk gelombang-belombang elektromagnetik, dan pusat dari kekuatan ini terdapat di tengah-tengah kedua mata kita, dan titik ini sedemikian lembutnya, hanya sedikit kegelisahan saja sudah mampu mengakibatkan rasa sakit kepala yang memusingkan. Setitik tilak pada lokasi tersebut akan mampu menanangkan dan menstabilkan sakit kepala ini, tentunya sebaiknya dengan sebuah doa yang dihayati oleh san pengguna tilak ini.
Kembali ke daftar isi Cara Pemujaan Kembali ke halaman induk Shanti Griya