STHITI PRAKARANA

Vinneka Tunggal Eka                                              Eksistensi

  

Pertanyaan 132 : Prabu, seperti apakah bentuk asli dari dunia yang dapat dialami dan dirasakan ini? 

Jawab : Jagat-raya yang termanifestasi ini hanyalah sebuah pemahaman ide, dengan kata lain, dapat dirasakan dan dialami hanya melalui pemahaman pikiran saja. Jagat-raya ini kosong seperti halnya antariksa. 

Pertanyaan 133 : Prabu, sewaktu siklus agung jagat-raya ini berakhir maka manifestasi semesta memutar kembali ke benih  yang mirip dengan Sang Atman, kemudian lahir lagi semesta dari benih Atman ini dan berakhir lagi dan demikianlah seterusnya dan seterusnya. Dengan demikian proses evolusi dan disolusi jagat-raya senantiasa berlangsung selamanya. Mohon diterangkan apakah ini adalah keyakinan seorang gyani atau seorang agyani? Keyakinan (agyani adalah lawan kata gyani yang berarti kurang kesadaran spiritualnya). 

Jawab : Ramji, mempersamakan eksistensi jagat-raya ini dengan benih yang mirip Sang Atman adalah tidak layak, karena Brahm diibaratkan dengan sebuah benda (benih). Benih adalah objek duniawi, sedangkan Brahma adalah unsur yang berada jauh di atas segala indriyas, objek dan pikiran dan lebih murni dari akash. Atman adalah Kebenaran Hakiki (Sat), bagaimana mungkin yang benar dipersamakan dengan yang tidak benar (asat). 

Pertanyaan 134 : Prabu, seperti apakah bentuk-bentuk dari sebab? 

Jawab : Ramji, ada dua bentuk penyebab, yaitu samwaya (material atau substansial) dan nimitt (instrumental atau yang efisien). Sesuatu benda dan atau makhluk diciptakan dari satu benda atau makhluk lainnya, hal ini disebut samwaya. Seseorang yang bertindak sebagai alat atau instrumen dan menciptakan sesuatu disebut nimitt. Sang Atman bebas dari kedua unsur penyebab tersebut. Atman adalah satu-satunya, dan Beliau hadir di dalam berbagai nama dan rupa (bentuk). 

Pertanyaan 135 : Prabu, setelah pralaya (disolusi, kiamat) dan sebelum terjadi penciptaan baru, maka Hyang Prajapati menimbulkan kembali memori semesta yang sebelumnya. Dengan demikian dapatkah dikatakan bahwasanya memori ini adalah penyebab semesta ini? 

Jawab :Memori tersebut bukan asal-usul semesta ini, karena sewaktu terjadi pralaya maka Hyang Prajapatipun akan musnah bersamanya, jadi memori beliaupun akan ikut musnah bersamanya. 

Pertanyaan 136 : Prabu, karena memori Hyang Brahma...... Pencipta Utama semesta ini tidak musnah, lalu bukankah dapat dikatakan bahwa Hyang Brahma yang sama ini menciptakan semesta (baru) dari memorinya tersebut? Bagaimana dikau menyatakan bahwa hal tersebut tidak mungkin? 

Jawab : Hyang Brahma berubah menjadi Widehamukta pada saat maha-pralaya, dan beliaupun akan sirna, jadi memori beliaupun akan ikut sirna bersamanya. Di saat maha-pralaya ini ketiga  loka (bhur, bwah, dan swah), juga kata-kata dan wacana menghilang, tidak ada memori yang tertinggal. Itulah sebabnya dikatakan bahwasanya jagat-raya ini sebenarnya hanya ilusi (pemahaman pemikiran belaka). 

Pertanyaan 137 : Prabu, bagaimana ide di dalam Hyang Brahma yang murni dapat difahami sebagai jagat-raya yang maha luas ini (wiwatrupa atau wiswatswarupa). 

Jawab : Badan halus Hyang Brahma difahami sebagai  jagat-raya yang maha luas. Cahaya tunggalnya dirasakan dan diterima sebagai ketiga loka. Seisi jagat-raya adalah kebesaran dan keagungannya. Dengan berpurushartha maka hilanglah ide pemahaman ini, inilah satu-satunya jalan untuk merealisasikan Sang Atman. 

Pertanyaan 138 : Prabu, sudilah menerangkan bagaimana dunia ini lahir dari pemahaman sang pikiran? 

Jawab : Ramji, sama halnya dengan sepuluh putra brahmana Indu yang diciptakan dari pikiran, juga sama halnya dengan kisah Raja Lawan dan Sang Sukra yang menikmati berbagai Swargaloka dengan pikirannya, maka demikian juga semesta ini hadir dikarenakan oleh pemahaman ide sang pikiran. 

Pertanyaan 139 : Prabu, bagaimana caranya Sang Sukra, putra Resi Bhirgu, menikmati kenikmatan-kenikmatan sorgawi dan mengalami dan merasakan ilusi dunia ini, padahal ia adalah seorang manusia biasa? 

Jawab : Dengarkanlah kisah sang Sukra, putra Resi Bhirgu ini. Pada suatu saat Resi Bhirgu memutuskan untuk bertapa-brata di sebuah daerah di sebuah pegunungan yang indah bernama Bukit Mandrachal. Putranya Sukra menjaga dan melayani ayahnya di bukit tersebut. Sewaktu sang Resi mencapai tahap semadi nirwikalpa, maka Sukrapun menyendiri ke suatu tempat yang tenang. Pada saat itu ia mengenakan kalungan bunga yang berasal dari pohon kalpa, dan terpusat pikirannya antara gyan dan agyana. Tiba-tiba ia menyaksikan seorang bidadari terbang di angkasa dan iapun tertarik sekali kepada bidadari ini. 

Dengan memejamkan matanya iapun berimajinasi untuk mendapatkan sang bidadari tersebut, dan sampailah ia ke swarga-loka yang dipenuhi pepohonan kalpa, di mana ia menyaksikan para dewa bercanda-ria dengan para dewi. Kemudian iapun berjalan-jalan di kawasan swarga ini dan akhirnya sampai ke balairung Dewa Indra, dan disambut dengan sangat hangat oleh para dewata, bahkan diundang agar tinggal selama beberapa hari di istana Sang Dewa Indra. Sukra menerima undangan tersebut. Sukra dengan demikian melupakan raga aslinya dan iapun terserap kedalam imajinasinya ini dan terus mengangan-angankan sang bidadari yang pernah disaksikannya tersebut. Beberapa hari berlalu dan iapun mohon pamit kepada Dewa Indra, namun para dewa mendesaknya agar sudi menyaksikan isi swarga yang lain. Sukrapun mengikuti mereka dan beranjangsana ke berbagai lokasi swarga-swarga ini, dan di suatu lokasi ia melihat sang bidadari idamannya sedang bercanda-ria dengan para teman-temannya. Begitu keduanya saling pandang maka Sukra dan sang bidadari langsung jatuh cinta satu dengan yang lainnya. Keduanya langsung dimabuk asmara dan bercumbu-rayu di bawah pohon kalpa. Selama 32 yugas mereka hidup bersama dan berkelana di berbagai swarga. Sewaktu karma mereka usai, keduanya tercampak ke bumi dan lahir kembali sesuai dengan tujuan mereka. Sukra lahir sebagai seorang brahmin yang bernama Daksharya dan Sang Bidadari lahir kembali sebagai putri seorang raja yang bernama Mahwa. Sewaktu sang putri berusia 16 tahun ia memuja ke Dewa Shiwa dan memohon agar dapat menikah kembali dengan suaminya pada penjelmaan terdahulu. Tak lama kemudian raja mengadakan sayembara bagi putrinya dengan mengundang para pangeran, raja dan para brahmana untuk saling berlaga dan memenangkan putrinya ini. Daksharya hadir di sayembara ini bersama-sama putranya. Sang putri langsung tertarik kepadanya dan mengalungkan bunga sayembara kepadanya, dengan demikian ia menjadi suami sang putri. Sang raja akhirnya memutuskan untuk bertapa di hutan, dan kerajaan diwariskan kepada Daksharya. Demikianlah Daksharya memerintah kerajaan ini sampai ia berubah tua. Pada masa tua ini ia baru sadar bahwa istri adalah sumber malapetaka baginya, timbul kemudian tendensi spiritual di dalam dirinya, namun karena sudah rapuh dimakan usia, iapun wafat tanpa dapat berupaya secara spiritual. 

Sesuai dengan karma masa-masa lalunya maka ia lahir kembali sebagai seorang pemburu burung. Demikianlah semasa hidupnya ia memburu burung, namun menjelang akhir hayatnya ia bertendensi kembali ke jalan spiritual, dan ia lahir kembali sebagai seorang raja di kerajaan dinasti Suryawanshi (sebelum akhir hayatnya ia memuja ke surya). Sesuai dengan alur karmanya, ia mempelajari berbagai weda dan yoga, dan pada kelahiran berikutnya ia hidup sebagai seorang pendeta, upayanya mempelajari Weda makin meningkat kadarnya. Pada kelahiran selanjutnya ia lahir sebagai seorang yang terpelajar (widyadhar) dan hidup selama satu siklus (kalpa). Sesudah itu ia lahir sebagai putra seorang resi dan rajin  bertapa brata di gunung Semeru. Ia kemudian lahir di rumah seorang perampok dan iapun sangat menderita karena keterikatannya dengan putranya. Pada kelahiran berikutnya ia lahir sebagai Raja Madyadesh berkuasa untuk beberapa lama. Sebelum meninggal dunia ia bertapa dan pada kelahiran berikutnya ia lahir sebagai putra seorang pertapa (tapaswi), di kehidupan ini ia mengalami kehidupan tanpa rasa dan duka sambil bertapa di tepi sungai Gangga. Demikianlah ia senantiasa berkelana sesuai dengan imajinasinya. Raganya di bukit Mandrachal telah berubah kaku, namun tidak terganggu oleh serangga ataupun oleh hewan di hutan. 

Demikianlah 360.000 tahun berlalu, dan pada suatu hari Resi Bhirgu terjaga dari semadinya. Menyaksikan raga putranya telah berubah kaku, ia memperkirakan Sukra telah meninggal dunia. Iapun marah besar dan berteriak : “ Mengapa putraku harus mati padahal ia adalah seorang pertapa yang agung, dan seharusnya ia hidup sampai dengan akhir penciptaan ini?” . “Untuk itu aku harus mengutuk itu, aku harus mengutuk dewa kematian yang tidak adil“. 

Pada saat itu hadirlah Dewa Kematian (Yama-Dewa) dihadapan Resi Bhirgu, dan berkata penuh kelembutan : “Wahai resi yang agung, mereka-mereka yang telah mengenal Sang Paramatman tidak akan gusar walapun terganggu oleh kemarahan manusia lain. Mengapa dikau begitu risau akan keterikatan ini. Dikau adalah seorang tapaswi dan telah memahami Brahm. Aku terikat oleh hukum Yang Maha Esa, janganlah gusar aku tidak akan terpengaruh oleh kutukanmu, bahkan api kiamatpun tidak akan sanggup menghancurkanku. Akupun telah mengalami berbagai kehidupan dan resi setaraf andapun tidak akan lepas dari kematianku. Hal ini adalah kuasa utama yang telah digariskan bagiku. 

“Melalui gyana (pengertian, kesadaran yang benar), maka sadarlah kita bahwa tidak ada pelaksana (karta) dan yang mengkonsumsi pelaksanaan (bhokta) ini, tidak ada sebab dan akibat, yang hadir hanyalah sang Atman. Namun sebaliknya kalau ditinjau dari sisi agyana maka akan terwujudlah semua ilusi semesta ini. Oleh sebab itu, wahai resi janganlah gusar, aku tidak membunuh putramu, ia sedang menjalani kodratnya, jadi sia-sialah kutukanmu itu “. 

“ Di tahap ini, setiap makhluk dan manusia memiliki dua raga. Satu raga mental yang halus sifatnya, dan yang satu lagi disebut raga kasar yang terdiri dari daging dan tulang. Raga yang kedua ini sifatnya dapat binasa dan berfungsi dengan bantuan sang pikiran dan tidak memiliki daya intelegensia. Seandainya sang pikiran maju ke arah kebenaran, maka iapun akan melaju ke tahap yang mulia, demikian juga sebaliknya. Semua ini akibat dari pikirannya sewaktu dikau larut di dalam semadimu, dan ia telah berhubungan dengan seorang bidadari yang bernama Aswachi, melalui raga halusnya. Melalui berbagai kelahiran dan kematiannya akhirnya ia kembali lagi memasuki bebijian gandum dan ia lahir kembali. Pada saat ini ia sedang bertapa-brata di tepi sungai Gangga. Cobalah untuk menyimak semua kejadian ini secara bijaksana. Pada saat ini putramu sedang berusaha mengendalikan indriyasnya, cobalah melihat dengan mata batinmu”. Demikan akhir wacana Dewa Yama. 

Resi Bhirgu memejamkan matanya dan terkejut melihat semua peristiwa ini. Iapun memohon maaf kepada Dewa Yama sambil berkata : “Prabu, aku kehilangan  akal sehatku karena kesalah-fahamanku”. Resi Bhirgu kemudian menyatakan : “Prabu, dikau menyatakan bahwa setiap insan memiliki dua raga yaitu yang halus dan yang kasar. Namun bagiku yang hadir hanyalah yang halus karena semua pelaksanaan ini dilaksanakan oleh sang pikiran, raga hanya mengikutinya saja “. 

Dewan Kematian menjawab : “Wahai resi dikau berkata benar, ibarat seorang pembuat gerabah menciptakan berbagai tempayan, demikian juga sang pikiran menciptakan berbagai raga. Begitu pemahaman sang pikiran begitu juga kreasinya. Bagi seseorang bijak semua pelaksanaan ini adalah pekerjaan sang pikiran semata. Sebenarnya yang eksis adalah Brahm semata. Demikian juga halnya dengan putramu, jadi bagaimana mungkin aku bersalah dalam hal ini?” 

Kemudian resi Bhirgu dan Dewa Yama terbang bersama-sama ke lokasi di mana Sukra sedang bertapa, dan mereka langsung memahami bahwa Sukra telah mencapai tahap non-ide dan pada saat itu Sukra berada di dalam semadi yang amat shanti. Dewa Kematianpun membangunkan Sukra dari semadinya. Begitu sadar Sukra langsung menghormati kedua tamunya ini dan bertanya siapakah gerangan mereka. Resi Bhirgu kemudian berkata : “Dikau adalah seorang gyani, cobalah untuk mengenali kami dan mengingat siapakah dirimu ini “. Sukrapun kembali memejamkan matanya dan tak lama kemudian membuka matanya dan berkata penuh takjub : “Jalan-jalan sang alam ini sangatlah menakjubkan”. 

“Aku sadar bahwasanya aku telah berkelana di bawah pengaruh ilusiku, dan pada saat ini telah mencapai pengetahuan dan shanti di dalam Sang Atman. Ilusi ini telah sirna dan aku tidak lagi memiliki hasrat apapun juga. Namun sesuai dengan kodrat maka kita semua harus kembali ke lokasi di mana tubuh kasarku masih terbaring di bukit Mandrachal. Walaupun aku tidak menghasratkan raga tersebut, namun hukum alam harus dijalani”. Kemudian ketiga orang suci ini kembali ke bukit Mandrachal. Sukra berkata penuh ketakjuban : “ Sewaktu raga tersebut hidup, raga tersebut aktif dalam berbagai cara, namun sekarang raga ini kaku dan kering”. Sukra berkata kepada raganya yang telah kering ini : “Sekarang dikau telah mencapai tahap dimana tidak ada pemahaman, dikau telah lepas dari berbagai penderitaan. Ide-ide palsumu telah sirna dan jalan pikiranmu terhenti. Dikau telah memasuki shanti dan bebas dari berbagai perjalanan hidup dan karma-karmamu, dan swaktu memasuki tahap keseimbangan, maka seseorang bebas dari seluruh penderitaan fisik dan mental (lahir dan batin) dan mencapai kebahagiaan Ilahi”. 

Pada saat itu Sri Rama mengajukan sebuah pertanyaan kepada Sri Vasishtha. 

Pertanyaan 140 : Prabu, seperti apakah perbedaan tingkah laku seorang gyani dan agyani? 

Jawab : Pelaksanaan lahiriah (fisikal) mereka sama saja, namun karakter  atau sifat mereka berbeda. Seorang gyani hidup tanpa keterikatan dan kasih sayang kepada unsur-unsur duniawi, dan sebaliknya adalah sifat seorang agyani. Perbedaan ini disebut wasana-matra. Selama hadir raga tersebut maka akan merasakan kesenangan dan kesusahan, namun seorang gyani menghadapi semua ini dengan kesabaran, dan kesadarannya, karena semua ini adalah hasil akibat dari karma-karmanya, namun sebaliknya seorang agyani selalu bersikap sebaliknya. Seorang agyani melepaskan badannya, namun tidak berdaya dengan aktivitas pikirannya. Sedangkan seorang gyani melakukan aktivitasnya secara alami namun tidak terikat kepada hasilnya, maupun kepada semua unsur-unsur di sekitarnya. 

Sri Vasishtha melanjutkan kisahnya : “Ramji, setelah menyaksikan tubuhnya yang rapuh tersebut Sukra memutuskan untuk meninggalkan tubuhnya tersebut, namun hal itu dicegah oleh Yama-Dewa, beliau menganjurkan kepada Sukra agar menerima tubuh tersebut, karena melalui tubuhnya itu Sukra harus menjadi gurunya para asuras, di samping itu masa kehidupannya masih teramat lama. Dewa Yama kemudian kembali ke lokanya. 

Sukra kemudian menanggalkan tubuh resinya dan memasuki tubuh lamanya. Tubuh resinya langsung berubah kaku, sedangkan tubuh lamanya hidup kembali. Resi Bhirgu melalui kesaktiannya melakukan berbagai upacara segera untuk menolong putranya, dan tidak lama kemudian Sukra bangkit dari pembaringan dan bersujud kepada ayahnya. Tubuh resinya kemudian dikremasikan sesuai dengan kelaziman yang seharusnya. Demikianlah dengan daya pencerahan spiritual maka akhirnya Sukra terpilih menjadi guru para asuras (Inilah Kehendak Yang Maha Esa yang penuh dengan misteri duniawi, namun melalui kesadaran Atmik, maka tugas sekotor apapun akan diterima oleh seorang gyani yang telah sadar sepenuh-penuhnya akan Hakikat Yang Maha Esa). 

Pertanyaan 141 : Prabu, sewaktu ide (sankalpa) Sang Sukra mengarah ke maya, maka terwujudlah harapan-harapan, namun mengapa hal tersebut tidak berlaku bagi insan lainnya? 

Jawab : Ramji, hal tersebut terjadi karena Sukra pada saat itu baru saja menyandang raganya yang pertama kali, ia bangkit dari Brahm-tattwa. Sebelumnya ia belum pernah dilahirkan dan mati berkali-kali, jadi sebenarnya beliau itu lepas dari berbagai kesalahan (Kalnka). Sesuai dengan ide di dalam jalan pikirannya yang murni demikian juga hasilnya, sebaliknya jalan pikiran seseorang yang tidak murni hasilnya tidak sesegera itu. Pada hakikatnya semua jiwa berkelana terus dari satu kelahiran ke kelahiran yang lain sampai ia mencapai Sang jati Diri (Atman)nya. 

Pertanyaan 142 : Prabu, sewaktu Sukra mengalami berbagai pemahaman seperti kehidupan dewa-dewa dan swargaloka, bagaimanakah ia merasakan dan mengalami berbagai objek, waktu dan perilakunya sebagai suatu kenyataan, pada saat-saat itu? 

Jawab : Sukra mengalami hal tersebut sesuai dengan jalan pikirannya. Ibarat telur burung merak yang isinya berwarna-warni, demikian juga warna-warni pikiran Sukra pada saat-saat tersebut, yang termanifestasi sama seperti seseorang yang berada dalam tahap sadar, alam mimpi dan alam tidur lelap. 

Pertanyaan 143 : Prabu, bila saatnya berbagai semesta dari berbagai jiwa ini bercampur satu dengan yang lainnya, dan bila saatnya unsur-unsur tersebut tidak bercampur aduk sesamanya? 

Jawab : Ramji, jalan pikiran yang tidak murni tidak bercampur satu dengan yang lainnya, sebaliknya jalan-jalan pikiran yang murni bercampur satu dengan yang lainnya. Ramji, sewaktu rasa memiliki raga ini telah hilang, dan seseorang tidak mengacuhkan lagi nama dan rupa, maka melalui pranayama (meditasi pernafasan), sang chitta akan segera mudah terstabilkan di dalam Sang Atman. Pada tahap ini, seorang peniti jalan spiritual akan memahami jalan pikirannya di dalam chitta orang lain (secara mudah), seandainya ia menghasratkannya demikian. Sebenarnya setiap jiwa mendapatkan apa saja yang dihasratkannya (secara lambat atau cepat). 

Juga jiwa-jiwa yang memuja para dewa akan mencapai tahap (alam) dewaloka; yang memuja hantu, syitan dan iblis juga akan mencapai alam-alam tersebut. Demikianlah setiap jiwa akan mencapai ishtadewata-nya, jalan yang mengarah ke Brahm juga akan dicapai oleh para pemujanya. Oleh sebab itu seyogyanya dikau mengambil dan menghasratkan jalan Sang Brahm Yang Maha Hakiki ini. 

Pertanyaan 144 : Prabu, apakah yang disebut alam kesadaran dan alam mimpi ini, dan apa saja perbedaannya? 

Jawab : Ramji, tahap (alam) di mana eksistensi berbagai objek dirasakan dan dialami untuk waktu yang lama disebut alam kesadaran; dan di mana persepsi-persepsi ini tidak bertahan lama disebut alam mimpi. Perbedaan keduanya hanya terletak pada durasi sang waktu saja, pengalaman yang dialami dan yang dirasakan di kedua tahap ini sama saja adanya. 

Pertanyaan 145 : Prabu, dikau menyebut ketiga tahap (alam) sang jiwa ini....... yaitu alam kesadaran, mimpi, dan tidur lelap. Mohon diterangkan karakteristik masing-masing? 

Jawab : Ramji, yang hadir di dalam raga dan mampu menghidupi raga ini disebut sang jiwa, disebut juga benih atau cahaya. Ia disebut juga sebagai elemenjiwa atau jiwadhatu. Sewaktu jiwadhatu ini masuk ke tahap pemahaman ide maka ia berfungsi, berbahasa, dsb. dan berbagai objek duniawipun terasakan melalui indriyas-indriyasnya. Tahap ini disebut tahap kesadaran, tahap di mana Sang Atman tidak dekat dengan sang jiwa tersebut, sebaliknya yang dekat adalah berbagai unsur-unsur duniawi ini. 

Sewaktu sang chitta diarahkan ke dalam diri sendiri, maka sadarlah sang jiwa akan ilusi di alam kesadaran ini. Alam atau tahap ini disebut alam-mimpi. Semesta ini dialami untuk waktu yang singkat saja, sesudah itu sirna kembali.  

Sushupti  adalah alam dan tahap di mana pemahaman ide, suara atau pikiran tidak hadir. Di tahap ini elemen jiwa terpusat ke dalam tahap murni, tidak ada gerak sama sekali di dalam prana yang terletak di dalam jantung, karena cairan mengisi berbagai pembuluh darah, dan oleh sebab itu prana kasar inipun terhenti, dan masuklah prana lembut secara sama rata. Sewaktu bekas-bekas ide duniawi tidak nampak lagi, maka tahap ini disebut tahap sushupti (tahap tidur lelap). Dalam tahap ini pemahaman telah terlebur ke dalam Sang Atman, ibarat rasa dingin yang hadir di dalam es, demikian juga pemahaman hadir di dalam Sang Atman. Seandainya seseorang mampu bertahan di tahap ini secara dalam, maka ia akan masuk ke tahap Turiya yaitu tahapnya gyana. Di tahap ini kesadaran akan Sang Jati Diri atau Atman akan tercapai. Ia lalu akan melaksanakan seluruh aktivitas dalam tahap kesadaran, tahap mimpi dan tahap tidur lelap seperti biasa, namun sekaligus juga jauh dari raga tersebut, tahap ini disebut Turiya. Ia kemudian disebut telah mencapai tahap jiwanmukta (yaitu moksha semasa masih memiliki raga). 

Pertanyaan 146 : Prabu, apakah perbedaan antara raga dan sang pikiran? Mohon sudi diterangkan kepadaku? 

Jawab : Ramji, pikiran adalah Sang jati Diri (Purusha) bukannya raga. 

Pertanyaan 147 : Prabu, bagaimana sang pikiran yang pemahamannya tidak murni diciptakan di dalam sang Atman yang bersifat murni, dan jauh dari benda, waktu dan tempat?  

Jawab : Ramji, walapun pertanyaan ini sangat baik, namun belum waktunya untuk dijawab, oleh sebab itu akan kujawab nanti. Pada saat ini kuajarkan kepadamu bahwa pikiran adalah unsur yang menunjang semua perbuatan raga. Setiap unsur di raga berfungsi karena digerakkan dan diarahkan oleh sang pikiran. Apapun yang dihasratkan dapat dicapai oleh sang pikiran ini. Kapila-Dewa memproduksi berbagai skripsi suci dengan kekuatan pikirannya. Ia telah menerangkan perihal mengenai dua wajah sang pikiran atau maya ini. Pertama : sewaktu pikiran diarahkan ke unsur-unsur duniawi maka semesta ini akan dialami dan dirasakan, dan yang kedua, seandainya sang pikiran ini diarahkan ke Sang Atman, maka iapun akan berubah menjadi Atman Yang Murni. Sewaktu seseorang memahami semuanya berasal dari dan adalah kesadaran, dan “aku”pun adalah kesadaran, dan tidak memahami secara duniawi akan perbedaan sang waktu, tempat dan benda, maka iapun tidak akan merasakan penderitaan raganya. Ia bebas dari wichar seperti unsur tua-muda, laki-perempuan, dsb. Barangsiapa memahami Sang Atman yang lembut sebagai Yang Maha Kuasa, Yang Tidak Terbatas dan Kesadaran Yang Non-Dual, maka ia melihat secara benar. 

Pertanyaan 148 : Prabu, bagaimanakah sang yogi purusha ini berkuasa di dalam benteng istana yang disebut raga ini dan menikmati berbagai kenikmatan?  

Jawab : Ramji, istana atau raga seorang gyani adalah raga yang indah dan cantik dan memberikan rasa kenikmatan dan kebahagiaan Ilahi. Sambungan raganya adalah ibarat batu bata istana ini, yang direkat dengan semen yang berupa darah dan dagingnya; tulang-tulang adalah kerangka bangunannya. Akash (kekosongan) adalah ruangannya dan rambut adalah tanam-tanaman, serta perut merupakan ruang tengahnya. Dada adalah balairungnya, kesembilan indriyas adalah pintu-pintu gerbangnya, melalui pintu-pintu ini maka masuk dan keluarlah cahaya dari ketiga loka. Tangan-tangan adalah alat pemberi dan pengambil sesuatu. Mulut adalah terowongannya, leher dan kepala adalah kuil-kuilnya. Kerutan wajah adalah kalungan bunga baginya dan urat nadi jalan-jalan bagi sang jiwa untuk kesana-kemari melalui bantuan pranawanya. Di ruang utama Sang Atman bersemayamlah seorang wanita (intelegensia) agung yang mengendalikan berbagai indriyas yang menyiratkan berbagai monyet-monyet yang liar. Bunga-bunga bermekaran pada saat-saat kebahagiaan. Tubuh yang ibaratnya istana ini merupakan kenikmatan yang mulia bagi seorang gyani, yang tidak terpengaruh oleh penciptaan atau kiamat. Namun bagi seorang agyani, tubuh tersebut adalah sumber dari penderitaan, karena ia merasa dirinya hancur sewaktu tubuhnya binasa. Namun seorang gyani tidak memiliki pemahaman semacam itu. 

Selama seorang gyani melaksanakan aktivitas raganya, maka ia senantiasa akan mengalami pelaksanaan raganya tersebut seperti : bau yang harum, bentuk, rasa, suara, sentuhan dsb. dan ia akan senantiasa nampak penuh kharisma karena ia bersemayam di dalam istana ini tanpa rasa takut dan khawatir; karena ia tidak memiliki keserakahan maka ia tidak terganggu oleh musuh-musuhnya yang berupa kemarahan, loba, keterikatan dan ego yang hadir di dalam kebodohan. Namun sifat-sifat kedermawanan, kesabaran, kecukupan, wairagya, rasa keseimbangan, persaudaraan dan kelembutan adalah penghuni atau teman-temannya sang gyani yang bijak ini. Kebodohan tidak dapat mencapai istana ini, sang gyani sendiri tinggal di ruang meditasinya didampingi oleh  dua wanita yang mulia, yang bernama Kebenaran dan non-dualitas, dan ia nampak sangat bercahaya, sempurna di dalam kebebasan dan berbagai pelaksanannya, dan tidak terikat oleh tindakan apapun juga. 

Pertanyaan 149 : Prabu, sudikah menasehatiku cara untuk mengendalikan pikiranku secara cepat, agar kemudian seseorang tidak lagi merasakan dan mengalami penderitaan apapun juga. 

Jawab : Ramji, akan kuajarkan sebuah metode, dengan jalan ini maka sang pikiran dapat dikendalikan secara mudah dan menjadi sangat kooperatif. Pertama-tama sang pikiran harus diperlakukan dengan disiplin yang ketat dan kendali diri, kemudian diperlakukan penuh dengan rasa hormat, ia kemudian akan sangat kooperatif. Sang pikiran harus dikendalikan sedemikian rupa agar ia tidak lari kesana-kemari demi pemuasan indriyas. Melalui pendekatan ini maka sang pikiran menjadi sangat kooperatif (lembut). Ia kemudian tidak mengarah ke unsur-unsur yang negatif dan bersikap penolong dan bersahabat. Sang jiwa kemudian merasakan kebahagiaan Ilahi yang mulia (ananda). Sang pikiran ini akan mencari pemuasan tanpa henti-hentinya, namun seandainya dilatih maka iapun mampu membedakan apa yang baik dan yang buruk. Ia kemudian bersikap sebagai seorang ayah yang protektif. 

Ramji, akan kukisahkan kisah mengenai Dam, Wyal dan Kat yang menderita lama sekali oleh karena ilusi pikiran mereka. Anda harus menjauhi sikap mereka ini, dan mengikuti sikap Bhim, Bhas dan Dridh yang bebas dari pemujaan duniawi (pemahaman jalan pikiran mereka), jauh dari rasa dualistik,  dan hidup penuh dengan kedamaian. Bersaudaralah kepada-Nya (Tat) dan berupayalah tanpa henti-hentinya, hancurkan instabilitas pikiranmu ini. 

Pertanyaan 150 : Prabu, dikau menganjurkan agar aku bersikap seperti Bhim, Bhas dan Dridh dan tidak seperti Dam, Wyal dan Kat. Sudilah mengisahkan cerita ini kepadaku demi memperkaya pengetahuanku? 

Jawaban :Ramji, pertama-tama akan kukisahkan Dam, Wyal dan Kat. Setelah dikau simak dengan baik maka dikau akan terlepas dari keragu-taguanmu dan kekhawatiranmu. 

Di alam sana (patala desh) hiduplah seorang raksasa bernama Samber yang memiliki kesaktian yang amat sangat. Melalui kesaktiannya ia mampu menciptakan sebuah kota yang amat gemerlapan di antariksa lengkap dengan berbagai fasilitasnya bahkan dengan matahari, rembulan, para raksasa dan istri-istri mereka. Tumbuh di sana pepohonan yang berbuah secantik rembulan dan para raksasa dan raksesi. Para raksasa ini mengangkat Samber sebagai raja mereka. 

Sewaktu Samber tidur atau ke luar kota maka tentara para dewa akan menyerang dan merusak kota ini. Samber kemudian menciptakan seorang jenderal (panglima perang) untuk mempertahankan kota dan warganya ini, namun panglima tersebut berhasil dibunuh oleh para dewa. Hal ini membuat Samber sangat marah dan iapun meyerang Amarpuri, kotanya para dewata. Para dewa yang ketakutan lari tercerai berai semuanya dari kota ini. Ia kemudian membakar kota yang kosong ditinggalkan oleh para dewata ini. Samber kemudian menciptakan tiga orang raksasa yang berbadan besar dan diangkat sebagai panglima-panglima perangnya demi menumpas para dewa. Nama para panglima ini adalah Wyal, Dam dan Kat. Dengan bersenjatakan senjata-senjata yang dashyat maka para raksasa ini bertindak secara semena-mena dan sesuka hati mereka. Mereka tidak memiliki dharma karena memang tidak menyandang wasanas dari kelahiran sebelumnya. Juga tidak mereka miliki kesadaran dan ego karena ibaratnya mereka ini hanyalah alat-alat ciptaan (mesin) yang diciptakan untuk merusak, ibarat robot yang tidak memiliki perasaan sama sekali. Sewaktu para dewa menyadari hal ini merekapun berusaha menumpas ketiga raksasa ini, namun sebaliknya malahan para dewa yang kalah total. Tentu saja hal ini membuat Samber makin senang dan sebaliknya para dewata sangat menderita. Dewa Brahma datang menuntun para dewata ini. Bersabdalah Hyang Brahma : “Tidak mudah menumpas ketiga raksasa tersebut karena mereka telah stabil di dalam sankalpa. Samber dan para raksasa ini tidak memiliki sankalpa pribadi mereka, jadi tidak dapat ditumpas sama sekali. Satu-satunya cara adalah dengan menimbulkan ego di dalam diri mereka, baru mereka ini dapat dibunuh, akan kuajarkan jalan keluarnya. Sewaktu melawan ketiga raksasa ini berpencarlah ke sana-kemari, ke kanan, ke kiri, ke depan dan ke belakang. Dengan demikian ego akan tumbuh di dalam diri mereka. Dan ketiga raksasa ini akan menganggap diri mereka sebagai individu-individu yang berstatus  Dam, Wyal dan kat. Sewaktu ego mereka meningkat, maka akan mudah untuk menumpas mereka. Namun sebaliknya seseorang yang tidak memiliki wasana, yang bijak dan yang bersikap sama rata kepada semua yang baik dan buruk, tidak dapat ditumpas”. 

Para dewata kemudian melakukan instruksi dan nasehat Hyang Brahma dan tercerai-berailah ketiga raksasa tersebut dan mereka lalu  berperang dengan para dewa di lokasi yang berbeda-beda. Hal ini menimbulkan kekhawatiran, ego (rasa harga diri), rasa lapar, dsb. pada masing-masing raksasa ini yang telah jauh satu dari yang lainnya sehingga timbul pribadi mereka masing-masing. Ketiga raksasa ini kemudian kalah dan mereka melarikan diri ke Yama-loka, di loka ini mereka diterima sebagai abdi. 

Pada suatu hari Yama-Dewa berkunjung ke lokasi tersebut. Para abdi seperti biasanya menghaturkan hormat mereka ke Yama-Dewa, namun ketiga raksasa ini karena tidak mengenal Yamadewa maka mereka tidak menghaturkan salam hormat. Akibatnya mereka dilempar ke api neraka dan musnahlah mereka. Sesuai dengan tendensi masa akhir mereka para raksasa ini kemudian lahir sebagai manusia di rumah seorang pemburu. Di tempat ini mereka hidup dari berburu burung dan ikan. Mereka kemudian menjalani berbagai inkarnasi seperti hidup sebagai anjing hutan, burung dara, nyamuk, serangga dan lain sebagainya. Demikianlah jalan hidup mereka dari satu kelahiran ke kelahiran yang berikutnya.  Kedamaian senantiasa jauh dari mereka. 

Pertanyaan 151 : Prabu, sewaktu Yang Nyata (Sat) tidak binasa dan yang tidak nyata (asat) tidak dapat ditunjang, lalu bagaimana ketiga raksasa tersebut dapat berubah nyata padahal mereka itu hasil ciptaan ilusi (sankalpa) Sang Samber dan (seharusnya) tidak nyata? 

Jawab : Ramji, benda atau hal apapun yang tidak nyata tidak dapat difahami. Mereka-mereka bodoh memperkirakan kepalsuan sebagai kenyataan, jadi tidak pernah melihat maupun menyaksikan (memahami) kenyataan tersebut. Akan kujelaskan bentuk kepalsuan ini. Coba menyimaknya dengan baik. Seperti halnya Dam, Wyal dan Kat yang sifatnya tidak nyata, demikian juga halnya dengan diriku, dirimu, para dewa dan seisi  semesta ini bersifat tidak nyata dan ilusif, namun dirasakan dan diterima sebagai suatu kenyataan. Jadi hentikanlah pemahaman ide-ide palsumu dan stabilkan dirimu ke dalam Sang Atman Yang Nyata. 

Pertanyaan 152 : Prabu, mohon diceritakan bagaimana dan bila Dam, Wyal dan Kat bebas dari penderitaan mereka? 

Jawab : Ramji, sewaktu mereka bertiga dibakar oleh Yama Dewa di api neraka, maka para abdi lainnya memohon agar Dewa Yama dapat menyelamatkan kehidupan ketiga raksasa ini pada kehidupan-kehidupan selanjutnya. Dewa Yama berkata hal tersebut dimungkinkan sewaktu mereka bertiga terpisah satu dengan yang lainnya, dengan demikian ilusi mereka akan hilang. 

Pertanyaan 153 : Prabu, bagaimana, bila dan dari siapakah ketiga raksasa ini mendapatkan penjelasan akan masa kehidupan mereka yang lalu?  

Jawab : Ada sebuah danau kecil di daerah Kashmir yang terletak di dekat danau lotus di daerah tersebut. Kemudian ketiga raksasa tersebut lahir sebagai ikan, di danau kecil ini. Mereka kemudian lahir lagi sebagai kawanan burung bangau. Suatu hari seorang resi suci memberkahi mereka, ketiga-tiganya lalu terpisah satu dengan yang lainnya dan meningkat statusnya. Pada suatu saat di sebuah kota yang disebut Pradyumna yang terletak di sebuah bukit di daerah Kashmir ini, mereka bertiga lahir sebagai burung beo, nyamuk dan burung kakak tua. Seorang abdi raja secara mistik mengenali mereka dan mengisahkan kisah mereka dalam bentuk-bentuk syair. Ketiga raksasa ini sering mendengarkan kisah mereka sendiri dan lambat laun mereka teringat akan masa-masa lalu mereka, suatu saat mereka terberkahi dan mencapai tahap yang agung dan mulia. 

Ramji, demikianlah kisah ini disampaikan kepadamu. Ramji, iblis dapat berubah menjadi dewa melalui upaya-upaya kebajikan yang sesuai dengan ajaran skripsi-skripsi suci. Melalui upaya-upayanya yang keras, Wishwamitra maju dari tahap raga rishi ke tahap Brahm-Resi. Jadi senantiasalah berupaya dengan purusharthamu, agar kebahagiaan dapat dikau raih. Hancurkan ego yang merupakan sumber malapetaka di dunia ini melalui purushartamu. 

Pertanyaan 154 : Prabu, seperti apakah bentuk ego dan bagaimana caranya agar dia dapat dihentikan? Bagaimanakah ia menghilang dari raga ini dan apakah akibatnya? 

Jawab : Ramji, ego terdiri dari tiga jenis. Ego yang harus dilepaskan adalah ego yang berhubungan dengan badan. Ego kedua dan ketiga layak dipertahankan. Melalui jenis ego yang kedua maka akan kita sadari bahwasanya, “Aku adalah seluruh jagat-raya ini”., “Aku adalah Paramatma yang non-dual dan tidak ada sesuatu apapun yang jauh dariku”. Ego ini mewakili ego Yang Maha Agung dan mengingatkan kita kepada-Nya,; para jiwanmuktas yakin sekali akan hal ini. Ego jenis ketiga menghantarkan kita ke arah kesadaran bahwasanya : “Aku lembut secara hakiki dan jauh dari semuanya”. Para jiwanmuktas meyakini hal tersebut dan jalan ini juga mengarah kepada-Nya (Kebebasan). 

Namun semua ego di atas pada hakikatnya adalah ilusi belaka. Hanya Kesadaran Murni sajalah yang disebut Hakiki. 

Ego jenis pertama mengikat manusia dengan berbagai hal duniawi. Ego ini menghadirkan perasaan individualitas seperti : “Aku adalah orang yang besar “, dan lain sebagainya. Para kaum suci menjauhi ego semacam ini. 

Pertanyaan 155 : Prabu, apakah tahap yang dicapai oleh sang jiwa sewaktu ia menghentikan ego yang tidak diperlukan ini dan seperti apakah kwalitas yang didapatkannya? 

Jawab : Ramji, sewaktu sang jiwa menghentikan ego badannya (ke-aku-annya), maka ia akan mencapai tahap agung dan mulia. Ia akan mencapai ananda, raganya berubah menjadi suci dan shanti dalam setiap pelaksanaannya. Ramji, dikau harus yakin akan “aku tidak eksis dan demikian juga dengan yang lain-lainnya ini bukanlah milikku”. Atau “aku adalah segala-galanya, tidak apapun juga selain aku”. Sewaktu dikau mencapai tahap ini, dikau akan menyatu dengan Sang Atman. 

Pertanyaan 156 : Prabu, sewaktu mengisahkan kisah Dam, Wyal dan Kat dikau menasehatkan agar tidak mengikuti mereka, namun sebaliknya harus menjadikan Bhim, Bhas dan Dridh sebagai teladan. Mohon beritahukan kami bagaimana upaya ketiga insan ini sehingga mencapai Kebahagiaan Ilahi?  

Jawab : Ramji, akan kukisahkan cerita mengenai Bhim, Bhas dan Dridh. Simaklah dengan baik agar dikau mencapai tahap yang mulia. Asura Samber sangat menderita dengan kekalahan ketiga asuras ciptaannya. Ia sadar sekali mengapa para ciptaannya ini kalah, maka sekali lagi ia menciptakan satria-satria sakti mandraguna yang bersifat Atmagyani, yang tidak akan terpengaruh oleh ego dan akan mampu menghancurkan para dewa. Dengan daya saktinya ia menciptakan tiga orang panglima perang yang bernama Bhim, Bhas dan Dridh.Ketiga panglima ini amat terpelajar, mampu mengetahui apa saja dan pada saat yang sama memiliki sifat Atmik yang murni. Demikian besar keyakinan mereka pada Sang Atman sehingga bagi mereka dunia tidak berarti sama sekali. Jalan pikiran mereka lembut dan penuh dengan kesopanan dan kesantunan. Mereka berperang secara gagah berani melawan para dewa. Sewaktu terluka oleh senjata para dewa, mereka acuh saja, karena merasa diri mereka adalah Atman, dan para dewa akhirnya terpaksa kalah. 

Para dewa kemudian menghadap Hyang Wishnu memohon pertolongan. Oleh Beliau dianjurkan agar para dewa menahan diri dulu, karena Beliau sendirilah yang akan menghadapi situasi ini. Demikianlah Hyang Wishnu dengan Sudharsana cakranya segera menumpas habis Samber dan bala tentaranya. Beliau lalu memasuki raga halus Bhim, Bhas dan Dridh dan mengarahkan chittakala mereka ke tahap diam. Segera mereka mencapai tahap widehamukta melalui karunia Hyang Wishnu, karena pada hakikatnya mereka tidak memiliki ego dan hasrat-hasrat pribadi. Kisah ini diceritakan kepadaku oleh Hyang Brahma. Hanya seseorang yang mampu mengalahkan hasrat-hasratnya yang dialami, yang disebut insan yang agung. 

Pertanyaan 157 : Prabu, apakah pikiran itu? mohon terangkan secara terperinci. 

Jawab : Sewaktu chitta yang hadir di dalam Kesadaran Murni berubah menjadi tidak murni dan jauh dari jati dirinya sendiri, karena berhubungan dengan berbagai faham-faham ide dan ilusi (sankalpa-wikalpa), maka ia disebut sang pikiran. Karena tidak murni maka ia mendapatkan ilusi duniawi ini. Sewaktu faham ide chitta diarahkan keluar dan dimanifestasikan dengan dunia ini, maka ia disebut sang jiwa. 

Ramji, seandainya raga ini dibedah maka yang ditemukan hanyalah tulang, daging dan darah. Jadi dengan demikian jelaslah bahwa sang pikiran adalah Sang Jiwa itu Sensiri. 

Pertanyaan 158 : Prabu, bagaimanakah alam semesta diciptakan di dalam Sang Atman (kesadaran) padahal jagat-raya ini jauh dari Sang Atman? 

Jawab : Ibarat ombak yang tidak terlihat di permukaan sebuah danau dan baru berwujud sewaktu angin bertiup, demikianlah jagat ini eksis di dalam  Sang Atman. Sang Atman tidak terlihat karena tidak berwujud dan serba hadir. Melalui sankalpa (faham-faham ide) maka Sang Atman terasakan ibarat rasa panas di dalam api dan rasa dingin di dalam salju. 

Pertanyaan 159 : Prabu, bagaimanakah kebodohan yang tidak berwujud (dunia yang aneh) ini hadir di dalam Brahm yang adalah Zat yang murni, non-dualistik dan Satchit-ananda (eksistensi-kesadaran kebahagiaan Ilahi). 

Jawab :  Ramji, seluruh jagat-raya ini adalah aspek Sang Brahm. Brahm-satta adalah daya kekuatan di dalam jagat-raya ini dan daya inilah yang bermanifestasi sebagai jagat itu sendiri. 

Pertanyaan 160 : Prabu, kata-katamu terucap dengan sangat lugu dan mudah, namun sangat sulit dicerna dan teramat dalam maknanya, dan aku sulit mamahami arti sesungguhnya. Swarupa yang bersifat non-dual (jauh dari pikiran dan indriyas) dan jagat-raya ini jauh sekali jaraknya satu dengan yang lain. Sebuah objek adalah aspek dari yang menciptakannya, demikian juga dengan sebab dan akibat. Jagat-raya yang berasal dari Sang Atman ini seharusnya murni, namun tidak begitu. Sedangkan Sang Atman bersifat murni dan shanti, sebaliknya jagat-raya ini penuh dengan penderitaan. Mohon diterangkan bagaimana jagat-raya yang ternoda ini dapat menjadi produk Sang Atman yang suci dan murni ini? 

Jawab : Ramji, kekotoran yang terlihat ini sebenarnya tidak kotor sama sekali. Ibarat gelombang lautan yang sama dengan lautannya, demikian juga produk Sang Atman ini, maka tidak ada yang ternoda baik itu jagat-raya maupun berbagai isinya. 

Pertanyaan 161 : Prabu, Brahm bebas dari berbagai penderitaan namun dunia ini penuh dengan kesedihan, bagaimanakah menjelaskan hal tersebut?. Bagiku, penjelasan ini terkesan sebagai kekosongan. Mohon diterangkan secara lebih terperinci. 

Jawab : Mendengar hal tersebut dari Sri Rama, guru Vasishtha memahami bahwasanya budhi (intelegensia) Sri Rama telah murni sebagian namun belum murni secara total, karena masih diliputi kesadaran duniawi dan belum faham secara total akan Kebenaran Hakiki. Oleh sebab itu Sri Vasishtha berfikir Sri Rama harus diberikan pelajaran secukupnya saja, agar ia mudah berasimilasi dan menyerap ananda (Kebahagiaan Ilahi). Merasa Sri Rama belum siap sepenuhnya untuk ajaran ini maka Sri Vasishtha memutuskan untuk menunda dahulu ajaran akan Brahm kepadanya, karena akan sia-sia saja seluruh ajaran tersebut selama seseorang masih diliputi oleh kesadaran duniawi ini. Sri Vasishtha sadar ia seharusnya mengajarkan pengendalian diri dan indriyas (shama dan dama) kepada Sri Rama agar jalan pikirannya berubah murni, baru diajarkan pengetahuan Brahm, atau sama saja dengan mendorongnya masuk ke neraka karena Sang Sishya belum siap benar. Lalu iapun menjawab. 

Ramji, akan kuterangkan pada masa (waktu) yang akan datang, mengenai ternoda atau tidaknya Brahm oleh berbagai pemahaman ide duniawi, atau mungkin dikau akan memahaminya sendiri tidak lama lagi. Brahm (Brahm-satta) ini mempunyai ciri Maha Hadir, Maha Kuasa dan Maha Esa. Setiap unsur diciptakan di dalam Brahm, melalui Sang Maya. Sang Maya ini melalui daya kesaktiannya mampu menghasilkan pertambangan dari perbukitan, mampu menciptakan bebatuan dari pepohonan, dan bumi dari angkasa, dan angkasa dari bumi dan lain sebagainya. Ramji, jagat-raya ini adalah nyata (Sat) dan juga tidak nyata (asat), karena di sana-sini ia terkesan termanifestasi, di sana-sini terkesan laten, dan di sana-sini terkesan sebagai sesuatu yang berganda-ganda manifestasinya. Seandainya dikau melihat dari sisi gyana maka semua penderitaan di jagat ini tidak akan terlihat. 

Pertanyaan 162 : Prabu, bagaimanakah para jiwa ini diciptakan dari Brahm dan berapakah jumlahnya? Mohon dijelaskan kepadaku. 

Jawab : Ramji, jumlah jiwa yang diciptakan ini tidak terhitung jumlahnya. Sewaktu Bram (Kesadaran Murni) bermanifestasi dengan ciptaan-ciptaannya, maka terciptalah alam pikiran dan alam pikiran ini kemudian menciptakan jagat-raya dan isinya. Semua ini merupakan keagungan dan kebesaran-Nya (semesta), tidak ada unsur lain selain Brahm itu sendiri. 

Pertanyaan 163 : Prabu, bagaimanakah tempat yang bersifat individual diciptakan oleh Sang Atman yang adalah Tak Terbatas dan Tak Berbentuk? Bagaimana bagian-bagain diciptakan di dalam Sesuatu Yang Tidak Dapat Dibagi-bagi? 

Jawab : Ramji, semua unsur tersebut sebenarnya tidak pernah diciptakan karena sifatnya hanya imajinatif saja. Imajinasi adalah salah satu aspek Sang Atman. Pikiran, chitta, gyana wacana dan tujuan adalah berbagai aspek-aspek Sang Brahm Melalui pemikiran murni (wichar) dikau akan menyaksikan cahaya Sang Atman. Janganlah meragukan kata-kataku ini. 

Pertanyaan 164 : Mohon maaf, pertanyaan ini tidak jelas. 

Jawab : Ramji, apapun yang telah kuajarkan kepadamu sejauh ini adalah kebenaran, seharusnya tidak boleh ada keragu-raguan akan hal tersebut. Dikau akan yakin akan hal tersebut setelah dikau teguh berasimilasi dengan pikiranmu. Sewaktu dikau berada jauh di atas kata-kata dan bersatu dengan makna yang benar (hakiki). Ramji, awidya itu sedemikian kuat dayanya, sehingga banyak manusia cerdas binasa olehnya, namun barangsiapa mampu memahami awidya dengan tepat adalah seorang manusia unggul dan seorang gyani. Seseorang tidak perlu belajar apapun lagi setelah memahami awidya, seharusnya seseorang berjuang untuk status tersebut. 

Pertanyaan 165 : Prabu, apa saja fungsi awidya (kebodohan) ini? 

Jawab : Ramji, manusia-manusia yang memahami dunia ini sebagai hal yang benar menderita sekali. Namun yang sebaliknya tidak akan terseret oleh penderitaan duniawi. Awidya hanya dapat dihancurkan oleh Atmagyan saja. 

Pertanyaan 166 : Prabu, bagaimana caranya agar seseorang dapat bebas dari cengkeraman awidya?  

Jawab : Ramji, tanpa upaya-upaya spiritual dan Atmagyan adalah tidak mungkin lepas dari awidya ini. Seseorang yang tidak melakukan upaya-upaya spiritual ini (Atma-abhyasa) akan terserap ke keterikatan dan lain sebagainya. Ia berkelana terus di dalam siklus hidup dan mati. 

Pertanyaan 167 : Prabu, karena semua jiwa adalah aspek-aspek Sang Atman, lalu bagaimana mereka mendapatkan raga yang terdiri dari daging dan tulang-belulang ini? 

Jawab : Ramji, telah beberapa kali kuulang-ulang bahwasanya semua nama dan rupa baik yang terlihat maupun yang gaib adalah ilusi belaka. Bahkan Hyang Brahma yang lahir dari bunga teratai itu adalah ilusif, semua pemahaman yang salah ini adalah akibat ulah Sang Maya. 

Pertanyaan 168 : Prabu, bagaimana jiwa utama, setelah bermanifestasi sebagai sang pikiran lalu mencapai tahap Brahm dan kemudian hadir sebagai Hyang Brahma? Mohon sudi dijelaskan. 

Jawab : Ramji, dengarkanlah bagaimana Hyang Brahma mendapatkan raganya, Sang Atman demi permainan (Lila)nya menciptakan berbagai faham-faham ide-Nya dalam bentuk ilusi, spasi, waktu, berbagai tindakan dan perilaku, dsb. Begitupun berbagai nama dan rupa lahir dari ilusi ini. Ide utama yang hadir dari Atma-tattwa bermanifestasi sebagai potensi chitta, dari potensi hadirlah berbagai manifestasi kosmos ini, termasuk suara, penciuman, sentuhan, akasa, api, air, dan anginpun hadir melalui chitta ini. Kemudian menyusul ego, yang menghadirkan jiwa dan selanjutnya badan kasar ini, semua ini melalui keyakinan yang kuat.  

Kemudian, sesuai dengan tendensi yang tegar di dalam pemahamannya, Hyang Brahma tercipta secara kasar (duniawi) dan darinya hadir jagat-raya dan isinya ini yang dapat dirasakan dan dialami. Dengan kata lain raga Hyang Brahma hadir dari pemahaman pikiran dan bersifat pengetahuan dan pencerahan. Hyang Brahma ini hadir di maha-akash (Kekosongan yang tidak terbatas) atau di maha-agni (api abadi) atau di nabhi yang berbentuk teratainya Hyang Wishnu. Hyang Brahma kemudian dapat bersemayam di manapun  ia menghendaki, sesuai dengan lila-Nya. 

Hyang Brahma yang lahir dari unsur-unsur pemula, sewaktu menyadari Kehadiran raganya, lalu  bernafas masuk (prana) dan bernafas keluar (apana) melalui raganya. Kelima unsur maha panca butha diciptakan melalui prana. Raga memiliki daging, darah, tulang dan indriyas. Kesedihan dan kebahagiaannya dirasakan dan dialami sesuai dengan pemahaman ide sang chitta. Ibarat seekor singa dan seekor gajah, demikian juga jiwa dan ego hidup di raga ini. Setelah memanifestasikan dirinya, Hyang Brahma kemudian melahirkan berbagai Weda-Weda dan skripsi-skripsi suci. Dengan demikian melalui kitab-kitab suci ini dilahirkan berbagai peraturan atau hukum-hukum alam, seperti kelakuan, eksistensi, pengurangan, kematian, dan berbagai fungsi-fungsi alam  demi lila (permainan Ilahi) ini. Kemudian Hyang Brahma menciptakan empat tujuan duniawi yaitu : dharma, artha, kama dan moksha, berbagai ragam prosedur dan hal-hal yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan. Demikian juga diciptakan berbagai pemahaman akan kebajikan dan dosa-dosa. 

Wahai Ramji, demikianlah semesta ini diciptakan melalui pemahaman ide (ilusi), dan juga ditunjang oleh ilusi (sankalpa) dan di dalamnya dilibatkan alam, waktu, aktivitas, benda, dharma dan karma. Ciptaan ini disebut tidak pernah diciptakan (karena terlihat dari ilusi) namun pada saat yang sama eksis (melalui sang Maya). Dengan kata lain Paramatma hadir di mana-mana atau tidak ada yang lain selain Paramatma. 

Pertanyaan 169 : Prabu, di dalam ciptaan rajasik dan satvik dari semesta ini, dikau menyebut sumber-sumber ciptaan yang berbeda-beda dari Sang Brahma, seperti teratai, akash, telur dan air. Aku meragukannya. Mohon dijelaskan lebih lanjut kepadaku. 

Jawab : Ramji, di masa-masa yang silam pernah hadir berbagai Brahma, Wishnu dan Rudra yang beraktivitas di berbagai kosmos dan akan selalu demikian di masa-masa yang akan datang sesuai dengan sankalpa mereka. Penciptaan Hyang Brahma yang dikau tanyakan, berjumlah bermacam-ragam. Alam semesta diciptakan oleh Sada Shiwa atau Brahma atau Wishnu, atau oleh para kaum suci dari waktu ke waktu. Penciptaan-penciptaan ini tidak terhitung jumlahnya. Kadang-kadang hanya pepohonan atau pegunungan yang diciptakan dan kadang-kadang para jiwa yang bergerak kesana-kemari. Demikianlah berbagai ciptaan lahir dan kembali ke Kesadaran Murni (Brahma-tattwa) ini. 

Pertanyaan 170 : Prabu, apakah yang terjadi kepada seseorang yang chittanya terserap ke berbagai kenikmatan dan pemuasan diri? 

Jawab : Ramji, para jiwa (orang-orang) yang terserap ke berbagai kenikmatan dan pemuasan diri terlibat dengan berbagai ragam aktivitas yaitu yang bersifat satvik, rajasik dan tamasik. Orang-orang yang tidak bijak ini tidak akan mencapai kebahagiaan Ilahi. Hanya setelah mereka jauh dari kenikmatan-kenikmatan dan pemuasan diri, maka mereka akan dapat mencapai Atmananda ini. 

Pertanyaan 171 : Prabu, mohon sudi diterangkan perbedaan diantara seorang gyani dan agyani? 

Jawab : Ramji, seorang gyani adalah ibarat benih (biji) yang telah dipanggang di mana ego-raganya tidak akan tumbuh lagi, dan iapun tidak akan lahir kembali. Sedangkan seorang agyani masih terikat dengan berbagai kenikmatan dan ketenaran duniawi, menderita berbagai penyakit mental dan fisik dan berkelana terus dari satu kelahiran ke kelahiran yang lainnya. 

Pertanyaan 172 : Prabu, apakah sankalpa (pemahaman ide itu? 

Jawab : Ramji, sewaktu sebuah modifikasi timbul, di dalam Sang Atman yang shanti ini, maka berbagai nama dan rupapun terasa dan dialami. Modifikasi ini disebut sankalpa (pemahaman ide-ide duniawi). Semua ini terjadi sewaktu seseorang melupakan Sang Atman. Sewaktu duniawi ini sirna dari jalan pikiran maka sankalpa inipun hilang bersamanya. 

Pertanyaan 173 : Prabu, bagaimana caranya menghentikan wasana? 

Jawab : Caranya adalah dengan menumbuhkan kwalitas-kwalitas di bawah ini di dalam dirimu sendiri :

1.             Maitri (persahabatan)......Bersikap ramah dan penuh cinta kasih kepada semuanya, dan memandang mereka secara sama, disebut maitri.

2.             Karuna (kasih-sayang)..... menyaksikan kehadiran Brahm di dalam semuanya, tidak bersikap benci dan menghina (merendahkan) orang lain, memberikan pertolongan dan bantuan (daya) kepada mereka-mereka yang menderita disebut Karuna.

3.             Mudita......rasa bahagia sewaktu melihat dan menemui seorang yang suci disebut mudita.

4.             Upeksha.......merasa prihatin untuk seorang penyandang dosa dan tidak mengutuk atau menyalahkannya disebut upeksha

Dengan memperkaya diri dengan unsur-unsur kebajikan di atas tanpa merasa sombong dan tetap beraktivitas di dunia ini tanpa keterikatan duniawi akan menghilangkan berbagai wasanas ini. 

Pertanyaan 174 : Prabu, bagaimanakah Hyang Brahma mencipta kembali semesta ini, setelah Beliau mencapai tahap Brahm? 

Jawab : Sewaktu Hyang Brahma dilahirkan, ia mengucapkan  “Brahm, Brahm”, itulah sebabnya ia disebut Brahma. Di dalam dirinya kemudian timbul sankalpa yang melahirkan Sang Maya, dan di dalam Sang Maya hadir berbagai jiwa dan benda, baik yang gaib maupun yang non-gaib, terang dan gelap, dan lain sebagainya, seluruh semesta ini beserta isinya. 

Pertanyaan 175 : Prabu, apakah Sang Maya (ilusi kosmis) ini? 

Jawab : Sesuatu bermanifestasi, namun tidak nyata, hal tersebut disebut maya. 

Pertanyaan 176 : Prabu, bagaimanakah seseorang yang mengalami kelahiran terakhirnya mendapatkan moksha? 

Jawab : Mereka-mereka yang mendapatkan gyana di masa kelahiran pertama disebut satvik. Mereka yang mendapatkan moksha setelah lahir berkali-kali disebut rajasik-satvik. Kalau ada manusia yang cacat seperti buta, bisu, dsb. berasosiasi dengan para kaum suci, maka mereka disebut ke akhir kelahiran mereka. Mereka-mereka ini mencapai moksha melalui asosiasi dengan orang-orang suci, mereka tergolong rajasik-satvik. Mereka yang senantiasa mengikuti pedoman para guru resi yang suci dan skripsi-skripsi suci lambat laun akan mendapatkan mokshanya.

\

 

Kembali ke halaman daftar isi Vasishta Yoga            Kembali ke halaman daftar isi Sastra