MANDUKYA UPANISHAD

Vinneka Tunggal Eka   

 

BAB IV

ALATHA SANTI

( MEMADAMKAN BARA API )

 

Para ahli dan peneliti agama Hindhu menyatakan bahwa bab ini sangatlah penting karena dianggap sebagai suatu karya tersendiri. Ada yang menyatakan bahwa seluruh Gaudapada Karika sebenarnya bukan hasil seorang pengarang, namun mungkin saja hasil banyak orang, yang kemudian diakumulasikan menjadi satu buku (dari aslinya berjumlah 4 buku). Ada juga yang menyatakan, karena buku ini dibuka dengan sebuah doa puja, maka bab  empat ini sebenarnya adalah karya yang khusus tersendiri. Ada lagi yang berkomentar bahwasanya bab IV ini penuh dengan pengulangan yang sudah dipaparkan pada bab-bab sebelumnya, yang memang benar demikian adanya.

Sri Gaudapada (Gaudapadiya) di bab ini berusaha menerangkan :

1)      Ketidak mampuan secara piawai dari aspek kasualitas melalui unsur dialektika;

2)      Menerangkan berbagai bentuk ilusi dari dunia pluralistik dengan memperbanding-kannya dengan pola-pola palsu yang diciptakan oleh Alatha (bara-api);

3)      Menekankan pemakaian istilah-istilah Buddhist bahwasanya Yang Maha Kebenaran bersifat Non-dual (Eka, Esa) Tidak bermula dan senantiasa Abadi.

Oleh sebab itu di atas, banyak ahli juga menyatakan bahwa Sri Gaudapadiya mengajarkan filosofi Sang Buddha di buku ini, namun banyak sekali ahli lainnya yang membantah, karena Ashtavakra-Gita yang tahun sebelum karya ini telah hadir di zamannya Raja Janaka, dan itu sudah  ribuan tahun sebelum karya ini, atau lahirnya Sri Gaudapada itu sendiri. Kemudian ada yang berkata bahwa karya ini menyiratkan ajaran Vedanta di dalam Buddhisme, namun banyak juga yang berpendapat bahwa karya ini adalah sebuah bentuk Upanishad yang teramat unik dan sarat akan berbagai pengetahuan yang teramat spesifik dan sulit dimengerti oleh kaum awam, apalagi  untuk dicernakan begitu saja. Yang terakhir ini ternyata mengandung kebenaran dan kebenaran ternyata sulit untuk dijabarkan, dari masa ke masa, dari tempat ke tempat, apalagi dari satu persepsi ke persepsi yang lain, apalagi kalau ditunjang dari segi adat budaya dan tradisi yang sudah mengakar, yang salah bisa benar dan begitu juga sebaliknya.

Di bawah ini dihadirkan sebuah sloka yang menjelaskan hierarki dari para Acharyas, dari Sri Shankara Acharya dan para sishya-sishyanya. Menurut para ahli hierarki ini bermula dari dewa Vishnu, dan dari Beliau ini ajaran-ajaran yang diturunkan ke manusia mencapai kita secara berantai (estafet), dari satu ke yang lainnya dengan urut-urutan seperti berikut ini:  Sri Nayarana (Vishnu), Vasishta, Sakti, putranya Parasara, Vyasa, Suka, Gaudapada, Govindapada, Sri Shankara Acharya, Padmapada, Hashamalaka, dan Throtakacharya.

Ternyata guru dari Sri Shankara Acharya, yaitu Sri Govindapada adalah murid langsung dari Sri Gaudapada. Demikianlah ajaran ini diturunkan ke kita semua dari kurun waktu yang teramat silam ke masa kini dan seterusnya.

 

Sloka - 1      “Aku bersujud kepada yang terbaik diantara manusia, yang melalui jalan ilmu pengetahuan, yang mirip dengan antariksa, dan tidak berbeda-beda  dari obyek ilmu-pengetahuan, telah menyadari akan sifat dari berbagai Jati-Diri individual, yang juga mirip dengan antariksa itu sendiri.”

 

Keterangan: Dengan doa-puja ini Sri Gaudapada  memulai bab ke empat ini. Doa ini dihaturkan kepada gurunya sebagai tanda terima kasih dan sebagai wujud penghormatan, karena tanpa seorang guru pembimbing yang non-pamrih tidak mungkin Gaudapada mencapai status yang mulia ini. Konon ada juga yang berpendapat bahwa doa ini ditujukan kepada Sang Buddha Gautama; dan ada juga yang mengatakan bahwa doa ini ditujukan kepada Sang Hyang Vishnu (Narayana), karena sudah menjadi pengetahuan umum bahwasanya Sri Gaudapada ini adalah pemuja konstan dari Sri Vishnu di sebuah kuil di daerah Badrinath. Disanalah konon beliau mendapatkan dharsana Hyang Nayarana, Ishta Dewatanya. Karya Karika ini dianggap para ahli Hindhu Dharma sebagai ekspresi Sri Gaudapada, yang didapatkan dari berbagai pengalaman spriritualnya secara pribadi.

 

Sloka - 2      “Aku bersujud ke yoga yang disebut Asparsa ini, yang diajarkan melalui berbagai skripsi, yoga yang mempromosikan (menghantarkan) kebahagiaan kepada semuanya, yang langsung terbebaskan dari berbagai penderitaan dan pertentangan.”

 

Keterangan: Setelah menghaturkan sembah ke Yang Maha Esa, Sri Gaudapada kemudian menghaturkan sembah ke jalan yoga (ilmu-pengetahuan) yang dihayatinya selama ini. Di dalam Sanathana Dharma, Tujuan dan Jalan yang meniti ke Tujuan dianggap sama-sama penting dan sakral, jadi layak untuk dijadikan pujaan. Jalan ilmu pengetahuan adalah jalannya para Aryan yang sadar sekali akan hakikat Tujuan dan jalan ke Sang Tujuan ini. Mengenai Asparsa-yoga, telah diterangkan di bab sebelumnya, jalan ini ternyata dianjurkan oleh Sri Gaudapada kepada para nya, melalui karya ini.

 

Sloka - 3      “Banyak para peneliti yang berbantah-bantahan dantara mereka sendiri, ada yang menyatakan behwasanya sesuatu zat yang memang sudah hadir dari dahulunya ini sedang mengalami perubahan-perubahan evolusi; dan ada juga yang menyatakan (seakan-akan mereka ini sangat bijaksana) bahwasanya sebuah evolusi sedang berlangsung keluar Zat tersebut.”

 

Keterangan: Pandangan yang pertama adalah pandangan kaum Sankhyanas yang pada masa tersebut menyatakan, setiap benda yang eksis di alam-semesta ini diproduksi oleh suatu sebab, sedangkan pandangan kedua menyatakan teori  kaum Nyaya-Vaisheshikas, yang percaya bahwa setiap benda/perihal dan fenomena di alam semesta ini diproduksi atau tercipta dari sebab-sebab non-eksisten.

 

Sloka - 4      “Yang sudah eksis tidak bisa dilahirkan kembali, juga tidak mungkin bagi yang tidak eksis untuk eksis kembali. Demikianlah, berbantah-bantahan diantara mereka sendiri, tanpa disadari mereka menegaskan teori Adwaita dan mendukung teori non-penciptaan Yang Maha Hakiki.”

 

Sloka - 5      Kami menyetujui teori non-penciptaan yang berasal dari kaum Ajathi yang dideklarasikan oleh kaum dualis. Kami tidak berbantah-bantahan dengan mereka. Sekarang dengarkanlah dari kami apakah itu Realitas Yang Maha Utama yang lepas dari berbagai kontradiksi dan pertengkaran.”

 

Sloka - 6      “Kaum dualis yang selalu bertengkar diantara mereka ini selalu bersikeras bahwasanya yang tak dilahirkan . . . yaitu Zat yang tak berubah-ubah . . . Sang Atman, yang mengalami perubahan. Bagaimana mungkin suatu Zat yang tidak berubah-ubah dan abadi sifatnya berubah sifat menjadi tidak abadi?”

 

Sloka - 7      “Yang tidak abadi tidak bisa berubah menjadi abadi, demikian juga sebaliknya, karena tidak mungkin sesuatu berganti-ganti sifat.”

 

Sloka - 8      “Bagaimana mungkin bisa ia percaya behwasanya Zat abadi secara alami ini dapat berubah menjadi tidak abadi, (kemudian) bersikeras bahwasanya yang abadi ini setelah menjalani kelahiran mempertahankan sifatnya yang tidak berubah-ubah?”

 

Sloka - 9      “Kami mengerti akan istilah Prakriti atau sifat-sifat duniawi yang dominan dari berbagai benda, yaitu sewaktu berhasil dicapai, menjadi pelengkap total dari berbagai harta-benda ini; yaitu kualitas yang tidak berbentuk artifisial (imitasi atau palsu).  Dan tidak ada sesuatu apapun yang mampu menonjolkan sifatnya (yang asli).”

 

Sloka - 10  “Semua  zat yang bersifat egosentris, sesuai dengan sifat-sifat (aslinya) lepas dari berbagai kekotoran dan kematian.  Para jiwa yang berimajinasi, berpikir bahwa mereka ini dapat berubah-ubah bentuknya, dan dengan demikian, melalui pikiran mereka, mereka terkesan tersesat dari sifat mereka (yang sejati).”

 

Keterangan: Sang Atman adalah percikan Sang Brahman itu sendiri, jadi tidak mungkin dikotori oleh apapun juga, dan tidak mungkin dapat mati. Namun sewaktu terbungkus di dalam sesuatu bentuk jiwa, maka Sang Atman yang terbungkus oleh ilusi duniawi ini terkesan terbius dan sering tersesat dari sifatnya yang sejati dan sering berhalunisasi seakan-akan ia mengalami perubahan-perubahan terus-menerus sepanjang hidupnya.

 

Sloka - 11  “Mereka-mereka yang saling berbantahan ini, yang beranggapan bahwa akibat adalah sebab, berkata sebab itu lahir dari akibat. Bagaimana mungkin sebab itu berubah-ubah seandainya sebab lahir sebagai akibat? Bagaimana mungkin sebab bersifat abadi kalau sebab itu terkurung oleh berbagai modifikasi sang waktu?”

 

Sloka - 12  “Seandainya seperti yang dikau katakan, sebab itu identik dengan akibat, maka sifat-sifat akibat pastilah abadi dan tak terlahirkan. Lebih lanjut lagi, bagaimana mungkin sebab bersifat langgeng atau abadi seandainya ia tidak berbeda (identik dengan) dari akibat yang bersifat dilahirkan?”

 

Sloka - 13  “Tidak ada sebuah ilustrasi apapun di dalam kehidupan ini yang mampu mendukung kepercayaan bahwasanya akibat itu lahir dari sebab-sebab yang tidak dilahirkan. Sekali lagi, seandainya dikatakan bahwasanya akibat diproduksi oleh sebab yang sebenarnya bersifat dilahirkan (diciptakan), maka hal tersebut sama saja dengan melakukan kebohongan secara logika (Anavashta Dosh).”

 

Sloka - 14  “Bagaimana mungkin mereka-mereka yang bersikeras bahwasanya akibat adalah sebab dari sesuatu sebab, dan sebab adalah sesuatu sebab dari akibat yang mempertahankan sifat tanpa mula (kelahiran)nya baik bagi sebab maupun akibat.”

 

Sloka - 15  Mereka-mereka yang bersikukuh bahwasanya akibat adalah sebab yang berasal dari sebab dan sebab adalah sebab dari akibat; yang menerangkan, sebenarnya, (seakan-akan) adanya  sebuah evolusi (terbalik), yaitu ibarat kelahiran seorang ayah dari putranya sendiri.”

 

Sloka - 16   Seandainya sebab dan akibat dipertahankan secara semestinya, maka urutan sebab dan akibat ini harus ditetapkan.  Kalau seandainya dikatakan bahwasanya mereka berdua timbul pada saat-saat yang bersamaan, maka mereka ibaratnya adalah dua buah tanduk dari seekor fauna, yang tidak ada hubungannya dengan yang lainnya (walaupun ada di satu kepala).”

 

Keterangan; Sepasang tanduk memang tidak berhubungan satu dengan yang lain, namun kalau dipergunakan secara bersamaan dapat berakibat fatal. Pernyataan dari Sri Gaudapadiya   ini ditujukan sebagai sindiran kepada kaum Mimasaka yang senantiasa bersikeras dalam mempertahankan teori mereka. Sindiran ini sifatnya humoris.

 

Sloka - 17     “Sebab itu tidak bisa diwujudkan seandainya diproduksi dari akibat, (lalu) bagaimana mungkin sebab yang dikau akibatkan (timbulkan) yang bersifat tidak berwujud dapat melahirkan sesuatu akibat?”

 

Sloka - 18     “Seandainya sebab dilahirkan dari akibat dan juga seandainya akibat dilahirkan dari sebab, maka yang manakah yang dilahirkan dahulu, dan yang manakah yang bersandar kepada lainnya?”

 

Sloka - 19  “Ketidak-mampuan untuk menjawab“, “kebodohan akan sesuatu hal”, dan “Ketidak-mungkinan” untuk mengukuhkan sesuatu yang berhubungan dengan sebab dan akibat, secara jelas mempertegas pendirian kaum bijak untuk tetap bertahan pada teori non-penciptaan Yang Maha Hakiki (Ajati).”

 

Keterangan: Pernyataan di atas ini adalah ajaran inti dari Sri Gaudapadiya dalam karya ini, khusus bagi yang suka memperdebatkan hakikat Tuhan Yang Maha Esa,  yang merupakan Ajati (yaitu Hakikat Yang Tak Terciptakan).

 

Sloka - 20  Ada sebuah teori yang harus dibuktikan, yaitu hubungan antara sebuah benih (biji) tanaman  dan kecambah hasil dari benih tersebut. Ilustrasi-ilustrasi yang masih memerlukan pembuktian ini tidak bisa dipergunakan untuk menegaskan sebuah usul yang masih harus dibuktikan.”

 

Keterangan: Rupanya para penentang teori Sri Gaudapadiya mengajukan teori benih kecambah (sebab dan akibat) namun oleh Sri Gaudapadiya dijawab dengan sloka di atas ini. Menurut beliau, “sebab dan akibat” hanyalah merupakan kondisi sebuah unsur (sang benih) yang sama dengan sang kecambah, yang hadir pada dua tahap waktu yang berlainan. Perihal “benih” yang sama adalah “sebab dan akibat” dan juga “akibat yang menjadi sebab lagi”, yang berhubungan dengan waktu dan kondisi yang berbeda (mendatang). Jadi kita sebenarnya tidak tahu yang mana yang berasal dari yang mana pada awalnya, sang biji atau sang kecambah, seperti teori telur: ajam dulu atau telur dulu? Dilihat dari sudut kondisi dan waktu, maka yang satu bisa berubah menjadi yang lainnya dan begitu pula sebaliknya. Jadi Sri Gaudapadiya tidak mau menerima teori di atas sebelum teori ini dipastikan dulu.

 

Sloka - 21  Ketidak-mampuan untuk menunjukkan hubungan atau sebaliknya dari sebeb dan akibat ini jelas membuktikan tidak hadirnya evolusi atau penciptaan. Seandainya …….. akibat zat ego-sentris ini (sang jiwa) memang betul dilahirkan dari suatu sebab, lalu mengapa dikau tidak mampu menjabarkan secara pasti  hubungannya dengan sebab?”

 

Sloka - 22  “Tidak ada sesuatu apapun yang pernah dilahirkan, apakah itu dari dirinya sendiri, atau dari yang lainnya, atau dari kedua-duanya ini. Tidak ada sesuatu apapun baik  yang berbentuk makhluk hidup maupun yang tidak berbentuk makhluk hidup ataupun kedua-duanya yang pernah dilahirkan.”

 

Sloka - 23  “Sebab itu tidak bisa diproduksi dari sebuah akibat yang bersifat tanpa mula, juga tidak bisa akibat terlahir dari akibat itu sendiri. Sesuatu yang tanpa mula itu seharusnya bebas dari kelahiran.”

 

Sloka - 24  “Ilmu pengetahuan berciri subyektif harus mempunyai sebab yang berciri obyektif; kalau tidak, kedua-duanya haruslah tidak eksis. Oleh karena alasan  ini, juga didasarkan pada teori pengalaman penderitaan eksternal para Dwaitin, haruslah diterima.”

 

Keterangan: Teori pengalaman penderitaan eksternal para kaum Dwaitin menyatakan bahwa penderitaan itu sifatnya realistik, karena berasal dari dunia yang penuh dengan penderitaan ini. Dunia ini bersifat realistik kata mereka, maka begitu juga isinya. Argumen ini oleh  Sri Gaudapada dibalas dengan teori Buddhistik yang dicetuskan oleh kaum Vijnana Vadin. Teori Buddhistik ini hadir di sloka-sloka berikutnya (sloka 25, 26 dan 27).

 

Sloka - 25  Sejauh ini sesuai dengan alasan-alasan yang ada; maka fakta akan berbagai prularitas ini harus diterima (teori Yukti Dharsana). Namun dari susut pandang teori penganut Yang Maha Absolut (teori Bhuta Dharsana), dunia pruralistik dengan seluruh variasi-variasinya dan berbagai hubungannya ini bersifat ilusif.”

 

Sloka - 26  “Sang pikiran tidak melakukan kontak dengan berbagai obyek-obyek dunia ekstenal, tidak juga berbagai ide-ide yang tampil sebagai obyek eksternal berrefleksi ke sang pikiran. Kami tegaskan demikian, karena berbagai obyek bersifat non-eksis, dan berbagai ide, yang terkesan sebagai berbagai obyek dari dunia luar, tidak bersifat berjauhan dari sang pikiran.”

 

Sloka - 27  “Sang pikiran tidak memasuki hubungan kausal di dalam tiga periode waktu. Bagaimana mungkin sang pikiran dapat dipengaruhi oleh delusi, karena tidak ada alasan untuk terjadinya tipuan mental semacam itu.”

 

Keterangan: Sri Gaudapadiya sedang mencoba menerangkan, bahwasanya sang pikiran itu tidak bisa memasuki hubungan dengan apapun juga di tiga periode sang waktu, jadi beliau ini membantah adanya dunia yang realistik di manapun juga, tetapi iapun ingin membuktikan bahwa sang pikiran tidak akan terpengaruh oleh berbagai impresi walaupun ada dunia yang eksis ini. Ketiga periode sang waktu adalah: Periode permulaan (awal) dunia, waktu di tengah dan akhir zaman.

 

Sloka - 28  “Yang pernah dilahirkan …….. bukan berbentuk sang pikiran, juga bukan berbagai obyek yang dipersepsi oleh sang pikiran. Mereka-mereka yang bersikeras akan aspek-aspek kelahiran ini sebaiknya mencoba menemukan jejak-jejak burung di angkasa.”

 

Keterangan: Sri Gaudapada rupanya sudah tidak sabar lagi menghadapi kaum muda di hadapannya yang lebih condong teori dualis. Untuk membuat mereka faham ia harus mengulang-ulang secara tegas agar para pemuda ini dapat terpancing untuk berdiskusi dengannya penuh dengan pemahaman, dan tidak secara emosional maupun dengan menebak-nebak.

 

Sloka - 29  “Di dalam jalan pikiran para hadirin yang sedang berbeda faham ini, maka Itu (Yang Maha Esa) yang tak pernah dilahirkan ini dinyatakan telah lahir. Beliau akan senantiasa bersifat tak dilahirkan. Adalah tidak mungkin bagi sesuatu untuk berubah bentuk ke lainnya (sesuai dengan sifat-sifat aslinya yang dominan).”

 

Keterangan: Api itu sifatnya panas, jadi tidak ada itu yang disebut api dingin, atau es yang panas sekali. Demikian juga akan Yang Maha Pencipta, Beliau ini tidak pernah dilahirkan dan tidak akan pernah dilahirkan, karena memang sudah demikian hukum alam atau kodratNya Yang Maha Agung ini, jadi sia-sia saja mendiskusikanNya, kata Sri Gaudapadiya.

 

Sloka - 30  “Seandainya dunia ini diakui sebagai tak bermula …… seperti ditegaskan oleh para pembahas ini ….. maka dunia ini tidak dapat bersifat non-abadi. Moksha atau pembebasan itu tidak mungkin memiliki permulaan dan akan selalu bersifat abadi.”

 

Sloka - 31  Sesuatu yang bersifat non-eksis pada awalnya dan pada akhirnya, seharusnya juga bersifat non-eksis di tengah-tengah kedua periode sang waktu tersebut. Berbagai obyek yang kita saksikan adalah ilusi belaka, namun dianggap sebagai benar (realistik).”

 

Sloka - 32  “Argumentasi yang menyatakan bahwa berbagai obyek-obyek yang berada di alam-sadar, yang dianggap bermanfaat, hadir secara terbalik (sebaliknya) di alam-mimpi. Oleh karena itu, semua ini secara pasti diterima sebagai ilusi bagi para peneliti, karena dianggap mempunyai permulaan dan akhir.”

 

Keterangan: Banyak ahli di India percaya bahwa dunia mimpi itu bersifat realistik. Selama seseorang mampu bermimpi, maka mimpi mereka itu pastilah dianggap benar.  Perhatikan dan simaklah dengan naik argumentasi selanjutnya.

 

Sloka - 33  “Semua obyek yang dikenal  (dialami) di dalam berbagai mimpi bersifat tidak realistis karena semua ini disaksikan di dalam raga itu sendiri. Bagaimana mungkin menjabarkan berbagai benda yang telah dijabarkan sebagai eksis, berada benar-benar di dalam (raga) ?”

 

Sloka - 34  “Tidak mungkin bagi si pemimpi untuk pergi mendapatkan berbagai pengalaman obyek-obyek mimpinya karena terbatasnya waktu untuk melakukan perjalanan tersebut. Dan begitu ia sadar, ternyata ia tidak berada di tempat seharusnya ia berada di dalam mimpinya itu.”

 

Sloka - 35  “Si pemimpi, sewaktu ia terbangun dari mimpinya menyadari akan pembicaraan ilusif yang terjadi dengan seseorang atau dengan beberapa orang selama ia bermimpi. Lebih dari itu, ia tidak mendapatkan sesuatu  apapun juga yang berasal dari mimpinya itu.”

 

Sloka - 36  “Raga atau badan yang aktif berpartisipasi di kehidupan (alam) mimpi, seyogyanya dianggap tidak realistis (nyata) karena raga lainnya dari orang yang bermimpi ini dianggap tidur di atas ranjang, sedangkan raga satunya beraktifitas di dalam mimpinya. Sama halnya dengan raga (manusia ini, maka apa saja yang dikenali (dialami) di dalam mimpi seharusnya tidak bersifat realistis (nyata, benar).”

 

Sloka - 37  “Karena berbagai pengalaman dan obyek-obyeknya yang terdapat di alam mimpi ini mirip dengan berbagai pengalaman dan obyek-obyeknya di alam sadar, maka diperkirakan bahwasanya berbagai pengalaman di alam-sadar adalah penyebab berbagai mimpi. Didasari oleh pemikiran (alasan) ini maka berbagai pengalaman alam-sadar, yang dianggap sebagai penyebab mimpi,  nampak hadir seakan-akan nyata bagi orang yang bermimpi itu saja.”

 

Sloka - 38  “Karena penciptaan atau evolusi ini tidak dapat ditegaskan secara de facto maka semua (fenomena) ini dikatakan sebagai tidak pernah dilahirkan. Adalah tidak mungkin selamanya sesuatu yang bersifat tidak nyata dilahirkan dari sesuatu yang nyata.”

 

Sloka - 39  “Begitu terkesannya (terpesonanya) seseorang dengan berbagai obyek yang dilihatnya di alam-sadar ini, sehingga seseorang “melihatnya” juga di dalam mimpi-mimpinya ini, tidak ditemui lagi di alam-sadar (nya).”

 

Keterangan: Ada sesuatu yang tidak pernah didiskusikan dalam karya Upanishad ini, yaitu bagaimana menjabarkan sesuatu yang kita sakssikan di dalam mimpi, yang kemudian terulang lagi baik di dalam mimpi-mimpi berikutnya beberapa waktu kemudian, juga bisa terjadi persis dikehidupan alam sadar. Kemudian ada mimpi yang dapat menjadi petunjuk atau peringatan dini bagi seseorang, dan ini beragam sekali sifatnya. Terkesan semua orang yang berdebat ini termasuk Sri Gaudapada tidak mengacuhkan fenomena ini, padahal Smritis yaitu berbagai legenda Hindhu yang dianggap suci penuh dengan berbagai kisah-kisah mimpi yang menjadi petunjuk handal bagi yang mengalaminya.  [mohan.m.s ]

 

Sloka - 40  “Yang tidak nyata tidak dapat meyatakan yang tidak nyata sebagai sebab,  tidak juga Yang Nyata dihasilkan dari yang tidak nyata. Yang Nyata tidak mungkin adalah sebab dari Yang Nyata. (Lalu) bagaimana mungkin Yang Nyata dapat menjadi penyebab dari yang tidak yata?”

 

Sloka - 41  “Seperti seseorang yang berada di alam-sadar berbpikir bahwa alam ini bersifat nyata (melalui ilmu-pengetahuan yang salah) berbagai obyek yang sifatnya tidak dapat dijabarkan, demikian juga secara sama, di alam-mimpipun melalui ilmu-pengetahuan yang salah, seseorang mendapatkan bebagai obyek yang kehadirannya dimungkinkan hanya karena kondisi tersebut.”

 

Sloka - 42  “Seseorang yang bijaksana mendukung teori kasualitas ini. Hanya demi mereka yang khawatir akan Yang Maha Esa (Hakiki), yang Tak Diciptakan, mereka ini bersiteguh kepada teori realitas yang menikmati berbagai obyek (duniawi) dan berdasarkan cara berpikir dan iman mereka yang gemar melaksanakan berbagai upacara.”

 

Keterangan: Kepada para sadhaka pemula, para resi mengajarkan akan Hakikat  Yang Maha Esa dalam bentuk Kasualitas, agar mereka-mereka yang masih awam ini dan terikat pada berbagai  praktek upacara tidak bingung dan bimbang. Lambat laun para sadhaka dibimbing ke arah teori Akomisme (Ajata vada) ini. Kalau langsung diajarkan akan hakikat yang Maha Esa Yang Tak Berwujud, Yang Tak Terlahirkan, maka para sadhaka akan bingung dan kehilangan kepercayaan mereka akan pujaan yang mereka kenal secara tradisionil. Melalui tahap-tahap ritual, bakti dan upasana, baru kemudian dibimbing ke arah filosofi yang terkesan berat ini, yang tentu saja bukan merupakan “santapan rohani”  kaum awam. Itulah sebabnya seluruh karya ini dikhususkan bagi mereka-mereka yang telah melewati berbagai bakti, ritual dan upasana dalam bakti mereka ke Yang Maha Esa.

 

Pada mulanya memang karya ini terasa kacau dan membingungkan sekali, namun setelah mempelajari berbagai Upanishad, Bhagavat-Gita, karya-karya shahtra-widhi lainnya dan kembali mendalami ajaran ini, maka akan terbukalah wawasan intelektual (budhi) seorang sadhaka  yang sedang berorientasi ke penelitian mengenai Hakikat Tuhan Yang Maha Esa. Jadi karya ini sebaiknya difahami sebagai sebuah studi banding untuk bakat-bakat khusus saja.

 

Sloka - 43  “Mereka-mereka yang khawatir akan Sang kebenaran sebagai hakikat Non-manifestasi dan juga berdasarkan persepsi mereka akan dunia obyek-obyek dan berbagai fenomena ini, mereka tidak terpengaruh oleh pengaruh iblis karena mereka percaya akan teori kasualitas. Kalaupun ada pengaruh ini, maka pengaruh tersebut tidak begitu terlalu nyata.”

 

Keterangan: Pada mulanya teori kasualitas mengajar kita semua dengan berbagai praktek, cara berbakti, ritual, pemahaman akan simbol AUM dan sebagainya. Lama-kelamaan kita bertanya-tanya apakah benar semua ini benar-benar jalan ke Yang Maha Esa, dan seperti apakah Hakikat Beliau ini (Yang Maha Agung). Bagi para sadhaka, dalam tahap inilah baru ajaran Upanishad dari Sri Gaudapadiya ini bisa bermakna. Sering orang-orang bertanya, salahkah kita, kalau orang menyembah ke berbagai dewa-dewi, ataukah semua ini disesatkan oleh iblis?  Tidak!, jawab Sri Gaudapadiya, karena memang demikian prosesnya, dari kurang pengetahuan, menjadi faham secara benar, persisi sama seperti sekolah saja.

 

Sloka - 44  “Ibarat seekor gajah yang dihadirkan oleh imajinasi (seorang tukang sulap), dikatakan eksis (di depan mata para penonton), oleh karena (a) …. Hal tersebut dirasakan, (b) karena gerak-gerik sang gajah yang meyakinkan akan kehadirannya. Demikian juga dengan berbagai obyek duniawi ini yang  (a) …. Hadir karena dirasakan dan (b) karena memenuhi hasrat-hasrat manusia itu sendiri akan kebutuhannya untuk berbagai obyek duniawi tersebut.”

 

Sloka - 45  “Kesadaran murni yang terkesan dilahirkan, atau yang bergerak atau yang mengambil bentuk  sesuatu benda, sebenarnya tidak pernah dilahirkan, tidak bergerak dan lepas dari materi; beliau itu sifatNya Kedamaian Total dan Tunggal.”

 

Sloka - 46  “Demikianlah sang pikiran ini (sebenarnya) tidak terikat oleh kelahiran atau perubahan. Semua makhluk sebenarnya bebas dari kelahiran. Mereka-mereka yang telah menyadari (memahami) hakikat kebenaran ini tidak akan terpengaruh oleh ilmu-pengetahuan yang palsu ….yaitu berbagai penalaran yang salah akan Yang Maha Hakiki.”

 

Sloka - 47  “Ibarat alur bara-api sewaktu sedang bergerak terlihat lurus, berkelok-kelok, bergulung-gulung dan sebagainya, demikian juga  dengan kesadaran sewaktu bergetar akan terkesan seakan-akan ia adalah “yang menyadari” atau “yang disadarkan” dan lain sebagainya.”

 

Keterangan: Alur api (Alata) ini disebut-sebut di ajaran Maitrayam Upanishad sewaktu menggambarkan  Sang Hyang Brahman yang oleh masing-masing individu dipandang dan dihayati secara berbeda satu dari yang lainnya, sesuai dengan tahap kesadaran masing-masing individu itu sendiri; walaupun “Itu intinya adalah Tuhan Yang Maha Esa, dan itu adalah api.”

 

Sloka - 48  “Sewaktu tidak bergerak maka alur bara api akan lepas dari berbagai bentuk dan terkesan  diam. Demikian juga dengan kesadaran, sewaktu tidak tergetar  dengan berbagai imajinasinya akan lepas dari berbagai bentuk dan bersifat (terlihat) diam tanpa berganti-ganti bentuk.”

 

Sloka - 49  “Sewaktu alur api sedang berada dalam bentuk gerakan, maka berbagai bentuk alur apipun ttidak  akan pergi kemana-mana, tidak juga dapat dikatakan bahwasanya berbagai bentuk api tersebut telah menyatu ke api ini, sewaktu alur api berhenti bergerak.”

 

Sloka - 50  Berbagai bentuk alur api ini tidak berasal dari api tersebut karena memang bukan “benda” substantial. Demikian juga dengan kesadaran itu sendiri yang memiliki kesamaan dengan dua kasus tersebut di atas.”

 

Sloka - 51  - 52 “Sewaktu kesadaran dihubungkan dengan sefat-sifat, maka apa yang terlihat dan terkesan, tidak berasal dari manapun juga. Sewaktu kesadaran sedang aktif, maka berbagai kesan yang terlihat juga tidak pergi  kemanapun juga. Demikian juga dengan berbagai kesan yang terlihat, tidak juga pernah memasukinya; kesan-kesan yang nampak terlihat ini tidak pernah muncul dari Kesadaran tersebut karena tidak bersifat nyata; Semua fenomena ini berada di luar (jalan pikiran) dan kata-kata, karena memang tidak berhubungan dengan ikatan sebab-akibat.”

 

Sloka - 53  “Sesuatu benda fisik dapat saja merupakan produk dari benda yang lain; demikian juga sesuatu yang bersifat bukan benda bisa memproduksi sesuatu benda lain yang bukan juga bersifat benda. Demikianlah, pusat-pusat ego dikatakan tidak bisa bersifat benda maupun berbeda dengan benda.”

 

Keterangan: Ego-sentris seorang individu disebut bukan sebagai benda (Dravya), juga bukan “bukan benda (Anyabhava)”. Tidak ada sesuatu apapun yang dapat menciptakannya, demikian juga ia tidak dapat menciptakan  sesuatu.

 

Sloka - 54  “Demikianlah bentuk eksternal berbagai obyek indriyas, tidak diciptakan oleh sang pikiran, juga tidak bisa dikatakan bahwasanya sang pikiran sebaliknya diciptakan oleh berbagai indriyas ini. Oleh karena itu semua manusia yang bijak berprinsip bahwasanya non-penciptaan atau non-evolusi adalah Kebenaran Sejati.”

 

Sloka - 55  “Selama seseorang percaya kepada prinsip Kebenaran Sejati (hukum Kasualitas ini), maka selama itu pula ia akan menyadari berfungsinya hukum ini, namun sewaktu prinsip ini hilang dari jalan pikiran seseorang sadhaka, maka hukum sebab-akibatpun akan hilang darinya.”

 

Sloka - 56  “Selama seseorang percaya akan kasualitas yang berintikan berbagai kematian dan kelahiran (tanpa habis-habisnya), maka fenomena itu akan eksis. Namun sewaktu kepercayaan tersebut hancur oleh ilmu-pengetahuan, maka kelahiran dan kematian berubah menjadi tidak eksis lagi.”

 

Sloka - 57  “Konsep tentang kelahiran hanyalah sebuah pengalaman ilusif yang tercipta karena didasari oleh sebuah kebodohan (kekurang-pengetahuan), jadi sebenarnya tidak ada sesuatu apapun yang abadi. (Karena) semua ini berasal dan bersatu dengan Realitas Utama, maka dikatakan tidak ada yang pernah dilahirkan dan, tidak ada itu yang disebuat kiamat (penghancuran, kematian).”

 

Keterangan: Secara duniawi kita memang lahir dan mati, tetapi proses tersebut terulang terus secara sistematis, dan sifatnya malahan abadi. Dari sudut pandangan Sang Pencipta tidak ada lahir dan mati, yang eksis hanya prosesnya saja; dari sudut pandangan dan pikiran manusia semua fenomena ini dianggap ada, dan manusia ketakutan sendiri akan pralaya (kiamat, kematian).

 

Sloka - 58  “Berbagai elemen  (unsur-unsur) yang brhubungan dengan pusat-pusat ego disebut dilahirkan; namun dari sudut pandangan Realitas Utama, hal tersebut tidak dimungkinkan. Oleh karena itu dikatakan kelahiran itu sifatnya adalah obyek ilusi. Dan yang namanya ilusi itu bersifat tidak eksis.”

 

Sloka - 59  “Kecambah ilusi tumbuh dari benih ilusi. Kecambah ilusi ini tidak permanen maupun non-permanen sifatnya. Demikian juga dengan berbagai jiwa-jiwa (ini).”

 

Sloka - 60  “Unsur “permanen” ataupun “non-permanen” tidak dapat diaplikasikan kepada ego-ego yang belum dilahirkan. Sesuatu yang tidak bisa dijabarkan dengan kata-kata tidak bisa dibeda-bedakan sebagai benar ataupun salah.”

 

Sloka - 61  “Ibarat di dalam mimpi sang pikiran terkesan berperi-laku melalui delusi, dan memproduksi dualitas akan dirinya sendiri, demikian juga di alam-sadar ini sang pikiran ini terkesan melaksanakan berbagai hal melalui Maya dan memproduksi berbagai penampakan (hal, fenomena yang bersifat) pruralistik.”

 

Sloka - 62  “Tak ada keragu-raguan bahwasanya sang pikirang yang sebenarnya tidak non-dual sifatnya, memecah-mecah dirinya menjadi banyak di alam-mimpi. Demikian juga di alam sadar ini sang pikiran ini bersifat non-dual dan melakukan hal yang sama.”

 

Sloka - 63  “Berbagai bentuk kelahiran dari berbagai jenis telur, keringat, dan lain-lainnya, selalu terlihat oleh seseorang yang bermimpi sewaktu ia hidup di dalam mimpinya, ia kesana-kemari, ke 10 arah di dalam mimpinya ini, ---- (sebenarnya) semua ini tidak eksis, jauh dari sang pikiran si pemimpi tersebut.”

 

Sloka - 64  “Berbagai pusat-pusat sang pikiran yang berbeda-beda ini, yang adalah berbagai obyek sang pikiran itu sendiri tidak memiliki eksistensi mereka masing-masing selain dari pikiran itu sendiri. Demikian juga, pikiran sang pemimpi ini diterima sebagai obyek persepsi sang pemimpi itu sendiri. Oleh karena itu, pikiran sang pemimpi itu tidak terpisah dari sang pemimpi itu sendiri.”

 

Sloka - 65  - 66 “Berbagai bentuk kelahiran dari pusat-pusat ego yang dilahirkan dari berbagai unsur (jenis) telur, keringat, biji-bijian dan lain sebagainya, yang dirasakan oleh seseorang di alam sadar, di sepuluh arah, adalah hanya obyek sang pikiran dikala ia berada di alam sadar. Demikian juga, pikiran seseorang di alam sadar ini diterima sebagai berbagai obyek-obyek persepsi dari orang yang berada di alam sadar itu sendiri. Oleh karena itu, sang pikiran disebut tidak berpisah dari orang yang merasakan itu semuanya.”

 

Sloka - 67  “Kedua-duanya, yaitu sang pikiran dan berbagai pusat-pusat ego, adalah obyek-obyek persepsi bagi satu dengan yang lainnya; lalu bagaimana dapat dikatakan mereka ini lepas bebas satu dari yang lainnya? Kedua-duanya tidak memiliki ciri (tanda) tertentu yang dapat membedakan mereka, karena yang satu hanya dapat dikenali melalui yang satunya lagi.”

 

Sloka - 68  “Seperti halnya dengan jiwa di alam-mimpi merealisasikan dirinya sebagai mahluk dan kemudian sirna, demikian juga halnya dengan berbagai ego yang hadir di dalam alam-sadar kita, muncul kemudian hilang.”

 

Sloka - 69  “Seperti halnya dengan gabungan berbagai unsur merealisasikan dirinya dan kemudian berlalu, demikian juga halnya dengan berbagai jiwa yang terasakan kehadirannya di alam sadar, datang dan pergi.”

 

Sloka - 70  “Ibarat semua pusat-pusat ego yang bersifat artifisial (tidak asli) datang dan pergi, demikian juga dengan berbagai jiwa yang terasakan di alam-sadar datang dan pergi.”

 

Sloka - 71  “Tiada satu makhlukpun yang pernah dilahirkan; tidak juga ada alasan untuk penciptaan ini. Kebenaran Sejati  adalah behwasanya tidak ada sesuatu apapun dilahirkan.”

 

Sloka - 72  “Dunia yang bersifat dualitas ini dicirikan berdasarkan konsep hubungan antara subyek dan obyek, dan kemudian hal ini diterima oleh yang menerima konsep ini; semua ini adalah pekerjaan sang pikiran. Sang pikiran ini sekali lagi (sebenarnya) tidak pernah berhubungan dengan salah satu obyek apapun juga (ini). Oleh karena itu, sang pikiran ditegaskan sebagai abadi dan tak tersentuh.”

 

Keterangan: Teori Vedantin di atas ini menyatakan bahwa Sang Pikiran  adalah Sang Brahman itu sendiri, jadi bersifat abadi dan tidak dapat disentuh oleh fenomena maupun benda apapun juga.

 

Sloka - 73  “Sesuatu yang eksis berdasarkan kekuatan ilusi, pada hakikatnya tidak eksis. Sesuatu yang dikatakan eksis berdasarkan kekuatan pandangan yang didukung oleh berbagai aliran kepercayaan lainnya, sebenarnya (pada hakikatnya) tidak pernah eksis.”

 

Keterangan: Penjelasan di atas dapat dikategorikan mencengangkan atau menakjubkan untuk sementara ahli. Yang Maha Esa dan Hakikatnya yang oleh berbagai aliran kepercayaan di dunia ini (dari masa ke masa) itu disebut sebagai Yang Maha  Hakiki, tetapi kalau ada yang menentang teori ini, (yang tidak dipaksakan);  karena Hakikat itu eksis atau tidak bukan karena berbagai golongan menyatakan  pro dan kontranya, namun karena KehendakNya belaka! Yang Maha esa ini, sekali lagi bukan untuk diperdebatkan, namun untuk dihayati dan difahami.!

 

Sloka - 74  “Sang Atman, dikatakan sebagai tidak dilahirkan ditinjau dari sudut pengalaman dan pandangan sehari-hari. Bahkan dikatakan sebenarnya Sang Atman memang tidak pernah dilahirkan (eksis). Sang Atman terkesan hadir karena hal tersebut adalah kepercayaan dari berbagai aliran kepercayaan.”

 

Sloka - 75  “Manusia mempunyai persepsi kepercayaan yang “amburadul” sifatnya akan Realitas ini Yang Tidak Nyata ini. “Tidak ada dualitas. Seseorang yang telah menyadari akan ketidak-hadiran dualitas, tidak pernah dilahirkan kembali, karena sudah tidak ada alasan lagi untuk dilahirkan.”

 

Keterangan: Sri Gaudapada di sloka ini seakan-akan menyatakan konklusi terakhirnya akan sifat-sifat manusia yang agak “konyol  atau amburadul”. Sekali sebagian manusia ini berpersepsi, mereka langsung menjadi fanatik dengan kepercayaan tersebut, dan mereka ini atas nama agama, adat ataupun budaya bisa lebih “tuhan“ dari Yang Maha Esa itu sendiri.  Keperyaan ini disebutnya amburadul atau konyol (Abhinivesa), dan sebenarnya sangat menghancurkan sang individu maupun kelompoknya sendiri. Namun beliau juga berkata bahwasanya seseorang yang egonya telah mati dan mengenal Hakikat Yang Maha Esa (Realitas Sejati) dan memahamiNya, maka bagi insan ini tidak akan  berreinkarnasi, namun pada hakikatnya semua fenomena duniawi ini sudah bukan masalah lagi baginya!

 

Sloka - 76  “Sewaktu sang pikiran tidak mendapatkan suatu alasan utama atau yang tidak utama atau yang di tengah-tengah kedua faktor ini, maka sang pikiran ini berubah bebas dari kelahiran. Bagaimana mungkin bisa terjadi akibat kalau sebabnya tidak hadir?”

Sloka - 77  “Tahap ilmu-pengetahuan, atau non-evolusi dari sang pikiran yang tidak pernah dilahirkan dan tanpa hubungan apapun juga, bersifat absolut dan konstan.  Semua hal lainnya, oleh karena itu secara sama rata tidak dilahirkan, karena kemajemukan sebenarnya adalah proyeksi obyektif dari sang pikiran itu sendiri.”

 

Sloka - 78  “Setelah menyadari (memahami) ketidak-hadiran unsur kasualitas sebagai Sang Jati Diri (Atman), yaitu Kebenaran Yang Tidak Terbatas …… maka, sewaktu seseorang tidak menemukan sesuatu alasan atau sebab untuk bermanifestasi lagi …. maka orang tersebut akan mencapai pembebasan Sang Jati Diri yang lepas dari kekhawatiran, berbagai nafsu, berbagai hasrat dan ketakutan.”

 

Sloka - 79  “Oleh karena ikatan seseorang kepada benda-benda yang tidak nyata (duniawi), maka sang pikiran ini berlari mengejar berbagai obyek indriyas tersebut. Namun hal tersebut bisa berbalik sewaktu seseorang berubah tidak terikat lagi ….. memahami dirinya ……. sewaktu ia meyakini akan ketidak-nyataan semua obyek ini secara total."

 

Sloka - 80  “Jalan pikiran seseorang yang telah hancur dari berbagai ikatannya akan menarik dirinya dari berbagai godaan ……. Kemudian akan mencapai tahap Kemurnian yang tidak berubah-ubah. Faktor ini difahami oleh para kaum bijak sebagai sesuatu yang tidak bisa dibeda-bedakan (dibanding-bandingkan), tidak memiliki kelahiran, dan non-dual.”

 

Keterangan: Yang disebut faktor di atas adalah Tuhan Yang Maha Esa.

 

Sloka - 81  “Sang Jati Diri yang lepas dari kelahiran dan lepas (bebas) dari “tidur” dan “mimpi” mengungkapkan diriNya oleh diriNya juga; karena pada hakikatnya, ang Jati Diri ini, bersifat senantiasa bercahaya gilang-gemilang.”

 

Sloka - 82  ‘Karena sang pikiran selalu terikat kepada berbagai obyek  individual (duniawi), maka Kebahagiaan Ilahi (Sukham-avriyate nityam) itu selalu terselubung sifatnya, dan berbagai penderitaanpun muncul ke permukaan. Oleh sebab itu, Tuhan Yang Maha Esa (Bercahaya) ini sulit untuk direalisasikan.”

 

Sloka - 83  “Mereka-mereka yang masih bersifat “kekanak-kanakan” mengungkap (menjabarkan), Kebenaran ini sebagai: eksistensi, non-eksistensi ………dan, analisa mereka ini datang dari berbagai ekspresi seperti: yang permanen (abadi), yang tidak permanen (tidak abadi), yang memiliki sifat abadi dan tidak abadi, (keabadian dan ketidak-abadian).”

 

Keterangan: Aliran Vaisheshikas berpendapat bahwa Sang Atman itu jauh adanya dari raga, indriyas dan prana. Atman oleh mereka disebut Eksistensi.

 

Kaum Buddhis dari aliran  Kshanika Vijnana Vadine berpendapat bahwasanya sang Atman itu walaupun terpisah dari raga ini, bersifat identik dengan sang intelek (buddhi).

 

Menurut aliran Jaina, Sang Atman adalah “Eksistensi dan Bukan Eksistensi” (Asti-Nasti). Bagi mereka ini ukuran Sang Atman itu sama besarnya dengan  raga yang menyandangNya, dan sewaktu raga itu eksis, sang Atman pun ikut eksis. Sewaktu raga ini binasa, Sang Atmanpun tidak eksis. Yang terakhir adalah  kepercayaan dari salah satu aliran Buddhis yang disebut kaum Nihilis, menurut mereka tidak ada realitas yang dapat dibanding-bandingkan dengan sang Atman. Semua yang lain apakah itu makhluk hidup maupun benda mati  berakhir dengan kehancuran (kematian). Jadi bagi mereka “Penolakan Absolut” (Nasti-Asti) adalah “Kebenaran Yang Maha Utama.”

 

Sloka - 84  “Di sini terpapar empat pendapat alternatif yang berhubungan dengan sifat Sang Atman. Karena berhubungan dengan keterikatan seseorang kepada pendapat-pendapat ini, maka Sang Atmanpun terselubung dari pandangan orang-orang tersebut. Barangsiapa yang faham  bahwasanya Sang Atman ini tidak tersentuh oleh berbagai teori ini, sebenarnyalah yang merasakan (melihat dan juga memahami) Sang Atman.”

 

Sloka - 85  “Seandainya orang tersebut telah mencapai tahap Sang Brahman, sebuah tahap non-dualitas yang sempurna, yang tidak bermula tidak berakhir, dan tidak bertengah (masa diantara mula dan akhir) ……..maka apa lagi yang  harus dihasratkan?

 

Sloka - 86  “Kesadaran akan Hakikat Sang Brahman ini adalah dengan sendirinya merupakan kerendahan hati alami bagi Sang Brahman. Orang-orang yang sadar ini sifatnya selalu spontan. Mereka-mereka ini dikatakan telah mencapai kendali atas indriyas mereka secara sempurna ……, dan ini mereka dapatkan secara alami  (sebagai suatu kewajaran spiritual). Barang siapa yang menyadari akan hakikat Sang Brahman Yang Maha Shanti, maka orang tersebut akan berubah menjadi shanti (tenang dan damai).”

 

Sloka - 87  “Vedanta mengakui tahap empirik dari tahap alam-sadar dimana unsur pruralitas berhubungan dengan berbagai obyek dan ide-ide yang dikenal (selama ini). Vedanta juga mengakui tahap lembut lainnya dimana pruralitas dialami, dimana berbagai ide (faham, pikiran) berhubungan dengan berbagai obyek yang sebenarnya tidak eksis.”

 

Keterangan: Sri Gaudapadiya di sloka ini menyitir ajaran dari aliran kaum Buddhis yang disebut Yogacharas. Di dalam ajaran ini, alam sadar disebut Laukika,  dan alam-mimpi disebut sebagai Suddha Laukika. Mandukya Upanishad ini telah menerangkan kedua tahap ini sebelumnya.

 

Dalam tahap Laukika dan Suddha Laukika, terdapat hubungan antara  yang merasakan dan yang dirasakan  dan satu-satunya perbedaan (kelainan) adalah dalam tahap sadar, “orang yang sadar” merasakan berbagai obyek yang terkesan nyata, sebaliknya “orang yang bermimpi” merasakan berbagai obyek yang sebenarnya adalah ide  atau faham yang berasal dari pikiran yang terobsesi oleh alam mimpi ini.

 

Sloka - 88  “Dan ada lagi sebuah tahap lain dari kesadaran yang diterima oleh kaum yang bijak, pendapat ini bebas dari hubungan obyek-obyek eksternal dan juga bebas dari brbagai bentuk jalan pikiran yang hdir secara internal. Tahap ini jauh dari berbagai pengalaman empirik. Kaum bijak selalu menjabarkan ketiga-tiganya ini ….., yaitu sebagai ilmu-pengetahuan, ilmu-pengetahuan akan berbagai obyek, dan yang harus dipahami ….., yaitu Sang Realitas Utama.”

 

Sloka - 89  “Ilmu-pengetahuan dan ketiga lapis yang difahami ini, sewaktu dimengerti secara susunan yang benar, satu sesudah yang lainnya, maka seseorang yang memiliki naluri yang tinggi secara  spontan akan mencapai tahap ilmu-pengetahuan yang hadir dimana saja dan di dalam apa saja di kehidupan ini.”

 

Keterangan: Tahap yang dimaksud di  atas disebut sebagai tahap Thuriya dari Kesadaran Murni, seseorang yang mampu mencapai tahap ini disebut seorang yang suci  (Sant, Santa). Ia terserap ke dalam Sang Atman dan berubah menjadi Atman itu sendiri, dan mampu hadir dan faham akan berbagai fenomena di mana saja dan dalam bentuk apapun juga.

 

Sloka - 90  “Empat hal yang harus diketahui pada saat permulaan adalah  (1) hal-hal yang harus dihindari; (2) obyek (tujuan) yang harus direalisasikan; (3) hal-hal yang harus dicapai dan (4) berbagai jalan pikiran yang dirasakan sebagai tidak efektif; diantara ke empat ini, semua unsur-unsur tersebut di atas selain unsur yang harus direalisasikan, hadir hanya sebatgai imajinasi belaka.”

 

Sloka - 91  “Semua unsur sesuai dengan sifat-sifat alaminya bersifat tanpa mula dan tak terlihat, ibarat kehampaan (ruang angkasa). Tidak ada varietas sedikitpun di dalam unsur-unsur ini dilihat dari sudut manapun, maupun pada dimensi waktu apapun.”

 

Keterangan: Dalam tahap Thuriya, Kebenaran  Hakiki ini tidak tersentuh oleh unsur apapun, dalam bentuk apapun, maupun oleh sang waktu itu sendiri.

 

Sloka - 92  “Semua unsur-unsur ego-sentris, sesuai dengan sifat-sifat asli, telah terang (dicahayai) dari permulaan, dan mereka ini tak tergoyahkan sifatnya. Barangsiapa berdasarkan ilmu-pengetahuan ini, sudah merasa cukup dan tidak mencari ilmu-pengetahuan lain, maka ia seorang diri akan mampu menyadari (Hakikat) Kebenaran Yang Maha Tinggi.”

 

Sloka - 93  “Semua unsur-unsur ego-sentris yang dari permulaan dan dikarenakan oleh sifat alami mereka berciri sama, tidak dilahirkan dan bebas secara sempurna; sifat utama mereka adalah kesamaan dan tidak berbeda-beda satu dari yang lainnya. Oleh sebab itu, berbagai unsur ini sebenarnya tidak bukan dan tidak lain dari Sang Atman, yang tidak dilahirkan, selalu bersemayam secara mantap di dalam “Persamaan dan Kemurnian.”

 

Keterangan: Sekali lagi kami jelaskan bahwa yang dimaksud dengan ego-sentris  itu sama artinya dengan jiwa (individual).

 

Sloka - 94  “Mereka-meraka yang selalu bersandar pada konsep perbedaan, tidak akan pernah merealisasikan Kemurnian alami yang hadir di dalam Sang Jati Diri. Karena itu, mereka-mereka yang terserap di dalam faham pruralitas ini dan mereka-mereka yang membedakan setiap benda dan individu satu dari yang lainnya, disebut sebagai orang-orang yang berpikiran sempit (Kripanah).”

 

Sloka - 95  “Hanya mereka yang dapat disebut teramat bijaksana yang sangat teguh dengan iman mereka akan Hakikat Sang Jati Diri, Yang Tak Dilahirkan dan Senantiasa Sama; fenomana ini, tidak bisa difahami oleh manusia awam.”

 

Sloka - 96  “Kesadaran murni, intisari dari berbagai unsur (jiwa) yang berlainan dikatakan sebagai Jati Diri yang tak dilahirkan dan tidak berhubungan dengan obyek-obyek eksternal apapun juga. Ilmu-pengetahuan ini dikatakan tidak bersyarat (tidak bisa ditawar-tawar lagi), karena bagaimanapun juga tidak berhubungan dengan obyek-obyek lain dalam bentuk apapun juga.”

 

Keterangan: Teori di atas adalah kepercayaan kaum Naiyayaka, akan Sang Atman.

 

Sloka - 97  “Sedikit saja pemahaman akan hadirnya unsur-unsur pruralitas dalam Sang Atman oleh seseorang yang kurang pengetahuannya, akan menghalangi mereka dalam mendekati Beliau Yang Hakiki ini, di manakah kemudian akan ada kehancuran tirai penutup Hakikat Asli Sang Atman ini?”

 

Sloka - 98  “Semua jiwa (sebenarnya) bebas dari ikatan dan murni sifatnya. Mereka ini senantiasa bercahaya dan merdeka semenjak masa permulaan. Namun, tetap saja para kaum bijak menyebut para individu ini sebagai “mereka-mereka yang berkemampuan untuk memahami” …………Sang Jati Diri.”

 

Sloka - 99  “Ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang telah sadar, yang teramat bijak, tidak akan tersentuh oleh berbagai obyek (duniawi). Semua unsur, sama halnya dengan ilmu-pengetahuan juga tidak tersentuh oleh obyek-obyek apapun juga. Ini bukan pandangan Sang Buddha.”

 

Keterangan: Dua sloka terakhir ini adalah akhir dan konklusi Sri Gaudapadiya, pernyataan ini mirip dengan ajaran Sang  Buddha Gautama, yang juga berasal dari kurun waktu yang sama dengan Sri Gaudapadiya. Pada masa itu di India, kaum brahmana yang picik, sangat alergi terhadap ajaran sang Buddha Gautama. Sri Gaudapada menegaskan bahwa ajaran-ajarannya bukan berasal dari ajaran Sang Buddha, namun intisarinya memang sudah hakikatnya demikian (jadi tidak ada perbedaan antara Hindhu dan Buddha sebenarnya!). Filosofi Buddhis amat mendekati ajaran Advaita secara dialektik, namun ada perbedaan-perbedaan yang tipis diantara keduanya. Sang Budha sebenarnya tidak pernah mengajarkan bahwasanya  Yang Maha Absolut adalah Realitas Yang Terakhir.

 

Sloka - 100    “Setelah menyadari tahap Realitas Utama ini, yang hakikatnya sulit untuk digapai secara murni ….yaitu tidak dilahirkan, senantiasa sama, secara total bersifat ilmu-pengetahuan dan lepas dari pruralitas ……..maka kami menghaturkan puja hormat kami sebaik mungkin dengan kemampuan yang kami miliki.”

 

Keterangan: Demikianlah Sri Gaudapadiya menutup ajarannya ini dengan puja syukur penuh hormat kepada Sang Hakikat Yang Maha Utama. Dengan teramat rendah hati beliau berkata bahwasanya puja hormat  ini adalah minimum sifatnya dibandingkan dengan kemampuan Tuhan Yang Maha Esa di dalam bidang apapun juga. Dengan kata lain beliau  mengingatkan kita semua bahwa seberapapun tingginya ilmu yang kita miliki, sebenarnya tidak berarti apa-apa di depan Yang Maha  Esa. Jadi berhentilah berdiskusi akan kepercayaan orang lain, dan mempermasalahkan kepercayaan agama orang lain, namun sebaiknya senantiasa giatlah selalu memahami Sang Jati dirimu sendiri. Inilah intisari yang tersirat di ajaran yang terkesan amat rumit ini. Salam puja penuh hormat bagi Sri Gaudapadiya yang telah bersusah payah beryagna bagi umat  manusia melalui karya Karika Upanishad ini. Puja sujud dan hormat sekali lagi baginya dan Yang Maha Hakiki serta seluruh jajaran  resi Sanathana Dharma dari masa ke masa, sesuai dengan kemampuan yang teramat minim yang kami miliki secara duniawi ini.

 

“Tak Terikat, Tak Terikat, Tak Terikat Aku ini lagi dan lagi; Aku bersifat Absolut; Eksistensi Ilmu-Pengetahuan ……..Kebahagiaan Ilahi; Aku adalah Aku ……Yang Abadi, yang Tak Terbinasakan, Yang Tak Terhancurkan !!!”

 

OM SARVAM BHUTAM MANGGALAM

OM SHANTI SHANTI SHANTI

OM TAT SAT

 

Dengan ini berakhirlah karya Mandukya Upanishad dan Karika ini

semoga bermanfaat bagi semuanya.

 

 

Disarikan ke bahasa Indonesia yang sederhana oleh mohan.m.s    (Cisarua – Jakarta  6 April – 30 Mei 2002)

 

 

Kembali ke halaman utama Mandukya Upanishad                    Kembali ke halaman induk Shanti Griya