VAIRAGYA PRAKARANA

Vinneka Tunggal Eka                                 Pelepasan Ikatan-Ikatan Duniawi

  

Suatu saat, Sutikshna menghampiri gurunya Sri Agasti Muni agar sudi dibimbing jalan spiritualnya yang masih terliput oleh berbagai unsur-unsur keragu-raguan, iapun bertanya : “Prabu, seperti apakah upaya-upaya sang jiwa demi pencapaian pembebasan spiritual (moksha) ini?. Apakah melalui jalan karma (bekerja, aksi, pelaksanaan) atau melalui jalan gyana atau melalui kedua-duanya?” 

Sang guru yang telah mencapai pencerahan spiritual ini menjawab : “Kedua-duanya sangatlah menentukan demi pencapaian moksha ini. Kalau satu saja yang diambil maka moksha yang dituju tidak akan tercapai”. 

“Wahai Prabu, bagaimana caranya sang jiwa mampu mendapatkan manfaat dari jalan karma ?”, tanya Sutikshna. 

Agasti Muni menjawab : “Karma meningkatkan kadar kemurnian jalan pikiran. Dengan demikian sang jiwapun terlepas dari (berbagai ikatan duniawi), dan mampu membedakan antara kebenaran dan yang tidak benar, dan mencapai tahap lembut ilmu-pengetahuan (gyana) yang menghasilkan pembebasan. Aksi membantu seseorang dengan menajamkan daya intelegensia dan menambah pendalaman pemikiran, kemudian Atmagyan (pengetahuan akan sang Jati Diri, Atman) akan segera terealisir”. 

“Prabu, bukankah lebih baik seandainya seseorang lebih mengkonsentrasikan dirinya ke Atmagyan demi pencapaian pembebasan spiritual?“ 

Resi Agasti : “Bagi seorang peniti jalan ini, maka dua jalan tersebut yaitu karma dan gyan adalah sama pentingnya, ibarat sepasang sayap burung”. 

Resi Agasti kemudian mengisahkan sebuah dialog antara Raja Arishtnemi dan Resi Walmiki, di dalam dialog ini Resi menurunkan ajaran Sri Yoga Vasishtha ini. Raja Arishtnemi pernah bertanya kepada Resi Walmiki : “Prabu, sudilah menerangkan kepadaku bagaimana caranya menghasilkan kebebasan dari ikatan-ikatan duniawi ini ?” 

Seperti halnya Sri Rama, setelah mendengarkan ajaran-ajaran Sri Vasishtha, iapun berhasil menyatu dengan Sang Jati Diri, dikaupun seyogyanya mengikutinya”, jawab Resi Walmiki. 

“Prabu, siapakah Sri Rama dan bagaimana caranya beliau mencapai pembebasan”, tanya Raja Arishtnemi. 

Resi Walmiki menjawab, “Hyang Wishnu, sumber ilmu pengetahuan yang tak terbatas, berawatara sebagai seorang manusia biasa, sesuai dengan pengaruh kutukan yang pernah diterimanya, dan iapun terliput oleh kekurang-pengetahuan. Awatara ini dikenal sebagai Sri Ramachandra (Rama), dan Beliaupun terbebas dari duniawi ini setelah mendapatkan pelajaran dari Sri Vasishtha Muni. 

Sebelumnya, Resi Walmiki pertama-tama telah mengajarkan ajaran ini kepada seorang muridnya yaitu Bharadwaj yang juga berhasil mencapai pembebasan. Resi Walmiki mengungkapkan kepadanya akan “Karakter sementara” dari alam semesta ini, dan semua fenomena ini bisa raib melalui kontemplasi. Bharadwajpun yakin bahwasanya seorang peniti akan memahami secara praktis sifat-sifat ilusif alam semesta ini, kalau tidak ia tidak mungkin terbebaskan. Sewaktu semua objek hilang dari jalan pikiran, maka yang tersisa hanyalah Sang Atman. Nafsu adalah akar dari ikatan dan sewaktu nafsu ini hilang, maka tercapailah kebebasan. Sampai dengan masa tersebut sang jiwa ini berkelana terus. Sri Rama kehilangan berbagai nafsu dan hasrat duniawinya dan melepaskan segala-galanya. 

Rasa hambar akan kenikmatan duniawi bertumbuh setelah seseorang menyadari bahwa seluruh objek-objek duniawi bersifat sementara dan ilusif. Iman semacam ini hanya dapat berkembang setelah melewati usaha-usaha spiritual yang panjang (lama). Tanpa iman dan bakti, maka kebahagiaan pembebasan (Ilahi) tidak akan dapat dinikmati, apalagi pembebasan spiritual. Agar semangat wairagya tumbuh dengan kuat, maka Sri Rama mencoba untuk meneliti setiap objek dan kemudian menampik objek-objek ini karena bersifat ilusi (Upaya ini disebut sebagai yoga disiplin diri). 

Sewaktu Bharadwaj memohon Resi Walmiki agar sudi mengisahkan kepadanya dialog antara Sri Rama dan Sri Vasishtha, maka pertama-tama Resi Walmiki menjelaskan perkembangan Sri Rama di masa mudanya, khususnya mengenai perkembangan Wairagyanya kemudian baru beliau menjelaskan dialog antara Sri Rama dan sang guru Sri Vasishtha Muni. 

Resi Walmiki memulai dengan menjelaskan kepada Bharadwaj beberapa kejadian penting di dalam kehidupan Sri Rama. Misalnya sewaktu masih dalam pendidikan ashram, Sri Rama sering menginginkan untuk bertirta-yatra. Pada suatu saat dengan izin ayahnya Raja Dasaratha, Sri Rama bertirta-yatra selama setahun, dan sekembalinya beliau menyepi sendiri. Demikianlah rasa Wairagya berkembang didalam batinnya dan sering sekali Sri Rama terserap secara kuat di dalam batinnya. Semua fenomena dan benda-benda duniawi ia rasakan sebagai bersifat sementara, ilusif, dan tidak mengikat lagi baginya. Sewaktu Raja Dasaratha sadar akan hal ini, beliaupun menjadi sangat prihatin, beliau kemudian memohon petunjuk Resi Vasishtha, guru dinasti kerajaan ini. Resi menjelaskan kepada sang raja bahwasanya Sri Rama sedang larut dalam ide-ide spiritual yang akan menghasilkan suatu kepuasan batin pada saatnya nanti, jadi sang raja tidak perlu khawatir akan hal tersebut. Tepat pada saat tersebut Resi Wiswamitra berkunjung ke sang raja untuk memohon bantuan, agar Sri Rama dan Laksmana, adiknya diperkenankan untuk menumpas dua asuras yang bernama Khar dan Dushan yang mengganggu ashramnya. Sejenak sang raja terhenyak oleh permintaan tersebut karena kedua putranya masih sangat muda, namun atas anjuran Sri Vasishtha kemudian sang raja memanggil kedua putranya ini untuk menghadap dirinya. 

Sewaktu utusan raja sampai ke tempat kediaman Sri Rama, mereka menyaksikan Sri Rama sedang larut dalam renungan-renungannya, dan sering bergumam akan hal-hal yang bersifat pemasrahan total dari dunia ini. Sang raja yang mendapatkan laporan ini semakin kalut pikirannya namun sekali lagi Resi Vasishtha menjelaskan hal tersebut sudah menjadi jalan hidup Sri Rama, dan mohon agar sekali lagi Sri Rama dipanggil, sekali ini untuk bertemu dengan sang resi. Sri Rama ternyata hadir untuk menemui beliau dan langsung disambut oleh sabda ayahnya : “Anakku, kebebasan spiritual tidak mungkin tercapai tanpa berkarma maupun dengan menjauhi materi duniawi ini. Tetapi dapat dicapai sewaktu melalui Sri Vasishtha secara benar. Selesai sang raja menasehati putranya, maka Sri Vasishtha memuji sikap Sri Rama yang penuh dengan unsur-unsur wairagya ini. Resi Wiswamitra kemudian meminta Sri Rama agar secara tenang mengemukakan problem-problem spiritualnya agar sang resi dapat meringankan penderitaannya ini. Sri Rama kemudian menyatakan seperti berikut ini : 

 

PERNYATAAN SRI RAMA AKAN PERASAAN-PERASAAN WAIRAGYANYA 

Prabu, aku terlahir di kerajaan Raja Dasaratha. Dan sekembalinya aku dari berbagai tirta-yatraku, maka jalan pikiranku merasakan bahwasanya alam-semesta ini seluruhnya bersifat tidak abadi dan ilusif, seluruh harta benda dan kerajaan ini sudah tidak benar bagiku, lalu untuk apa semua pemuasan nafsu dan hasrat-hasrat ini? 

Tidak ada kepentingan untuk menguasai semuanya ini, karena semuanya ini adalah jalan yang ilusif sifatnya, lalu bagaimana mungkin hasilnya dapat bersifat nyata ? Yang tidak nyata  pastilah tidak abadi dan penuh dengan penderitaan. Aku yakin seluruh ciptaan ini ibaratnya adalah fatamorgana (refleksi imaginatif di padang pasir). Dari luar memikat namun di dalamnya kosong melompong. Lalu untuk apa seseorang harus menghasratkan hal-hal tersebut ? Bagiku semua ini ibarat gigitan seekor ular, dan yang tergigit merasa hidupnya tidak akan lama lagi. Seluruh objek-objek kenikmatan dan kenyamanan adalah sumber penderitaan, sewaktu mereka ini hilang, hadirlah penderitaan yang mendalam. Secara susah payah seseorang mendapatkan harta-bendanya dan sewaktu ia kehilangan harta ini, maka ia akan terbungkus oleh berbagai nafsu dan hasrat-hasratnya. Itulah pengalamanku selama ini. Secara lambat laun, dan secara diam-diam, nafsu menguasai sang jiwa, dan merupakan kebodohan kalau kita lalu menginginkan atau berhasrat dan bernafsu akan sesuatu”. 

Manusia melakukan berbagai dosa-dosa demi menumpuk kekayaan, karena sulit berbuat sebaliknya. Sewaktu kekayaan ini didapatkan maka semua bentuk kebajikan seperti interospeksi, semangat, kebenaran, damai, kesadaran dan lain sebagainyapun menghilang, akibatnya sang jiwa masuk ke dalam bentuk penderitaan yang dashyat. Sewaktu kekayaan ini menghilang maka sang jiwa terliput oleh berbagai nafsu, dan iapun terlibat ke dalam siklus kelahiran dan kematian yang tidak ada habis-habisnya ini. Hanya orang-orang yang bodoh saja yang menghasratkan kekayaan, padahal kekayaan ini tidak akan melekat terlalu lama dengannya, dan sewaktu kekayaan ini meninggalkannya maka yang ditinggalkannya adalah kepanjangan penderitaan belaka. Memahami perihal ini, maka aku telah menampik kekayaan “. 

“Prabu, ego adalah musuh menakutkan bagi manusia. Ego adalah kreasi sang kebodohan, ego adalah penyandang dosa yang besar. Ego adalah penyebab semua penderitaan. Di mana hadir ego maka di sana hadir juga penderitaan dan rasa khawatir yang sulit sekali untuk dihindari. Berbagai pelaksanaan seperti dana-punia, tirta-yatra, yajna, pemujaan dan lain sebagainya yang dilaksanakan berdasarkan ego adalah perbuatan yang sia-sia. Yang Maha Kuasa tidak dapat dicapai melalui semua pelaksanaan ini. Ego adalah akar penyebab semua bentuk penderitaan di alam-semesta ini. Sang jiwa mencapai pembebasan hanya sewaktu sang ego ini sirna. Sudilah mengajariku cara-cara penghapusan ego ini, agar tercapai pembebasan bagiku”. 

“Prabu, sang chitta ini bersifat tidak stabil, ibarat ekor anjing atau ekor burung merak, unsur ini tidak pernah stabil. Ibarat ekor anjing yang bergoyang terus-menerus, maka sang chitta (kesadaran) inipun berkelana terus menerus demi pemuasan berbagai nafsu-nafsunya. Sehubungan dengan berbagai bentuk nafsu, rasa marah, kejahilan dan ego, maka sang chitta menjadi terpangkas kehadirannya dan gagal untuk melaksanakan berbagai unsur-unsur kebajikannya. Karena hal tersebut maka Wairagya, wichar (refleksi ke dalam diri) dan pertahanan imanpun menjadi hilang. Sang chitta kemudian mengejar hal-hal yang tidak bersifat abadi, dan semua pelaksanaan ini tidak mengarah ke manapun juga (sia-sia) saja. 

Kapasitas sang chitta menjadi dashyat dan seseorang tidak akan mampu memperkirakan (mencegah) sewaktu unsur ini terseret ke arah berbagai kenikmatan.  Bahkan pikiran yang stabilpun kehilangan stabilitasnya (pada saat itu). Oleh karena itu aku merasa jijik akan chittaku ini yang tertekan oleh berbagai bentuk nafsu yang menghalangiku dari jalan pencapaian spiritualku. Itulah sebabnya aku sangat menderita. Karena menyandang kekurang-pengetahuan  maka aku tidak mampu mencapai pembebasan. Begitu aku mengarahkan pikiranku ke Sang Atman maka sang chittapun terseret ke putaran nafsu, aku kehilangan tenagaku dan tidak mampu untuk maju ke arah sang Atman. Sang chitta adalah penghalang besar yang menghadang kemajuan spiritualku. Sudilah menuntunku agar dapat mengalahkan musuhku ini demi pencapaian kebebasanku. 

“Prabu, sewaktu sang hasrat timbul, maka berbagai nafsu, kemarahan, kebatilan dan egopun ikut-ikutan timbul. Namun sewaktu gyana (ilmu-pengetahuan) akan Kebenaran Hakiki tercapai, maka berbagai nafsupun sirna secara otomatis (alami), begitupun unsur-unsur lainnya menghilang secara diam-diam. Gyana ini ibaratnya seperti lokasi kebakaran yang terbakar habis, kecuali Sang Atman. Sewaktu seseorang stabil imannya di dalam  Sang Atman, maka ia akan menyadari aspek universal Sang Atman ini. Sang Hsrat mengakibatkan berbagai pikiran yang aneh-aneh di dalam sang jiwa dan ini membuat sang jiwa ini berkelana terus menerus. Pada saat aku memutuskan untuk bersemayam di dalam Sang Atman, maka nafsu menggagalkan pikiranku ini. Sang nafsu ini terlalu kuat, ia selalu menghalangi jalan seseorang ke arah Sang Atman. Keluarga merupakan sebuah perangkap yang disediakan oleh sang nafsu dan aku terperangkap olehnya, aku menjadi jauh sekali dari sang Atman. Walaupun aku telah berusaha sekuat tenaga, namun aku tidak berdaya sama-sekali. Sang nafsu tidak pernah menuntun ke arah kebahagiaan, sang nafsu hanya mengakibatkan penderitaan ini, ia menjauhkan seseorang dari Atmagyan dan orang inipun lalu kehilangan kesadarannya akan hal-hal yang nyata dan yang tidak nyata. Sudilah menyarankan kepadaku cara pencapaian pembebasan dari sang nafsu ini. Sang nafsu tidak bisa dibunuh kecuali melalui Wairagya (pemasrahan total) dan kesadaran (wiweka)”. 

“Wahai resi yang agung, yang terdiri dari maha panca bhuta inipun sangat mengganggu. Raga ini penuh sesak dengan tulang, daging, dan penyakit dan tidak menghasilkan tujuan apapun juga. Aku sudah tidak tertarik lagi kepada raga ini, aku sudah tidak membutuhkannya lagi. Raga ini sifatnya tidak abadi tetapi juga abadi. Karena raga ini berfungsi kalau ditunjang oleh hal-hal lainnya, maka disebut abadi. Namun pada saat kekuatan Sang Atman ditarik maka raga ini berubah menjadi impoten (tanpa daya), itulah sebabnya disebut tidak abadi atau kasar (Sang Atman adalah unsur yang lembut). Raga semacam ini adalah penyebab penderitaan yang dashyat dan raga ini tidak akan bertahan selama-lamanya. Oleh karena itu, aku tidak menghasratkan raga ini. Raga ini hadir akibat kekurang-pengetahuan dan adalah sumber semua bentuk penderitaan. Sang egopun lalu terhubungkan dengan raga ini, oleh sebab itu raga ini kemudian terlibat dengan berbagai dosa yang tak terhitungkan jumlahnya. Oleh karena alasan-alasan ini maka aku telah menanggalkan ikatan-ikatanku dengan raga ini. Tidak berarti lagi bagiku apakah raga ini ditunjang atau tidak ditunjang. Sang jiwa berusaha sekuat tenaga untuk mendapatkan berbagai kenikmatan bagi raga ini, namun  raga inipun tidak bertahan selama-lamanya. Aku tidak memerlukan raga yang tidak stabil ini dan telah kehilangan minat ke tubuh ini. Ibarat tetesan embun yang tidak bertahan lama di atas sehelai daun, demikian juga raga ini, tidak mampu bertahan lama. Oleh sebab itu sia-sia saja kalau terikat oleh raga ini. Berbagai kenikmatan fisik dan kemewahan tidak mengarah ke kepuasan. Memahami sang raga kemudian menjadi sumber dari penderitaan, aku telah meninggalkan raga ini. Setelah kuteliti secara mendalam aku menemukan bahwasanya aku ini bukanlah sang raga ini, dan raga inipun bukan milikku. Sejak saat itu aku tidak berminat lagi ke raga yang memiliki nama dan bentuk ini, aku merasa tidak memiliki hasrat lagi dan merasa......... berbahagia. Mereka-mereka yang masih meiliki ego pada raganya seharusnya merasa malu !. Ia terikat kepada segala bentuk penderitaan. Barangsiapa kehilangan ego raganya maka ia mendapatkan anugerah dalam bentuk kenikmatan dan kenyamanan. Sudilah menuntunku ke arah dimana sang ego ini dapat dilepaskan, dan aku dapat mencapai tahap yang mulia. Barangsiapa percaya akan kenyataan alam semesta ini, maka ia “menyulam sarang laba-laba” di sekitarnya dan terperangkap di dalam siklus kehidupan dan kematian ini. Setelah memahami hal ini, aku tidak tertarik lagi ke arah raga ini dan sebaliknya tertarik sekali ke tahap yang mulia. Prabu semenjak saat kelahiran, sang jiwa hidup sebagai seorang anak. Tahap ini sangat menyakitkan karena sang raga dan jiwa ini tercemar oleh berbagai kekurangan seperti daya intelegensia yang rendah, tidak stabil pemikirannya, terikat oleh berbagai ikatan-ikatan, hasrat yang sia-sia dan fisik yang lemah. Raga ini mudah terkena berbagai penderitaan. Cacat yang paling utama dalam tahap ini adalah tidak hadirnya interospeksi dan kesadaran. Oleh sebab itu, aku tidak berminat lagi kepada kehidupan anak-anak ini”. 

“Masa kanak-kanak diikuti oleh masa remaja, yang juga tidak berguna dan merupakan penyebab penderitaan. Masa ini adalah masanya berbagai nafsu yang menuntun ke berbagai arah yang menyesatkan dan menurunkan derajat sang chitta yang kemudian mengembangkan berbagai nafsu-nafsu ini. Sang nafsu ini adalah iblis ganas yang memasung sang jiwa ke dalam kobaran api yang disebut wanita. Di tahap ini sang jiwa terpengaruh sekali dan mengalami penderitaan yang menyakitkan sekali. Dalam tahap ini, maka berbagai nafsu, rasa, kemarahan, keserakahan, keterikatan dan ego berkembang secara besar-besaran, akibatnya sang jiwapun menjadi sangat menderita. Oleh karena itu, akupun tidak berminat lagi akan masa remaja ini. Tujuan masa muda yang benar adalah chitta yang stabil, karena pada masa ini sang jiwa-raga memiliki kekuatan fisik dan stamina yang berlebih-lebihan, dan ia (sebenarnya) mampu mengendalikan dirinya melalui berbagai usaha-usahanya. Seseorang disebut bodoh, seandainya di bawah  pengaruh jalan pikirannya dan berfikir bahwa pencapaian objek-objek akan memuaskan berbagai hasrat dan nafsu-nafsunya. Diakibatkan oleh berbagai kemauan ini, maka sang jiwapun berkelana di dalam siklus kehidupan dan kematian ini. Itulah sebabnya aku tidak berminat lagi terhadap kehidupan ini (masa muda), yang menyakitkan rasanya. Masa muda merupakan musuh kuat melawan sang jiwa, dan barangsiapa mampu menyelamatkan dirinya dari musuhnya ini disebut orang yang teramat beruntung. Tahap ini, yang tidak menghadirkan wairagyanya, wichar dan kepuasan (spiritual), adalah penyebab penderitaan dan aku tidak berminat lagi kepadanya. Masa muda adalah masa kebutaan, sang jiwa tidak mampu untuk membedakan antara yang baik dan buruk, jadi selalu menjadi santapan bagi kekhawatiran. Aku tidak memerlukan masa muda ini. Pada masa ini seorang pria menderita karena wanita, jalan pikirannya terkonsentrasi kepada wanita dan ia tidak lagi menikmati unsur kedamaian dan ketenangan. Kehidupan sebagai manusia terikat kepada pemuasan nafsu-nafsu mereka disebut sebagai orang-orang yang bernasib buruk, mereka ini tidak akan mencapai tahap yang mulia dan agung. Aku memohon kepadamu agar sudi menyarankan jalan yang dapat memagariku dari berbagai perbuatan iblis di tahap ini, dengan demikian aku mampu mancapai tahap Sang Atman (Atmik). 

“Wanita yang didambakan oleh seorang pria, ternyata hanya sebuah kerangka yang terdiri dari gumpalan daging, darah dan kotoran. Ibarat sebuah mesin yang bergerak dengan bantuan tenaga, demikian juga raga yang terbuat dari darah dan daging ini berfungsi karena Kesadaran (Brahm). Seorang wanita tampak cantik oleh seorang pria karena mengenakan busana dan make-up (tata-rias) yang menarik, namun kalau diperhatikan secara teliti maka sebenarnya tidak ditemukan sesuatu yang berarti. Tertarik oleh kecantikannya seorang pria akan menyentuhnya, dan iapun akan menghancurkan pria ini secara instan. Didasari kebodohannya, maka si pria terperosok ke dalam ilusi ini. Hanya melalui disiplin ketat di bawah bimbingan seorang guru sajalah seorang pria dapat diarahkan ke jalan pembebasan. Oleh sebab itu aku berpendapat secara benar bahwasanya wanita itu adalah sumber dari penderitaan dan aku tidak meminatinya. Ibarat laron yang menyambar api, demikian juga dengan pria yang penuh nafsu menyambar ke api yang berbentuk wanita ini dan hancur lebur di dalamnya. Sewaktu wanita yang ibarat seekor ular mendesis maka hilanglah wairagya seorang pria, dan sewaktu ia mematuknya maka binasalah pria tersebut, dan jauhlah ia dari Sang Atman. Oleh sebab itu aku tidak menghendaki sumber penderitaan tersebut. Sudilah membimbingku agar aku selamat dari penderitaan dan kematian”. 

“Prabu, masa kanak-kanak ditandai oleh kelemahan dan kekurangan kebijaksanaan; masa muda diikuti oleh masa tua yang ditandai oleh penurunan daya intelegensia dan kapasitas fisik. Lalu kematianpun datang. Tidak ada tahap yang bertahan lama. Berbagai penyakit akan timbul pada masa tua, mengakibatkan berbagai penderitaan. Juga hilang daya tarik fisik dan kelembutan. Raga akan terlihat buruk. Para teman, keluarga, istri dan anak-anak akan menjauhi si pria tua ini pada saat-saat yang sangat kritis baginya. Keluarga akan menganggapnya kurang waras. Padahal di masa tua ini muncullah berbagai nafsu dan hasrat beserta ikatan-ikatan duniawi, dan bertambahlah keinginan untuk bersandar kepada orang lain. Aku dengan ini menyatakan tidak menyukai masa tua ini. Sudilah mengajariku bagaimana caranya agar aku dapat selamat dari seluruh penderitaan ini dan mencapai tahap yang mulia dan menikmati kedamaian dan kebahagiaan Yang Maha Esa. Masa tua ini bahkan adalah penyebab hancurnya orang-orang agung. Seluruh alam semesta berada di dalam cengkeraman kematian. Bagaimanakah menyelamatkan diri dari fenomena ini ?”. 

“Prabu, semua yang dihasilkan dan yang dialami di jagat-raya ini bersifat tidak abadi. Hanya orang-orang yang bodoh sajalah yang berjuang demi objek-objek yang dapat binasa ini dan kemudian mereka sendiripun binasa akhirnya. Kematian adalah kekuatan yang teramat dashyat dan tidak seorangpun yang mampu menyelamatkan dirinya dari kematian.  Walaupun tidak dapat disaksikan oleh mata, kematian ini menguasai semua insan. Bahkan Brahma, Wishnu dan Mahesh (Shiwa) juga tidak akan terlepas dari kematian ini. Sang waktu terdiri dari bagian-bagian yang berupa detik, menit, jam, hari, bulan, tahun, dsb. dsb. Sang waktu tidak mempunyai bentuk, dan tidak memungkinkan seseorang untuk hidup selamanya. Melalui malam dan pagi sebagai taring-taringnya, sang waktu memangkas semuanya.........yaitu : seluruh makhluk-makhluk ciptaan, jajaran iblis dan dewa-dewa. Sang waktu tidak kenal ampun terhadap siapapun juga. Namun seseorang yang bijak dan hidup di dalam kedamaian dan keharmonisan dapat selamat dari sang waktu ini. Sang waktu bertanggung jawab untuk segala ciptaan ini, untuk kehadiran dan kematiannya. Sedemikan dashyatnya sang waktu ini, sehingga mampu merubah seorang pengemis menjadi raja dan sebaliknya. Sang waktu adalah raja di raja. Para kaum bijak tidak terikat pada duniawi ini, yang dapat binasa, oleh karena itu mereka jauh dari pengaruh sang kematian. Semua atribut jagat-raya ini juga berada di bawah pengaruh sang waktu. Aku senantiasa merasa khawatir akan sang waktu ini dan memohon tuntunan Prabu agar dapat selamat dari cengkeraman sang waktu dan mencapai Atmananda (Kedamaian Ilahi). Sang waktu tidak mengizinkan sesuatu apapun untuk hidup di dunia ini selama-lamanya. Bagaimana aku dapat bersandar kepada objek-objek duniawi yang sementara saja sifatnya ini ? Bagiku seluruh jagat-raya ini terkesan bersifat sementara dan ilusif, oleh sebab itu aku telah menanggalkan semuanya itu”. 

“Prabu, semua bentuk kenyamanan dan kenikmatan duniawi ini adalah bentuk-bentuk bencana yang menyeret sang jiwa ke arah kehancurannya. Sang istri, putra-putri, teman dan handai taulan, semuanya ini menjadi sumber ikatan. Indriyas yang merasakan berbagai kenikmatan adalah musuh-musuh utama. Sang pikiran yang adalah teman karib seorang manusia bersifat sangat tidak stabil dan merupakan sumber kekhawatiran. Oleh sebab itu aku tidak berminat kepada unsur-unsur dwandas (baik-buruk, pagi-malam dsb.) ini. Sang ego yang merupakan akar dari segala permasalahan membuat sang jiwa berstatus sia-sia belaka. Sang ego bersifat sia-sia dan aku tidak berminat lagi kepada unsur-unsur dwandas ini. Setiap benda terkesan menarik namun bagaimana aku dapat bersandar kepada benda-benda ini karena semua ini tidak mampu bertahan selamanya dan juga tidak dapat memberikan kenikmatan sepanjang waktu. Oleh sebab itu aku lepaskan semua unsur-unsur ini dan memohon kepadamu agar sudi dituntun ke arah sang chitta yang stabil untuk kemudian terserap kedalam Atmananda. Jauhkan aku dari sang ego....... sumber dari semua penderitaan. Barangsiapa yang tidak berfikir demikian akan hidup melalui kehancuran dirinya sendiri. Namun seseorang yang jalan pikirannya tertuju ke arah Kebenaran Hakiki (Sat) dan hidup dengan iman ini, mencapai tahap Mulia dan Agung. Insan ini berada di atas kenikmatan dan penderitaan, di atas kesedihan dan kebahagiaan. Sewaktu sang nafsu bangkit di dalam diri seseorang maka kesabaran dan kedamaian jiwanya akan hancur berantakan. Sudilah untuk menuntunku agar ilusi jagat-raya ini dapat dijauhkan dan dapat mencapai tahap mulia dan agung ini. Sulit sekali untuk menyatakan dunia yang ilusif ini sebagai sesuatu yang nyata. Penderitaan dan kenikmatan yang telah menjadi takdir seseorang tidak dapat dihindari oleh sang jiwa, apa yang harus terjadi  harus terjadi, dan bodohlah seseorang yang bertindak ke arah semua itu. Aku memahami bahwasanya seseorang yang tidak terusik oleh semua unsur ini, secara mudah akan mencapai KebahagiaanNya. Oleh sebab itu, Prabuku, sudilah memeriksa diriku ini secara teliti dan tuntunlah agar aku dapat mencapai kenikmatan yang tertinggi”. 

Berbagai-bagai benda yang menarik di jagat-raya ini akan sirna dalam waktu yang singkat. Hanya orang-orang yang bodoh yang bersandar kepada mereka. Objek-objek ini adalah kreasi sang pikiran dan sia-sialah kalau mempercayai semua itu. Seseorang yang bodoh yang merasa gagal dengan kehidupannya akan lebih menginginkan kematian baginya karena merasa kehidupannya sia-sia belaka”. 

“Sebagai seorang anak maka sang jiwa bersifat tidak bijaksana, dan semasa mudanya ia terikat oleh berbagai dwandas, ke berbagai nafsu dan kemarahan, karena itu nuraninyapun penuh dengan kegelapan dan ia tidak memiliki pengertian akan kebenaran. Setelah melewati masa muda, maka raganya akan melemah dan pada masa tuanya ia akan terkena berbagai penderitaan dan kehancuran. Dengan datangnya masa tua maka hilanglah daya tarik yang dimilikinya semasa muda. Aneh sekali, walaupun di masa tuanya ini ia sangat lemah namun sebaliknya berbagai nafsu-nafsunya malahan berkobar-kobar. Semua hasrat dan nafsu-nafsu ini adalah sumber penderitaan yang jiwa.  

Seseorang yang membutuhkan nafsu-nafsu ini akan hancur oleh bencana, namun yang mampu menyelamatkan diri mereka dari kehancuran disebut sebagai seorang pahlawan. Pemuasan nafsu mengarah ke ekspansi nafsu-nafsu ini secara berlebih-lebihan, akibatnya jalan pikiran tidak pernah akan seimbang. Ada dua cara untuk menjauhi nafsu yaitu wairagya dan wichar. Melalui upaya-upaya yang ketat maka kedua unsur ini dapat berkembang di dalam diri seseorang, kemudian insan ini akan berhasil mengatasi iblis dalam bentuk nafsu-nafsu ini dan mencapai Atmananda”. 

Berbagai nafsu-nafsu ini mengarah ke berbagai keterikatan......... dalam bentuk racun yang merusak sendi-sendi mental seseorang (antahkaran). Sang jiwa melalui berbagai penderitaan dan kemudian mati ibaratnya seekor hewan. Selama raga eksis maka sang jiwa akan terikat ke berbagai benda-benda di sekitarnya, namun sewaktu seseorang meninggal dunia, maka tidak seorangpun yang akan memperhatikan siapakah dia dan dari manakah asal-usulnya. Dengan kata yang sama dapat dinyatakan bahwasanya berbagai objek-objek duniawi ini setelah dicapai, akan mengembangkan berbagai keterikatan dan sewaktu itu semua sirna, dan penderitaan datang, maka seseorang tidak akan pernah tahu dari mana dan ke mana seluruh unsur-unsur tersebut datang dan pergi. Oleh sebab itu aku tidak mendambakan semuanya itu”. 

“Prabuku, sewaktu sang jiwa terserap ke Sang Atman, maka ia akan menyaksikan ilusi alam-semesta. Sewaktu ia mencari (menemukan) Sang Atman, maka alam-semesta terkesan tidak menarik lagi baginya. Semua benda di dunia ini dapat binasa, lalu bagaimanakah mungkin aku dapat bersandar kepada benda-benda ini ? Setiap benda yang dapat dihasilkan akan binasa juga dan berubah-ubah wujudnya, jadi aku tidak mungkin bersandar kepada mereka. Nikmat apa yang dapat diberikan olehnya kalau benda tersebut itu sendiri dapat binasa?  

Ciri utama dunia ini adalah perubahan dan tidak stabil keberadaannya, akupun harus binasa pada saatnya nanti. Kaum bijak telah menanggalkan ilusi duniawi tersebut. Bagaimana aku dapat bersandar kepada unsur-unsur yang tidak abadi ini ? Mereka-mereka yang memiliki pengertian yang tajam dan pandangan yang jauh ke depan, merasakan bahwa dunia ini tidak abadi sifatnya, sementara dan dapat binasa, dan merekapun tidak berminat lagi kepada dunia ini. Seseorang yang faham akan durasi usianya tidak akan menghasratkan apapun juga karena ia memahami bahwasanya sang kematian setiap saat senantiasa menanti di sekitarnya, merekapun menanggalkan semuanya yang serba duniawi ini. Mereka yang tidak faham akan dunia ini secara benar, merasakan dunia ini sebagai sesuatu yang amat menyenangkan (indah) dan memikat, mereka terikat dengan berbagai pelaksanaan dan keterikatan dan secara absolut terperangkap di dalam “sarang laba-laba dunia ini”, yang amat mengkhawatirkan ini. Mereka yang mengejar objek materi adalah jajaran orang-orang yang tidak bijaksana. Kaum bijak faham betul akan intisari jagat-raya ini dan memahami benda-benda duniawi ini sebagai ilusif. Bagaimana mungkin aku terlibat dengan benda-benda yang ibaratnya mimpi ini. Oleh sebab itu aku telah menanggalkan semua ini, aku tidak berminat akan kerajaan maupun kehidupan berkeluarga, akupun tidak ingin mengasingkan diriku ke hutan. Aku tidak takut akan kematian, namun juga tidak berhasrat untuk hidup. Yang kuhasratkan hanyalah Atmagyan dan keselamatan.  

Sudilah menuntun kami agar mampu memutuskan berbagai ikatan ini dan kokoh di dalam Sang Atman. Hasrat dan kenikmatan adalah penyebab penderitaan, oleh sebab itu bebaskanlah aku dari segala hasrat-hasrat ini. Aku tidak dapat menjalani penderitaan-penderitaan ini. Mohon diberitahukan bagaimana caranya agar kegelapan di dalam diriku dapat dihapuskan ?” 

“Prabu, jagat-raya ini adalah sebuah rawa-rawa keterikatan dan jalan pikiran seseorang yang bodoh akan terperangkap di dalamnya, dan menjalani penderitaan yang amat sangat dan tidak mendapatkan kedamaian. Sewaktu usia berubah tua maka berbagai hasrat bertambah besar dan merekapun menderita secara terus menerus. Bersandar kepada indriyas, dan mengejar berbagai kenikmatan adalah cara-cara orang yang bodoh. Daya intelegensia menjadi tumpul sewaktu daya tersebut diarahkan ke hal-hal yang bersifat duniawi, lalu menyusullah penderitaan. Sudilah memberitahukan bagaimana caranya agar daya intelegensiaku dapat distabilkan agar aku terpusat di dalam ananda, tahap yang mulia dan agung itu, dan aku melupakan dunia ini”. 

“Prabu, aku hanya berhasrat mendapatkan Atmagyan. Hanya orang-orang yang bodoh yakin akan kehidupan yang dapat berubah fana setiap saat dan berakhir dengan kematian. Dengan bertambahnya kebodohan maka bertambah jugalah rasa dwandas yang diikuti oleh ekspansi penderitaan, dan sang jiwapun terjerumus ke berbagai nafsu dan mengalami berbagai penderitaan. Ia tidak pernah mencapai kedamaian. Akupun adalah korban dari kehidupan yang fana ini. Mohon ajarkan aku jalan keselamatan. Untuk seseorang yang bodoh, dunia ini sangatlah menarik, namun tidak demikian dengan seorang yang bijak. Chittaku ternoda oleh berbagai nafsu, maka chittaku berubah menjadi tidak murni. Sudilah menasehati agar chittaku berubah murni. Sang chitta ini sangat tidak stabil  dan selalu mengejar berbagai kenikmatan dengan sangat cepat. Setiap pelaksanaannya di dunia ini penuh sesak dengan penderitaan dan kenikmatan.  

Mohon diberitahukan kepadaku bagaimana hidup di dunia ini  tanpa merasakan penderitaan dan kenikmatan. Aku memahami secara meyakinkan akan hakikat dunia ini. Bagaimana caranya untuk mengatasi kemelut ini ? Bagaimanakah upaya kaum yang bijak sehingga mampu mendapatkan kedamaian di dalam dirinya ? Sekiranya dikau tidak memiliki  jalan keluarnya, maka aku akan menanggalkan semuanya ini dan menghentikan egoku ini. Aku tidak memerlukan tubuhku ini. Sewaktu aku menghentikan seluruh pelaksanaan, maka nafaskupun akan berhenti secara alami dan tubuhku akan berubah kaku (binasa). 

Demikianlah Resi Walmiki menguraikan kisah Sri Rama ini kepada Bharadwaj. Kemudian timbullah keramaian di arena singgasana. Semua yang hadir di sana...... termasuk para malaikat dan jajaran dewa-dewa......... menjadi diam seribu bahasa dan kemudian terlarut oleh kata-kata Sri Rama, bulu kuduk mereka berdiri semuanya. Resi Vaishtha, Resi Vamdewa, resi Wiswamitra dan resi-resi lainnya, juga Raja Dasaratha, Bunda Kausalya, para ponggawa, para hadirin, bahkan burung-burung dan jajaran faunapun terhenyak dalam keheningan. Kemudian para makhluk astral yang hadir di lokasi tersebut karena ingin mendengarkan kata-kata Sri Rama menaburkan kelopak-kelopak bunga, sebagai tanda bersyukur kepada dinasti Raghu di mana Sri Ramachandra dilahirkan. Kemudian resi Wyasa, Resi Narada, dan semua resi-resi lainnya menantikan jawaban Resi Wiswamitra dan Resi Vasishtha kepada Sri Rama. Para resi inipun duduk dengan harapan yang amat sangat. 

Sambil memuji Sri Rama, Resi Narada berkata : “Wahai Rama (Ramji), dikau adalah insan yang teramat beruntung karena telah mencapai kebajikan dan penerangan yang sedemikian tinggi kadarnya. Jarang sekali ada manusia yang mampu mengutarakan kata-kata seperti kata-katamu itu. Seseorang yang bekerja demi Yang Maha Esa sebenarnya adalah manusia yang benar. Sisanya adalah kerangka berlapis daging dan darah. Berbagai makhluk yang memiliki raga dan bentuk disebut sebagai manusia, namun jarang ada manusia yang mencari kebenaran. Daya intelegensiamu bersifat murni dan telah mencapai pencerahan, dikau layak untuk mendapatkan gyana. Dikau akan memahami gyana ini secara cepat, dan seandainya hal tersebut tidak terjadi maka anggaplah bahwa yang hadir disini adalah para orang-orang yang bodoh”.

\

 

Kembali ke halaman daftar isi Vasishta Yoga            Kembali ke halaman daftar isi Sastra