MANDUKYA UPANISHAD

Vinneka Tunggal Eka   

 

BAB III

ADWAITA PRAKARANA

(Penjelasan mengenai Faktor Non-dualisme)

 

Pada kedua bab sebelumnya Sri Gaudapada secara jelas dan terperinci menerangkan berbagai ekspresi dari berbagai agama-agama di jaman tersebut. Di bab pertama beliau menerangkan eksistensi agung dari Sang Realitas yang bersifat non-dual, keterangan yang diberikan berdasarkan skripsi-skripsi yang telah beliau pelajari. Kemudian di bab kedua kita diberikan sajian berupa berbagai argumentasi dari berbagai aliran (agamas) untuk membuktikan sifat ilusif dari dunia yang serba pruralistik ini. Di bab ini beliau menuntun kita ke arah fenomena dunia yang serba pruralistik ini yang ternyata sebaliknya tidak bersifat ilusif. Bab ini penuh dengan berbagai sitiran dari berbagai skripsi suci dan juga menuntun kita ke arah meditasi kita sehari-hari.

Konon, di bab yang akan kita ikuti ini (bab III), tersirat adanya ajaran unik yang hadir dalam Vedanta yang disebut “Asparse Yoga”. Yoga ini tersirat juga di ajaran Sang Buddha Gautama.

Di akhir bab III, Sri Gaudapada meneriakkan ajaran filosofinya mengenai non-penciptaan. Di sloka tersebut mengungkap seluruh sari pati ajaran Karika ini hanya dalam dua kalimat yaitu:

 

“Tak ada satu jiwapun yang pernah dilahirkan; tidak ada alasan apapun juga untuk melahirkannya.

Itulah kebenaran yang tertinggi, yaitu tidak ada sesuatupun yang pernah lahir.”

 

 

ADWAITA PRAKARANA

Dimulai

 

Sloka - 1      “Setiap ego individual yang sedang meniti jalan bakti (upasana) berimajinasi bahwasanya ia terhubungkan ke Sang Brahman, yang diperkirakan olehnya telah memanifestasikan DiriNya. Insan (Ego) ini disebut memiliki budhi yang rendah, karena insan ini berpikir bahwa sebelum terjadi penciptaan, maka semua ini bersifat Realitas yang belum dilahirkan.”

 

Sloka - 2      “Oleh karena itu, akan kuterangkan padamu, akan Sang Brahman ini, yang  lepas dan merdeka dari berbagai keterbatasan, yang tidak pernah dilahirkan dan bersifat homogeneous (sama jenis), dan dariNya ini sebenarnya tidak ada yang dilahirkan, walaupun terkesan berbentuk berbagai manifestasi yang tidak ada habis-habisnya.”

 

Sloka - 3      “Sang Atman yang mirip dengan Akash (ether) bermanifestasi dalam berbagai bentuk ego, dan dapat dibandingkan dengan spasi/ruang dalam bejana. Sekali lagi, spasi dalam bejana dikatakan diproduksi oleh spasi-total, oleh karena itu disebutkan bahwasanya bentuk-bentuk kasar (kasat mata) diciptakan dari Sang Realitas. Inilah ilustrasi bagi dunia dalam bentuknya yang bermanifestasi.”

 

Keterangan: Di dalam filosofi Vedanta terdapat analogi tentang spasi total (kehampaan alam-semesta) dan ruangan hampa, contoh ruang hampa dalam gerabah seperti pot, bejana, tempayan dan sebagainya. Spasi total adalah antariksa, ether, langit yang mengelilingi kita, sedangkan ruangan dalam bentuk  dan ukuran apapun juga adalah sebagian kecil dari kehampaan total alam-semesta ini.

 

Sloka - 4      “Sewaktu jambangan yang terbuat dari gerabah ini pecah, maka spasi (ruang) dalam gerabah ini menyatu kembali dengan Akash (kehampaan alam-semesta), demikian juga setiap ego (individu) menyatu kembali dengan Sang Atman.”

 

Sloka - 5      “Mengisi ruang kosong gerabah dengan asap atau tanah tidak berarti lalu seluruh ruang hampa di alam-semesta jadi terisi. Demikian juga halnya  akan kebahagiaan dan penderitaan di dalam hati seseorang tidak harus menjadi penderitaan dan kebahagiaan semuanya. Pengalaman jiwa seseorang tidak harus jadi pengalaman semua yang lain.”

 

Sloka - 6      “Di sana-sini terdapat berbagai perbedaan di dalam berbagai bentuk, fungsi dan nama, namun di alam-semesta yang tak terterangkan ini tidak terdapat semua perbedaan ini. Demikian juga halnya  dengan kebenaran, Beliau hadir secara sama-rata di dalam berbagai individu ciptaan-ciptaanNya.”

 

Sloka - 7      “Spasi hampa di dalam sebuah gerabah bukanlah hasil ataupun sebagian dari spasi total alam-semesta; demikian juga dengan halnya  setiap ego (jiwa, individu) yang bukan hasil dari Roh tersebut dan juga bukan sebagian dari Roh ini.”

 

Sloka - 8      “Ibarat langit yang terkesan penuh polusi (dari sudut pandang anak-anak bodoh), demikian juga Sang Atman (sering) terkesan diliputi oleh noda-noda dari sudut pandangan orang-orang yang kurang berpengetahuan.”

 

Sloka - 9      “Sang Atman yang bersemayam di dalam setiap raga, di dalam proses setiap kelahiran, kematian atau perpindahan (reinkarnasi), sebenarnya tidak berbeda dengan fenomena spasi hampa di dalam sebuah bejana.”

 

Sloka - 10  Setiap perangkat (organ-organ kehidupan) seperti badan, pikiran dan intelek terciptakan akibat pemahaman yang salah mengenai hakikat sejati Sang Jati Diri. Tidak ada sebuah alasan rasional apapun yang dapat dipergunakan untuk menyatakan realitas (semua) ini, apakah yang satu lebih superior daripada yang lainnya, ataukah yang satu sederajad dengan yang lainnya.”

 

Sloka - 11  “Sang Jati Diri Yang Maha Agung yang bukan lain dan bukan tidak adalah Sang Brahman yang berciri Non-dual, adalah Sang Jati Diri dari ke lima unsur  seperti fisik, mental dan lain sebagainya seperti yang telah diterangkan di Taittireeyaka Upanishad. Beliau Yang Maha Agung ini adalah seperti yang telah diterangkan sebelum ini oleh kami, yaitu ibarat spasi hampa total di dalam semesta ini.”

 

Sloka - 12  “Keterangan mengenai berbagai bentuk pasangan dari Akasa (ether) yang juga hadir di bumi, juga di dalam perut seseorang, walaupun berbagai ragam sebutannya, sebenarnya adalah sama bagi Sang Brahman; demikian menurut ajaran yang terdapat di Madhu Brahman, dimana Beliau dikenal sebagai Adhyatma dan Adhi-Daiva.”

 

Keterangan: Yang disebut berbagai pasangan di sloka ini adalah pasangan-pasangan dari buana-alit dan buana-agung, spasi gerabah versus spasi alam semesta, dan di Madhu Brahmana, fenomena ini disebut sebagai Adhyatmik dan Adhydaivik.

 

Sloka - 13  “Karena identiras Sang Jiwa dan Sang Jati Diri (Atman) diantara mereka berdua ini selalu diperdebatkan di berbagai skripsi, maka dikatakan bahwasanya non-dualitas adalah satu-satunya hal yang bersifat rasional dan tepat.”

 

Sloka - 14  Perbedaan antara Sang Jiwa dan Sang Atman yang telah dijabarkan secara ritual di dalam Veda yang berhubungan dengan Alam-Semesta ini, dapat bersifat figuratif karena berhubungan dengan keterangan mengenai yang mengantisipasi hal-hal yang akan terjadi. Keterangan mengenai konsep dualistik ini (sebenarnya) dapat tidak berarti apapun juga secara literal.”

 

Keterangan: Di dalam bab yang mengulas Karma-Kanda di Veda (bagian ritualistik), terdapat berbagai keterangan seperti di atas.

 

Sloka - 15  “Berbagai pernyataan yang diilustrasikan oleh berbagai contoh dari bumi, besi, cahaya dan lain sebagainya . . . Yang berhubungan dengan penciptaan dunia ini ataupun sebaliknya . . . memang dapat  menerangkan keberadaan (fenomena) penyatuan antara Sang Jati Diri secara perseorangan dengan Sang Jati Diri Yang Bersifat Universal. Sebenarnya hal-hal yang berhubungan dengan fenomena yang beragam-ragam ini tidak eksis sama sekali.”

 

Keterangan Di Brihadarayaka Upanishad, banyak disajikan contoh-contoh seperti misalnya penciptaan dunia ini dari berbagai elemen yaitu tanah, besi dan lain-lainnya. Sedangkan pesan-pesan di dalam Vedanta menyiratkan “melalui dunia ini menuju ke dunia yang lain.”  Sloka di atas  menyatakan bahwa seluruh penciptaan ini sebenarnya berasal dari delusi semata-mata (Pelajaran ini).

 

Sloka - 16  “Berdasarkan berbagai tahap dan kadar intelektual yang berbeda-beda seperti misalnya jiwa yang bersifat di bawah, di tengah  dan di atas, maka kehidupan ini dapat dibagi-bagi diantara tiga tahap skripsi-skripsi suci yang berdasarkan prinsip-prinsip kasih sayang yang mengajarkan penalaran semacam ini agar bermanfaat bagi mereka-mereka yang belum mencapai penerangan.”

 

Keterangan: Bagi penganut Vedantin, upaya-upaya utama pada mulanya adalah ajaran-ajaran penuh disiplin (Upasana), agar jalan pikiran dan budhi mereka menyatu, untuk kemudian diarahkan ke level  yang lebih tinggi. Sruthi pada mulanya mengajarkan kita akan berbagai bentuk penciptaan yang bersifat pruralitas yang tercipta dari Kebenaran. Namun teori ini diajarkan berdasarkan kasih sayang bagi para pemula yang masih kurang pengetahuannya akan Hakikat yang sesungguhnya (sejati).

 

Sloka - 17  “Kaum dualis bersiteguh pada hasil-hasil kesimpulan mereka sendiri dan menganggapnya sebagai kebenaran. Jadi mereka sering berdebat satu dengan yang lainnya, namun kaum Advaitin tidak pernah berkonradiksi diantara mereka sendiri.”

 

Keterangan: Yang disebut kaum dualist adalah golongan kepercayaan seperti kapila, Kanada, Jaina dan lain-lainnya.

 

Sloka - 18  “Non-dualitas adalah Realitas Utama yang sejati; dualitas  adalah efeknya. Kaum dualis merasakan hadirnya dualitas baik di dalam Yang Maha Hakiki dan di dalam berbagai fenomena (dunia ini). Oleh sebab itu, non dualisme adalah sebuah filosofi yang tidak bertentangan dengan posisi kaum dualis.”

 

Sloka - 19  “Sang Brahman yang non-dual dan tidak berganti-ganti ini, sebenarnya tidak dilahirkan, dan terkesan berubah-ubah karena terbungkus oleh ilusi atau Sang Maya, jadi bukan bersifat de facto. Karena, seandainya perubahan ini benar maka Sang Brahman Yang Maha Abadi akan berubah menjadi tidak abadi.”

 

Keterangan: Sebagian manusia dikarenakan oleh ilusinya sendiri merasakan Tuhan itu berganti-ganti bentuk, contoh: berbagai dewa-dewi, fenomena alam, berbagai bentuk Tuhan dan agama, ajaran, aliran kepercayaan dan sebagainya. Padahal Beliau adalah Hakikat Yang Maha Murni yang tak mungkin terjangkau oleh berbagai teori dan ajaran mulut manusia sebetapa canggihnya manusia tersebut.

 

Sloka - 20  Kaum dualis bersikeras bahwasanya Sang Atman yang tidak pernah dilahirkan dan tidak berubah-ubah bentuk ini, menjalani perubahan bentuk. Bagaimana mungkin Zat yang bersifat konstan dan abadi ini dapat berubah menjadi benda mati (mengenal kematian).”

 

Sloka - 21  “Yang Abadi tidak bisa berubah menjadi tidak abadi dan sebaliknya yang tidak abadipun tidak bisa menjadi Abadi, karena pada hakikatnya tidak pernah terjadi bahwa sesuatu itu dapat berganti-ganti sifat bawaannya yang dominan (utama), jadi dikatakan sesuatu itu senantiasa bersifat sama.”

 

Sloka - 22  “Bagiamana mungkin seseorang yang percaya bahwa unsur Abadi yang utama  berubah menjadi tidak abadi, tinggal di dalam KeabadianNya setelah berubah bentuk, kemudian mempertahankan bentuk utamanya yang bersifat immutabilitas (tidak bisa diganti).”

 

Sloka - 23  “Kedua bentuk pandangan bahwasanya, ciptaan ini adalah realitas dan juga sebaliknya telah diajarkan oleh Sruthi secara seimbang. Apa yang telah didukung dan dinyatakan Sruthi ini dan telah difahami secara logika adalah yang dapat diterima sebagai Kebenaran bukan hal-hal yang lainnya.”

 

Sloka - 24  “Melalui (konsep-konsep) seperti yang terdapat  di berbagai sloka-sloka di berbagai skripsi suci, contoh: “tidak ada bentuk jamak di sini”, atau, “melalui ilusi Sang Maya, dan sebagainya” . . . kita memahami behwasanya Sang Atman walaupun tidak dilahirkan, terkesan berbentuk aneka ragam (vineka) melalui penalaran Sang Maya (yaitu ilusi duniawinya sang manusia itu sendiri).”

 

Sloka - 25  “Sekali lagi, sewaktu fenomena penciptaan ditolak (Sambuthi) maka terjadilah penolakan terhadap teori ini. Kasualitas akan Sang Atman sekali lagi tidak diterima oleh pernyataan seperti ini :” Siapakah yang mampu mengakibatkanNya untuk lahir?”

 

Keterangan: Tersirat di sloka ini behwasanya hukum karma (sebab dan akibat) hanya bisa eksis dalam jalan pikiran manusia. Hukum ini tidak berlaku untuk Sang Pencipta, Beliau ini tidak dilahirkan dan tidak melahirkan!

 

 

Sloka - 26  “Berhubungan dengan ketidak-mampuan skripsi-skripsi suci untuk menerangkan Hakikat Sang Atman dengan jelas maka sering sekali skripsi-skripsi suci ini menyatakan: “Ia adalah bukan ini, bukan juga itu,”. . . dua bentuk  ekspresi ini selalu disajikan demi memahami Sang Atman. Oleh karena itu, Sang Atman yang tidak dilahirkan ini saja yang eksis . . . bukan bentuk dualitasNya.”

 

Sloka - 27  “Beliau (Zat tersebut) yang selalu Maha Hadir terkesan melahirkan (atau dilahirkan) melalui penalaran konsep yang salah (delusi). Menurut sudut pandang Realitas, maka hal ini tidaklah benar. Mereka-mereka yang percaya akan fenomena kelahiranNya sebagai suatu hal yang benar, menegaskan bahwasanya sesuatu  yang dilahirkan, akan dilahirkan kembali (ad infinitum).”

 

Sloka - 28  “Yang Maha Tak Nyata, tidak bisa dilahirkan baik secara nyata maupun secara delusi (tidak nyata), konsep berpikir yang salah. Ibarat anak yang dikandung oleh seorang wanita yang mandul, tidak bisa dikatakan dilahirkan de facto ataupun dilahirkan melalui delusi.”

 

Sloka - 29  “Ibarat di dalam sebuah mimpi, sang pikiran bertindak melalui Sang Maya (delusi, ilusi) dan menampilkan  berbagai penampakan akan dualitas, maka demikian juga dalam tahap sadar (tidak tidur), sang pikiran terangsang oleh Sang Maya dan mengakibatkan penampakan berbagai dunia yang penuh dengan berbagai obyek-obyek duniawi.”

 

Sloka - 30  “Secara pasti dapat dikatakan bahwasanya Sang Pikiran yang bersifat non-dual terkesan berantakan di dalam pluralitas mimpi-mimpinya. Demikian juga, Sang Realitas yang bersifat Non-Dual nampak sebagai penuh dengan berbagai variasi di tahap (alam) sadar ini.”

 

Sloka - 31  “Apapun yang kita sadari (capai) di dunia ini baik yang bersifat bergerak maupun yang tidak bergerak, adalah tidak lain tetapi  persepsi dari sang pikiran itu sendiri . . . yaitu sang pikiran itu sendiri. Karena, pluralitas itu tidak mungkin dapat terpikirkan kalau sang pikiran mampu dikuasai.”

 

Sloka - 32  “Sewaktu sang pikiran tidak berimajinasi lagi karena telah memahami hakikat akan ilmu-pengetahuan tentang Kebenaran, yaitu Sang Atman (Kesadaran murni), maka sang pikiran itupun berhenti berilusi. Sang pikiranpun lepas dari berbagai ide-ide pemahaman demi memahami obyek-obyek yang dipahami ini.”

 

Sloka - 33  “Ilmu pengetahuan yang tidak dilahirkan dan bebas dari semua imajinasi selalu bersifat tak terpisahkan dari  yang mengetahuinya. Sang Brahman yang tak pernah dilahirkan dan Yang Tak Dapat Tersentuh adalah tujuan satu-satunya dari ilmu-pengetahuan ini. Yang bersifat tidak dilahirkan hanya dapat dipahami oleh mereka-mereka yang tak terlahirkan.”

 

Sloka - 34  “Pahamilah jalan pikiran (sifat) dari sang pikiran yang berada di bawah kendali yang sempurna . . . yang lepas dari semua imajinasi (Sankalpa) .  .  . yang berdasarkan pemikiran yang murni. Keadaan sang pikiran di dalam tahap tidur lelap berbentuk sangat luas dan berlainan dan tidak seperti pikiran terkendali secara damai.”

 

Keterangan: Tiga tahap (alam) telah dijabarkan di bab-bab sebelumnya, mulai sloka ini akan diterangkan mengenai alam Thuriya, yaitu tahap kesadaran yang tertinggi dimana berbagai faktor pluralistik tidak akan hadir. Namun bagi para resi dan sadhaka yang telah bertahun-tahun tidak mampu menembus ke alam ini, maka mereka bisa kembali ke alam duniawi dan berubah menjadi liar dan beringas, penuh dengan kebejatan dan pamrih. Ingat selalu, jalan shadana itu tidak dapat dipaksakan, bukan kita yang memilih Sang Dharma, namun sebaliknya Sang Dharma yang memilih kita. 

 

Sloka - 35  “Dalam tahap (alam) tidur lelap, sang pikiran tenggelam di dalam kebodohan belaka, namun di dalam pelaksanaan disiplin Vedantik, maka hal tersebut berbeda sekali. Oleh karena itu ada perbedaan diantara seseorang yang tertidur lelap dan seseorang yang telah memasuki alam kesadaran dalam menghayati berbagai fenomena kehidupannya. Jalan pikiran seorang Jnyani menjadi identik dengan Sang Brahman Yang Maha Gagah Perkasa; yang menjadi batas antara mereka berdua adalah (perbedaan) antara Sang Atman dan Sang Brahman belaka.”

 

Sloka - 36  “Sang Brahman tidak dilahirkan ditinjau dari sudut kondisi alam tidur dan alam mimpi, tanpa nama dan tanpa bentuk, senantiasa bercahaya dan maha hadir. Tidak diperlukan upacara apapun juga, dan dalam bentuk apapun yang harus dilaksanakan di altarnya Sang Brahman.”

 

Sloka - 37  “Sang Jati  Diri ini berada jauh dari berbagai ekspresi maupun kata-kata, jauh dari berbagai pelaksanaan sang pikiran. Beliau adalah yang serba damai, serba (senantiasa berkilauan, lepas dari berbagai pelaksanaan dan ketakutan (rasa khawatir). Beliau dapat dipahami (dicapai) melalui budhi-daya yang terkonsentrasi.”

 

Sloka - 38  “Di sana, di dalam Sang Jati Diri, yang merupakan pencapaian terakhir dari berbagai pelaksanaan sang pikiran, tidak hadir persepsi maupun projeksi diri ke dalam berbagai bentuk-bentuk ide.  Kokoh terserap kedalam Ilmu-Pengetahuan … Jnyani ini akan mencapai tahap yang tak tergoyahkan dan merupakan tahap kesatuan.”

 

Sloka - 39  “Yoga ini disebut Sentuhan dari yang tidak tersentuh, yoga ini sulit untuk dicapai oleh para pencari  kebenaran. Para yogin takut akan Jalan ini, karena  mereka ketakutan akan Itu (KehadiranNya) ……. Yang (sebenarnya) adalah tempat  dimana seseorang mampu merasakan tahap sebenarnya akan tidak hadirnya rasa kekhawatiran dalam bentuk apapun juga..

 

Sloka - 40  “Para yogin yang tidak meniti Jalan Ilmu-Pengetahuan seperti yang dinyatakan di dalam Karika ini akan berada (sepenuhnya) didalam kendali dari pikiran mereka dalam menghadapi rasa tidak-ketakutan, penghancuran berbagai penderitaan, dan juga ilmu-pengetahuan akan Sang Jati Diri dan kedamaian.”

 

Keterangan: Yang dimaksud dengan para yogin ini, adalah penganut hatha-yoga yang hanya mengandalkan pranayama dan berbagai gerak asanas (gerakan-gerakan dan posisi badan), yang sebenarnya diperuntukkan bagi kebugaran jasmani mereka. Fisik yang baik akan mengantarkan seseorang ke strata spiritual yang baik, namun kalau hanya terpaku kepada hatha-yoga saja tanpa meniti jalan-pengetahuan, maka jalan pikiran mereka akan tetap rapuh dan mudah terombang-ambing oleh berbagai aspek kehidupan ini.”

 

Sloka - 41  “Sang pikiran itu dapat dikendalikan, namun diperlukan usaha yang tidak ada habis-habisnya, ibaratnya mengosongkan sebuah samudra dengan menimba airnya setetes demi setetes dengan mempergunakan sehelai rumput kusa.”

 

Keterangan: Mungkin ada sebagian  sidang pembaca yang menanggapi dengan pesimis makna sloka ini, sepertinya  sia-sia saja usaha mengosongkan sebuah samudra, sudah setetes demi setetes, menggunakan  rumput kusa lagi, tentu saja tetesannya semakin kecil saja.

Ada sebuah kisah kuno, disebuah shastra yang dikenal dengan nama Hitopadesa, kisah ini sendiri termuat di sebuah bab yang disebut Tithipopakhyaha. Konon diceritakan di sini akan kisah seekor burung kecil yang menetaskan telur-telurnya di pasir  sebuah pantai. Namun disuatu saat air laut pasang, dan telur-telur ini terseret  semuanya ke laut. Sang burung kecil kehilangan ini, tidak mau menerima kenyataan ini, dan dengan menggunakan sehelai rumput kusa, sang burung setiap harinya berusaha menimba air laut tersebut setets demi setetes dengan harapan sang laut akan kosong suatu saat nanti, dan ia akan mendapatkan kembali telur-telurnya. Usaha ini secara diam-diam diperhatikan oleh Sang Garuda yang amat bersimpati kepada burung kecil ini. Sang Garuda menghampiri dewa laut dan mengancam akan menyerangnya kalau tidak mengembalikan telur-telur tersebut. Ternyata dewa laut ini sangat takut dan segan kepada Sang Garuda dan segera mengembalikan telur-telur ini kepada si burung kecil.

 

Pesan yang dikandung kisah ini jelas sekali: Walaupun mengalahkan sang pikiran itu adalah hal yang musykil dan tidak mungkin, namun seandainya seseorang itu beriman dan berusaha terus  secara berkesinambungan penuh dengan disiplin dan bhakti, maka Yang Maha Esa secara pribadi akan datang membantunya. Di Bhagavat-Gita, Sang Krishna menyatakan selangkah seseorang itu melangkah  ke arahnya, maka 1000 langkah Beliau maju menjemputnya, dan coba renungkan betapa besar, agung dan luasnya satu langkah Tuhan Yang Maha Esa ini. Kita berusaha tanpa pamrih di dalam kesehari-harian kita, biarkan Yang Maha Esa yang menentukan hasilnya; dengan melatih diri kita secara demikian, maka akan timbul hubungan denganNya, dan hubungan yang gaib ini penuh dengan kesadaran yang mencengangkan sang bhakta ini sendiri, ibaratnya ia tinggal di dunia ini, tetapi paada saat yang lain ia melihat dan juga hidup dan merasakan berbagai dimensi pikiran yang lain, karena sang pikiran yang tidak sibuk dengan berbagai suka-duka ini lalu secara otomatis masuk ke dimensi yang selama ini “tertutup” oleh kesibukan, kegalauan dan berbagai aktifitas kita, padahal di dalam kehidupan ini, ada keajaiban di dalam tubuh kita sendiri yang  harus kieksplorasi oleh kita sendiri!

 

Sloka - 42  “Sebuah jalan pikiran yang tidak tertarik akan berbagai keinginan (hasrat, nafsu), dan demikian juga sang pikiran yang menikmati kenikmatan dari “alam tidur yang menyeluruh, disebut Laya”, harus digiring di bawah disiplin yang ketat dan sempurna, dengan menyadarkan sang pikiran  ini melalui berbagai jalan-jalan yang seharusnya. Karena “alam trance (kesurupan) atau “alam tertidur lelap” yang disebuut Laya ini sama merugikan seperti halnya dengan berbagai cobaan dan gangguan berbagai nafsu dan keinginan.”

 

Keterangan: Di sloka ini, Sang Guru, yaitu Sri Gaudapada memperingatkan para sadhaka agar berhati-hati dengan shadananya. Walaupun seseorang telah menanggalkan berbagai hasrat dan nafsu-nafsunya, namun ada faktor lain yang pasti akan menjegal jalan dhyananya, yaitu yang disebut Laya (Kesurupan/trance atau tahap setengah tidur / setengah mengawang yang dapat membawanya ke alam-alam yang penuh dengan cobaan-cobaan yang bersifat negatif dan bahkan cenderung bersifat sidhi/kesaktian).

 

Sloka - 43  “Jauhkanlah sang pikiran dari berbagai kenikmatan dengan keyakinan bahwasanya berbagai indriyas ini sebenarnya terbungkus dengan teka-teki dan misteri. Dualitas yang tercipta (dari sang jalan pikiran) kemudian tidak akan mempu menembus persepsi kita seandainya kita secara terus menerus berrefleksi kepada Sang Brahman yang tak pernah dilahirkan dan tak pernah berganti-ganti (status dan bentuk ini.)

 

Sloka - 44  “Dalam tahap trance ini, kita menyadarkan pikiran kita; sewaktu terganggu, harus kita damaikan; sementara ini kita juga menyadari bahwasanya sang pikiran ini penuh dengan berbagai hasrat dan nafsu yang tak pernah puas (termanifestasikan), namun masih penuh dengan potensi tersebut. Seandainya sang pikiran telah mencapai tahap keseimbangan yang sempurna, maka kemudian  jangan diganggu lagi.”

 

Keterangan: Seandainya seseorang merasa telah mampu mengalahkan jalan pikirannya, maka ia harus berhati-hati, karena potensi nafsu di dalam pikiran itu sebenarnya besar sekali, potensi ini akan menyerang sang sadhaka melalui sifat-sifat animalistik (peri-kebinatangan) yang terpendam di dalam dirinya sendiri. Potensi yang menghancurkan ini hadir dalam samadhi setiap sadhaka pada saat-saat akhir penyempurnaan samadhinya, dan disebut Kashaya. Ini menunjukkan sebenarnya sebelum mengalami evolusi menjadi manusia kita mungkin adalah juga sejenis fauna, namun berbudi-daya lebih tinggi dari yang lain-lainnya, dan kehidupan sedang membawa kita ke evolusi masa depan. Seperti apakah bentuk dan tingkah laku manusia ini, evolusi dan kehendak Sang Pencipta saja yang akan menentukannya di masa depan.

 

Kembali ke sang sadhaka yang sedang mendaki shadananya, seandainya ia berhasil melampaui tahap yang sulit ini, maka ia akan berada langsung di depan pintu gerbang Sang Brahman, Sang Realitas. Sang Sadhaka kemudian tinggal “mengetuk” pintu ini. Tahap di pintu gerbang ini disebut tahap keseimbangan. Pintu ini dibuka olehNya, masa penantian ini harus dijaga secara hati-hati, agar jangan terganggu lagi pada saat yang paling akhir. Yang paling mampu  mengganggu kita adalah kita sendiri, demikian pesan Sri Gaudapadiya kepada para sadhakanya.

 

Sloka - 45  “Sang pikiran (dalam tahap samadhi ini) tidak boleh diajak menikmati Karunia Ilahi yang terpancar dari samadhinya. Melalui penalaran yang murni, ia harus melepaskan dirinya dari kenikmatan spiritual ini. Seandainya, sang pikiran, sekali mencapai tahap keseimbangan ini,  masih ingin keluar menikmati obyek-obyek di luar, maka sang pikiran ini harus disatukan kembali dengan Sang Jati Diri sekali lagi, melalui upaya-upaya dirinya sendiri.”

 

Keterangan: Ternyata, tahap karunia transedental Ilahi dalam samadhi juga masih merupakan sebuah ikatan yang bersifat kebahagiaan. Karena terbius oleh kenikmatan spiritual ini, sang sadhaka lalu “larut atau tenggelam di dalamnya.” Ia harus menyadarkan dirinya bahwa Sang Atman adalah tujuannya,  dan ia harus sekuat tenaga  keluar dari tahap kebahagiaan ini demi penyatuannya dengan Sang Atman. Ternyata jalan shadana ini tidak  mudah sama sekali  dan terkesan rumit dan musykil. Namun jangan putus asa karena Iswara Kripa (atau Guru Kripa = Karunia Yang Maha Esa) pasti diberkahkan kepada yang layak mendapatkannya. Bersyukur dan berterima-kasihlah kita kepada Sri Gaudapadiya yang sudi menuntun kita semua.

 

Sloka - 46  “Lepas dari ikatan-ikatan tahap trance (kesurupan) ini, dan juga dari segala ikatan-ikatan berbagai nafsu dan hasrat-hasratnya, maka sang pikiran ini lalu berubah menjadi tenang dan damai dan tidak mengembara lagi, sang pikiran ini lalu sebenar-benarnya telah merubah menjadi Sang Brahman.”

 

Keterangan: “Manusia tanpa pikiran adalah Tuhan (Brahman), Tuhan ditambah sang pikiran  adalah manusia (Atman).”

Sang pikiran hadir dalam keadaan (Asanti) tidak tenang, sedangkan Tuhan Yang Maha Esa hadir di dalam shanti. Pada saat pikiran sang sadhaka sudah tidak eksis lagi karena berada di bawah karunia total Yang Maha Esa, maka Sang Atman langsung melebur kembali  ke Sang Brahman. Pada saat itu Sang Atman sudah bersih dari kontaminasi pikiran dan berubah murni identik dengan asalnya, yaitu Sang Brahman. Di tahap ini terjadilah tarikan magnet yang dahsyat dan sang buana alit langsung melebur ke buana agung. Itulah hukum dan rahasia alam-semesta dan ciptaanNya yang berbentuk manusia.

 

Sloka - 47  “Karunia tertinggi ini didasarkan atas penemuan Sang Jati Diri. Ia merupakan bentuk kedamaian yang identik dengan pembebasan, tidak dapat diterangkan dan tidak pernah dilahirkan. Ia (beliau) ini kemudian diterangkan sebagai Sang Brahman Yang Maha Hadir, karena Ia satu (manunggal) dengan Sang Jati Diri yang tidak dilahirkan, yang merupakan tujuan dari pencari Ilmu  Pengetahuan Yang Hakiki.”

 

Keterangan: Sewaktu yang dituju selalu ini tercapai, maka terciptalah sejenis kedamaian yang sulit dijabarkan ke individu yang belum pernah mengalami fenomena ini.

 

Sloka - 48  “Tidak ada Jiwa . . .Makhluk-makhluk khusus yang berego-sentris . . . yang pernah dilahirkan. Tidak ada suatu sebab (alasan) yang dapat menciptakan berbagai jiwa ini sebagai hasil akibatnya. Inilah Kebenaran yang tertinggi yaitu tidak ada sesuatu apapun yang pernah dilahirkan.”

 

Keterangan: Ajaran  di atas adalah teori Ajatavada yang diajarkan oleh  Resi Vasishta (di Yoga-Vasishta) kepada Sri Rama, muridnya, ribuan tahun yang silam, sebelum hadir Bhagavat-Gita. Di ajaran ini, Resi Vasishta meramalkan kepada Sri Rama bahwasanya Beliau akan beravatara ribuan tahun kemudian sebagai Sri Krishna dan mencetuskan ajaran Bhagavat-Gita untuk zaman Kali-Yuga.

Pada sloka terakhir bab ini, Sri Gaudapadiya menyimpulkan inti-sari dari berbagai ajaran-ajarannya bahwasanya Yang Maha Esa itu tidak pernah dilahirkan, jadi tidak juga pernah melahirkan apapun juga. Semua yang kita rasa, alami dan saksikan, halunisasi belaka. Mencari-cari asal-usul Tuhan dan penciptaan ini sama seperti mencari jejak-jejak burung yang terbang di angkasa. Kaum Buddhist menyebut fenomena ini sebagai, “Soonya Vadins.”

 

Dengan ini berakhirlah Bagian ke lima dari Bab – 3

 

Disarikan ke bahasa Indonesia yang sederhana oleh mohan.m.s    (Cisarua – Jakarta  6 April – 30 Mei 2002)

 

 

Kembali ke halaman utama Mandukya Upanishad                    Kembali ke halaman induk Shanti Griya