MANDUKYA UPANISHAD

Vinneka Tunggal Eka   

 

BAB II 

VAITHATHYA PRAKARANA

(Non-realitas yang berasal dari dunia yang bersifat obyektif)

 

Sloka - 1      “Kaum bijak menyatakan bahwasanya semua obyek mimpi bersifat ilusi, semua obyek ini berlokasi di dalam badan dan juga karena kehadiran obyek-obyek ini terbatas di dalam spasi yang amat ketat.”

 

Keterangan: Sri Gaudapadiya ingin menjelaskan bahwa menurut pendapat para resi yang bijak, maka raga manusia ini merupakan sebuah wadah yang menyimpan alam mimpi secara sangat padat, ketat dan terbatas spasinya. Oleh karena itu beliau berteori bahwa alam mimpi itu bukan hal yang bersifat realitas.

 

Sloka - 2      “Sehubungan dengan singkatnya waktu (mimpi) maka tidak mungkin yang bermimpi itu mengunjungi dan melihat-lihat obyek-obyek mimpinya. Juga sewaktu ia sadar dari tidurnya, ia tidak berada di ruang di mana ia menyaksikan adegan-adegan mimpinya ini.”

 

Keterangan: Seseorang yang bermimpi, sebenarnya  dibatasi sekali oleh durasi waktu mimpi itu sendiri, karena singkatnya waktu mimpi itu sendiri, yang kadangkala bisa terasa panjang sekali, bahkan terputus-putus.  Lokasi didalam mimpinya  bisa saja ribuan kilometer jauhnya, bahkan ke loka-loka lainnya, namun begitu sadar dari tidurnya ia segera saja menyadari bahwasanya ia tidak pernah bergerak jauh dari tempat tidurnya.  Sebab itu Sri Gaudapada berteori (menyatakan) bahwa fenomena mimpi ini bukan suatu hal yang bersifat realitas, karena dibatasi oleh waktu dan ruang (spasi).

 

Sloka - 3      “Berdasarkan alasan-alasan logika yang penuh disiplin (ketat), Sruthi yang menyatakan bahwa kereta-kereta kuda tersebut tidak eksis, (namun) diterima dan diilusikan oleh yang bermimpi. Oleh karena itu para resi mengatakan bahwa Sruthi sendiri juga menyatakan bahwa pengalaman-pengalaman mimpi itu sebenarnya adalah bersifat ilusi, demikian juga Sruthi menyabdakannya melalui logika dan alasan-alasan (yang dapat diterima oleh akal).”

 

Keterangan: Sekali lagi kami ingatkan, yang disebut Sruthi adalah jajaran Shastra –Widhi suci dari Veda ke Bhagavat-Gita. Salah satu dari naskah suci ini adalah Brihadaranyaka Upanishad yang dalam salah satu penjelasannya mengenai ilusi dan mimpi menyatakan seandainya seseorang  bermimpi mengendarai kereta kuda padahal memiliki saja tidak, maka sewaktu ia terjaga dari  mimpinya ia merasa kehilangan kereta dan kuda-kudanya, namun kenyataannya tidak ada yang hilang karena memang di alam-sadar orang tersebut memang tidak memiliki kereta tersebut., jadi kereta dan kuda-kudanya hanya ilusi belaka, kata Sri Gaudapada.

Sri Shankara Acharya, dalam karyanya yang disebut Brahma Gyanavali menyatakan bahwa semua benda di dunia ini dapat dibagi didalam dua golongan, yaitu ilusi benda-benda duniawi, dan dunia ilusi yang diilusikan oleh kita semua ini.  Vedanta berpendapat bahwa insan yang berilusi sebenarnya adalah bentuk Kebenaran, sedangkan yang diilusikan  berbentuk tambahan-tambahan (superimposisi). Jadi dengan kata lain seluruh dunia dan kita semua  adalah hasil ilusi belaka!

 

Sloka - 4      “Berbagai obyek-obyek yang muncul didalam mimpi bersifat ilusif karena obyek-obyek ini dipancarkan untuk hadir (eksis). Dengan alasan yang sama, berbagai obyek yang dilihat di alam sadar ini sama saja sifatnya, seyogyanya dianggap ilusi juga.  Perbedaan satu-satunya adalah, terbatasnya spasi di alam mimpi karena semua obyek mimpi terlihat di dalam diri sendiri.”

 

Keterangan: Sri Shankara Acharya dalam hal ini berkomentar sama: “Baik dalam mimpi maupun dalam kesadaran, ada suatu persamaan yang utama yaitu: obyek-obyek ini terlihat!

 

Sloka - 5      “Orang-orang yang berpikiran luas berbicara tentang persamaan alam-sadar dan alam mimpi berdasarkan adanya kesamaan dalam obyek-obyek ini yang diterima dikedua tahap ini, dan berdasarkan alasan-alasan yang telah diuraikan di sloka-sloka di atas.”

 

Keterangan: Sekali lagi, menurut teori di Vedanta, dunia dan obyeknya ini adalah superimposisi yang ditambahkan kepada Sang Atman, oleh karena itu berbagai obyek ini tidak eksis secara sendiri-sendiri (independen) dari substratum (sumber atau Atman). Jadi berbagai obyek-obyek duniawi yang terrealisasi ini adalah permainan sang pikiran belaka. Hanya Atman itu sendiri yang bersifat abadi, dan merupakan Realitas Yang Maha  Hadir.”

 

Sloka - 6      “Sesuatu yang bersifat non-eksis pada permulaannya dan pada akhirnya juga bersifat non-eksis bahkan pada saat ini juga. Berbagai obyek ini ibaratnya berbagai ilusi yang kita lihat, namun obyek-obyek ini dianggap sebagai hal yang nyata.”

 

Keterangan: Sri Gaudapada menyatakan disini, bahwasanya benda/obyek apa saja yang tidak pernah eksis sebelumnya, tidak akan eksis pada saat ini, maupun pada saat/masa-masa yang akan datang.

 

Sloka - 7      “Obyek-obyek di alam sadar dapat membantu kebutuhan-kebutuhan kita, hal ini bersifat kontradiktif dengan alam-mimpi. Oleh karena itu tanpa ragu-ragu dikatakan bahwa semua obyek-obyek ini bersifat ilusif . . .  baik di alam sadar maupun di alam  mimpi . . . Karena memiliki permulaan dan akhir.”

 

Keterangan: Ternyata ada oposisi/bantahan yang ditujukan kepada teori Sri Gaudapadiya  dan teori Sri Shankara Acharya. Oposan ini menambahkan bahwa di alam sadar kita bisa membuat masakan yang enak, dan masakan tersebut betul-betul eksis,  tetapi di alam mimpi itu tidak nyata. Namun ada persamaannya, karena ada permulaan dan ada akhir untuk setiap benda dan kehidupan ini, secara tersirat ini disebut ilusi, baik alam sadar maupun alam mimpi.

 

Sloka - 8      “Berbagai obyek yang didapatkan oleh seseorang yang bermimpi bersifat tidak selaras dengan alam sadar, obyek-obyek ini sudah pasti mampu hadir sesuai dengan jalan pikiran orang yang bermimpi itu, dan jalan pikiran ini ibarat jalan pikiran mereka-mereka yang tinggal di swarga-loka. Sang pemimpi ini yang menggabungkan dirinya dengan dunia mimpinya, mengalami berbagai pengalaman seakan-akan ia diperintahkan agar pergi (berkelana) dari satu lokasi ke lokasi lainnya dan menyaksikan berbagai obyek-obyek yang hadir di tempat tersebut.”

 

Keterangan: Sloka ini memuat pendapat yang bertentangan dengan ilustrasi yang terdapat di Vedanta. Vedanta menyatakan bahwa alam-sadar bersifat sama dengan alam mimpi, yaitu sama-sama  tidak realistis. Namun yang berpendapat lain menyatakan alam-mimpi  itu tidak realistis, dan tetapi alam sadar tidak bisa diperbandingkan secara keseluruhan dengan alam mimpi, karena di alam mimpi kita sering mengalami berbagai pengalaman yang aneh, bahkan ramalan atau kejadian di masa depan diproyeksikan lebih awal di dalam suatu mimpi, juga berbagai firasat dan peringatan  dapat hadir lebih awal di dalam mimpi, disamping fenomena-fenomena aneh seperti melayang, alam gaib dan lain sebagainya yang tidak lazim terjadi di alam sadar. Jadi kesimpulannya alam mimpi itu tidak bersifat realistis dan berbagai obyek di dalamnya juga tidak bersifat realistis. Sebaiknya alam sadar ini memiliki ritme dan sebuah bentuk keharmonisan, dan selalu bergerak sesuai dengan sifat-sifat alaminya; disimpulkan bahwa alam sadar tidak bisa begitu saja diperbandingkan dengan alam mimpi.

 

Sloka - 9   -10 “Di alam mimpi apapun yang diimajinasikan oleh sang pemimpi di dalam pikirannya bersifat ilusif dan apapun yang dikenali olehnya di luar mimpi terkesan seakan-akan bersifat realistis. Namun sesungguhnya kedua faktor ini tidak benar . . . kedua-duanya ini adalah mimpi, Demikian juga di alam sadar, apapun yang diimajinasikan sang pikiran dianggap ilusif dan yang dialami di luar pikiran terkesan seperti benar, padahal kedua faktor ini harus dianggap tidak realistis melalui jalan pikiran yang rasionil.”

 

Keterangan: Dengan dua seloka ini, Sri Gaudapadiya menyatakan pendapatnya melalui dua aspek kehidupan ini, yaitu obyek-obyek dan dunia-pikiran. Di alam mimpipun kedua faktor ini hadir.  Di alam mimpi, orang yang bermimpi dan menerima dunia obyek dari mimpi-mimpinya seakan-akan bersifat realistis, namun secara logika dan jalan pikiran yang logis seharusnya berbagai imajinasi pikiran itu dianggap sebagai ilusif (asat).

 

Sloka - 11  “Seandainya berbagai obyek yang dikenali di kedua alam ini bersifat ilusif, lalu siapakah (apakah) yang mengenali semua obyek yang bersifat ilusif ini dan siapa (apa) lagi yang mengimajinasikan semua ini?”

 

Keterangan: Lagi-lagi ada oposan yang bertolak belakang pendapat dengan kaum Vedantin (Pengikut Vedanta).

 

Sloka - 12  “Keputusan Vedantik adalah seperti berikut ini: “Sang Atman, yang bercahaya dari Dirinya Sendiri, melalui kekuatan-kekuatan yang timbul dari delusi (maya)Nya sendiri, berimajinasi da dalam Dirinya , oleh Dirinya, akan seluruh obyek-obyek ini, dan berbagai pengalaman di berbagai alam, baik alam yang di dalam maupun yang diluar dinikmati oleh si individualNya Sendiri. Hanya beliau semata-mata yang paham akan obyek-obyek yang telah diciptakanNya.”

 

Keterangan: Pada sloka 10 dan 11 ini, Sri Gaudapada menjawab tuntas para oposan ini. Namun tidak begitu mudah untuk memahami makna jawaban ini sesungguhnya. Sang Atman harus dipahami dulu HakikatNya, dan hal ini bukanlah suatu proses yang mudah bagi seorang sadhaka.

 

Sloka - 13  “Tuhan Yang Maha Esa, Sang Atman, dengan pikiranNya yang tertuju keluar, berimajinasi akan berbagai obyek yang hadir di alam dalam dan di alam luar yang hadir di dalam jalan PikiranNya sebagai Vasanas atau Samsakaras atau berbagai bentuk nafsu. Kemudian Sang Atman sekali lagi menunjukkan pikirannya ke dalam dan memikirkan (mengimajinasikan) berbagai ide/ pengalanan dan obyek.”

 

Keterangan: Atman di atas, adalah personifikasi dari kesadaran setiap individu yang hadir dalam setiap jiwa.

 

Sloka - 14  “Kedua faktor ini adalah imajinasi semata-mata.  Semua yang dikenali (dipahami) di dalam (hadir) selama dikenali, oleh masa berlakunya pikiran tersebut; demikian juga dengan berbagai hal yang dirasakan yang menghubungkan kedua titik waktu ini.  Tidak ada alasan lain untuk membedakan yang satu dengan yang lainnya.”

 

Keterangan: Sloka  di atas adalah suatu pendapat yang beroposisi terhadap teori Vedantin. Menurut pendapat di atas, maka dunia (alam)  dalam pikiran itu hanya dikuasai oleh satu masa (waktu) saja, dan alam luar berbagai obyek terkungkung oleh dua titik sang waktu.

Menurut mereka (kaum oposan ini), alam sadar itu sifatnya lebih realistis karena bersandarkan  dua masa sang waktu, sedangkan alam mimpi hanya hadir di dalam pikiran saja (satu titik sang waktu) dan hanya selama masa pikiran itu berlangsung. Di luar itu, tidak eksis lagi.

 

Sloka - 15  “Berbagai imajinasi yang bersifat subyektif yang hanya hadir di dalam sang pikiran, yang dipahami sebagai yang tak termanifestasi, juga berbagai hal lainnya yang hadir di dunia luar dalam bentuk termanifestasi obyek-obyek; kedua-duanya ini adalah imajinasi belaka, yang berbeda diantara keduanya adalah organ-organ sensual (indriyas), yang melalui indriyas inilah dunia luar seakan-akan terpahami.”

 

Keterangan: Sri Gaudapada menerangkan di sloka ini seluruh jawaban untuk suara oposan yang berpendapat bahwa ada perbedaan diantara dunia (alam) pikiran di dalam dan di dunia (alam) obyek di luar. Dunia pikiran bersifat “tidak termanifestasi” sedangkan “dunia luar” yaitu obyek-obyek di dalam kehidupan ini bersifat “manifestasi”, jadi menurut mereka di luar ini lebih berbobot daripada dunia pikiran.

Sri Gaudapada menjawab, dengan menyatakan disini bahwasanya kedua faktor tersebut di atas adalah imajinasi belaka, karena dibawah pengaruh berbagai indriyas sendiri. Semua fenomena dan faktor-faktor ini bisa (dapat) bermanifestasi atau sebaliknya sesuai dengan permainan/pengaruh dari berbagai indriyas ini.

Menurut beliau, pertama-tama imajinasi individu-individu yang berbeda-beda yang dikenal dengan nama Jivatma Bhavana (ide-ide ego sentris). Setiap egosentris yang berhubungan dengan setiap AtmanNya ini lahir dengan konsep yang berbeda-beda. Sewaktu sang pikiran menanjak naik ke alam kesadaran yang tinggi maka naik juga elemen-elemen egosentris yang terkesan realistis ini dan lalu beradaptasi dengan menyelaraskan sifat-sifat, berbagai karakter, pelaksanaan sehari-hari sesuai dengan media yang terproyeksikan yaitu kondisi pikiran (mental-condition).

Begitu proyeksi egosentris ini bersentuhan dengan Sang Atman, delusi ini menciptakan berbagai jenis delusi-delusi lainnya yang mengentalkan elemen-elemen kebatilan (yang bersifat asurik, iblis) dan menjauhkan kita semua dari Hakekat Yang Maha Benar, dan makin lama egosentris ini makin menjerumus ke dalam dunia mimpinya sendiri yang berbentuk nama, rupa yang saling menunjang sesamanya (dengan kuat).

 

Sloka - 16  “Pertama-tama, sifat-sifat egosentris (Jiva-Bhavana) diproyeksikan dan kemudian menyusul setelah itu berbagai imajinasi dari berbagai elemen, baik yang berciri obyektif dan subyektif. Begitu sifat ilmu-pengetahuannya, demikian juga sifat memorinya.”

 

Keterangan: Timbul pertanyaan kini, seandainya semua yang bersifat obyektif dan subyektif adalah imajinasi belaka, maka seperti apakah bentuk dari sumber dari segala imajinasi ini?

Pada saat ini yang berbantah pendapat dengan teori Vedantin mulai menyadari akan sesuatu hakikat yang sifatnya lebih tinggi dari kedua faktor tersebut di atas.  Hakikat yang lebih tinggi ini tidak mungkin pikiran adanya, karena pikiran itu sifat dan bentuknya masih materi; bukan juga Sang Atman karena Beliau adalah Pengetahuan, dan tidak mungkin di dalam Pengetahuan itu hadir delusi (Begitu sifat ilmu-pengetahuannya, demikian juga sifat memorinya). Seandainya pengetahuan tidak ada, maka tidak akan eksis juga memori. Memori kita semua eksis berdasarkan fondasi ilmu-pengetahuan (dalam hal ini berdasarkan fondasi (tingkat) atau kualitas ilmu-pengetahuan kita masing-masing).

 

Sloka - 17  “Ibarat seutas tali  dalam kegelapan, dianggap sebagai seekor ular, demikian juga Sang Atman (senantiasa diibaratkan) dalam berbagai bentuk.”

 

Keterangan: Perumpamaan di atas sangat populer di Sanathana Dharma dan sering dipergunakan dalam berbagai ajaran spiritual.

 

Sloka - 18  “Sewaktu sifat asli tali ini terungkap, maka berbagai ilusi mengenai tali inipun menghilang dan kemudian sadarlah kita bahwa sebenarnya itu hanyalah seutas tali yang  tidak pernah berganti-ganti bentuk; dekikian juga sifat dari Sang Atman, yaitu Ilmu Pengetahuan Yang Maha Murni.”

 

Keterangan: Di dalam kegelapan atau situasi yang remang-remang sering kita merasa (berilusi) bahwa benda panjang dihadapan kita adalah seekor ular, namun sewaktu terang baru kita sadar bahwa yang kita lihat itu adalah seutas tali atau benda panjang lainnya.

 

Sloka - 19  “Sang Atman diimajinasikan dalam berbagai variasi yang tak terhitung, seperti prana dan lain sebagainya. Hal ini terjadi karena kekurang-pengetahuan yang diakibatkan oleh Sang Maya yang berasal dari Sang Atman Yang Bercahaya dari Dirinya Sendiri, melalui Sang Maya ini Sang Atman menyesatkan dirinya.”

 

Keterangan: Dari sloka ini  kita mendapatkan sebuah teori tambahan dari kaum Vedantin bahwasanya Sang Atmanlah penyebab dari semua kebodohan dan kegelapan kita. Berbagai ajaran Upanishad sebenarnya menuntun kita ke tahap: Hakikat Yang Maha Esa, demikian juga dengan Upanishad yang satu ini. Di sloka-sloka berikutnya hadir 35 pandangan akan penciptaan ini yang diberikan melalui sudut pemikiran yang berbeda-beda. Di zamannya Sri Gaudapada itu sendiri, semua pandangan ini dianggap asing dan tidak bersifat filosofis.

Sri Gaudapada dengan sangat bijaksana menuliskan semua pandangan ini di dalam uraian Karika ini demi kita semua tanpa memilah-milahnya. Beliau betul-betul adalah seorang resi yang mulia, dan tanpa Karika ini  mungkin kita telah kehilangan suatu kesempatan  besar. Semoga  amal perbuatan beliau ini mendapatkan Karunia Yang Maha Esa secara setimpal. Om Tat Sat.

Sedemikian demokratisnya beliau ini sehingga beliau menerima pendapat apa saja, walaupun sifatnya tidak rasional demi  ilmu-pengetahuan yang dikembalikan ke kita semua.  Karena hal sama selalu terulang dari waktu ke waktu.

 

Sloka - 20   “Mereka-mereka yang mengenal (memahami) Prana tersebut Sang Atman sebagai Prana, yang mengenal Bhutas menyebutNya sebagai Bhutas; mereka-mereka yang mengenal Gunas (sifat-sifat) alami menyebut Sang Atman sebagai Gunas; dan mereka yang mengenal Thatwas, menyebutnya sebagai Thatwas (3 unsur Realitas yaitu: Atman, Avidya dan Shiva).”

 

Keterangan: Kaum Vaiseshikas yakin bahwa Realitas yang hadir dibalik semua nama dan ciptaan-ciptaan ini adalah Prana. Prana disini diidentikan  dengan Hairanyagarbha (Pencipta, yang di Vedanta dikenal dengan nama Suthratma).

Mereka-mereka yang yakin akan kepercayaan ini memujaNya sebagai Realitas Yang Maha Utama dan mereka menyebut Hundu Dharma dengan nama Hiranyagarbhakas.

Ada empat teori yang berbeda-beda di sloka di atas mengenai Sang Atman, demikian juga dengan sloka-sloka berikutnya.

Teori Charraka (berorientasi ke materi/bhutas), teori ini disebut juga Lokayathas, penganut teori ini tidak mau menerima adanya ether sebagai salah satu elemen penciptaan di dunia ini, bagi mereka hanya ada 4 bhutas saja, yaitu udara, api, air dan tanah.

Teori Sankyas di atas mengatakan: Dunia ini berasal dari tiga sifat gunas yang masing-masing berintikan unsur (physic dan psichological) seperti a) non-aktivitas, b) aktivitas, dan c) tidak aktif.  Menurut mereka, Pralaya (kiamat) adalah suatu bentuk penghancuran dunia ini yang menyisakan kondisi manifestasi yang bersifat homogeneous sewaktu ketiga gunas  ini memasuki tahap equilibrium. Pada saat keselarasan equilibrium ini terganggu atau diganggu, maka gunas ini lalu hancur berantakan ibarat rumah yang disusun dari kartu, ke dalam nama dan bentuk (rupa) yang berbagai ragam ini dan menghasilkan pruralitas alam-semesta ini!

Di India hadir aliran Saivas (Pemuja Shiva) yang percaya akan Eksistensi Yang Maha Esa (Realitas) berdasarkan tiga faktor utama, yaitu yang disebut tiga bentuk Tatras: Sang Atman – Avidya (kegelapan-kebodohan) – Shiva.

 

Sloka - 21  “Mereka-mereka yang terbiasa dengan empat bagian Padas menyebut Sang Atman sebagai Padas;  Mereka-mereka yang terbiasa dengan berbagai indriyas menyatakan bahwa dasar-dasar dunia ini adalah berbagai obyek-obyek sensual ini; mereka-mereka yang terbiasa dengan berbagai loka (planet dan sebagainya) menyatakan bahwa Sang Realitas adalah Loka-loka itu Sendiri dan mereka-mereka yang mengenal para dewata (Devas) juga menyatakan bahwa Sang Realitas adalah gabungan dari para dewa-dewa ini.”

 

Keterangan: Penjelasan lengkap mengenai 4 bagian Padas telah hadir pada permulaan karya ini, lihat keterangan mengenai Om Upasana di awal buku ini.

Menurut Vatsayana dan pengikut-pengikutnya, Realitas terakhir adalah berbagai obyek sensual dalam bentuk berbagai suara, bentuk, bau-bauan, rasa dan sentuhan.

Menurut Panarikas (mythologis), Sang Realitas terdiri dari tiga dunia (loka) yang disebut “Bhur”, “Bhuva” dan “Suvah”.

Menurut Meemamsakas, penganut-penganut penuh disiplin dari berbagai Vedas, Dewa Agni, Indra dan lain-lainnya, maka gabungan dari semua dewa-dewi ini adalah Realitas  yang Abadi. Para dewa-dewa ini oleh para penganut ini dianggap sebagai Penjaring dari berbagai karma dan pahala-pahalanya (Karmaphaladatas).

 

Sloka - 22  “Mereka-mereka yang memahami berbagai Vedas menyebutNya sebagai Vedas; mereka-mereka yang mengenal berbagai bentuk pengorbanan menyebutNya sebagai Pengorbanan suci. Mereka yang memahami sang penikmat menyatakan Beliau itu sebagai Sang Maha Penikmat, dan mereka-mereka yang memahami berbagai obyek kenikmatan menyebutNya sebagai obyek berbagai kenikmatan.”

 

Keterangan: Para Vedins yakin bahwa Tuhan itu adalah berbagai Veda-veda itu sendiri.

Para penganut aliran Bodhyanas menyatakan bahwa berbagai bentuk pengorbanan (yagnas) adalah Sang Realitas. Tanpa pengorbanan agung dari Sang Pencipta, tidak mungkin alam-semesta ini bisa tercipta pada mulanya, dan pengorbanan tersebut dilakukan secara tulus dan oleh bakti yang dilandasi paham-paham ajaran Veda. Bagi para ahli lainnya, pendapat ini dinilai tidak filosofis, jadi tidak benar karena mana mungkin benda-benda duniawi menciptakan Yang Maha Esa.

Pandapat kaum Sankhyas menyatakan Sang Realitas adalah penikmat. Menurut mereka ini, Sang Atman bukanlah pelaku juga bukan tuhan, sebaliknya Beliau adalah Penikmat (dari semua bentuk kehidupan dan seluruh ciptaan ini).

Ada juga kaum Sapukaras (juru masak), yang beranggapan bahwa Sang Penikmat itu adalah Sang Realitas atau sebaliknya (bukan Penikmat).

 

Sloka - 23  “Mereka-mereka yang memahami unsur-unsur lembut, menyebutNya  sebagai Yang Lembut; mereka-mereka yang memahami wujud-wujud (benda) kasar menyebutnya sebagai Yang Kasar (padat, penuh, berbentuk) dan mereka-mereka yang memuja sebuah bentuk menyebutNya sebagai seseorang yang berbentuk dan mereka-mereka yang yakin akan yang tidak berbentuk menyebutNya sebagai Kekosongan.”

 

Keterangan: Kaum Naiyayikas (pemaham logika) menyatakan dunia ini adalah modifikasi (parinama) dari realitas Yang Maha Utama. Parinama  ini terdiri dari tiga faktor yaitu sesuai dengan dimensi realitas yang dikenal; yang pertama bersifat atomik (Anu-Parinam), yang kedua ukurannya sebesar raga manusia itu sendiri (Madhyama-Parinam) dan yang ketiga bersifat universal (Vibhu-Parinama). Menurut teori yang pertama: Realitas adalah bentuk terkecil dan terlembut di alam-semesta ini yang juga hadir di dalam relung hati sanubari yang paling dalam. Kata lembut disebut Sukshma (Suksuma) dan sifatnya adalah terkecil dari yang terkecil (atom) . . . Anuparinam.

Penganut aliran Lokayathas (materialis) berpendapat, raga ini adalah  Realitas yang Utama yang terutama di dalam kehidupan ini. Penganut aliran ini terbagi dalam tiga aliran kepercayaan. Yang pertama percaya bahwasanya badan atau raga ini adalah Realitas Utama, mereka ini disebut Deha-Atma-Vadins. Yang kedua percaya bahwasanya berbagai indriyas adalah Sang Realitas Utama, mereka ini disebut Indriya-Atma-Vadins, sedangkan aliran ketiga berkeyakinan bahwa Sang Realitas adalah sang pikiran itu sendiri. Mereka dikenal dengan nama Man-Atman-Vadins.

Kaum Agamikas adalah penganut berbagai agamas …. Mereka yakin Sang Realitas memiliki bentuk-bentuk suci dan berbagai nama seperti Maheswara (dengan Trisulanya), sebagi Vishnu dengan Cakranya, atau sebagai  Sri Krishna dengan serulingnya.

Adalah satu golongan Buddhis yang disebut Nihilis telah berketetapan bahwasanya Realitas Yang Maha Utama adalah Non-eksistensi yang memproyeksikan semua bentuk dan nama di alam-semesta ini.

 

Sloka - 24   “Mereka-mereka yang percaya akan Sang Waktu (Kala) menyebutNya sebagai Sang Waktu, yang percaya akan antariksa menyebutNya sebagai Sang Hyang Antariksa (Disa). Para alkemis dan ahli-ahli sulap menyebutnya sebagai Vada (ilmu fisika) dan mereka-mereka yang memahami berbagai dunia ini menyebutNya sebagai Bhuvanan (gabungan dari berbagai loka, dunia).”

 

Keterangan: Para ahli astrologi dan astronomi di jaman tersebut yakin bahwa dunia (alam-semesta) ini lahir dari Faktor  Eternal yang disebut Kala (Sang Waktu), mereka yakin alam-semesta ini ditunjang oleh Sang Kala dan akan menyatu kembali ke dalam Sang Waktu. Oleh karena itu, bagi mereka faktor utama adalah Sang Kala. Namun banyak ahli yang tidak sependapat, karena menurut mereka sang waktu selalu berubah-ubah, jadi tidak mungkin bisa bersifat abadi.

Kaum Swarodayavadins adalah golongan pemikir yang sangat piawai dalam membaca hal-hal yang berhubungan dengan masa-masa yang akan datang dan implikasinya dengan berbagai swara (suara dan nada) yang dihasilkan oleh para fauna-fauna dan berbagai elemen/fenomena di dunia ini. Mereka ini mampu menghitung  dan mendeteksi berbagai suara di alam ini dan meramalkan hal-hal yang akan terjadi.  Bagi mereka ini arah mata-angin (desa) adalah basis Abadi dari kehidupan yang serba pruralistik ini. Golongan ini juga terdiri dari Dhatuvadins (atau mantravadins) yang melakukan kegiatan magis mereka dengan menggunakan berbagai perangkat seperti kristal, mantra-mantra, ramu-ramuan dan lain sebagainya. Seni magis ini mereka sebut Vada, dan bagi para alkemis ini, Faktor Kebenaran di alam-semesta yang serba berubah-ubah ini adalah Yang Terutama.

 

Sloka - 25  “Mereka-mereka yang percaya akan sang pikiran (mana) menyebutNya Sang Mana; mereka-mereka yang yakin akan sang intelek murni menyebutNya sebagai Sang Budhi, mereka-mereka yang percaya akan inti sang pikiran menyebutNya sebagai Chit (Chittam); dan mereka-mereka yang mengenaliNya sebagai Kebenaran menyebutNya sebagai Dharma dan Adharma.”

 

Keterangan: Penganut Sang Buddhi di atas, disebut juga Budhis. Ada juga golongan Buddhis lainnya yang menyebut Yogachaeas, yang yakin bahwa Chit (Buddhi tertinggi yang hadir di dalam Sang Pikiran) adalah Sang Realitas Abadi. Mereka ini yakin, tanpa Chit yang merupakan Prinsip bercahaya, maka seseorang tidak akan dapat mencapai persepsiNya. Ketiga kategori pemuja ini masuk dalam satu wadah Buddhis yang berorientasi ke unsur-unsur materi, yang agak berbeda persepsi keyakinannya.

Kemudian ada golongan  meemsakas (baca mimsakas) yang yakin bahwa Dharma dan Adharma (Punya dan Papa), adalah realitas yang bersifat fundamental dan merupakan basis alam-semesta ini. Bagi mereka alam-semesta ini terkendali oleh faktor kebajikan dari masa lampau dan faktor masa kini akan menentukan masa depan alam-semesta  di masa-masa yang akan datang.

 

Sloka - 26  “Sementara ahli berpendapat bahwasanya Sang Realitas ini terdiri dari 25 golongan (kategori), ada yang mengatakan 26 dan ada juga yang berpendapat bahwa jumahnya tidak terbatas.”

 

Keterangan: Bagi kaum Sankhyan di India, Yang Maha Esa mengekspresikan ManifestasiNya dalam 25 bentuk fenomena yang dinilai dengan mula-prakriti dan kemudian bermodifikasi seterusnya dan berjumlah 25 kategori penunjang kehidupan di seluruh alam-semesta ini. Namun yogin lainnya berkata 26 manifestasi, para yogin ini beraliran Patanjali. Kemudian ditambah satu lagi yaitu Ishwara Thatwa. Sedangkan aliran Pasupatas menyatakan unsur-unsur ini ada 31 dan lengkapnya sebagai berikut:

1) Shiva                2) Sukh            3) Sada-Shiva  4) Ishwara        5) Vidya

6) Purusha            7) Maya           13)Prakriti Yang Tak Bermanifestasi

14) Mahat            15) Ahamkar    16) Manas

5 organ indriyas; 5 organ segala tindakan; 5 thanmatras = 31 dan 5 unsur maha panca butha = 36.

Di atas ini Sri Gaudapada menyebut 31 kategori, padahal masih ada unsur Sang Waktu (8), raga (12) dan sebagai implikasi Sang Maya (7). Namun ada juga yang berpendapat bahwasanya Yang Maha Esa itu tidak terbatas manifestasiNya.

 

Sloka - 27  “Bagi mereka-mereka yang gemar menyenangkan hati orang lain yaitu kaum Lukikas, menyebutNya sebagai “tindakan yang membahagiakan dunia ini”, bagi kaum Ashramas yang setia, mereka menyebutNya sebagai Ashramas; bagi ahli tata-bahasa, Beliau dikategorikan sebagai pria, wanita dan banci; dan ada lagi yang menyatakan Beliau ini Para dan Apara (Brahman minor dan Brahman major).”

 

Sloka - 28  “Para pengagum penciptaan ini menyebutNya sebagai Penciptaan, yang percaya akan kiamat (laya) menyebutNya Sang Kiamat, dan yang percaya akan bentuk pemeliharaan menyebutNya Sang  Pemelihara (Pengayom).  Sebenarnya semua pemikiran ini hanyalah (berbagai) imajinasi Sang Atman.”

 

Sloka - 29  “Bagi seorang Sadhaka, maka ia mengenaliNya seperti yang diajarkan oleh gurunya. Sang Atman senantiasa menyelaraskan Dirinya dengan berbagai hasrat para pemuja-pemujaNya, dan melindungi mereka (dengan bentuk tersebut). Dengan demikian sang Pemuja akan meyadari Hakikatnya . . . sebagai satu-satuNya bentuk Kebenaran.”

 

Keterangan: Seperti halnya Sri Krishna  di Bhagavat-Gita, maka Sri Gaudapada pun dengan sangat liberal menyatakan bahwa Yang Maha Esa menyelaraskan DiriNya untuk dipuja dalam bentuk dan agama/ajaran apapun juga. Lalu untuk apa kita ribut sesama agama? Atau dengan umat lain?  Tuhan sendiri tidak protes dan malahan berkenan, mengapa harus kita-kita yang selalu merasakan diri kita benar dan yang lainnya salah?

 

Sloka - 30  “Sang Jati Diri, walaupun tidak memisahkan diri dari kesemuanya ini, terkesan terpisah dan jauh keberadaanNya. Seseorang yang hanya dengan memahami makna ini saja, seyogyanya akan mampu memahami makna dari berbagai Veda tanpa keragu-raguan sedikitpun.”

 

Sloka - 31  “Ibarat mimpi yang berasal dari berbagai ilusi, atau “istana kediaman bidadari Morgana” yang terlihat di langit, demikian juga alam-semesta ini diamati oleh para Vedantin yang telah penuh dengan pengalaman (Kebijaksanaan dan ilmu-pengetahuan).”

 

Sloka - 32  “Tidak ada pralaya (kiamat), juga tidak ada kelahiran; tidak juga hadir keterikatan, ataupun seseorang pencari kebijaksanaan, ataupun ada seorang pencari kebebasan, araupun seseorang yang telah dibebaskan. Hanya inilah Kebenaran Yang Maha Utama.”

 

Keterangan: Bagi yang telah mencapai Kemanunggalan dengan Sang Jati Diri maka semua fenomena spiritual  diatas pun tidak eksis lagi. Baca Ashtavakra-Gita yang berisikan intisari dari sloka ini.

 

Sloka - 33  “Sang Atman (Jati Diri) ini diimajinasikan sebagai yang tidak  nyata dan juga sebagai Yang Nyata. Berbagai obyek diimajinasikan di dalam Non-dualitas Itu Sendiri. Oleh karena itu dikatakan bahwaanya, Sang Non-dualitas ini adalah bentuk Kesucian yang Tertinggi.”

 

Sloka - 34  “Berbagai lapisan pruralitas ini tidak eksis seperti yang diidentifikasikan dengan Sang Atman. Namun Ia juga tidak dapat lepas dari bebas merdeka dari DiriNya Sendiri. Ia tidak terpisahkan dari Sang Brahman, tidak juga Non-pruralitas berpisah DariNya. Demikian kata para kaum bijaksana yang telah memahami berbagai Upanishad.”

 

Sloka - 35  “Oleh para resi-resi suci yang agung yang berasal dari kurun masa yang lampau, yang tidak memiliki keterikatan, rasa takut (khawatir) dan kemarahan, yang telah mempelajari kebenaran berbagai Upanishad secara mendalam, maka kaum suci ini disadari sebagai “Sesuatu” yang secara total lepas dari berbagai imajinasi dan bebas (merdeka) dari berbagai lapisan ilusi, Beliau juga dipahami sebagai Eksistensui Yang Abadi dan Non-dual HakikatNya.”

 

Keterangan: Penjelasan di atas ini sebenarnya termuat di sebuah kitab ajaran yang disebut Prakarana Granth yang berisikan berbagai instruksi hasil ajaran para guru resi yang mengkhususkan mengajar para peniti jalan shadana. Sri Gaudapadiya secara tidak langsung mengisyaratkan kepada para murid-muridnya agar mempelajari berbagai Upanishad dan kitab-kitab suci yang bernuansa adi-luhung  agar mampu menjangkau HakikatNya.

 

Sloka - 36  “Oleh karena itu setelah menyadari akan Hakikat Sang Atman yang bercirikan demikian, persatukanlah dirimu denganNya. Setelah menyadariNya secara penuh sebagai Realitas yang bersifat Non-dual, kemudian bergeraklah di dalam kehidupan ini penuh dengan kesadaran hakiki.”

 

Keterangan: Kesadaran yang hakiki berarti orang yang saat ini, nantinya secara murni tidak akan berpihak ke agama ataupun ajaran-ajaran lainnya, karena ia sadar bahwa Yang Maha Esa sebagai Hakikat Tertinggi tidak terjangkau oleh nalar manusia yang terikat dengan berbagai dogma, kepercayaan dan keyakinan. Ia sadar bahwasanya hanya Yang Maha Esa saja yang mampu hadir di berbagai ajaran dan agama sebagai tujuan tertinggi.

 

Sloka - 37  “Seorang suci yang telah mengendalikan dirinya, seharusnya berada di atas semua bentuk pujian dan kehormatan (yang diarahkan kepadanya), juga diatas berbagai ritual ….. diatas berbagai agama dan lain sebagainya. Baginya hanya Sang Atman saja yang menjadi penyandang raganya dan ia hanya berpasarah diri dalam memenuhi berbagai kebutuhan fisiknya ini.”

  

Sloka - 38  “Setelah memahami Kebenaran tersebut di dalam raganya maka di dunia (alam) eksternal ia menyatu dengan Sang Realitas; dan selanjutnya (senantiasa) menyerap berbagai bentuk kebahagiaan dariNya dan ia tidak pernah tersesat dari Kebenaran ini.”

 

Dengan berakhirnya sloka tersebut di atas maka

Berakhirlah Bab Kedua dari

Gaudapada Karika ini.

 

Disarikan ke bahasa Indonesia yang sederhana oleh mohan.m.s    (Cisarua – Jakarta  6 April – 30 Mei 2002)

 

 

Kembali ke halaman utama Mandukya Upanishad                    Kembali ke halaman induk Shanti Griya