UTPATTI PRAKARANA

Vinneka Tunggal Eka                            Yang Berhubungan dengan Ciptaan

 

 

Pertanyaan 55 : Prabu, apakah arti dari kata-kata seperti : “aku, dikau, dia dsb”. dan dari manakah kata-kata ini diciptakan? 

Jawab : Ramji, semua kata-kata tersebut adalah ibarat kata-kata yang terdapat di dalam mimpi dan tidak bermakna, oleh karena itu dikatakan semua kata-kata tersebut berasal dari daya kekuatan pemahaman, pada hakikatnya semua ini berasal dari Sang Atman. Berbagai ide yang timbul dari kata-kata ini seperti : “seperti apakah alam-semesta ini dan dari manakah asal-usulnya?”; semua kata-kata tersebut hanyalah bersifat ekspresi, pada hakikatnya alam-semesta ini adalah Sang Atman itu sendiri. 

Pertanyaan 56 : Prabu, bagaimana penciptaan dan pralaya (kiamat) alam-semesta yang maha luas ini dapat terlaksana? 

Jawab : Ramji, apapun yang diciptakan itu prosesnya berciri ekspansi dan kontraksi (hukum alam), tinggi-rendah, keterikatan-kebebasan, dst. Namun seandainya sesuatu tidak diciptakan maka proses tersebut tidak dapat dijabarkan. Semua benda....... baik yang bergerak dan yang tidak bergerak adalah semacam bentuk akash (ether) atau disebut tidak berwujud (mithiya), benda zat ini dapat dirasakan kehadirannya namun tidak terkesan eksis. Seseorang yang terikat dengan objek-objek ini disebut terbelenggu dan yang sebaliknya disebut bebas. 

Pertanyaan 57 : Prabu, bagaimana seseorang dapat menghasilkan kebebasan dari berbagai ikatan ini dan mendapatkan kebebasan? 

Jawab : Ramji, seseorang harus berupaya sekuat tenaga dengan iman yang teguh, berpendapat bahwasanya alam-semesta yang bersifat nama dan rupa yang ilusif adalah seluruhnya aspek-aspek Sang Atman (atmaswarup) dan tidak ada lain-lainnya yang telah diciptakan. 

Pertanyaan 58 : Prabu, seandainya tidak ada sesuatu yang telah diciptakan, maka lalu bagaimanakah objek-objek ini dapat dirasakan? 

Jawab : Seperti tahap tidur lelap (sushupti) yang ditransformasikan ke alam mimpi dan dua alam lainnya, demikian juga halnya dengan penciptaan dan pralayanya jagat-raya ini. Apapun yang tak terhancurkan setelah pralaya disebut Kebenaran Hakiki, Sat, Brahm, Atma dan Satchitananda, dan kesemuanya ini adalah sebutan untuk  Sang Jati Diri yang hadir di dalam semuanya. Kesadaran (modifikasi) yang terlibat di dalamnya disebut sang jiwa. 

Pertanyaan 59 : Prabu, apakah sang pikiran itu dan apa saja fungsi-fungsinya? 

Jawab : Ramji, modifikasi yang timbul di dalam kesadaran (Brahm) hadir sebagai sang pikiran, sifatnya adalah berbagai pemahaman ide dan beragam variasi-variasinya (sankalpa-wikalpa). Dari pikiran ini timbul semua pemahaman seperti berbagai tempat, sungai, gunung, yang bergerak dan yang tidak bergerak, dsb, dsb. 

Pertanyaan 60 : Prabu, bagaimana jagat-raya ini dapat timbul dari berbagai modifikasi (sphurna) ini? 

Jawab : Ramji, ibarat sebuah mimpi timbul dari tahap tidur lelap, demikian juga jagat-raya ini lahir dari modifikasi (potensi penciptaan) ini. Berbagai nama dan rupa kemudian dihubungkan dengannya, contoh : awidya (kebodohan, kekurang-pengetahuan), jagat-raya, maya, sankalpa dan pandangan (drishya), dsb. Sebenarnya tidak ada sesuatu apapun selain Brahm. Sama ibarat perhiasan yang pada dasarnya adalah emas, dan ombak yang sebenarnya adalah air, jadi tidak ada perbedaan antara jagat-raya dan Brahm. Perbedaan yang nampak dan dirasakan adalah ibarat fatamorgana di padang pasir, jagat ini dapat dirasakan karena potensi Sang Atman, dengan kata lain Sang Atman bermanifestasi sebagai alam-semesta. Setiap unsur atau berbagai ciptaan sebenarnya tidak eksis, semuanya adalah Brahm yang bermanifestasi. 

Pertanyaan 61 : Prabu, seandainya semua ini adalah Brahm, lalu apakah itu kelahiran, kematian, keterikatan dan pembebasan? 

Jawab : Ramji, semua unsur (ide) seperti kelahiran, kematian, keterikatan dan pembebasan adalah kekosongan belaka, dan terasakan karena kebodohan sang jiwa. Sebenarnya alam-semesta ini tidak diciptakan namun dirasakan sesuai dengan ide-ide (sankalpa) seseorang. Semua ini karena pemahaman yang amat kurang akan status sejati diri kita sendiri. 

Pertanyaan 62 : Prabu, bagaimana caranya agar dapat lepas dari berbagai pemahaman alam-semesta ini? 

Jawab : Ramji, tidak mudah untuk keluar dan lepas dari berbagai pemahaman ini. Ilusi akan alam-semesta ini tidak akan terlepas kecuali melalui usaha-usaha spiritual yang berkesinambungan. Seseorang yang ingin lepas dari ilusi ini melalui daya intelegensia (budhi), tirta-yatra, tapa-brata, agni-hotra, penyiksaan diri dsb. disebut tidak bijak. Ia hanya merasakan alam-semesta ini dengan lima unsur maha paca butha yang berhubungan dengan waktu dan pelaksanaan. 

Pertanyaan 63 : Prabu, bagaimana caranya menghapus ilusi ini? 

Jawab : Ramji, jalannya adalah melalui Atmagyan. 

Pertanyaan 64 : Prabu, apa jadinya kepada seseorang yang telah menanggalkan duniawi ini, bertapa-brata secara menyiksa diri secara keras dan kemudian masuk ke semadi? 

Jawab : Ramji, seseorang yang bodoh mungkin akan berbuat begitu, namun sekembalinya dari semadi, maka ia akan merasakan semua ilusi duniawi ini. Semadi semacam ini sifatnya tidak efektif dan ibaratnya adalah tahap tidur lelap. Dan ia akan terbangun dan terserap kembali ke alam sadar. Ibarat rasa lapar yang tidak akan hilang dengan meminum air, maka ilusi duniawi ini tidak akan hilang melalui samadi semacam ini. Walaupun pelaksanaan ini membantu chitta, namun pada hakekatnya tidak menghasilkan kebahagiaan-Nya. 

Pertanyaan 65 : Prabu, seandainya seluruh jagat-raya ini adalah ilusi, lalu bagaimana caranya sehingga alam ini dapat dirasakan? 

Jawab : Ramji, alam ini dirasakan melalui kekurang-pengetahuan seseorang. 

Pertanyaan 66 : Prabu, apakah alam-semesta yang terasa dan dialami ini? 

Jawab : Ramji, seluruh jagat-raya ini ibaratnya adalah bayangan yang hadir bersama Sang Atman, tanpa mula dan tanpa akhir. Di mana hadir Sang Atman di sana hadir juga alam-semesta ini. Ibarat wewangian yang hadir bersama bunga, demikian juga hadir semesta ini bersama-sama Sang Atman. 

Pertanyaan 67 : Prabu, bagaimana sang jiwa ini meninggal dunia? 

Jawab : Ramji, setiap jiwa meninggal dunia berdasarkan karmanya. Barangsiapa berkarma pastilah ia akan meninggal dunia, namun seseorang yang berada di atas karma tidak akan meninggal dunia. 

Pertanyaan 68 : Prabu, apakah karma itu? 

Jawab : Ramji, karma adalah nama lain dari wasana (intisari nafsu dan berbagai hasrat). Wasana diciptakan oleh sang pikiran, karma terletak di dalam pikiran. Seseorang yang terserap ke dalam Atman, maka wasananya tidak akan bangkit. Jalan pikirannya menjadi murni dan karmapun tidak beraksi lagi. Jiwa ini kemudian akan senantiasa menikmati tahap yang abadi. 

Pertanyaan 69 : Prabu, apakah intisari dari alam-semesta yang dapat dirasakan ini? 

Jawab : Ramji, semesta yang terasakan ini terbuat dari kekosongan (vakuum, kehampaan), sifatnya adalah akashrup atau dengan kata lain bersifat pemahaman ide (sankalpa). Kalau pemahamannya kuat, maka terwujudlah nama dan rupa, dan dapat dirasakan dan disaksikan. 

Pertanyaan 70 : Prabu, seperti apakah bentuk dan warna sang pikiran yang merupakan sumber penciptaan yang sedemikian luasnya ini? 

Jawab : Ramji, sang pikiran tidak berbentuk dan berwarna. Sang pikiran adalah ekspresi belaka, dan sebenarnya juga tidak pernah diciptakan, semuanya ibarat akash, namun sang pikiran disebut dengan berbagai nama : ide, sankalpa, memori (smiritti), kebodohan (awidya), dsb. 

Pertanyaan 71 : Prabu, bagaimana caranya agar dapat lepas dari ilusi manifestasi ini? 

Jawab : Melalui upaya-upaya kesadaran akan status sebenarnya dari alam-semesta ini, secara bertahap. 

Pertanyaan 72 : Prabu, apakah yang sebenarnya yang jadi dasar dari semesta ini? 

Jawab : Dasarnya adalah pemikiaran atau ide. Selama ada pemahaman ide ini maka akan hadir juga alam semesta (untuk orang-orang yang berfaham demikian).                                                                                                   

Pertanyaan 73 : Prabu, seperti apakah bentuk sang pikiran ini dan dari mana asal-usulnya?

 

Jawab : Ramji, bagaimana aku dapat menerangkan akan sesuatu yang tidak pernah diciptakan ini.Tidak ada sesuatu apapun selain Atman, dan Atman ini tidak bermula dan tidak memiliki akhir, namun memiliki banyak bentuk dan nama (karena persepsi berbeda dari insan-manusia ini). 

Pertanyaan 74 : Prabu, di manakah Sang Atman ini eksis dan bagaimana caranya agar dapat mencapainya? 

Jawab : Ramji, Sang Atman adalah eksistensi murni yang serba hadir, Ia dicapai melalui bakti dan upaya-upaya spiritual yang tulus. 

Pertanyaan 75 : Prabu, dikau menyatakan bahwa Sang Atman adalah kesadaran murni, demikian juga sabda-sabda para resi suci lainnya, namun apakah tujuan dari ajaran ini? 

Jawab : Ramji, tidak seorangpun dapat mencapai Sang Atman hanya dengan membayangkan Sang Atman sebagai kesadaran murni. 

Pertanyaan 76 : Prabu, bagaiamana upaya yang harus ditempuh agar terlepas dari tahap manifestasi atau delusi semesta ini, yang begitu dominan di dalam pikiran ini? 

Jawab : Barangsiapa mengenali Sang Atman, maka akan lepas dari berbagai penderitaan, ilusi dan terbebas. 

Pertanyaan 77 : Prabu, seperti apakah bentuk dari Paramatman, Sang Maha Jati Diri, yang setelah difahami akan menganugerahkan kebebasan? 

Jawab : Ramji, pemahaman akan daya yang adalah intisari setiap jiwa yang dapat bertransisi dari satu tempat (jiwa) ke tempat (jiwa) lainnya dalam sekejab mata, adalah tahap Paramatman.......Sang Jati Diri. 

Pertanyaan 78 : Prabu, seandainya Sang Paramatman adalah segala-galanya, lalu mengapa ia tidak terlihat? Bagaimana melepaskan diri dari ilusi pemahaman semesta yang amat kokoh ini? 

Jawab : Ilusi ini dapat lepas melalui upaya-upaya spiritual yang terus-menerus. 

Pertanyaan 79 : Prabu, apakah yang menyebabkan sehingga jerat-jerat semesta ini dapat teguh dan kokoh di dalam sang pikiran ini? 

Jawab : Semua ini terjadi karena alam-semesta dan sang pikiran hadir saling tunjang-menunjang, kalau yang satunya hadir maka yang lainnya juga hadir, kalau yang satunya menghilang maka yang lainnya juga menghilang. 

Pertanyaan 80 : Prabu, disiplin seperti apakah yang dapat membantu menghancurkan pemahaman semesta ini, dan kemudian menghasilkan Sang Atman? 

Jawab : Ramji, mantranya (jalannya) adalah wichar (kesadaran). 

Pertanyaan 81 : Prabu, kitab suci apakah yang paling agung, yang sanggup memajukan seseorang agar mencapai Sang Atman, dan dengan mempelajarinya maka kita dijauhkan dari penderitaan? 

Jawab : Ramji, Maha Ramayana yang sedang kuajarkan padamu saat ini adalah skripsi yang paling agung di antara berbagai skripsi-skripsi suci, karena memajukan pemahaman yang tertinggi. Sang Atman tidak dapat dicapai melalui tapa-brata, dana-punia, dan dengan mempelajari berbagai Weda. Tahap Atmik dapat dicapai melalui konsentrasi kepada Sang Atman, dan kemudian sang jiwa akan mencapai tahap Jiwanmukta dan tahap Widehamukta. 

Pertanyaan 82 : Apakah ciri-ciri dari jiwanmukta dan widehamukta ini, Prabu? 

Jawab : Seseorang yang lepas dari unsur-unsur dualitas yang saling bertentangan (dwandas) disebut seorang jiwanmukta; unsur-unsur baik dan buruk, panas dan dingin, dan sebagainya ini dianggap olehnya berasal dari aspek Sang Brahman (Brahmswarup). 

Pertanyaan 83 : Prabu, bagaimanakah seorang gyani (suci) dapat senantiasa bersikap lemah lembut walapun ia sedang menghadapi hal-hal yang menyenangkan dan yang tidak menyenangkan? 

Jawab : Hanya mereka-mereka yang kurang pengetahuannya saja yang merasakan hal-hal tersebut. Sebaliknya seorang gyani tidak merasakan unsur-unsur tersebut ibaratnya ia tidur lelap sekali. Sebenarnya seorang gyani telah terserap ke prakriti (alam), jadi ia tidak lagi tersentuh oleh rasa dan unsur apapun juga. 

Pertanyaan 84 : Prabu, mengapa seorang widehamukta menyandang raga di dunia ini? 

Jawab : Bagi seorang yang suci maka setiap unsur di dunia ini difahami sebagai chidakash (ether murni) atau kekosongan. Ia senantiasa terserap ke dalam kesadaran murni ini (Brahm-swarupa). Inilah keyakinan orang suci tersebut, ia senantiasa jauh dari suka dan duka. 

Pertanyaan 85 : Prabu, sudilah menuntunku agar lepas dari pemahaman semesta (jagat-bhawa) ini dan mencapai pengetahuan Sang Atman (Atma bodh). 

Jawab : Ramji, ilusi yang dilihat dan yang melihat ilusi ini tidak memiliki dasar. Kalau yang satu hilang maka hilang juga yang lainnya. Melalui wiweka ( kesanggupan membedakan, kesadaran akan baik dan buruk) maka secara bertahap seseorang melalui wichar akan sanggup mencapai Sang Atman. Sang Atman bukanlah unsur Nyata (shunya) dan beliau juga bukan ashunya (tidak nyata). Beliau jauh dari kedua unsur yang bernama ini. Beliau juga bukan penerangan maupun kegelapan. Sekali terserap ke alam Sang Atman maka lepaslah faham-afaham akan semesta ini. 

Pertanyaan 86 : Prabu, apakah yang tersisa setelah kiamat (pralaya)? Apakah itu kekosongan atau cahaya, yang abadi dan tidak abadi, sang pikiran atau daya intelegensia? Pasti tersisa sesuatu, apakah itu Sat atau asat, modifikasi atau kesadaran? Mengapa dikau mengatakannya jauh di atas kata-kata? 

Jawab : Yang tersisa dari pralaya adalah refleksi dari manifestasi alam-semesta ini. Sifatnya selalu bebas dan tidak bersandar kepada apapun juga, dan hal tersebut dinyatakan sebagai Brahm (Brahmswarupa) dan sifatnya bukan benda, bukan kekosongan, bukan juga non-kekosongan, bukan negatif dan dan tidak juga afirmatif. Nir disebut sebagai yang tidak ada, namun Sang Atman adalah kebenaran (Sat) dan permanen. Sang Atman ada di atas seluruh unsur-unsur ini, Sang Atman senantiasa terserap di dalam Dirinya Sendiri. 

Pertanyaan 87 : Prabu, pada saat pralaya apakah yang terjadi dengan semesta yang terlihat ini? 

Jawab : Ramji, ibarat seorang ibu yang mandul, maka di manakah hadir anak-anaknya, demikian juga dengan alam-semesta ini, yang sebenarnya tidak pernah hadir. 

Pertanyaan 88 : Prabu, anak-anak yang dari ibu yang tidak subur, dan taman di langit adalah pernyataan belaka, dan tidak dapat dirasakan, namun semesta ini dapat dirasakan sekali. Jadi bagaimana dikau dapat menyatakan analogi tersebut? 

Jawab : semua analogi tersebut di atas sebenarnya tidak pernah diciptakan begitupun alam-semesta ini. Setiap manifestasi (masa lalu, masa kini, dan masa yang akan datang) adalah Brahm-satta yang terserap di dalam Dirinya Sendiri. Berdasarkan kebodohan, maka Brahm dianggap sebagai semesta. 

Pertanyaan 89 : Prabu, bagaimana caranya sehingga berbagai objek yang eksis dan yang gaib ini diciptakan? 

Jawab : Semua yang dikau alami ini adalah berdasarkan ilusi dari sankalpa. Semua unsur tersebut adalah berbagai aspek dari Brahm, tidak ada perbedaan (pada hakikatnya) antara Brahm dan sang jiwa. 

Pertanyaan 90 : Prabu, dikau menyatakan tidak ada penyebab dari semesta dan berbagai objek-objeknya ini, dengan demikian tidak ada pencipta atau sang jiwa utama. Seandainya benar demikian, lalu siapakah yang memfungsikan berbagai objek-objek yang kasat maupun yang tidak kasat mata ini, siapakah yang mengendalikan mereka ini? Seandainya tidak ada yang mengatur semua ini, lalu mengapa ada berbagai perbedaan intelegensia diantara berbagai ragam jiwa-jiwa ini? 

Jawab : Ramji, Sang Jiwa Utama yang dikau sebut itu adalah salah satu aspek dari Sang Brahm yang senantiasa murni, serba hadir dan bebas. Brahm lepas dari semua unsur, namun karena Beliau serba hadir maka berbagai modifikasi adalah aspek-aspeknya, salah satunya adalah jagat-raya ini. Beliau memanifestasikan DiriNya sebagai alam-semesta ini dan tidak menciptakan yang lain-lainnya. Modifikasi Utama ini menyandang berbagai bentuk, Beliau disebut Brahma (Sang pencipta) yang menciptakan seisi alam-semesta ini dengan berbagai fenomena dan sifat-sifat baik dan buruk, dualitas (dwandas); Beliau menciptakan tata-cara dan peraturan bagi para makhluk dan benda-benda ini. Itulah sebabnya ada jiwa yang kuat dan ada jiwa yang lemah. Demikianlah peraturan-peraturan utama ini menyelenggarakan berbagai fungsi dan pelaksanaan di semesta ini sesuai dengan tugas masing-masing. Berbagai pemahaman pikiran menghasilkan semuanya ini, pada hakikatnya tidak ada yang diciptakan lagi. Yang ada hanya pemahaman utama (adi sankalpa) ini yang berhubungan dengan jiwa utama (adi purusha). Jadi yang ada hanyalah Adi Purusha, yang lain-lainnya adalah ilusi belaka. 

Ramji, setelah dikau berhasil dengan kontemplasi-Atma, maka delusi alam-semesta ini akan menghilang. Ibaratnya seseorang tidak mampu menyentuh kegelapan dengan obornya, maka pemahaman di dalam pikiranmu (ilusi) akan hilang. Sewaktu dikau bersatu dengan Sang Atman, maka ilusi inipun akan sirna dan dikau bersatu dengan Brahm-shakti dalam berbagai bentuk. Akan kuceritakan sebuah kisah, yang seandainya dapat dikau fahami, maka akan menghilangkan keragu-raguanmu, dan dikau akan mencapai Sang Atman dan mendapatkan kebahagiaan Ilahi. Ada empat butir makna yang terkandung di dalam kisah ini :

1.       Ekspansi dari berbagai pemahaman (sanklapa).

2.       Daya sankalpa.

3.       Pengalaman akan kelebihan waktu dalam tempo yang singkat.

4.       Pengalaman waktu singkat dalam durasi waktu yang panjang. 

Pada suatu waktu di bumi ini hidup seorang raja yang bernama Padma yang teramat bajik dalam segala perilakunya. Istri beliau bernama Leela (baca : Lila), dan ratu ini bersifat sangat luhur, mereka saling sayang-menyayangi satu dengan yang lainnya. Pada suatu hari ratu melaksanakan sebuah yajna demi Dewi Saraswati agar suaminya dikaruniai dengan keabadian. Sang ratu kemudian berpuasa berat dan memohon dua hal kepada sang dewi, yaitu pertama : Setelah meninggalnya sang raja maka jiwanya akan selalu tinggal di istana, dan yang kedua : sang ratu memohon dharsana dari sang dewi Saraswati. Dewi Saraswati mengabulkan kedua permohonan tersebut, dan konon sang raja pada suatu saat terbunuh di dalam suatu laga dan jasadnya disemayamkan di istana. Sang ratu meratap tanpa henti-hentinya, dan pada saat tersebut Dewi Saraswati menunjukkan dharsananya dan berkata : “janganlah bersedih, karena semua ini adalah sesuai dengan permintaanmu, jiwa suamimu akan senantiasa hadir di istana ini. Taburkanlah bunga-bunga di atas jasad suamimu, dan semua bunga ini akan tetap segar sampai saatnya dikau menemuinya lagi”. Sang ratu melaksanakan pesan tersebut dan kemudian bermeditasi di dekat jasad suaminya. 

Pada tengah malam sang dewi hadir lagi dan berkata : “Wahai ratu yang agung, apapun yang dikau saksikan ini adalah ilusi”. Janganlah berfikir bahwasanya semua ini sebagai kenyataan namun bersikaplah dalam kedamaian”. Leela bertanya kepada sang dewi dimanakah suaminya berada, apa saja yang telah terjadi dengannya dan apakah boleh menemuinya. Dewi Saraswati menjelaskan : “Ada tiga jenis akash, yaitu masing-masing bhutakash (ruang, spasi elemen), chitakash (spasi mental, pikiran) dan chidakash (spasi pengetahuan). Bhutakash ditunjang oleh chitakash, chitakash ditunjang oleh chidakash. Setelah meninggalkan bhutakash maka suamimu pada saat ini tinggal di chitakash. Karena chitakash ditunjang oleh chidakash, maka sewaktu dikau mencapai chidakash dikau akan mampu menyaksikan seluruh kosmos, dengan kata lain dikau dapat merasakan seluruh ciptaan sebagai bayangan-bayangan di chidakash. Sewaktu dikau sampai di chidakash dikau akan menyaksikan suamimu dan seluruh dunia ini. Potensi pemahaman di dalam chitta bertransmigrasi dari suatu tempat ke tempat lain dalam waktu yang amat singkat. Mendasari daya kekuatan ini adalah spasi (tahap) yang dialami (anubhawa-akash). Di chidakash dikau akan menyaksikan suamimu. Chitakash bertransmigrasi dari suatu tempat ke tempat lainnya dan tidak pernah mencapai keseimbangan. Hal tersebut dikatakan sebagai sphurna atau sankalpa (pemahaman pikiran). Bhutakash adalah bumi ini di mana semua raga (yang dapat binasa) bersemayam. Sewaktu alam-semesta menghilang maka yang tersisa adalah chidakash dan tahap ini adalah tahap yang mulia dan agung yang dicapai melalui disiplin yang berkesinambungan. Wahai Leela, akan kuanugerahkan agar dikau mampu mencapai tahap ini, agar dikau lepas dari berbagai pemahaman pikiran dan mencapai ketenangan. 

Sri Vasishtha : Wahai Ramji, setelah menyatakan demikian Sang Dewipun menghilang. Mengikuti petunjuk sang dewi, maka sang ratupun mencapai tahap keseimbangan tersebut dan kemudian ibarat seekor burung, sang ratu terbang ke alam chidakash dan di tahap ini beliau dapat menyaksikan sang raja dan ibukotanya (di mana sang raja berkuasa dengan nama Raja Widuratha). Di sana sang ratu menyaksikan setiap hal sama persis seperti yang pernah eksis di kerajaannya dalam bentuk kasar di bumi. Beliau terpana, tak lama kemudian dia melihat para ponggawa berlari-larian masuk ke balairung istana menginformasikan kepada sang raja akan serangan para musuh dari kerajaan-kerajaan lain. Para ponggawa memohon sang raja agar mencari perlindungan dengan segera. Sang ratu takjub dengan apa yang disaksikannya, karena tepat seperti yang terjadi di bumi, di istananya. “Apakah yang binasa itu hanya sang raja atau juga seluruh kerajaannya?”, tanya beliau kepada dirinya sendiri. Beliau segera turun ke bumi dan mendekati jasad suaminya yang masih dalam keadaan terbaring di istananya. Kemudian sang ratu memanjatkan doa ke dewi Saraswati. Segera sang Dewi berkenan hadir, setelah memohon maaf sang ratu bertanya kepada dewi akan hal-hal yang telah disaksikannya di kedua alam tersebut...... yang manakah yang nyata, yang di bumi atau di alam sana. Dewi Saraswati bersabda bahwasanya jawaban tersebut akan diberikannya kemudian. Ratu Leela berkata : “Aku memahami bahwa dunia yang kami tinggali ini tidak memiliki penyebabnya, ataukah semua ini karena sankalpa, padahal alam suamiku memiliki penyebab. Karena alam tersebut adalah alam yang kosong, maka kekosongan tersebut adalah penyebab alam tersebut”. 

Sang Dewi menjawab : “Demikian sebab, demikian juga akibatnya. Seperti yang baru saja dikau katakan, alam sana adalah hasil dari kekosongan, jadi seyogyanyalah alam tersebut juga kosong statusnya. Yang nyata menghasilkan, yang tidak nyata tidak dapat ditransformasikan ke yang nyata dan begitupun sebaliknya. Oleh sebab itu alam suamimu tersebut mirip dengan alam di bumi ini, atau alam tersebut hanyalah konsep pemahaman pikiran saja (sankalpa)”. 

Leela berkata : “Akibat itu bisa saja jauh dari sebab. Ibarat tanah lempung (liat) yang tidak dapat menampung air, namun setelah tanah liat itu dibentuk menjadi tempayan, maka iapun sanggup menampung air, demikianlah sebab dapat jauh dari akibat”. 

Sang Dewi menjawab : “ Akibat bisa berdampak lain dari sebab, hanya kalau ada faktor penunjangnya. Tetapi bagaimana hal tersebut mungkin terjadi kalau faktor penunjangnya tidak hadir? “Alam-semesta yang dirasakan oleh suamimu tidak memiliki sebab, karena jiwanya sama dengan unsur akash yang tidak memiliki materi penyebab...... yaitu unsur-unsur penyebab, yang menyebabkan, atau alasan khusus, jadi alam suamimu itu tidak memiliki penyebab. Seandainya alam semesta ini diciptakan oleh seseorang, kita mungkin dapat menerima penyebabnya, namun karena semesta ini tanpa bumi dan elemen-elemen lainnya, dan merupakan salah satu aspek kekosongan (Akash-rupa)......hanya konsep pemahaman pikiran semata...... maka tidak memiliki unsur penyebab. 

Sang Ratu kemudian bertanya apakah konsep pemahaman memori adalah penyebab alam-semesta tersebut. 

Sang Dewi menjawab : “Memori bukanlah suatu unsur; memori adalah nama lain dari pemahaman pikiran (sankalpa), dan merupakan salah satu aspek akash atau jalan pikiran. Memori tidak memiliki daya yang bebas, memori hanyalah sebuah refleksi (sankalpa)”. 

Leela berkata : Seandainya memori hanyalah sebuah sankalpa atau akash, maka alam-semesta ini yang merupakan tempat tinggalku dan tinggalmu, pastilah sankalpa juga”. 

Sang Dewi berkata : “Sekarang dikau memahami dengan benar. Aku, engkau, ini dan itu, seluruh alam-semesta ini adalah kekosongan (akash-rupa). Semua ini dirasakan berdasarkan ilusi, tetapi tidak diciptakan. Bagaimana mungkin memori akan alam-semesta yang tidak nyata menjadi nyata?” 

Sang Ratu bertanya : “Bagaimana sampai suamiku yang seharusnya berbentuk jiwa lembut (tubuh halus), dan tidak berbentuk mampu menyandang raga dan bagaimanakah ia merasakan alam-semesta ini?” 

Dewi Saraswati menjawab : “Kedua dunia tersebut bersifat ilusi. Seandainya dunia ini nyata maka memoripun akan bersifat nyata. Di dunia ini, hal tersebut telah diciptakan di dalam sebuah atom yang bersifat pemahaman pikiran yang ilusif di dalam chidakash. Pada suatu masa hiduplah seorang brahmana yang bernama Vasishtha, beliau sangat religius namun beliau belum mencapai gyana. Istrinya bernama Arundhata. Suatu hari sang brahmana, dari sebuah puncak bukit, menyaksikan sepasang suami-istri keturunan ningrat bersafari ke hutan. Langsung saja Vasishtha menginginkan hal yang sama terjadi dengan dirinya. Keinginan untuk hidup sebagai pasangan ningrat dengan istrinya, makin hari makin meningkat di dalam dirinya. Tidak lama kemudian beliau meninggal dunia dan sang istri memujaku seperti yang pernah dikau lakukan, dalam hal yang samapun terjadi dengannya. Di kehidupan selanjutnya sang brahmana memvisualisasikan kehidupannya sebagai seorang pangeran. Arundhatapun menyusul suaminya ke alam baka dan jiwanya bersatu dengan jiwa suaminya. Leela, dengarkanlah lebih lanjut, baru delapan hari berlalu semenjak meninggalnya, maka ia telah hadir sebagai Raja Padma dan Arundhata menjadi dirimu. Langit, bumi, bukit-bukit, samudra dan tiga alam yang dikau visualisasikan, semuanya berlokasi di ujung rumah brahmana ini. Baru delapan hari berlalu, dan keluargamu juga belum selesai dengan upacara kematianmu, dan di alam ini dikau telah berkuasa selama empatpuluh ribu tahun. 

Aku telah menjelaskan perincian kelahiranmu. Semua manifestasimu ini adalah ilusi. Dunia yang dikau rasakan dan alami ini adalah delusi yang berasal dari ilusi. Sebenarnya tidak ada yang telah diciptakan. Dunia ini tidak nyata, lalu bagaimana mungkin memorinya dapat berwujud nyata?” 

Leela terus bertanya : “Wahai Dewi yang mulia, aku tidak berani mengatakan bahwasanya kata-katamu tidak benar, namun aku galau sekali akan pernyataanmu yang menyatakan bahwa jiwa sang brahmana tersebut beserta keseluruhan gunung, sungai, hutan dsb. berada di sudut rumah sang brahmana ini. Bagaimanakah semua itu dapat dimungkinkan, ibarat sesuatu yang besar diikatkan ke sesuatu yang kecil, hal tersebut terkesan tidak mungkin” 

Sang Dewi bersabda : “ Kata-kataku tidak pernah akan jauh dari Kebenaran. Semua pengalaman ini ibaratnya seseorang yang mengalami tiga tahap sang waktu di dalam mimpinya. Begitu sadar dari mimpinya semua ini menghilang. Sang ratu masih saja kurang yakin, iapun berkata : “Baru delapan hari berlalu setelah bramana Vasishtha meninggal dunia, dan kami telah menjalani 60 ribu tahun dalam waktu yang sesingkat itu, aku masih tidak mampu memahaminya”. 

Dewi Saraswati menjawab : “Sudah kujelaskan kepadamu, bahwa berdasarkan sankalpa maka waktu yang panjang tersebut dapat dialami dalam waktu yang singkat. Semua yang dikau saksikan termasuk aku dan dirimu sendiri adalah ilusi. Sewaktu seseorang meninggal dunia maka iapun masuk ke tahap tidak sadar, dan setelah kesadarannya kembali ia merasakan raga, keluarga, rumah, semesta, dan lain sebagainya, semuanya berada dihadapannya. Semua ini adalah pemahaman akan pikirannya yang memungkinkan waktu yang panjang dirasakan di dalam waktu yang singkat, karena semesta itu sendiri adalah modifikasi dari pemahaman pikiran-pikiran ini. Sebenarnya tidak ada yang lainnya selain Brahm. Seseorang yang faham akan kebenaran ini tidak akan berilusi lagi dan akan menghasilkan Sang Atman semata. 

Sang ratu bertanya : “Bagaimana aku dapat menyaksikan alam-semesta di mana Sang Brahmin meninggal dunia delapan hari yang lalu?” 

Dewi Saraswati menjawab : “Alam-semesta tersebut diciptakan di chidakash, dan kalau dikau sampai ke sana melalui upaya yoga, maka dikau akan menyaksikan semesta tersebut. Semesta tersebut tercipta akibat sankalpa orang-orang yang lain, dan seandainya dikau berhasil dengan upaya yogamu, maka dikau akan mampu memasuki sankalpa manusia lain, untuk itu dikau harus mencapai strata lembut (halus) agar dapat menyaksikan semua itu. Pada saat ini dikau masih terikat oleh raga kasarmu, lepaskanlah dulu ilusi kasarmu ini dan masuki daya lembut yang disebut chidakash ini. Setelah mencapai tersebut seperti halnya dengan aku, maka dikaupun akan sanggup mencapai apa saja yang dikau sukai, tanpa banyak berusaha”. 

Leela bertanya : “Seandainya Sang Atman yang non-dualistik ini bersifat maha hadir, lalu apakah sankalpa ini yang membingungkan setiap manusia?” 

Dewi Saraswati menjawab : “Ibarat tali yang terkesan sebagai ular di dalam kegelapan, begitupun sankalpa ini terkesan sebagai sesuatu yang tidak jauh dari Sang Atman yang non-dualistik ini. Semua nama dan bentuk yang dialami di dalam sang Atman adalah ilusi belaka. 

Sang Ratu : “Seandainya yang hadir hanyalah Sang Atman, lalu mengapa aku telah kesana-kemari selama ini? 

Dewi Saraswati : Wahai Leela, perjalananmu ini terjadi karena non-kontemplasi (awichar) dan ilusi. Semua itu bisa dihapus dengan berfikir secara benar dan menyatu dengan Sang Atman. Pada saat ini unsur-unsur wichar dan awichar, gyan dan agyan terkumpul di dalam dirimu. Jadi dikau harus memfokuskan perhatianmu ke gyana (pengetahuan Ilahi), agar hilang bentuk-bentuk ilusimu, atau dikau dapat mencapai Atman. Dengan jalan ini seluruh ilusimu akan sirna. 

Leela berkata : “Wahai Dewi yang mulia, dikau telah berbaik hati dengan semua yang dikau berikan kepadaku. Sekarang sudilah memberi tahu kepadaku yoga tersebut agar aku dapat mencapai tahap Atmik tersebut “. 

Dewi Saraswati : Upaya ke arah Brahm (Brahm-abhayasa) terdiri dari :

1.       Mengingat akan Sang Atman secara konstan.

2.       Japa demi sang Atman.

3.       Atma-bodh (Satsangh).

4.       Pranayama dengan pemusatan ke Sang Atman.

5.       Merefleksikan diri ke tahap Atmik. 

Semua ini adalah wujud dari ajaran Brahm-abhayasa. Perinciannya adalah sebagai berikut : Ajaran-ajaran yang diterima dari para guru akan Sang Atman disebut Atma-chintan. Menerangkan hakikat Sang Atman ke orang lain disebut Atma kathan. Diskusi (satsangh) disebut Atma-bodh. Mengingat sabda guru atau guru-mantra melalui pranayama disebut mengingat Sang Atman. Menerima Sang Atman sebagai satu-satunya unsur disebut Atma-manan. Semua ini seandainya dilaksanakan penuh disiplin disebut Brahm-abhayasa dan mereka-mereka yang telah terserap kepada-Nya disebut Brahm-abhayashi.  

Para peniti jalan ke Brahm dibagi dalam tiga kategori : ....... tinggi............medium...............rendah (pemula). Mereka yang pemahamannya telah benar (bodh-kala) dan beriman teguh mencapai tahap non-eksistensi dari semesta ini, mereka disebut sishya-sishya yang tinggi kategorinya; mereka-mereka yang beriman seperti di atas namun masih belum mencapai bodh-kala, disebut sishya dengan kategori medium, dan yang pemula adalah mereka yang masih meniti. Leela, telah kuterangkan kepadamu berbagai disiplin ini, dengan mengikutinya dikau akan bersatu dengan tahap yang mulia dan agung tersebut. 

Demikianlah Sri Vasishtha mengisahkan kisah ini kepada Sri Rama agar iapun sadar dari ilusi duniawinya ini. 

Wahai Ramji, ibarat tanduk menjangan betina, maka semesta ini sebenarnya tidak eksis. Sesuatu yang tidak eksis pada mula dan akhirnya, namun dapat dirasakan di tahap tengah, sifatnya tidak nyata (asat). Wahai Ramji, Leela segera memahami ajaran Dewi Saraswati dan iapun segera memahami unsur non-eksistensi raganya ini termasuk semesta, ia lalu bersama-sama sang Dewi Saraswati menyatu ke akash. Melalui tubuh lembutnya ia mampu mencapai chidakash, iapun mampu mencapai sistem solar (mentari dan planet-planet yang mengelilinginya), mencapai loka-loka yang unik, misalnya ke semesta yang tidak memiliki mentari dan rembulan, namun penuh dengan makhluk-makhluk astral yang mengapung. Leela juga mampu menyaksikan penciptaan dan pralaya. Setelah melalui berbagai loka, maka mereka berdua kembali ke lokasi dimana sang brahmana meninggal dunia. Di lokasi ini mereka menyaksikan keluarga Leela di masa yang lampau masih berkabung dan meratap. Leela merasa bahwa ia dan dewi Saraswati hanya menunjukkan diri mereka agar seluruh ratapan dan kesedihan ini dapat diakhiri. Melalui daya yang mereka miliki maka keluarga brahmana yang sedang berkabung ini mampu menyaksikan kehadiran Leela dan Dewi Saraswati. Putra Leela, dari kelahirannya yang dahulu yang bernama Jyeshta Sharma segera memuja mereka berdua, dan seluruh keluarga akhirnya mendapatkan karunia dari kedua dewi ini. 

Sri Rama menginterupsi : “Mengapa Leela tidak menunjukkan dirinya dalam wujud aslinya yang lalu di hadapan keluarga ini? 

Ramji, Leela telah mencapai tahap kesadaran murni, di dalam tahap ini tidak diperlukan nama dan bentuk, karena ilusi dan kebodohan telah sirna di tahap ini. Demikianlah kemudian kedua dewi ini sirna dari pandangan keluarga tersebut. Dewi Saraswati kemudian berkata kepada Leela : “Dikau telah melihat dan melaksanakan sesuatu yang layak, sekarang mohonlah sesuatu dariku “. 

Leela bertanya : “Sewaktu aku berkunjung ke raja Viduratha, ia tidak sanggup menyaksikanku, namun bagaimana caranya Jyesta Sharma sanggup menyaksikanku melalui kemauanku? 

Dewi Saraswati : “Pada saat mengunjungi Viduratha dikau belum mencapai tahap non-dual. Pada saat ini dikau telah menyatu dengan Sang Atma dan tidak bersifat non-dual lagi. Dikau telah mencapai sankalpa yang benar. Seandainya dikau mengunjungi Viduratha sekali lagi, maka ia akan sanggup menyaksikanmu”. 

Leela : “Pada saat ini aku sudah tidak berminat lagi terhadap hal-hal yang lainnya dan hanya akan melakukan yang dikau perintahkan “. 

Dewi Saraswati : “Leela, dikau memiliki kelahiran dengan berbagai suami yang tak terhitung banyaknya, aku dapat membawamu pergi ke mereka ini sesuai dengan kehendakmu. Semesta yang terasa dekat bagimu pada tahap ini sebenarnya berlokasi jutaan tahun dari tahap ini.  Ibarat di dalam sebuah mimpi, kesadaran pengalaman (anubhawa chaitanya) ini bermanifestasi sebagai alam-semesta, demikian juga Atma-satta memanifestasikan Dirinya sebagai bumi, unsur-unsur, berbagai benda dan lain sebagainya. Sesungguhnya Atam-satta tegar di dalam dirinya sendiri, tidak ada yang pernah diciptakan”. 

Leela : “ Melalui karuniamu, aku telah mencapai tahap Atmik, aku sudah tidak memiliki hasrat apapun lagi”. 

Resi Vasishtha : Demikianlah Ramji, semua bentuk ini adalah pengejawantahan dari chitta. Karena terbiasa dengan wujud kasar duniawi maka wujud halusnya terlupakan. Chitta itu ibaratnya sebuah cermin, demikian idenya, demikian juga refleksinya. Setelah mencapai tahap non-eksistensi, maka tidak akan lagi terlihat wujud yang kasar. Begitu mencapai tahap non-eksistensi (Atman) maka insan tersebut akan mampu menyaksikan berbagai semesta. 

Pertanyaan 91 : Prabu, apakah chitta itu, bagaimana chitta itu diciptakan dan bagaimana chitta ini menghilang? Bagaimana dengan semesta yang dikatakan sebagai salah satu bentuk dari chitta dan bagaimanakah caranya sehingga chitta ini sanggup berubah-ubah sedemikian cepatnya? 

Jawab : Ramji, chitta bukanlah suatu unsur. Bangkitnya modifikasi sankalpa disebut chitta. Sewaktu sankalpa bangkit maka penciptaannya terlaksana. Tahap sebaliknya yaitu non-sankalpa menyebabkan chitta ini menghilang. Demikian pemahaman idenya demikian juga yang akan dialaminya. 

Pertanyaan 92 : Prabu, dapatkah dikatakan bahwasanya memori adalah penyebab ciptaan, karena yang dialami dan yang dirasakan setelah kematian adalah akibat dari memori

Jawab : Ramji, keseluruhan dari jajaran para jiwa ini termasuk dewa Wishnu dan Shiwa akan memasuki tahap widehamukta pada saat pralaya nanti, jadi bagaimana mungkin memori dapat hadir di sana? Tahap widehamukta itu lepas dari unsur-unsur non-dualitas, dan di mana tidak hadir dualitas tidak juga hadir memori. Namun setelah pralaya akan hadir lagi penciptaan, dan memori bukanlah penyebabnya. 

Pertanyaan 93 : Prabu, setelah selesai bermimpi, maka semua objek terkesan tidak nyata, namun berbagai objek di alam sadar dirasakan seperti apa adanya. Bagaimana menerangkan kedua hal ini? 

Jawab : Ramji, sebenarnya tidak ada perbedaan antara alam mimpi dan alam sadar, kecuali yang pertama ini singkat durasinya, dan yang kedua lebih panjang masanya. Sewaktu bermimpi semua terasa asli namun setelah sadar semua itu terasa palsu. Demikian juga setelah tersadar di alam Atmik, maka hal-hal yang lainnya terasa tidak nyata lagi? 

Pertanyaan 94 : Prabu, bagaimanakah sampai seseorang merasakan penderitaan dan kenikmatan setelah meninggal dunia? 

Jawab : Ramji, kematian berbentuk tiga jenis, yaitu : kematian seseorang yang kurang pengetahuannya, kematian seseorang peniti jalan spiritual, dan kematian seorang gyani. Seorang peniti jalan spiritual tidak termasuk kedua kategori di atas, setelah kematiannya ia akan mencapai alam isthadewata (dewata yang dipujanya). Mereka yang meniti jalan ke Brahm namun belum mencapainya, meninggal dunia secara nyaman dan masuk ke swargaloka. Setelah habis masa mereka di swarga, mereka ini kembali ke bumi dan melanjutkan usaha mereka ke Brahm dan akhirnya mencapai Sang Atman. Sedangkan bagi seseorang gyani maka kematiannya sangat mudah. Prananya melebur ke akash dan ia mencapai tahap widehamukta. Bagi seseorang yang tidak bijak maka ia akan mengalami penderitaan yang amat sangat sewaktu meninggalkan raganya ini. 

Pertanyaan 95 : Prabu, siapakah yang disebut tidak bijak ini? 

Jawab : Mereka yang berteman dengan orang-orang yang kurang pengetahuan, yang bertentangan dengan ajaran-ajaran skripsi-skripsi suci, terserap ke dalam kenikmatan sensual dan menyandang berbagai dosa. 

Pertanyaan 96 : Prabu, bagaimanakah sang jiwa mengalami tidak sadar diri setelah meninggal dunia? Karena badannya kaku dan mati bagaimana ia dapat menderita lagi? 

Jawab : Ramji, berbagai karma yang telah dilaksanakan olehnya yang disertai dengan ego terakumulasi dan bermanifestasi lagi pada saatnya tiba.  Sewaktu hidup, badan kasarnya bergerak karena ditunjang oleh prana dan apana (nafas yang keluar dan masuk), sewaktu potensi ini meninggalkan raga maka ragapun mati, namun kematian ini bagi yang kurang bijak sangatlah membawa derita pada saat-saat meninggalkan raga dan keluarga. 

Bagi yang yakin akan kematian, maka ia akan mati, namun yang yakin ia tidak pernah mati, maka ia tidak akan mati, karena pada hakikatnya tidak ada kelahiran dan kematian. Dengan tercapainya Atmagyan maka tercapai juga pemahaman akan non-eksistensi semesta dan wasanapun ikut binasa dan hilang. 

Pertanyaan 97 : Prabu, bagaimanakah sang jiwa ini mati dan bagaimana ia lahir kembali? 

Jawab : Setelah Prana dan Apana meninggalkan raga maka yang tersisa adalah kesadaran murni. Ia tidak pernah mati atau lahir, ia menyerap ke akash. Sesuai dengan wasananya maka terciptalah semesta baginya sesuai dengan waktunya. Melalui pemahaman pikirannya iapun mengalami dan merasakan kehidupan dan semesta ini. Setelah itu iapun menyandang raga melalui wasananya ini dan menikmati suka dan duka. 

Pertanyaan 98 : Prabu, bagaimana ilusi akan alam-semesta ini diciptakan di dalam Brahm yang agung dan mulia ini? 

Jawab : Setiap benda baik yang gaib maupun sebaliknya adalah aspek-aspek Sang Brahm, tidak ada yang lainnya yang pernah diciptakan. Sewaktu berbagai potensi chitta Sang Atman dan pemahaman pikiran dimulai di dalam chitta, maka lahirlah konsep-konsep pemahaman akan benda dan hal-hal duniawi. Potensi pemahaman yang lahir di Kesadaran Utama menjadi wujud Brahma, dan munculnya berbagai ide, maka terciptalah berbagai ciptaan di dunia ini. 

Pertanyaan 99 : Prabu, bagaimana caranya Sang Atma memasuki objek-objek yang gaib dan yang non-gaib ini? 

Jawab : Ibarat bahasa-bahasa yang berbeda-beda di suatu negeri dan negeri yang lainnya, dan seorang asing sulit untuk memahami bahasa yang asing baginya. Demikian juga halnya dengan yang gaib dan sebaliknya. Namun semuanya ini ditunjang oleh Sang Atman (Kesadaran Murni); tanpa Brahm tidak ada yang dapat dirasakan. 

Pertanyaan 100 : Prabu, bagaimanakah yang tidak nyata dinyakan sebagai nyata berdasarkan iman yang kuat? 

Jawab : Ramji, iman atau kepercayaan timbul karena lima unsur penyebabnya yaitu : 1. tempat....2. waktu.....3. aksi...... 4. objek-objek.....5. kenikmatan. Setiap hal terjadi sesuai dengan tendensi wasanas seseorang baik itu bersifat kebajikan ataupun kebatilan. Kebatilan dari masa lampau dapat dinetralisir melalui kebajikan (masa kini). Sankalpa yang teguh selalu menang. 

Pertanyaan 101 : Prabu, apakah alasannya sehingga terjadi perbedaan persepsi waktu dan benda, oleh manusia yang juga berbeda-beda? 

Jawab : Ramji, sebatang pohon itu terdiri dari berbagai unsur daun, unsur akar, cabang, ranting, bunga, buah dan sebagainya.  Namun pada hakikatnya keseluruhan benda tersebut disebut pohon. Demikian juga dengan Sang Atman, berbagai manifestasi dan modifikasi-Nya dipersepsi secara berbeda-beda oleh mereka-mereka yang berbeda dasar ilmu pengetahuannya. Sekali semua sankalpa terhapus, maka wasanaspun akan sirna, dan seseorang hanya akan menyaksikan satu Atman yang tunggal saja. 

Pertanyaan 102 : Bagaimanakah seluruh ilusi yang maha luas dari alam-semesta ini termasuk aku, dikau dan yang lain-lain...... bermanifestasi di dalam Paramatman tanpa suatu penyebab? 

Jawab : Semua ini timbul dari pemahaman ide akan Sang Brahman yang melahirkan ilusi semesta yang bervariasi ini. Ilusi tersebut hadir dari pemahaman ide utamanya Sang Kesadaran Murni. 

Pertanyaan 103 : Prabu, bagaimana seseorang gyani atau yang telah mencapai  tahap Atmik merasakan raga dan Sang Atman di dalamnya, dan bagaimana ia menyelaraskan raganya dengan kodrat (prarabdha)nya? 

Jawab : Ramji, ide utama Sang Brahm disebut alam. Berdasarkan unsur alam ini maka setiap unsur memiliki jatah waktu, dan fenomena tersebut masih berlangsung sampai saat kini. Berbagai sebutan seperti daya agung, kesadaran mulia, dan lain sebagainya telah diaplikasikan kepada alam ini. Daya agung ini adalah sumber penciptaan berbagai alam-semesta (jagat-raya) yang tak terbatas ini (alam ini sering disebut sebagai prakriti). Sesuai dengan sankalpanya demikian juga ciptaannya. Seluruh ilusi ini sebenarnya adalah Brahm. Pada hakikatnya Atma dan Brahm itu sama saja bagi seorang gyani, namun terkesan berbeda bagi seorang yang kurang pengetahuannya. Alam semesta ini ibaratnya penuh dengan pepohonan yang tidak terlihat yang hadir di dalam akash. 

Tata-atur utama ini disebut daiwa atau Ishwara. Apapun benda, fenomena, dan lain sebagainya yang ada di semesta ini hadir dari dan oleh-Nya. Sang daiwa ini yang menganugerahkan karunia untuk upaya-upaya sadhana seseorang, demikian juga hukum alam dengan berbagai pahala-pahalanya. Bagi seseorang yang kurang berpengetahuan merasakan raga dan alam-semesta dengan berbagai bentuk-bentuk dan nama-nama (nama dan rupa). 

Pertanyaan 104 : Prabu, apakah perbedaan antara purushartha dan daiwa (kodrat Ilahi)? 

Jawab : Ramji, mengikuti hukum alam (kehendak Yang Maha Kuasa disebut Purushartha, hasilnya disebut daiwa (bahasa duniawinya nasib, namun nasib itu sebenarnya tidak eksis, yang eksis adalah hukum alam dan akibatnya). 

Pertanyaan 105 : Prabu, bagaimanakah sang jiwa menyatukan dirinya ke Brahm yang murni, yang hanya dapat dicapai melalui pembebasan (anubhawa), Yang Maha Hadir, Yang Maha Kuasa, Yang Tidak bersifat Dualitis, Yang Bebas Mandiri. 

Pertanyaan 106 : Prabu, mengapa sang pikiran diciptakan? 

Jawab 105 – 106 : Ramji, sewaktu dari Brahm-satta terlahir pemahaman konsep ide atau pemikiran “Aku”, maka lahirlah dari konsep ini Sang Jiwa. Di dalam sang jiwa ini kemudian hadir berbagai sankalpa (pikiran adalah salah satu). Pikiran (manas) yang menguat disebut daya intelegensia (budhi). 

Pertanyaan 107 : Prabu, seandainya itu semua benar dan kesemuanya ini adalah keagungan Brahm, lalu apakah daiwa, karma dan kausalitas itu? 

Jawab : Ramji, konsep pemahaman ide (modifikasi) dan sebaliknya adalah aspek-aspek dari Brahm-satta. Sewaktu faham ide “aku” disebut juga daiwa) timbul di dalam Brahm-satta, maka timbullah manifestasi semesta. Pralaya (kiamat) disebut sebagai sebaliknya..... hal tersebut dikatakan sebagai tahap Brahm yang damai. 

Aksi dan kausalitas adalah nama-nama untuk faham ide (modifikasi) dari sang chitta. Ada dua jenis sankalpa yaitu : Yang terarah keluar dan yang terarah ke dalam. Karena efek yang pertama maka sang jiwa merasakan berbagai objek. Dan berdasarkan yang kedua hanya Sang Atman yang tervisualisasi, dan sang jiwapun terlepas dari siklus kelahiran dan kematian yang berulang-ulang. 

Berbagai faham dari sang chitta ini disebut sebagai alam sadar; ego adalah alam mimpi. Yang dikenali disebut alam turiya. Sewaktu sang jiwa masuk lebih dalam lagi ke turiya, maka ia akan mencapai alam turiya-atit. Mencapai tahap ini maka sang jiwa hanya mengenali Sang Atman sebagai kebenaran sejati, yang lain-lainnya adalah ilusi. Walaupun Sang Atman bukanlah pelaksana setiap tindakan, namun disebut sebagai pelaksana karena berasosiasi dengan berbagai ide, dan terkesan sebagai semesta dengan berbagai bentuk. 

Pertanyaan 108 : Prabu, mohon diterangkan bagaimana bahan-bahan ide ini berubah menjadi mengarah ke luar, dan bagaimanakah ia kemudian diarahkan ke dalam agar mencapai tahap non-eksistensi semesta ini? 

Jawab : Ramji, hal tersebut dicapai melalui disiplin yang keras. Dan sewaktu ia memfokuskan dirinya ke Sang Atman maka ia akan diarahkan ke dalam, dan sebaliknya bila sang jiwa memfokuskan dirinya ke semesta (duniawi) maka iapun akan diarahkan keluar. Pada hakikatnya kedua hal tersebut adalah sama dan tanpa memiliki perbedaan. 

Pertanyaan 109 : Prabu, biasanya sesuatu yang dibuat dan si pembuat mempunyai jarak, contoh : tempayan dan si pembuat tempayan. Dalam hal ini bagaimana dikau dapat menyatakan bahwasanya semesta adalah ciptaan Brahm dan adalah aspek atau sifat dari Brahm (Brahmswarupa). 

Jawab : Ramji, yang kuajarkan kepadamu adalah benar. Perbedaan antara Brahm dan semesta bersifat semantik (tata-bahasa). Sebenarnya bahasa itu sendiri juga bersifat ilusi dan tidak pernah diciptakan. Kata-kata hadir agar seseorang memahami Sang Atman. Kiasan yang dibuat dan si pembuat tidaklah tepat. Yang tepat adalah kiasan : ibarat perhiasan yang terbuat dari emas dan bahan bakunya yaitu emas itu sendiri. Kedua-duanya adalah emas, namun bentuk dan namanya berbeda. Bahkan Brahma, Wishnu dan Shiwa (Mahesh)pun tidak pernah diciptakan, semua itu hadir akibat adi-sankalpa. Yang sebenar-benarnya hadir secara hakiki adalah Atman. 

Ramji, konon ada seorang brahmana yang bernama Indu, dengarkanlah kisah ini agar ilusi semestamu menghilang. Indu dan istrinya pada suatu hari bertapa di puncak Gunung Kailash, segera ia mendapatkan dharsana Dewa Shiwa yang memperkenankan kedua orang tersebut agar meminta sesuatu darinya. Brahmana miskin yang tidak berketurunan ini memohon agar dikaruniai sepuluh orang putra, permintaan tersebut dikabulkan oleh Dewa Shiwa. Kedua pasangan brahmana ini kemudian melahirkan sepuluh orang putra yang sehat dan kuat. Pada saatnya sang brahmana meninggal dunia dan putra-putranya ini menuju ke puncak Kailash. Mereka memusatkan pikiran mereka ke pertanyaan-pertanyaan seperti berikut ini :

1.       Dewa (Ishwara) manakah yang paling agung (Param Ishwara).

2.       Tahap apakah itu, yang sekali tercapai akan menghilangkan penderitaan.

3.       Tahap apakah itu yang setelah dicapai merubah seseorang menjadi abadi dan agung. 

Setelah berdiskusi lama diantara mereka sendiri, akhirnya semuanya setuju akan pernyataan kakak tertuanya, yaitu Brahma adalah yang tertinggi. Kemudian kesepuluh bersaudara ini bertapa-brata secara keras demi mencapai tahap tersebut. Mereka menyampingkan berbagai faham dan penuh iman yang tegar mereka memfokuskan diri mereka sebagai Brahmas untuk jangka waktu yang lama, dan merekapun terserap selama empat yugas. Dalam kurun waktu tersebut seluruh tubuh mereka sirna dan merekapun stabil menjadi 10 Brahma di alam chittakash. Akibatnya merekapun menciptakan berbagai alam-semesta berdasarkan sankalpa mereka, namun pada hakikatnya tidak ada yang tercipta. 

Ramji, sekarang akan kukisahkan sebuah cerita mengenai Raja Indrayumna yang beriman teguh. Pada suatu masa hiduplah seorang raja bernama Indrayumna yang memiliki istri yang cantik sekali, yang bernama Ahalya. Sang istri ini pernah mendengarkan kisah tentang istri Resi Gautama yang juga bernama Ahaya. Menurut cerita ini Ahaya istri Gautama sedemikian cantiknya sehingga dewa Indrapun jatuh cinta kepadanya. Dewa Indra sangatlah tampan, demikian juga di negeri ini, kata temannya yang bercerita, hidup juga seorang brahmana yang setampan dewa Indra. 

Sang ratu kemudian berhasrat sekali untuk bertemu dengan brahmana Indra tersebut, padahal sebagai seorang ratu tersebut tidaklah mungkin, padahal hasratnya kian hari kian membara dan tak tertahankan, dan hal tersebut membuat sang ratu sakit berat. Tidak ada obat yang mampu menyembuhkannya. Setiap detik pikirannya tertuju ke brahmana tampan tersebut. Kemudian diatur oleh seorang temannya, maka bertemulah kedua insan ini, dan berlangsunglah kisah kasih di antara keduanya. Akhirnya sang raja mengetahui perihal ini dan memutuskan untuk menghukum mereka berdua. 

Karena telah terserap di  dalam sankalpa mereka, maka kedua insan yang berselingkuh ini tidak memperdulikan hukuman tersebut, bahkan kedua-duanya lupa a0kan identitas mereka sebagai ratu dan brahmana, tentu saja hal ini membuat sang raja heran. Raja kemudian menanyakan kepada si brahmana mengapa terkesan ia tidak menderita dengan berbagai azab hukuman yang berat ini. Jawab si brahmana bahwa yang merasakan penderitaan tersebut adalah badan kasar mereka, ia berkata : “Aku dan Ahalya telah kehilangan tubuh kami sesuai dengan sankalpa kami. Yang kau hukum  bukan kami, karena kami berdua telah menyerap ke satu dan yang lainnya, jadi kami telah kehilangan identitas tubuh kami. Penderitaan tidak datang kalau kami berfikir akan hal-hal lainnya. 

Ramji, kisah ini menunjukkan bahwa setiap hal adalah pemahaman pikiran. Sewaktu jalan pikiran dapat dikendalikan maka penderitaan akan menghilang. Sang pikiran adalah pencipta dan penguasa semesta. Setiap hal terlaksana akibat visualisasi jalan pikiran, bukan karena pelaksanaan sang raga. 

Ramji, akash terdiri dari tiga jenis : 1.  Bhutakash (spasi elemen), 2.  chittakash (spasi mental) dan 3.  chidakash (spasi pengetahuan). Semua spasi ini bersifat tidak terbatas. Yang pertama ditunjang oleh yang kedua, dan yang kedua ditunjang oleh yang ketiga. Chidakash menerangi kedua-duanya. Apapun yang dikonsepkan di chidakash, akan terasakan. Berbagai objek-objek ini termanifestasi sesuai dengan sankalpa. 

Pertanyaan 110 : Prabu, menurut dikau tidak ada perbedaan diantara Brahm dan pikiran (manas) atau diantara si pelaksana dan karma, karena karma itu berasal dari si pelaksana, maka kedua-duanya saling terkait dan identik. Bagaimana hal ini dapat terjadi? Shastra-widhi mengatakan bahwasanya sang jiwa mendapatkan raga ini sesuai dengan karma-karmanya di masa lalu, namun bagaimana Brahm, jiwa dan karma ini dapat identik satu dengan yang lainnya? Mohon sudi dijelaskan dengan lengkap agar hapus keragu-raguanku ini. 

Jawab : Ramji, pertanyaanmu sangat baik, dengarkan juga dengan baik. Brahm ide atau modifikasi di dalam Kesadaran Murni – Atman – disebut pikiran (manas). Pikiran adalah benih dari berbagai kesadaran, setiap pelaksanaan adalah produk (buah) dari benih ini. Ibarat bunga dan wewangian, demikian juga hubungan pikiran dan karma. Aksi atau pelaksanaan adalah sejenis chitta dan chitta adalah sejenis aksi......kedua-duanya tidak dapat dibedakan. Berbagai aktivitas pemahaman ide-ide ini mengasilkan pahala.... baik dan buruk. 

Pertanyaan 111 : Prabu, seperti apakah bentuk pikiran ini? 

Jawab : Berbagai perihal mengenai pikiran adalah seperti berikut :

1.       Sang pikiran adalah unsur yang saling berhubungan antara yang gaib dan yang non-gaib.

2.       Sang pikiran memutuskan akan hal-hal yang berhubungan dengan kenyataan dan sebaliknya.

3.       Ia berperan sebagai sang jiwa begitu ia mendapatkan raga.

4.       Pikiran senantiasa berimajinasi, tidak bisa tidak. 

Ada beberapa nama lain dari sang pikiran ini, yaitu  budhi, ego, karma, imajinasi, memori, wasana, awidya, prakriti, alam, dan Maya. 

Pertanyaan 112 : Prabu, bagaimanakah berbagai ide tentang berbagai nama dan bentuk dan hubungan-hubungan mereka ini dapat hadir di Sang Atman yang bersifat non-dualistik yang menunjang akash yang ilusif ini? 

Jawab : Ramji, daya pemahaman murni yang hadir sebagai ide disebut pikiran (manas). Sewaktu daya pikir ini berubah menjadi keyakinan, maka ia akan merasakan dan mengalami ide-ide yang diyakini tersebut seperti benda-benda yang eksis dan yang tidak eksis. Tendensi sang pikiran ini disebut pemahaman atau intelegensia (budhi). Ego adalah tendensi palsu dari diri manusia. Memori adalah impresi yang berulang-ulang akan sesuatu hal atau benda. Ide yang hadir dari chitta, yang teguh kehadirannya di dalam pikiran disebut wasana. Sedangkan daya Sang Atman yang merasakan dan mengalami unsur dualitas yang non-eksis (nama dan rupa) disebut awidya (kebodohan atau kekurang-pengetahuan). Dan tendensi yang melupakan jati diri yang sebenarnya, yang menghancurkan diri sendiri dan yang merugikan Atma disebut Awidya yang prima. Modifikasi yang tersebar di jaringnya alam-semesta, di dalam Atman yang non-dual disebut prakriti (alam); sedangkan Sang Maya adalah unsur daya yang membuat yang nyata menjadi tidak nyata, dan yang tidak nyata menjadi nyata. 

Pertanyaan 113 : Prabu, pikiran itu unsurnya gaib atau tidak gaib (halus atau tidak halus)? 

Jawab : Ramji, sang pikiran itu tidak bersifat gaib atau non-gaib. Ia adalah tahap di antara kedua unsur tersebut, dan juga bersifat salah dan benar (ide dan non-ide), sankalpa-wikalpa adalah bentuk-bentuknya. Ia beroperasi di kedua tahap tersebut, dan dapat menjadi lembut ataupun sebaliknya. Seluruh alam-semesta ini adalah hasil kreasi dari berbagai ide, modifikasi di dalam chitta dan dirasakan dan dialami oleh sebab itu. Sewaktu seseorang terlepas dari ide dan pemahaman semesta ini, walaupun ia bekerja dan melaksanakan sesuatu ia tidak merasakan apa-apa lagi. Pikiran dikatakan sebagai penyebab berbagai ide-ide ini. 

Pertanyaan 114 : Prabu, dengan demikian dapat dikatakan bahwasanya semesta adalah ciptaan sang pikiran, dan bersifat unsurnya, dan sang pikiran adalah karma. Aku telah memahami yang dikau terangkan, namun bagaimana menyadari atau memahami dan merasakan alam ini secara pribadi? 

Jawab : Ramji, sang pikiran juga adalah sebuah ide atau ciptaan sang pikiran, pada hakikatnya sang pikiranpun tidak pernah diciptakan. Ibarat berkas cahaya mentari yang terkesan sebagai air di padang pasir, demikian juga sang pikiran adalah refleksi Sang Atman. Barangsiapa bebas dari ilusi-ilusi ini, maka ia adalah seorang yang telah bebas, dan iapun lepas dari siklus kelahiran. 

Pertanyaan 115 : Prabu, dikau mengatakan bahwasanya sang pikiran itu berunsurkan nyata dan tidak nyata (Sat-asat rupa) dan merupakan sumber dari berbagai jiwa yang berbeda-beda kadar kwalitasnya, ada yang satvik, rajasik dan tamasik. Tetapi sang pikiran itu tidak murni (asudha). Lalu bagaimana caranya ia dapat memproduksi kesadaran murni dan memanifestasikan dirinya sebagai alam-semesta yang maha luas? 

Jawab : Ramji, sebenarnya semua ini hanyalah Brahm semata dari sudut pandangan seorang gyani, bagi yang kurang pengetahuannya semua nama dan rupa ini layak sesuai dengan kwalitasnya. Bagi seorang gyani tidak ada unsur lainnya selain Sang Atman (Brahm). 

Pertanyaan 116 : Prabu, bagaimana halnya dengan keyakinan akan keterikatan dan kebebasan dapat hadir di dalam pikiran seseorang sebagai sesuatu yang nyata? 

Jawab : Ramji, hanyalah seseorang yang bodoh saja yang memahami keterikatan dan kebebasan, pada hakikatnya semua unsur tersebut tidak nyata adanya. Seorang gyani lepas dari semua pemahaman ide-ide tersebut. 

Pertanyaan 117 : Prabu, apakah ide (sankalpa) dan refleksi, yang walaupun bukan kenyataan, diterima sebagai suatu kenyataan? 

Jawab : Ramji, raga ini bersifat imajinasi (refleksi).Begitu imajinasinya begitu juga penciptaan (atau yang diciptakan), ibarat sebuah refleksi. Di raga ini hadir sang ego yang ibaratnya adalah hantu, sang jiwa menderita karena ego ini. Namun pada hakikatnya yang hadir hanya satu Paramatman yang tunggal. Beliau bermanifestasi dalam berbagai bentuk dan nama, termasuk ego (sankalpa) tersebut. 

Sri Vasishtha kemudian menambahkan sebuah cerita mengenai kisah Raja Lawan, yang secara singkat dinyatakan di sini. Setelah menyelami dan mendalami kisah ini maka seseorang peniti jalan spiritual akan memahami apakah itu sang pikiran...... aspek dari ide...... dan berbagai potensi sankalpanya, tendensi mencipta dan mencipta ulang, dalam waktu yang singkat sanggup memberikan ilusi. Ibarat seorang pesulap, maka pikiran itu memberikan rasa dan kefahaman akan sesuatu yang sebenarnya tidak eksis. 

Pada suatu zaman di sebuah negara yang disebut Uttrapad, berkuasalah seorang raja yang bernama Lawan, keturunan dinasti Raja Harishchandra yang amat termashyur. Sang raja ini sangat terkenal akan kedermawanannya. Pada suatu hari berkunjunglah seorang pesulap ke istana beliau dan menawarkan pertunjukan sulap bagi sang baginda. Si pesulap ini kemudian mengambil sehelai bulu burung merak dan mengipaskannya kepada sang raja, yang langsung terserap ke dalam situasi yang unik. Ia merasa mendapatkan seekor kuda dari seorang raja seniornya. Begitu ia menunggangi kuda tersebut, maka kuda ini langsung melaju ke sebuah tempat yang jauh dalam sekejab mata. Sang raja berubah pucat dan para ponggawa di istana yang hanya mampu menyaksikan sang raja, menjadi khawatir karena sang raja berubah menjadi amat pucat. Setelah agak sadar sang raja menggerak-gerakkan tangannya dan bertanya kepada hadirin siapakah dirinya dan siapakah yang berkuasa di istana tersebut. Tentu saja hadirin heran dan bertanya apa yang telah terjadi kepada sang raja. Dengan susah payah akhirnya sang raja berhasil disadarkan, ia kemudian merasa sangat gusar terhadap si pesulap yang dianggap telah menodai kehidupan spiritualnya. Berkatalah sang raja kepada para hadirin. Sewaktu Indrajali mengipaskan bulu merak tersebut, maka seketika aku menyaksikan sinar mentari berubah menjadi pelangi, dan kulihat seorang raja memberikan seekor kuda kepadaku, sewaktu kutunggangi kuda tersebut, maka iapun melaju pesat membawaku ke sebuah gurun pasir. Di gurun ini tidak terdapat setetes airpun, aku menderita sekali. Banyak suara burung di kejauhan namun tidak terlihat sesuatu apapun juga, kemudian aku melihat seorang wanita di kejauhan dengan sepanci nasi dan sari buah-buahan. Kuminta sedikit makanan dan minuman darinya, namun wanita ini tidak mau memberikannya karena ia merasa dirinya adalah kaum chandala (kafir), pemakan anjing yang tidak boleh disentuh. Sedangkan aku ini seorang raja. 

Setelah aku memaksa ia setuju memberikan makanan tersebut dengan syarat aku harus menikahinya, dan akupun terpaksa menyetujuinya. Di hadapan ayahnya kami melangsungkan upacara perkawinan kami dan semenjak itu kami hidup bersma-sama. Sehari-hari kami hanya makan daging, karena tidak ada makanan lain dan akupun tidak berdaya selain mengikuti kemauan mereka. Istriku kemudian melahirkan seorang putri, tiga tahun kemudian seorang putra, dan pada tahun-tahun selanjutnya lebih banyak lagi anak-anak yang lahir. Akupun berubah menjadi seorang chandala dan harus menderita lama sekali menghadapi perubahan dan kehidupan tersebut. 

Pada suatu saat terjadi malapetaka berupa musim panas yang amat berkepanjangan dan kami semua terpaksa pindah ke lokasi yang lain. Aku telah lupa dan kehilangan identitasku. Sehari-hari aku merasa sebagai seorang chandala. Pada saat itu kami dilanda kelaparan yang amat sangat, dan putra bungsuku yang kelaparan menangis terus meminta makanan namun kami tidak memiliki apapun juga, jadi kutawarkan agar badanku dipanggang dan dijadikan santapan baginya dan iapun setuju. Kubuat bara api dan aku melompat ke dalamnya, pada saat itu badanku tergetar dan aku sadarkan diri di hadapan anda semua. Mendengarkan kisah tersebut sang pesulap langsung menghilang. 

Resi Vasishtha kemudian berkata : “Ramji, aku telah mengisahkan kepadamu keadaan dan kekuatan sang pikiran, sesuai dengan kebutuhan kehidupan maka banyak ikatan yang terasakan oleh sang pikiran, namun sewaktu sang pikiran masuk ke dalam tahap yang tenang, maka tercapailah kedamaian dan kesadaran. Oleh sebab itu lepaskanlah dirimu dari sang pikiran dan tetapkanlah pikiranmu ke dalam Sang Atman. 

Ramji, sewaktu chitta melupakan sang Atman, maka timbullah berbagai ilusi dan seorang manusia langsung berkelana melalui jalan pikirannya di dalam berbagai keterikatan. Sewaktu chitta yang merupakan aspek dari Paramatma melupakan Brahm dan terfokus ke arah sankalpa, maka berbagai ilusi semestapun terasa dan dialami sebagai kenyataan. Ramji, sekarang aku akan mengajarkan kepadamu beberapa cara yang mudah untuk mengendalikan diri dan sang pikiran, dan seandainya dikau mengikutinya dengan baik, maka dikaupun akan sanggup mencapai tahap yang agung dan mulia :

1.           Senantiasalah berefleksi dan berupaya ke arah Sang Atman, yang adalah (Zat) Nyata dan tanggalkanlah ikatan-ikatan duniawi dan ragamu.

2.           Sadarlah bahwa semua nama dan rupa duniawi ini yang berbentuk dan bernama ini adalah binasa, jadi tanggalkanlah semua itu.

3.           Ibarat seseorang yang senantiasa mengejar objek-objek duniawi dengan sekuat tenaga, maka kejarlah Sang Atman dengan cara yang sama dan lambat-laun dikau akan kehilangan wasanamu, dan menyatu dengan Sang Atman.

Demikianlah mantra-mantra yang agung ini kuberikan kepadamu agar tercapai tujuanmu, yaitu Sang Atman. 

Pertanyaan 118 : Prabu, bagaimanakah menyingkirkan instabilitas sang pikiran ini? 

Jawab : Ramji, instabilitas adalah sifat utama sang pikiran. Pengendalian sang pikiran akan ide-ide yang ilusif duniawi ini akan mengantarkan seseorang ke moksha (pembebasan). Instabilitas ini berhubungan sekali dengan kekurang-imanan dan kekurangan kesadaran (awichar) seseorang itu sendiri; melalui upaya-upaya spiritual (wichar) maka stabilitas pikiran ini bisa dipulihkan. Tahap nyata (Sat) dan tidak nyata (asat), tahap yang gaib dan sebaliknya disebut sang pikiran. Melalui jalan wairagya, Ramji, arahkan pikiranmu ke jalan Sang Atman. Jati dirimu yang sebenarnya bersifat shanti (damai) dan senantiasa bersemayam di dalam dirinya sendiri. 

Pertanyaan 119 : Prabu, seandainya semua ini bersifat ilusi, mengapa wasana dapat bangkit? 

Jawab : Ramji, wasana timbul akibat ilusi (bukan sebaliknya). Jadi dikau harus mengekang dan menghentikan wasana ini, agar ilusimu ikut hilang. Orang-orang yang bijak tidak memiliki wasana yang non-eksis ini, yang berasal dari dunia yang juga non-eksis ini. Ramji, dikau ini bukan si pelaksana dan bukan juga sebaliknya. Kedua kata-kata tersebut adalah sifat-sifat dualistik. Hentikan ide yang palsu tersebut dan stabilkan dirimu di dalam jati dirimu yang sejati. 

Ramji, awidya juga bersifat non-eksis dan bersumber dari sankalpa. Awidya menghilang seandainya wairagya dikembangkan, bahkan kepercayaan bahwa Atman hadir di anatma, dan anatma di dalam Atma adalah hasil dari awidya ini. Namun seandainya dikau berupaya ke Atman untuk jangka waktu yang lama (dan intensif) dikau akan mencapai tahap non-hasrat dan menikmati kebahagiaan Ilahi. 

Pertanyaan 120 : Prabu, semua pengalaman hidup di dunia ini didasari oleh awidya, Bagaimana upayanya agar mendapatkan kebebasan dari awidya ini? 

Jawab : Ramji, ibarat salju yang mencair terkena sinar matahari, demikian juga kekurang-pengetahuan menghilang terkena cahaya Sang Atman. Sampai dengan awidya dapat dihancurkan maka sang jiwa akan selalu menderita oleh berbagai sebab yang tak terhitung jumlahnya. 

Pertanyaan 121 : Prabu, dunia ini adalah produk awidya. Awidya hancur oleh Atman. Apakah Atman itu? 

Jawab : Ramji, Kesadaran yang disebut Atman atau Yang Maha Berkuasa (Prarameshwara) adalah Sesuatu yang bebas dari berbagai ide-ide (pemahaman) duniawi ini. Beliau itu hakikatnya selalu sama di dalam keadaan apapun juga, tidak pernah berubah-ubah, tidak pernah dilahirkan ataupun akan binasa, dan beliau itu hadir secara sama rata di dalam semuanya. Sifat Beliau difahami sebagai Abubhawa (pemahaman) dan Agung (Ishwara-Rupa). Hanya beliau yang hadir di benda apapun juga. Dari Brahma sampai ke atom hadir Sang Atman ini, dengan demikian dikatakan bahwasanya seluruh jagat-raya ini adalah sifat-sifat alami Sang Brahman atau Sang Atman (Atma-swarupa). Semua nama, bentuk dan rupa adalah Atma-swarupa. 

Pertanyaan 122 : Prabu, apakah yang menyebabkan langit berwarna biru? Apakah karena kegelapan total? 

Jawab : Ramji, akash (langit, antariksa, kekosongan, ether) berbentuk kekosongan (vakuum), tidak ada kegelapan maupun bayangan di sana. Kosmos (buana agung) ini merupakan kegemerlapan Sang Atman yang bercahaya dari Dirinya Sendiri. Itulah sebabnya akash terlihat biru, karena tidak ada warna lain selain kekosongan di sana. Hanya menusia yang kurang pengetahuannya saja yang “melhat” warna biru, kaum bijak tidak melihat warna apaun juga. 

(Fenomena warna antariksa telah difahami oleh para resi guru ribuan tahun yang lalu, dunia Barat baru mengetahuinya setelah satelit mengirimkan gambar-gambar antariksanya. Padahal di zaman yang silam tidak ada teknologi namun para resi mampu berkelana ke jagat-raya melalui daya semadi mereka, bahkan mengunjungi loka-loka para dewata. Ini menunjukkan betapa dashyat pengetahuan dari para resi guru Sanatana (Hindu)-dharma ini). 

Pertanyaan 123 : Prabu, seperti apakah bentuk ilusi yang identik dengan awidya (agyan-rupa maya) ini, yang sanggup menggelapkan setiap jiwa di dalam semesta yang tidak eksis ini? 

Jawab : Ramji, sudah beberapa kali aku mengulang-ulang fenomena ini, dan akan kuulangi sekali lagi. Kekurang-pengetahuan atau awidya ini adalah sifat sang pikiran. Begitu idenya begitu juga bentuk awidyanya. Awidya timbul kalau seseorang melupakan Sang Atman dan sebaliknya awidya ini hilang kalau Sang Atman muncul. Kebodohan itu tidak lain dan tidak bukan adalah sang pikiran itu sendiri. 

Pertanyaan 124 : Siapakah Indrajali, si pesulap yang mampu menggoyahkan raga suci Raja Lawan dan kemudian menghilang? 

Jawab : Ramji, pada suatu waktu sebelum Raja Lawan digoyahkan oleh Indrajali, raja ini selama satu setengah tahun membayangkan melaksanakan upacaya korban Rajasuya Yajna, seperti yang pernah dilaksanakan oleh kakeknya Raja Harishchandra. Karena Yajna ini dilakukan secara imajinatif maka sesajen dan upacara pengorbanan bersifat ilusi juga. Khayalan sang raja ini membuat Dewa Indra sangat gusar, beliau lalu mengutus salah satu dewa untuk menyamar sebagai Indrajali dan kemudian membuat sang raja menderita sebagai seorang chandala, setelah selesai dengan tugasnya Indrajali kemudian kembali ke swargaloka*). 

Keterangan :

*) Kisah ini menunjukkan salah satu ciri karma, yaitu pikiran yang salah jalanpun dapat berakibat fatal. Kalau tidak dikendalikan maka pikiranpun dapat menghasilkan karma, karena sudah merupakan suatu pelaksanaan raga ini. 

Pertanyaan 125 : Prabu, seperti apakah hubungan di antara sang jiwa dan sang raga? bagaimana menghadapi akibat dari berbagai tindakan yang baik dan buruk? 

Jawab : Ramji, raga ini kaku dan keras ibarat kayu atau batu. Seperti halnya berbagai benda-benda lainnya yang tercipta di dalam ilusinya sang chitta, demikian juga halnya raga ini diimajinasikan oleh sang chitta. Sehubungan dengan realisasi ini maka chittapun mencapai tahap sang jiwa. Ego, pikiran, jiwa adalah berbagai nama dan bentuk-bentuk sang chitta ini. Chittalah yang mengalami penderitaan ini, juga mengalami kebahagiaan, bukannya raga, karena ia berhubungan dengan Sang Atman. Karena kekurang-pengetahuan sang jiwa, maka ia yang didominasi oleh egonya merasa ialah yang mengalami dan menjalani penderitaan dan kebahagiaan ini, sesuai dengan karmanya. 

Pertanyaan 126 : Prabu, dikau mengatakan bahwa semua kebahagiaan dan penderitaan eksis di dalam pikiran, dan seseorang mampu bebas dari unsur-unsur tersebut sewaktu sang pikiran dikalahkan. Mohon sudi diterangkan bagaimana faham pemikiran ini dapat dikalahkan? 

Jawab : Ramji, dengarkanlah dengan baik tentang metode-metode penghentian faham-faham sang pikiran ini. Dengan upaya yang intensif dikau akan mampu mengendalikan sang pikiran ini. Semua jiwa adalah ciptaan sang pikiran dan bersifat (berkwalitas) tiga: Satvik (suci)....rajasik (dinamik).....tamasik (bodoh, kotor). Sewaktu pemahaman pikiran yang utama yang hadir di dalam, kesadaran murni mengarah keluar, maka hal tersebut dikatakan sebagai sang pikiran...... juga disebut  Brahma. Begitu pemahaman pemikiran Hyang Brahma demikian juga hasil ciptaan-ciptaannya.  Sewaktu ide-ide ini mengarah ke dalam, maka jagat-raya kreasi Brahma  tersebut dapat dihapuskan. Demikianlah sang Brahma ini senantiasa mencipta dan menghapus lagi berbagai ciptaan-ciptaannya. Oleh sebab itu arahkan dirimu ke  arah sang Atman, dan dikau akan mencapai tahap yang murni. Dengan demikian ketujuh loka (tahap) yaitu bhumikas-gyana, seperti yang dimiliki sang chandra, akan menerangi chittamu. 

Pertanyaan 127 : Prabu, bagaimanakah ketujuh tahap bhumikas-gyana ini hadir di dalam pikiran? 

Jawab : Ramji, Sang Atman adalah ibarat sebuah pohon dan purushartha seseorang ibaratnya adalah musim semi (bunga). Dan dua jenis tumbuh-tumbuhan..... yaitu : kebaikan dan kebatilan..... hidup dengan air purushartha. Dengarkanlah sekarang apa itu unsur gyana (pengetahuan) dan agyan (kebodohan). Sewaktu seseorang memutuskan untuk bertahan di dalam kemurnian kesadaran, setelah melepaskan pemahaman pemikirannya yang duniawi, maka hal tersebut dikatakan sebagai gyana. Sewaktu sang jiwa menjauh dari sang Atman, karena berasosiasi dengan ego yang hadir di dalam pemahaman kesadarannya ini, maka tahap tersebut dikatakan sebagai agyana (kebodohan), atau jauh dari pengetahuan. 

Pertanyaan 128 : Prabu, apakah yang dimaksud dengan menstabilkan diri ke dalam Sang Atman (swarupa) dan seperti apakah berbagai tahap bhumikas ini? 

Jawab : Ramji, tahap damai diantara kedua tahap kesadaran yaitu tahap sadar dan tahap tidur lelap..... adalah tahap penghubung (sandhi). Tahap penghubung ini lepas dari berbagai hasrat, sankalpa dan di dalam tahap ini tidak eksis berbagai objek-objek di jagat-raya ini. Bertahan secara tegar di tahap ini disebut menstabilkan diri ke dalam Sang Atman. Bertahan secara tegar di tahap ini, di mana seseorang menghentikan semua hasrat-hasratnya, atau tak bernafsu ibarat sebuah batu, namun tetap bersikap awas di dalam tahap ini disebut sebagai menstabilkan diri di dalam sang Atman. Tahap ini bebas dari berbagai pemahaman pikiran seperti “aku dan dikau”, dan juga dari unsur-unsur nyata dan tidak nyata, juga dari sang jiwa dan Brahm. Tahap ini lepas bebas dari berbagai unsur, dan merupakan kesadaran murni, di luar kata-kata untuk menerangkannya. 

Dengan melupakan Sang Atman, maka sang jiwa berkelana di berbagai tahap awidya, dan tahap-tahap ini berjumlah tujuh, yaitu:

1.       Tahap benih kesadaran (bij-jagrat)

2.       Tahap sadar (jagrat).

3.       Tahap maha sadar (maha jagrat)

4.       Tahap sadar-mimpi (jagrat-swapna)

5.       Tahap mimpi (swapna)

6.       Tahap mimpi-sadar (swapna-jagrat), dan

7.       Tahap tidur lelap (sushupti)

Kesemua tahap-tahap ini adalah tahap keterikatan. Sekarang, dengarkanlah tentang karakteristik tahap-tahap keterikatan ini. 

 

TUJUH TAHAP KEBODOHAN (AWIDYA) 

1.     Tahap benih – kesadaran : Di dalam Kesadaran Utama yang disebut juga ashabad-pada (jauh dari semua jangkauan suara), maka ego yang muncul pertama-tama adalah sang jiwa. Sang jiwa ini adalah benih pemula dari berbagai benda dan disebut tahap benih kesadaran. 

2.     Tahap sadar : Dari tahap pengertian di atas, maka lahirlah tahap ini, yang penuh dengan ego yang membedakan satu dengan yang lainnya, contoh “aku”, “dikau”, “punyaku-punyamu”, dsb. 

3.     Tahap maha sadar : Sebagai akibat kelahiran yang berulang-ulang, di jagat-raya ini, maka tahap ini disebut tahap maha sadar. 

4.     Tahap sadar-mimpi : Tahap ini adalah tahap ilusi duniawi yang lahir dari tahap di atas. 

5.     Tahap mimpi : Di dalam tahap tidur lelap, sang pikiran yang aktif bekerja akan membayangkan berbagai hal, benda dan fenomena, sewaktu sadar kembali, iapun lalu faham bahwa semua hal tersebut tidaklah nyata. Tahap ini disebut tahap mimpi. 

6.     Tahap mimpi-sadar : Di dalam tahap ini seseorang sadar akan mimpi yang baru saja dialaminya, dan masuk lagi ke ilusi duniawi ini yang kemudian akan menjurus ke tahap maha sadar. 

7.     Tahap tidur lelap (sushupti)..... Sewaktu semua keenam tahap tersebut di atas tidak hadir lagi, dan tercipta sikap non-ide, maka tahap penghayatan ini disebut sebagai tahap tidur lelap (tahap ini hanya dapat dicapai oleh seorang gyani, yang bekerja namun tidak bekerja dan tidak aktif namun sangat aktif). 

 

TUJUH TAHAP PENGETAHUAN 

1.     Hasrat-hasrat yang benar : Hasrat yang mengarahkan sang pikiran dari ilusi jagat-raya ke Sang Atman Yang Maha Hakiki; bersikap wairagya dengan mengikuti ajaran para resi guru dan skripsi-skripsi suci demi pencapaian tujuan spiritual, disebut hasrat yang benar (shubh ichcha). 

2.     Refleksi diri dan upaya-upaya spiritual (wicharna) : Berefleksi ke berbagai skripsi-skripsi suci, berasosiasi dengan para orang-orang suci, hidup di dalam sat mengupayakan kebenaran dalam tindak-tanduk sehari-hari, menerima yang nyata dan hakiki, menolak unsur-unsur yang sebaliknya.... semua ini disebut wicharna. 

3.     Tanumanas : Dengan mengikuti ketentuan-ketentuan spiritual di atas dan mengupayakan diri ke Sang Atman, maka seseorang mengendalikan berbagai indriyasnya dan mencapai tahap kelembutan yang disebut Tanumanas

4.     Sattwapati : Mengupayakan ketiga ketentuan di atas, menolak ilusi duniawi dan menstabilkan diri ke Sang Atman melalui berbagai upaya spiritual yang dianjurkan skripsi-skripsi suci.... kesemuanya ini disebut sebagai tahap Sattwapati

5.     Asamsakti : Bersikap tenang dan tidak terganggu dalam keempat tahap di atas, disebut tahap Asamsakti. 

6.     Padartha Bhawni : Sewaktu seseorang telah sadar akan ilusi jagat-raya ini dan secara tetap bersikap shanti di dalam Sang Atman, maka tahap ini disebut Padartha Bhawni

7.     Turiya : Sewaktu keenam tahap di atas telah dijalani secara berkesinambungan, maka jalan pikiran insan tersebut akan bersatu dengan sang Atman secara tegar dan unsur-unsur dwandas (dualistik) akan sirna. Tahap ini disebut Turiya. Tahap ini adalah tahap kebebasannya seorang jiwanmukta. 

Demikianlah upaya-upaya purushartha seseorang, yang mengantarkan orang tersebut ke tujuan yang hakiki. Ia disebut insang agung. 

Pertanyaan 129 : Prabu, dikau pernah mengajarkan perumpamaan antara emas dan perhiasan, namun sudilah menerangkan kepadaku bagaimanakah sang ego ini timbul di dalam Sang Atman? 

Jawab : Ramji, ego dan unsur-unsur lainnya bersifat tidak nyata dan ilusif namun semua ini tidak lepas-bebas dari pengaruh Sang Atman. Hal ini disebut juga sebagai keagungan Sang Atman, ibarat perhiasan yang terbuat dari emas dan emas itu sendiri sebagai bahan bakunya; ibarat ombak dan samodra, kedua hal tersebut adalah sama-sama air namun nama dan rupanya berbeda, jadi pada hakikatnya semua ini tidak ada yang tidak berunsur Atman, secara hakiki Atman hadir di dalam semuanya. 

Pertanyaan 130 : Prabu, bagaimanakah mimpi dapat dirasakan sebagai suatu kenyataan? 

Jawab : Ramji, semua itu akibat dari awidya. Unsur awidya ini sangat kuat, dan mampu membolak-balikkan yang nyata ke ilusi dan sebaliknya. Nama lainnya adalah wasana

Pertanyaan 131 : Prabu, apakah Brahm itu, yang menimbulkan tiga unsur yaitu : yang melihat......melihat......penglihatan? 

Jawab : Daya yang mendasari ketiga unsur spiritual di atas namun tidak terlihat ketiga-tiganya, unsur tersebut adalah Brahm. Ramji, pada saat ini dikau telah memahami berbagai hal yang perlu dikau ketahui, jadi tidak penting lagi, apakah dikau memiliki raga atau tidak. Sifatmu adalah pengetahuan, stabilkan dirimu di dalam Dirimu sendiri yang bersifat cahaya universal. Dikau adalah unsur abadi di atas perubahan, di luar dikau semuanya tidak abadi. Hanya Sang Atman yang hadir di dalam Dirinya Sendiri.

\

 

Kembali ke halaman daftar isi Vasishta Yoga            Kembali ke halaman daftar isi Sastra