BHAGAVATA
PURANA
Vinneka Tunggal Eka
Sepatah-kata
Beberapa cuplikan pilihan dari
Bhagavata-Purana (Srimad-Bhagavatam)
Srimad-Bhagavatam
aslinya diturunkan secara oral dari guru ke murid pada masa-masa yang silam di
India kuno, oleh karena itu dikenal dengan nama Bhagavata-Purana yang berarti
ajaran-ajaran atau kisah-kisah kuno yang berhubungan dengan Tuhan dan keTuhanan
itu sendiri. Oleh resi Vyasa yang di pewayangan di Indonesia lebih dikenal
dengan nama resi Abiyasa, karya-karya ini dibukukan pertama kali sekitar 5000
tahun yang lalu, demikian kesimpulan dari beberapa ahli Veda di India. Konon
Srimad-Bhagavatam yang terdiri dari ratusan episode dan kisah dalam kisah ini
ditulis oleh resi Vyasa dibawah tuntunan Resi Narada, gurunya. Karya Hindu
Dharma yang satu ini merupakan rangkaian episode-episode spritual yang bersifat
master-piece dan sulit dicari tandingannya di dunia ini, apalagi dibuat sewaktu
sebagian umat manusia itu masih jauh dari peradaban yang bisa disebut beradab.
Keseluruhan karya ini dipercayai sebagai klimaks dari berbagai literatur Vedik
yang sarat dengan berbagai ilmu pengetahuan dari berbagai jurusan dan filosofi
yang teramat dalam.
Di
buku kecil ini kami hanya menyarikan beberapa episode saja yang kami sesuaikan
dengan derasnya permintaan dari berbagai daerah dan saudara-saudara sedharma di
Bali dan di bagian-bagian lainnya di Jawa dan Sumatra yang menginginkan
ketegasan bahwa upacara-upacara ritual sebenarnya lebih kalah sifatnya
dibandingkan dengan penghayatan filosofi yang terkandung dibalik pelaksanaan
berbagai ritual yang dewasa ini makin aduhai dan keluar jalur. Biaya-biaya yang
tinggi dan keharusan berbagai ritual membuat banyak kaum muda kita memilih jalan
lain, dan ulah para Brahmana yang serakah ini ternyata berdampak sangat buruk
terhadap perkembangan religius Hindhu Dharma di tanah air kita ini, pada hal
secara hakikatnya, Hindhu Dharma itu ternyata sangat sederhana. Buku suci ini
menghaturkan dialog-dialog ajaran tersebut yang ternyata sudah ada konon
semenjak kurun waktu ribuan tahun yang lalu, jadi bukan berupa hal baru atau
pengaruh ke India-Indiaan yang selalu digembar-gemborkan oleh sementara Brahmana
serakah yang takut kehilangan mata pencaharian mereka. Para brahmana ini tidak
sadar bahwa dengan memperjual-belikan bebanten dan sarana-sarana upacara, warna
mereka sebenarnya sudah berubah menjadi waisya dan bukan Brahmana lagi, karena
mereka terikat sumpah untuk melayani para pemuja tanpa pamrih bukan dengan
menetapkan tarif seenak perut mereka dan menyengsarakan umat dengan berbagai
alasan demi kelestarian kekayaan dan pengaruh mereka. Brahmana-Brahmana semacam
ini oleh Resi Narada didalam karya-karya ini dikategorikan sebagai maling dan
bajingan.
Kembali
ke Srimad-Bhagavatam ini, setelah menyelesaikan karya ini, Resi Vyasa kemudian
mengajarkannya kepada Resi Sukadewa.
Goswami,
putranya sendiri. Kemudian ajaran ini oleh resi Sukadewa diajarkan kepada
Maharaja Parikesit dihadapan majelis kerajaan yang hadir di sebuah lokasi yang
disebut Delhi dewasa ini, yang terletak di sisi sungai Gangga, dahulunya lokasi
ini adalah bekas kerajaan Hastinapura.
Maharaja
Parikest adalah putra dari Abimanyu, dan Arjuna adalah kakeknya. Karena Abimanyu
gugur sewaktu Parikesit masih didalam kandungan ibunya, maka jiwa Parikesit si
jabang bayi ini ingin dihancurkan oleh Aswatama, putra Dorna karena ia tahu
bahwa Parikesit nantinya akan menjadi seorang raja resi yang agung penerus
dinasti Pandawa. Oleh Sang Krisna Parikesit yang masih di dalam kandungan ibunya
diselamatkan jiwa dan raganya dan akhirnya melalui berbagai proses diangkat
menjadi raja di Hastinapura menggantikan Yudhistira yang bersama-sama saudara
dan istrinya pergi menyongsong sang maut pada akhir hayat mereka.
Maharaja
Parikesit sangat terkenal baik di india maupun di dalam dunia pewayangan sebagai
seorang maharaja yang mampu berbicara dalam segala bahasa bahkan faham akan
bahasa fauna dan flora sekalipun. Tetapi karena suatu kesalahan kecil beliau
dikutuk oleh seorang resi dan harus meninggal dunia dalam waktu seminggu setelah
kutukan itu jatuh. Sambil menunggu sang ajal tiba, sang raja yang bijaksana dan
eling ini pergi ke tepi sungai Gangga sambil berdhyana ke Maha Yang Esa. Pada
saat menjalani tapa bratanya ini beliau kemudian dikunjungi gurunya yaitu resi
Sukadewa Goswami dan sang raja memohon kepada sang resi seperti berikut ini :
“Dikau adalah seorang guru besar spritual dari berbagai pemuja-pemuja suci.
Sudikah mengajar kami jalan kesempurnaan yang juga dapat berguna bagi
insan-insan lainnya, dan khususnya bagi seseorang yang sedang menanti ajalnya
tiba. Ajari kami akan apa yang harus kami dengar dan apa yang harus dipuja,
diingat, dan dijapa mantrakan oleh seseorang, dan juga apa yang harus dilakukan
dan tidak dilakukan. Mohon diajarkan kepada kami semua itu.”
Dan
selanjutnya selama kurun waktu 7 hari sang raja mendapatkan ajaran Srimad
Bhagavatam secara utuh dan kemudian ajaran ini menyebar sampai kini dalam bentuk
pustaka ke berbagai belahan bumi dalam berbagai ragam bahasa dunia.
Para
pembaca harap sudi memaklumi, bahwa semua nama-nama di atas bisa saja muncul di
dalam dialog-dialog berikutnya dalam buku ini, karena karya ini sebenarnya
merupakan kisah dalam kisah dan diambil dari berbagai episode.
Pada
bab pertama terdapat kisah dan dialog antara Raja Yudhistira dan Resi Narada
mengenai kehidupan grhasta (rumah tangga) yang ideal. Dialog ini terjadi setelah
Raja Yudhistira selesai melakukan upacara yagna terbesar di dunia yaitu
Aswa-Medha dan setelah Sang Krishna kembali ke Dwarka, kerajaannya. Pada bab
selanjutnya Resi Narada memberikan petunjuk-petunjuk mengenai kemanusiaan yang
berbudaya dan beradab. Disusul kemudian dengan kisah yang mengharukan yang sarat
dengan nilai-nilai dharma yang tinggi yang berazaskan dedikasi, bhakti, karma
dan dhyana-yoga. Kisah ini menggambarkan bakti dari Raja Ambarisa yang setaraf
dengan raja Parikesit. Semoga ketiga episode yang singkat ini menjadi petunjuk
tambahan bagi mereka-mereka, umat sedharma yang haus dan dahaga akan siraman
spritual dharma. Semoga kisah-kisah ini menambah semangat kaum muda kita untuk
lebih banyak menimba nilai-nilai filosofi dan tidak terjerumus ke ritual-ritual
yang belum tentu bermanfaat dan hanya menguntungkan sebagian Brahmana yang
serakah dan rakus. Ritual memang perlu demi terciptanya disiplin diri, tetapi
tidak harus bersifat konsumtif, sia-sia dan ngawur tanpa landasan spritual yang
seharusnya dijadikan pedoman yang pelaksanaannya seyogyanya bersifat sahaja (sederhana)
tetapi langsung mengena ke tujuan. Om shanti...shanti...shanti. OM TAT SAT.
Disarikan
oleh mohan .m. s. Seorang musafir didunia yang fana ini.
Kembali ke daftar Bhagavata Purana Kembali ke halaman induk Shanti Griya