NIRWANA PRAKARANA

Vinneka Tunggal Eka                                                Kedamaian Pikiran

 

Pertanyaan 216 : Prabu, bagaimana mungkin semesta yang beragam-ragam ini dikatakan sebagai Brahma-swarupa? Bagaimana mencapai pemahaman non-dual? 

Jawab : Ramji, Wairagya dan Atma-abhyasa (disiplin spiritual) mengarahkan seseorang ke faham non-dual dan ke penyingkiran pemahaman yang ilusif. Sewaktu pemahaman yang ilusif ini sirna, maka wasanapun akan sirna, dan tahap kebahagiaan Ilahi akan lepas dari unsur-unsur sang waktu, spasi dan benda. Ini adalah tahap Brahm. 

Pertanyaan 217 : Prabu, seperti apakah ciri-ciri seseorang yang telah memiliki pemahaman non-dual dan telah manunggal dengan Sang Jati Diri? 

Jawab : Ramji, seseorang yang telah menyatu dengan Sang Jati Diri dan memahami dirinya jauh dari raganya dan telah menyaksikan Dirinya di dalam kesemuanya. Ia lepas dari ilusi kematian dan kelahiran. Chittanya telah berubah menjadi Brahmaswarupa, ia lepas dari berbagai wasana, ia disebut gyani. Bagi seorang gyani alam-semesta ini adalah permainan-Nya (Lila). 

Ramji, dikau adalah Brahm. Fahamilah jati dirimu yang asli agar dikau mencapai shanti. Sewaktu dikau bersatu dengan jati dirimu yang asli maka dikau akan menyatu dengan Brahm. Tidak ada perbedaan antara dikau dan Brahm, dikau harus yakin akan hal ini. Chidatma adalah jati dirimu yang asli, yang juga adalah bentuk kebenaran dari seluruh semesta ini. Berbagai jiwa dan wasana adalah bayang-bayang semata yang hadir di Sang Atman, tidak ada hal yang lainnya. 

Pertanyaan 218 : Prabu, apakah penyebab dari kebodohan (awidya) dan bagaimana upaya untuk menghancurkannya? 

Jawab : Ramji, nafsu adalah penyebab kebodohan. 

Pertanyaan 219 : Prabu, apakah yang akan terjadi kepada seseorang yang memahami dirinya di dalam ketidak-nyataan (anatma) dan belum mencapai Atmagyan? 

Jawab : Ramji, insan semacam itu akan tersiksa oleh musuh-musuh yang disebut indriyas (organ-organ sensual). 

Pertanyaan 220 : Prabu, bagaimana dunia yang ilusif ini terkesan sebagai nyata? 

Jawab : Ramji, semesta ini terkesan nyata karena kebodohan persepsi. Ramji, semua yang dikau saksikan dan alami ini disebut maya atau aspek kebodohan. 

Pertanyaan 221 : Prabu, Brahma, Wishnu dan Mahesh bersifat murni dan akash. Mengapa dikau menyebut mereka ini sebagai aspek-aspek kebodohan (awidya). Mohon disingkirkan keragu-raguanku ini. 

Jawab : Ramji, dikau harus memahami sifat-sifat Sang Atman dan kebodohan, dengan demikian baru dikau menyebut mereka ini sebagai aspek-aspek Brahm, dengan demikian baru dikau mampu menghayati fakta yang sebenarnya. Yang terkesan hadir namun tidak eksis mewakili kebodohan. Sedangkan yang terkesan tidak eksis namun hadir adalah Sang Atman. Kesadaran murni akan pemahaman ini (chinmatra Atma-satta) yang lepas dari pemahaman-pemahaman duniawi ini disebut sebagai tattwa. Atma-satta tidak dapat diuraikan dengan kata-kata, ia hadir di mana saja, maha-berkuasa, berbentuk kekosongan (shunya rupa). 

Pertanyaan 222 : Prabu, dikau mengatakan bahwa semesta, seluruh objek-objeknya adalah refleksi Sang Atman dan tidak ada yang lainnya yang pernah diciptakan. Lalu disebut apakah semesta yang hadir ini? 

Jawab : Ramji, baik semesta yang gaib maupun yang tidak gaib tidak pernah diciptakan. Berbagai manifestasi ini adalah bentuk dari chidakash, yang hadir atau eksis adalah Atman semata. 

Pertanyaan 223 : Prabu, seperti apakah sifat-sifat wasana dari berbagai jiwa yang tidak bergerak seperti pepohonan, batu-batuan, dan lain sebagainya? 

Jawab : Ramji, para jiwa ini belum mencapai tahap eksistensi pikiran, tidak juga mereka berhubungan dengan sang pikiran. Dikatakan mereka ini ada di  tengah-tengah kedua tahap ini. Di tahap ini potensi jiwa mereka berada dalam tahap sushupti (tidur lelap). Tahap ini penuh dengan penderitaan, kerena merupakan non-kesadaran, di mana pikiran terkesan tidak ada namun sebenarnya ada. 

Pertanyaan 224 : Prabu, karena berbagai jiwa–jiwa ini bersifat tidak bergerak maka bukankah mereka masuk ke tahap non-dual (adwait), lalu bukankah itu menunjukkan bahwa mereka telah mencapai tahap moksha (pembebasan)? 

Jawab : Ramji, Pembebasan dihasilkan melalui kontemplasi dan kesadaran ke Sang Atman. Para jiwa di pepohonan, bebatuan dsb. tidak memiliki kesadaran semacam ini. Mereka memiliki wasana namun tidak bisa direalisasikan karena terpendam sifatnya. Namun melalui proses selanjutnya para jiwa ini dapat dilahirkan kembali. 

Pertanyaan 225 : Prabu, bagaimana mempelajari kebenaran (Sat) dan non-kebenaran (asat)? 

Jawab : Ramji, seseorang seharusnya menanyakan kepada dirinya sendiri;  “Apakah aku ini, yang hadir di dalam raga yang terdiri dari daging, darah dan tulang-belulang ini, apakah unsur-unsur yang benar dan yang tidak benar yang hadir di dalamnya ini?”. Setelah pendalaman pemahaman, maka apa yang difahami sebagai non-eksis adalah ketidak-benaran, dan sebaliknya yang senantiasa hadir dari masa ke masa adalah Kebenaran (Sat). 

Pertanyaan 226 : Prabu, mohon dijelaskan akan iman yang dianut oleh para kaum bijak yang stabil tanpa penderitaan? 

Jawab : Ramji, dengarkanlah tentang iman kaum bijak yang stabil dalam keseimbangan walaupun senantiasa berkarya dan bermeditasi dengan sesama manusia. Memahami semesta yang maha luas ini sebagai Brahm, maka para gyani hidup sebagai Brahm-rupa. Mereka yakin yang memberi dan yang menerima adalah Brahm semata. Hanya Brahm yang hadir di dalam Dirinya Sendiri. Yang beruntung dan merugipun Brahm semata. Mereka-mereka yang yakin akan hal ini tidak pernah bahagia ataupun menderita, dan yang selalu terserap secara seimbang (non-dual). Mereka berinteraksi di dunia ini sebagai makhluk manusia yang telah bebas. Bagi mereka tidak ada lain selain Brahm. 

Pertanyaan 227 : Prabu, wasana hadir dan timbul bahkan di dalam diri mereka-mereka yang berpengetahuan non-dual, lalu bagaimana caranya mereka mampu mempertahankan keseimbangan dalam tahap jiwanmukta ini? 

Jawab : Ramji, pertanyaan ini telah kujawab pada kesempatan sebelumnya. Namun, baiklah kutambahkan, bahwa mereka yang telah mencapai tahap non-dual tidak memiliki ego. Tanpa ego, iapun berinteraksi di dunia ini dan terpusat di dalam tahap jiwanmukta. Wasananya hilang dan akibatnya ia terserap di dalam tahap kebahagiaan Ilahi (ananda). 

Pertanyaan 228 : Prabu, bagaimanakah upaya agar mendapatkan pengetahuan non-dual yang bersifat kebahagiaan Ilahi ini? 

Jawab : Ada dua cara untuk menyeberangi semesta ini, yang pertama,  “hidup di dunia tanpa ego”, dan yang kedua, “berlatih pranayama”. Melalui kedua jalan ini tahap jiwanmukta dapat dicapai.  

Pertanyaan 229 : Prabu, diantara keduanya ini jalan manakah yang termudah dan tidak memberikan penderitaan maupun berbagai halangan? 

Jawab : Ramji, kata yoga secara lazim diasosiasikan dengan pranayama namun sebenarnya kedua metode di atas disebut yoga. Yoga dan gyana adalah metode-metode yang menyeberangkan seseorang di samudra semesta ini. Ada yang merasa sulit dengan yoga, dan ada yang merasakan gyana itu sulit. Kami pribadi berpendapat bahwa jalan gyana ini lebih mudah karena tidak melibatkan seseorang, dan kerja keras dan sulit. Begitu gyana tercapai seseorang tidak akan menjadi budak ilusi karena sang sadhaka ini berubah menjadi saksi dan tanpa banyak upaya-upaya keras akan mampu menelusuri jalan non-dual (sesatuan). Melalui upaya dan latihan kedua jalan tersebut di atas akan menghasilkan kesempurnaan. 

Melalui metode prana-wayu yang dikendalikan secara sistematis, maka nafas yang terhisap dan yang dikeluarkan melalui hidung dan mulut akan menghasilkan chitta yang shanti. Akan kukisahkan cerita Muni Kag Bhusunda, jika dikau simak dengan baik maka dikau akan memahami pranayama-yoga dan mengerti bagaimana Kag Bhusunda mencapai tahap shanti dan hidup sebagai seorang jiwanmukta melalui metode ini. Ramji, pada suatu waktu, bersama-sama para resi (muni) aku hadir di balairung Dewa Indra, di Indraloka. Di sana aku mendengarkan dari Resi Narada dan berbagai resi lainnya akan perihal unsur chiranjiwis (hidup yang abadi). Muni Satatpa berkata : “Resi Bhusunda yang hidup abadi, hidup di pohon kalpa di pegunungan Semeru. Raganya berbentuk burung gagak. Belum ada seorangpun di dunia ini yang mampu hidup selama itu dan juga tidak akan mungkin hal ini terjadi di masa-masa mendatang. Beliau ini diberkahi oleh kebijaksanaan yang agung dan mulia, juga diberkahi dengan shanti, beliau adalah resi segala zaman. Para resi-muni yang hadir di Indraloka merasa takjub mendengarkan kisah ini. Setelah meninggalkan Indraloka aku menuju ke puncak Semeru, dan di puncak pegunungan ini aku menyaksikan keindahan yang amat mempesona. Kulihat sebuah pohon kalpa penuh dengan bunga warna-warni dan intan manikam. Para gandharwas (biduan-biduan swargaloka) dan para peri sedang menari-ria di bawah pohon tersebut. Sewaktu aku mendekati pohon ini kulihat sebuah cabang pohon yang dihinggapi oleh seekor burung gagak yang cantik dengan kepalanya menengadah ke atas. Burung ini nampak penuh kharisma dan berusia sangat lanjut (chiranjiwi). Beliau terkesan telah mengendalikan prananya dengan baik, terpusat ke dalam dirinya dan penuh dengan keseimbangan. Kata-katanya lembut dan penuh dengan kebijaksanaan. Beliau tampak sangat lembut, sederhana, menawan dan cantik mempesona. Beliau memiliki kemampuan secara sempurna dalam semua aspek. Beliau mengenaliku, pada saat aku mendekatinya, beliau langsung mengucapkan salam selamat datang secara hangat dan tulus. Melalui kesaktiannya beliau menciptakan sepasang tangan dan menghaturkan upacara arti (baki yang dipenuhi dengan pelita, bunga-bunga dan dupa) bagiku. Kemudian kedua tangannya diubah menjadi bantalan empuk berupa dedaunan dan aku dipersilahkan duduk di bantalan ini. 

Beliau kemudian berkata : “Dikau telah memberkahiku dengan mengunjungiku, selama ratusan tahun aku menunggu kedatanganmu. Mohon sudi dijelaskan maksud kunjunganmu wahai resi. Sebenarnya aku hadir di balairung Dewendra (Indra) sewaktu diskusi mengenai perihal chiranjiwi sedang berlangsung, namun aku berada di ruang bawah, sehingga tidak terlihat oleh para hadirin. Mohon sudi mengutarakan sabda-sabdamu yang suci. Wahai resi, bersabdalah kepadaku, demikian ujar Bhusunda. 

Kemudian akupun berkata : “Wahai raja dari kaum burung, sewaktu di singgasana Dewendra kudengar akan status abadimu, aku merasa ingin sekali mengunjungimu. Dikau adalah pengejawantahan chitta yang lembut dan ananda. Mohon dijelaskan bilakah dikau dilahirkan dan bagaimana upaya yang telah dikau tempuh sehingga mampu mencapai gyana. Berapakah usiamu, apa saja yang telah dikau saksikan di dalam kehidupan ini, dan mengapa memilih tempat ini sebagai kediamanmu?” 

Bhusunda menjawab : Wahai munishwar (resi yang agung), dikau sebenarnya telah memahami semuanya, namun akan kukisahkan karena dikau tanyakan. Aku lahir beberapa yugas yang lalu sesuai dengan instruksi ayahku yang juga berbentuk burung gagak dan bernama Chanda. Ibuku seekor burung angsa yang dipelihara oleh Dewi Brahmi. Melalui karunia Dewi Brahmi aku telah diberkahi dengan Atmagyan. 

Aku kemudian berkata lagi : “Prabu, pada saat-saat pralaya (kiamat) di mana sang surya dan chandrapun menghentikan aktivitas mereka, namun dikau terkesan tidak terpengaruh sama sekali. 

Bhusunda menjawab : Wahai Munishwar, di dunia ini setiap jiwa memiliki dua cara kehidupan yaitu : ketergantungan dan kemerdekaan (kemandirian). Mereka-mereka yang memiliki harta-benda, istana, tentara dan lain sebagainya adalah golongan yang pertama dan yang tidak memiliki apapun juga disebut mandiri. Namun aku bebas dari kedua unsur tersebut, dan menganggap kedua hal tersebut sebagai penghalang. Aku selalu bahagia dan terpusat ke dalam diriku, berdasarkan Atma-santosh (kesentosaan di dalam Atman), aku merasa puas, bahagia, dan tidak pernah mengalami penderitaan. Akupun tidak menghasratkan kematian maupun kehidupan, kedua unsur tersebut adalah tahap-tahap kehidupan raga dan bukan kehidupan Atman. Aku tidak mendambakan moksha maupun keterikatan duniawi, karena kedua unsur ini adalah status sang jiwa. Di dalam Atman kedua hal ini tidak hadir. Karena senantiasa hadir di dalam Atman maka aku tidak merasakan penderitaan dan kebahagiaan. Aku senantiasa menjalani berbagai penderitaan dan kebahagiaan secara alami, dan pada saat ini aku telah lepas dari pengembaraan pikiranku. Aku telah stabil dengan tegar di dalam kebahagiaan yang mulia dan agung”. 

“Wahai Munishwar, (walaupun) aku duduk di atas pohon ini, kulihat aliran prana dan apana. Kufahami juga proses pranayama. Bagiku malam dan pagi bersifat sama. Aku memahami Sat dan asat secara sangat baik, jadi tidak ada yang kudambakan lagi dari semesta ini. Hasrat dan nafsu adalah sumber penderitaan di dunia ini. Aku berinteraksi dengan dunia ini tanpa hasrat, itulah sebabnya aku telah mencapai kebahagiaan Ilahi. 

Wahai Munishwar, dikau menanyakan mengapa aku tidak terusik oleh pralaya. Alasannya adalah pohon kalpa ini tetap abadi dan tidak terusik oleh pralaya  tersebut. Karena aku hidup di pohon ini, maka secara alami akupun tidak terusik oleh pralaya. Sewaktu Hiranyaksha dan para asurasnya mencuri bumi dan membawanya ke alam lain (patala), pohon kalpa ini tetap tegar dan tak tersentuh. Pada saat peperangan antara para dewa dan asura yang amat menggoncangkan bumi ini, pohon kalpaku tetap eksis seperti biasa. Di bawah perlindungannya aku tetap tegar dan hadir di dalam-Nya. Sewaktu Hyang Wishnu menggunakan gunung Semeru ini untuk mengaduk samudra (kisah Mandaragiri), akupun tetap hadir tidak terusik di bawah lindungan pohon kalpa”. 

Ramji, setelah beliau bercerita, aku (Resi Vasishtha) bertanya lagi kepadanya : “Prabu, bagaimana dikau mampu bertahan dari hantaman awan, angin dan sengatan mentari? Beliau menjawab : “Pada saat pralaya tersebut aku meninggalkan persemayamanku ini, dan karena jauh dari berbagai gangguan aku melebur ke dalam akash (kekosongan). Ibarat sang pikiran yang terlebur, sewaktu berbagai wasana hilang, maka akupun menarik semua bagian-bagianku. Sewaktu mentari membara aku menyerap ke air. Sewaktu bayu bertiup secara dashyat aku tegar dan kokoh ibarat batu. Sewaktu semua unsur habis musnah secara total, aku meninggalkan semua yang maha lembut, dan hadir di sana secara shanti ibarat tidur lelap (sushupti). Sewaktu Hyang Brahma bangkit  lagi dan semesta diciptakan lagi, aku kembali ke pohon kalpa ini, kembali ke sarangku di puncak semeru ini. 

Aku kemudian bertanya : mengapa beliau sanggup hidup secara abadi selama itu, sedangkan para kaum suci lainnya gagal. Beliau menjawab bahwasanya setiap insan dan makhluk memiliki kodratnya masing-masing, kodratku adalah hidup di Semeru dan bersarang di pohon kalpa ini. 

Kemudian aku bertanya lagi : Wahai raja para burung, dikau pasti telah menyaksikan berbagai hal yang menakjubkan selama hidupmu ini. Mohon beritahukan beberapa hal yang menakjubkan tersebut kepada kami. 

Kag Bhusunda menjawab : Wahai Munishwar, aku telah menyaksikan berbagai keajaiban, namun akan kukisahkan beberapa saja kepadamu. Aku ingat, bahwa pada asal mulanya tidak ada sesuatu apapun juga di bumi ini, selain tumbuh-tumbuhan. Pada saat yang lain hanya terdapat debu. Pada saat yang lainnya tidak diciptakan surya dan chandra. Demikianlah berbagai ciptaan-ciptaan yang menakjubkan ini telah kusaksikan dari masa ke masa. Pada suatu saat Hyang Wishnu menumpas Hiranyaksha. Di saat lain aku menyaksikan sebuah peristiwa yang menakjubkan yaitu pengadukan Mandara-giri. Aku ingat delapan kali kelahiranmu. Pada suatu saat dikau lahir di luar akash, kemudian di luar air dan api. Aku ingat kedua belas reinkarnasi Hyang Wishnu termasuk Awatara Kurma. Aku ingat tiga reinkarnasi dari asura Hiranyaksha, reinkarnasi dari Sri Parasurama, dsb. Aku menyaksikan resi Walmiki menulis Ramayana dalam 12 kali kesempatan. Aku juga menyaksikan Resi Wyasa menulis Mahabrata sekali lagi. Aku ingat semua ini. Aku ingat sebelas reinkarnasi dari Sri Ramachandra dan 16 kali reinkarnasi dari Sri Krishna. Aku ingat semua hal-hal yang bersifat ilusif ini, karena sebenarnya semua ini tidak pernah diciptakan. Sewaktu kumeneliti melalui Atman-wichar, maka kusadari seluruh manifestasi ini adalah kesadaran murni. Semua berasal dan berakhir dari dan ke Sang Atman ibarat gelembung-gelembung air yang berasal dan hilang dan dari ke samudra luas. Ragaku ini tegar dari masa ke masa, itulah sebabnya aku selalu hadir dengan bentuk ini. Seluruh semesta ini adalah hasil dari pemahaman pikiran semata, begitu pemahamannya begitu juga hasilnya. Demikianlah aku mendapatkan dan bahagia dengan tahap keabadian ini. Pada hakikatnya semesta ini tidak nyata dan tidak sebaliknya, namun hanya ilusi belaka dengan berbagai warna dan bentuk yang ilusif sifatnya”. 

Ramji, aku kemudian bertanya : “Prabu, mengapa tubuhmu belum diambil oleh kematian sejauh ini? Beliau menjawab : “Wahai Munishwar, dikau sebenarnya telah memahami hal tersebut namun baiklah aku akan menjawab bila maut mau mengambil seseorang dan sebaliknya. Mereka-mereka yang terlihat dan terjerat oleh wasana akan dijemput Sang Maut, dan yang bebas dari wasana tidak akan disentuh oleh maut. Karena yang tercemar oleh nafsu, kemarahan, keserakahan, keterikatan, kekhawatiran, hasrat, ketakutan, ego, dsb. harus mati. Sebaliknya yang lepas bebas dari unsur-unsur tersebut tidak tersentuh oleh kematian. Chitta yang murni yang berkontemplasi ke Sang Atman (Atma-chintan) adalah obat manjur bagi semua bentuk penyakit. Semua unsur penghalang, berbagai faham-faham pemikiran hilang diobati oleh Atma-Chintan. Kudapat Atma-Chintan ini melalui pengendalian pranaku dan aku memahaminya dengan baik sekali. 

Lalu kutanyakan apakah kendali prana tersebut dan bagaimana melaksanakannya. Kag Bushunda menjawab “ “Kendali prana sangat bermanfaat dan adalah rahasia kehidupanku. Teknik pranayama ini menghasilkan shanti baik bagi seseorang yang masih terlibat dengan karma-karmanya atau sudah menanggalkan karma-karma tersebut. 

Wahai Munishwar, prana yang bangkit dari sektor hridaya naik ke atas sampai 12 digit dan tinggal di titik tersebut. Ia kembali sebagai prana dan tinggal di hridaya. Prana terpancar ke luar ke akash ibarat api yang panas. Ia menjadi dingin sewaktu kembali ke hridaya akash, ia disebut apana-wayu dan sedingin rembulan, sewaktu keluar ia sepanas mentari. Prana-wayu memanaskan hridaya akash, membakar makanan dan memfasilitasi pencernaan. Apana-wayu mendinginkan hridaya ibarat rembulan. Sang pikiran yang stabil di dalam tahap di mana apana rembulan dan apana mentari bersatu, tidak akan kembali ke penderitaan, juga tidak mengalami kelahiran. Dalam tahap ini kedua prana ini melebur menjadi satu, seseorang yang terserap di dalam tahap ini akan bersifat awas, jauh dari penderitaan, dan mencapai tahap yang agung dan mulia. 

Wahai Munishwar, kegelapan di dalam (batin) menghilang setelah memahami proses prana-apana ini. Sewaktu prana-mentari yang timbul di hridaya keluar, ia lalu menyatu secara langsung dengan apana rembulan dan hadir sebagai apana rembulan. Demikian juga sebaliknya, apana rembulan yang menyatu dengan prana mentari di hridaya hadir sebagai prana mentari. Dengan kata lain sewaktu prana turun maka apana naik, sewaktu prana naik maka apana turun. Sewaktu prana naik dari hridaya, ia disebut rechaka (nafas keluar/prana) dan sebaliknya disebut puraka (nafas masuk/apana). Sewaktu prana dipusatkan ke apana, maka hal ini disebut kumbhaka (menahan nafas di kepala atau dada). Sewaktu seseorang stabil di dalam tahap kumbhaka, ia lepas dari berbagai penderitaan. Demikian juga rechaka/apana diikuti oleh puraka/prana, sewaktu prana menyatu dengan apana, hadirlah dengan ini Kumbhaka dari prana. Seseorang menjadi bebas dari penderitaan sewaktu stabil di dalam Kumbhaka. 

Wahai Munishwar, sewaktu seseorang mencapai stabilitas yang teguh di dalam kedamaian Atma-tattwa, dan tegar di dalam prana dan apana, maka sang pikiranpun menjadi tenang. 

Atma-satta, sang saksi menjadikan seseorang jauh dari penderitaan, melalui upaya pranayama ini. Wahai Munishwar aku berbakti kepada Atma-tattwa yang bukan prana maupun apana. Aku selalu memusatkan diriku ke arah Kesadaran Chidatma yang terletak diantara prana dan apana, yaitu sewaktu prana menyatu dengan apana, dan apana menyatu dengan prana, dan itulah sebabnya aku selalu damai dan mencapai samadhi dan stabil di dalam tahap Atmik, tanpa melupakan Sang Atman sesaatpun, itulah rahasia hidupku yang lama ini. Aku senantiasa berimbang bahkan sewaktu aku sadar, bermimpi dan tidur lelap, tanpa rasa takut dan khawatir, aku senantiasa terpusat ke tahap samadhi Atmik. Pada saat ini aku telah sedemikian jauh dengan upaya prana-apana ini sehingga tidak memerlukan upaya lagi, karena apana dan prana mengalir secara langsung dan aku selalu damai. Aku tidak menyusahkan seseorang dan sebaliknya tidak ada yang menyusahkanku. Egoku telah hilang melalui upaya pranayama ini.

Ramji, kisah ini mengandung makna yang amat dalam, seandainya dikau berupaya secara tegar maka dikau akan mencapai kebahagiaan Yang Maha Kuasa ini. 

Pertanyaan 230 : Prabu, sewaktu dikau bercerita di atas tersebut, dikau menyebut-nyebut raga yang terdiri dari daging, darah dan tulang-belulang ini. Prabu, siapakah yang menciptakan tubuh ini, dari mana asalnya, bagaimana ia eksis dan siapakah yang hadir di dalamnya? 

Jawab : Ramji, tulang-belulang adalah kerangka rumah ini, yaitu sang raga ini...... yang memiliki sembilan pintu gerbang. Raga ini tidak diciptakan oleh siapapun, namun adalah bayang-bayang atau pantulan dan diterima sesuai  dengan ilusi. Raga ini terkesan nyata selama kebodohan hadir, sewaktu gyana hadir maka kesan memiliki tubuh ini akan sirna, ibarat seseorang yang terjaga dari mimpinya. Sewaktu seseorang menyadari : “Aku adalah kesadaran dan bukan raga, dan kesadaran tersebut adalah abadi “, maka ia lepas-bebas dari berbagai penderitaan. Perhatikan beberapa renungan di bawah ini guna mencapai tahap Atmik ini :

1.         Aku adalah Chidakash, senantiasa maha kuasa dan bebas dari semuanya.

2.         Bukan saja aku tidak hadir (eksis), namun semesta ini dan isinyapun tidak eksis.

3.         Aku adalah kesadaran murni, bersifat akash, hadir menyelimuti segala-galanya, tidak ada sesuatu apapun di luar diriku dan aku senantiasa stabil di dalam diriku. 

Pertanyaan 231 : Prabu, apakah penerimaan dan penolakan itu? 

Jawab : Ramji, setelah berkontemplasi ke yang nyata dan yang tidak nyata, maka menolak yang tidak nyata disebut penolakan dan yang menerima Atma-tattwa yang bersifat Sat-Swarupa (Nyata) disebut penerimaan. Kedua-dua unsur ini hilang melalui pencapaian pengetahuan non-dual (samyak-gyana). 

Ramji, sekarang akan kuajarkan sebuah cara yang dapat menghancurkan keterikatan dan memberikan kebahagiaan Ilahi yang amat sangat. Aku mempelajari cara ini dari Sada Shiwaji di puncak gunung Kailash (Himalaya). Dahulu aku tinggal di Kailash bersama-sama muridku. Di sana aku mengupayakan ajaran Brahm (Brahm-widya) untuk diriku dan juga bagi murid-muridku. Pada suatu hari dewa Shiwa dan shakti beliau Dewi Parwati muncul di depanku penuh dengan karunia. 

Kuterima kehadiran beliau-beliau ini dengan penuh rasa hormat. Dewa Shiwa bersabda : “Wahai Brahmana, apakah chittamu yang bertendensi penuh dengan kekhawatiran telah stabil di dalam Atmaswarupa? Apakah murid-muridmu baik-baik saja? Apakah semua makhluk dalam keadaan baik-baik saja? Apakah pepohonan berbunga secara cukup untuk dipersembahkan (sebagai sesajen sembahyang)? Apakah sungai Gangga menyediakan air bagi mandimu? Apakah dikau merasa bahagia atau menderita dengan segala hal yang dikau terima seperti baik dan buruk? Apakah diganggu oleh para asuras atau para ganas (ponggawa)ku? 

Ramji, aku mencoba menjawab semua pertanyaan-pertanyaan Dewa Shiwa tersebut :

“Wahai Dewa yang maha pengasih, tidak ada yang jauh dari jangkauan seseorang yang mengingatmu secara konstan. Para pemujamu tidak mengenal takut dan khawatir. Mereka-mereka yang chittanya telah terserap di dalammu tidak menderita sama sekali. Wahai Yang Maha Agung dan Mulia, sedikit saja pemusatan kepadamu menghapuskan penderitaan dan kekhawatiran. Dengan daya ini kami semua hidup di sini penuh dengan kebahagiaan “. 

“Wahai Dewa, sudilah menganugerahkan pengetahuan dan metode bersembahyang ke Tuhan Yang Maha Esa, yang mampu menyeberangkan seseorang melintasi samudra semesta”. 

Dewa Shiwa bersabda kepadaku : “Wahai brahmana, Hyang Wishnu yang bermata ibarat kelopak bunga teratai bukanlah Tuhan Yang Maha Esa, Shiwa yang bermata tiga ini, juga bukan Tuhan Yang Maha Esa. Brahma yang hadir dari teratai juga bukan Tuhan Yang Maha Esa, dan Hyang Indra yang bermata seribu juga bukan Tuhan Yang Maha Esa. Bukan juga bayu, surya, agni, chandra atau brahmana-brahmana. Bukan juga aku, dikau, raga ini, chita, faham-faham pikiran. Hanya kesadaran murni yang jauh dari jangkauan imajinasi manusia, Yang Tanpa Mula dan Tanpa Akhir, Yang Maha Seimbang, disebut sebagai Tuhan Yang Maha Esa. Semua isi semesta ini yang berbentuk dan bernama, adalah bayang-bayang dari Kesadaran Murni, hanya Kesadaran Yang Maha Abadi ini saja yang dapat disebut Tuhan Yang Maha Esa. Tuhan Yang Maha Esa ini dipusatkan di di dalam meditasi dan sembahyang melalui kata (shabda) saja. Sabda adalah jalan pemujaan ini, dan memahami-Nya sebagai Yang Maha Hadir di setiap benda dan makhluk adalah pemujaan bagi-Nya. Namun yang tidak sanggup memujaNya dengan jalan ini, maka mereka boleh bersembahyang ke para dewa. Ibaratnya bagi seseorang yang tidak mampu berjalan jauh, maka berjalan menempuh jarak yang dekat adalah sesuatu yang baik. Hal ini menunjukkan bahwa bagi yang tidak dapat memuja Yang Maha Tak Berbentuk (Hirakar), maka memuja Yang Berbentuk (Sakar) adalah penting. Setiap orang mendapatkan pahala sesuai dengan bentuk pemujaannya. Mereka-mereka yang memuja Tuhan Yang Nyata ini mendapatkan pahala yang bersifat Sat-rupa. Ada tiga syarat bagi pemujaan Tuhan Yang Maha Esa :

1.      Bodh......pemujaan ini berhubungan dengan Samyak-gyana, yaitu memahaman murni dari Atma-tattwa.

2.      Samya : Pemujaan ke Yang Maha Esa yang berhubungan dengan pemahaman Yang Maha Hakiki dan dalam semuanya.

3.      Shama : Pemujaan yang berhubungan dengan pemahaman chitta di dalam Atma-tattwa, dan mengarah ke dalam. 

Demikianlah ketiga jalan yang menuju ke Chinmatra (Yang Maha Hakiki). Yang memuja gambaran (arca, lukisan, figur, dsb.) akan menjalani kelahiran yang berulang-ulang. Yang Maha Esa itu tidak boleh dipuja secara pemujaan kepada arca-arca ini. Hyang Maha Esa harus dipuja melalui pikiran-pelaksanaan-iman yang teguh”. 

Aku kemudian bertanya lagi : “Bagaimana semesta yang termanifestasi ini dapat dirasakan di dalam Atman......Kesadaran Yang Maha Murni..... dan mengapa kesadaran ini disebut jiwa?”. 

Dewa Shiwa menjawab : “Wahai Munishwar, akash-Nya Yang Maha Esa (chaitnya-akash) adalah hakiki dan jauh dari jangkauan hal-hal yang bersifat duniawi. Setelah pralaya maka bayangan (ilusi) dialokasikan lagi, dan semestapun terciptakan. Pada hakikatnya hanya Sang Atman saja yang hadir sepanjang masa : lalu..... sekarang.....masa-masa yang akan datang. Semua bentuk dualisme ini adalah ilusi. Wahai Munishwar, akash, Param-akash (Akash Yang Maha Agung) dan Brahm-akash (Yang Maha Hakiki), semuanya ini menyatakan hal yang sama. Alam sadar semesta ini adalah aspek chidakash, dan Atma-tattwa sendiri adalah tahap murni. Tidak ada yang eksis selain Atma-tattwa. Chidakash adalah unsur yang hadir sebagai berbagai raga dengan berbagai nama dan rupa. Semua ini adalah aspek-aspek dari sang Paramatman (Atma Yang Maha Utama). Atman adalah satu-satunya yang harus dipuja. Semua dicapai melalui Sang Atman. Beliau Maha Hadir dan Maha Berkuasa. 

Beliau tidak melaksanakan tugas apapun juga (Akarta), Beliau tidak menikmati apapun juga (Abhokta), Beliau tidak dapat dihancurkan, bersifat abadi dan tak terbagi-bagi. Tidak sia-sialah upaya untuk memahami-Nya. Kuberikan semua ini kepadamu, wahai resi, karena dikau adalah insan yang sadar dan memiliki faham non-dual. Namun pemujaan dengan dupa dan bunga dianjurkan bagi mereka-mereka yang imannya kurang teguh kepada Sang Atman. Bagi insan yang sederajat denganmu, maka meditasi ke Sang Atman adalah upaya (jalan) yang benar. Tuhan Yang Maha Esa tidak jauh dari siapapun, dan dapat dicapai dengan mudah. Beliau yang hadir di manapun juga seyogyanya dapat dicapai dengan cara yang mudah. Beliau bernafas, makan, minum dan melakukan berbagai aktivitas, lalu bagaimana mungkin Beliau disebut jauh dan sulit untuk dijangkau? Beliau hadir pada semua masa, semesta adalah kebesaran Sang Atman ini, Yang Maha Hakiki dan juga ditunjang oleh-Nya. Berbagai nama adalah sebutan-sebutan bagi-Nya, namun hanya Beliau semata yang eksis”. 

Aku bertanya lagi : Prabu, seandainya hanya Chaitanya (Kesadaran Murni) saja yang hadir di dalam raga ini dan dalam semesta, lalu mengapa banyak yang mengatakan bahwa ada kematian dan ada kelahiran? 

Dewa Shiwa menjawab : “ Wahai Munishwar, ada dua jenis chaitanya di dalam raga ini, yang pertama disebut Unmukhhatwa (mengarah keluar, ke semesta). Yang kedua disebut Nirwikalpa Atma. Yang pertama berfaham duniawi dan terkait dengan dunia (semesta), disebut sang jiwa. Ia memiliki faham dualisme (sankalpa), walaupun sebenarnya ia bukanlah berbentuk demikian. Atma-satta yang mengarah keluar ini, yang sebenarnya murni disebut jiwa-rupa atau jagat-rupa. Namun sebenarnya ia adalah Atma-satta. Lalu bagaimana disebut dualisme? Atma-satta hadir beragam-ragam berdasarkan pemahaman pikiran. Atma-satta juga disebut Chit-kala. Chaitanya yang kedua adalah pengarahan ke dalam yang menghasilkan Atma-swarupa”. 

Ramji, setelah Sri Sada Shiwaji selesai dengan kata-katanya, maka aku bertanya lagi : “Bagaimana mungkin dualisme hadir di dalam Atman yang Abadi dan Hakiki? Bagaimana mungkin pemahaman-pemahaman masa lalu dan masa yang akan datang menjadi lebih kuat, bagaimana semua bentuk ini hadir dari yang satu, dan bagaimana upayanya agar kaum bijak dapat menyelamatkan diri mereka dari berbagai penderitaan?” 

Dewa Shiwa menjawab : “Wahai Munishwar, sesuai dengan sifatnya maka Atma-shakti bersifat stabil, shanti, kesadaran-murni dan memiliki beragam-ragam (daya) potensi yang tak terbatas jumlahnya. Tak terhingga jumlah bentuk yang hadir di dalamnya. Semua ini adalah aspek-aspek beliau dan tidak sesuatu apapun lepas dari-Nya. Sewaktu modifikasi timbul di dalam shakti ini maka timbullah beragam-ragam karma, demikian juga sebaliknya. Semuanya menari-nari dibawah pengaruh shakti ini. Semesta dan isinya adalah penari tersebut dan Atma-tattwa Paramatma Yang Esa (Satu) adalah Sang Saksi yang menyaksikan. Tidak ada perbedaan di antara Shiwa dan shakti; kedua-duanya bersifat identik, tidak ada unsur yang lain. Hanya Paramatma yang layak dipuja. Beliau hadir di mana saja, di arah manapun Beliau hadir. Beliau semata yang hadir di dalam para dewa dan para asuras. Sang Atman yang universal ini dapat dipuja melalui dua cara, melalui meditasi ke Ishtadewata dan ke Yang Maha Esa (Atman). Tidak ada jalan lain. Semua adalah aspek-aspek Kesadaran Yang Maha Murni. Tanpa Sang Atman tidak ada yang mampu hadir. Atma-tattwa dekat sekali dengan yang mendekat dan jauh sekali dari yang menjauhi-Nya. Pujalah Beliau secara awas (eling). Dengarkanlah sekarang akan halnya pemujaan secara internal. Pemujaan kepada-Nya tidak dilakukan dengan bunga dan wewangian, tanpa penyiksaan diri atau pengorbanan harta-benda, namun melalui gyana yang ibaratnya adalah nektar (air kehidupan abadi). Dalam setiap tindakanmu berfahamlah bahwa “Aku adalah Itu”, inilah pemujaan utama. Beliau akan mengkaruniaimu seandainya dikau memusatkan pemujaanmu kepada-Nya semata. Seandainya dikau bermeditasi kepada-Nya dengan benar maka dalam waktu 13 kali kejaban mata dikau akan mampu menghilangkan benda apa saja dari dunia ini. Seandainya ada yang mampu bermeditasi ke arah-Nya secara benar, maka ia akan mendapatkan pahala sebesar pelaksanaan Ashwamedha-yajna. Seandainya seseorang melakukannya selama satu gathak (24) menit, maka ia akan mendapatkan pahala sebesar Rajasuya-Yajna. Seandainya seseorang mampu melaksanakannya selama satu hari penuh, maka ia akan mendapatkan pahala yang tak terbatas sifatnya. Semua makhluk-makhluk sorgawi akan bersujud di hadapannya, dan ia akan dihormati siapa saja. Bersikap berkecukupan dalam segala hal, juga merupakan bentuk pemujaan kepada-Nya. Demikian juga seandainya seseorang merasa jauh dari duniawi yang ilusif ini...... maka hal inipun merupakan pemujaan kepada-Nya (Anatma-gyan), seandainya seseorang merasa sebagai saksi, maka hal tersebut juga merupakan pemujaan kepada-Nya. Wahai Munishwar, pasrahkanlah dirimu kepada Sang Kesadaran Murni (Chinatra-tattwa), dan dikau akan merealisasikan-Nya. Bermeditasi kepada-Nya tanpa melupakan-Nya adalah juga pemujaan kepada-Nya. Memahami Sang Atman dan sadar bahwa tidak ada yang lain selain Atman, adalah juga bentuk pemujaan kepada-Nya. Memahami Sang Atman dengan sadar bahwa tidak ada yang lain selain Atman, adalah juga bentuk pemujaan kepada-Nya. 

Wahai Munishwar, Sang Atman Yang Universal adalah Shiwa-tattwa-rupa yang tak terbatas, hanya yang beriman sajalah yang memuja-Nya, partisipasi dalam suka dan duka adalah juga bentuk pemujaan kepada-Nya. 

Lalu aku menanyakan kepada Dewa Shiwa : Prabu, siapakah Shiwa, apakah itu Brahm, Atman, Paramatma, Tat, Sat, Kekosongan, Nikhinchan, Gyana, dsb. dan mengapa ada begitu banyak nama? 

Dewa Shiwa menjawab : Wahai Munishwar, apapun yang tersisa dari non-eksistensi setiap benda, adalah eksistensi murni (satta-matra), hasil filter (saringan) dari Maya yang sifatnya tak terbatas. Apapun yang bukan merupakan objek indriyas disebut nikhinchan”. 

Lalu aku bertanya lagi kepada Dewa Shiwa : Bagaimana upayanya agar aku dapat merealisasikan Ishwara (Hyang Maha Esa), yang berada jauh di atas persepsi indriyas dan budhi (intelek). Beliau menjawab : “Wahai Munishwar, Atma-tattwa bersinar kepada mereka yang telah mempelajari berbagai shastra-widhi dan telah mendapatkan tuntunan seorang guru”. 

Ramji, aku bertanya lagi : “Wahai Dewa, bagaimana eksistensi dari semesta yang non-eksistensi dapat difahami? Sada Shiwaji menjawab : Wahai Munishwar, Brahm, yang merupakan Kesadaran Murni diberi berbagai nama, Beliau ini lebih lembut dari akash. Karena lupa akan jati dirinya, maka para jiwa ini memahami  semesta ini sebagai suatu kenyataan; dengan memusatkan pikiran ke dalam Sang Jati Diri (Atman), maka semua ilusi ini akan terhenti. 

Wahai Dewa, berbagai objek-objek semesta ini difahami manifestasinya, bagaimana mungkin semua hal ini diperbandingkan dengan objek-objek mimpi? 

Sri Mahadewaji bersabda : Wasana, yang memiliki wasana, dan objek-objek wasana..... ketiga-tiganya bersifat ilusif, sewaktu ketiga unsur ini sirna maka Yang Tertinggal dan Hadir adalah Sang Atman. 

Prabu, bagaimana sang jiwa ini..... yang merupakan ciptaan mulia...... memahami dirinya sendiri melalui ilusi raga ini dan eksis? 

Sada Shiwaji menjawab : Hal tersebut terjadi karena sang jiwa memahami dirinya sendiri melalui ilusi, ia menganggap dirinya memiliki raga ini. Namun jiwa yang telah mendapatkan pencerahan, eksis sebagai Ishwara itu sendiri, ia senantiasa faham: “Aku adalah Itu “, Sang Atman yang bersifat Satchit-ananda swarupa. Jiwa utama pada saat-saat tertentu berfungsi sebagai Brahma, Wishnu dan Rudra. Setiap jiwa tercipta di sekitar jiwa utama ini. Dengan demikian semua ciptaan adalah ibarat refleksi di dalam Sang Atman. 

Setelah menjelaskan semua di atas tersebut Sri Sada Shiwaji berkata kepadaku : Wahai Munishwar, kami telah mengutarakan hal-hal yang dikau katakan (tanyakan). Seandainya dikau memusatkan chittamu secara total kepada hal ini, maka dikau akan mencapai kebebasan. Sekarang kami harus kembali ke persemayaman kami. Setelah itu beliau berdua beserta seluruh gana-gana (ponggawa) kembali ke tempat asal mereka, demikian akupun lalu merenungkan semua ajaran tersebut. Demikian juga seyogyanya dikau.  

Pertanyaan 232 : Prabu, bilakah saatnya sang pikiran berubah menjadi cerah dan apakah disebut non-identifikasi sang chitta? 

Jawab : Ramji, sewaktu sang jiwa memahami semua objek sebagai hal-hal yang tidak nyata dan menganggapnya sebagai berbisa, maka sang pikiranpun menjadi cerah. Hal ini disebut sebagai tahap non-identifikasi sang chitta.

\

 

Kembali ke halaman daftar isi Vasishta Yoga            Kembali ke halaman daftar isi Sastra