MANDUKYA UPANISHAD

Vinneka Tunggal Eka   

 

BAB I

 Kehidupan seseorang manusia dibagi-bagi dalam tiga keadaan (tahap) yaitu masing-masing alam-sadar, alam-mimpi dan alam-tidur tanpa mimpi. Namun di atas ketiga tahap ini masih ada sebuah alam lain yang bersifat kesadaran yang tertinggi . . . alam ini disebut sebagai yang Keempat.”

Mandukya Upanishad

 

 MANDUKYA  &  KARIKA

 “Wahai para dewata, semoga kami senantiasa mendengarkan apapun yang bersifat suci dan murni: wahai para dewata yang kami puja-puji, semoga kami senantiasa melihat apapun yang bersifat suci dan murni. Semoga kami senantiasa menjalani kehidupan kami secara sehat dan sejahtera, sambil senantiasa memanjatkan doa-doa kami ke arahMu semua. Semoga Indra yang Kuna dan terkenal, Pooshan (Surya) yang serba mengetahui; Bayu, dewata yang berkecepatan tinggi yang senantiasa menyelamatkan kita dari segala bencana, dan Brihaspati yang menjaga kekayaan spiritual  kita semua dengan kekuatan  budhi agar kita dapat memahami skripsi suci ini, dan semoga kami dapat mengikuti ajaran ini.”

 Om Santhi-Santhi-Santhi

Keterangan : Demikianlah caranya dimasa lampau, para resi memulai ajaran mereka, dengan melantunkan shanti-mantra di atas, bersama-sama para sishya mereka sebelum memulai sesuatu ajaran Upanishad yang dianggap suci. Mantra ini juga disebut Shantipat. Upanishad yang satu ini dianggap  yang tertinggi diantara 108 Upanishad lainnya, walaupun hanya berisikan 12 sloka mantra saja, namun Karika (tafsir ditambah berbagai keterangan dan ajaran lain-lainnya) cukup panjang dan melelahkan bagi kaum awam.

Kata kita dan kami di mantra tersebut di atas, dapat diartikan sebagai berikut di dalam bahasa Inggris. We all = kita; we = kami. Demikian agar tidak rancu dalam pemahamannya.

Sebelum memulai dengan ajaran ini, sebaiknya kita menyimak dulu Upanishad yang satu ini, yang terkesan sangat khusus, yang selain berisikan 12 mantra inti, juga Karika yang sulit dipahami oleh kaum awam dan sebagian para resi sekalipun.  Karika ditulis dan diajarkan oleh seorang resi agung bernama Sri Gaudapada, dari aliran Sri Shankara Acharya, Bapak agama Hindhu modern. Ajaran Karika ini telah diterima umat Hindhu sebagai pedoman yang handal untuk Upanishad yang satu ini.

Karika ini sendiri bukan sembarang ulasan yang bersifat biasa, tetapi lebih bersifat ulasan memorial dalam bentuk metrikal agar mudah dipahami oleh sishya. Berbagai mantra dan sutra-sutra juga ditambahkan agar lebih mudah pemahamannya. Agar memori para murid dan pembaca terjaga  dengan agak baik, banyak sekali mantra seloka terkesan diulang-ulang, dan agak membosankan, namun sangat bermanfaat dikala kita lupa akan intisari ajaran ini, yang seharusnya dihayati sedikit demi sedikit dan tidak perlu dibaca sekaligus. Yang seharusnya diperhatikan adalah mempelajari ilmu pengetahuan yang sarat filosofi ini, yang dicetuskan sewaktu bangsa Barat belum mengenal peradaban dunia ini.

Sejauh ini belum ada seorangpun yang mampu menjabarkan siapa gerangan penulis ajaran Upanishad ini, dan juga berbagai Upanishad yang lainnya.  Para ahli hanya bisa menduga-duga bahwasanya nama depan resi penulis setiap Upanishad dipergunakan oleh para sishyanya, sebagai judul kitab-kitab Upanishad ini.  Sebagai contoh :  Kathaka diduga adalah pencetus Kathopanishad; Kena mungkin adalah penulis Kanopanishad dan seterusnya. Namun untuk Upanishad yang satu ini, dugaan tersebut bisa saja tidak berlaku, karena kata Mandukya dalam bahasa  Sansekerta berarti kodok, Upanishad ini bisa berarti ajaran Ajaran Sang Kodok (Katak). Konon ada seorang resi yang menyatakan, bahwasanya penulis Upanishad ini begitu merendahkan dirinya sehingga mengibaratkan dirinya sebagai seekor kodok yang terkungkung di dalam sebuah tempurung, dan merasakan  apa yang diajarkan ini masih jauh dari sempurna, jadi beliau tidak mau namanya dicantumkan.  Namun orang suci ini juga berkomentar bahwasanya seekor katak biasanya menyisihkan sekitar 9 atau 10 bulan setahunnya untuk berhibernasi di kolam atau genangan lumpur pekat, seakan-akan bermeditasi dalam suatu kesatuan kelompok, dan seakan-akan menjauhi seluruh keaktifan duniawi dan hanya terserap di alam hibernasinya saja, yang berkepanjangan namun hening ini. Pada musim hujan mereka keluar dari keheningan ini dan mulailah orkes katak yang mempesona itu. Orkes katak ini sudah tidak bisa dinikmati lagi oleh  manusia yang tinggal di kota-kota besar!

Bukankah para resi yang menyepikan diri mereka ke hutan dan gua (para Sanyasi) melakukan hal serupa juga? Dengan pakaian yang sangat minim, bahkan ada yang bertelanjang bulat; para resi  di India ini turun ke sungai Gangga setahun sekali pada hari raya Kumba Mela atau hari-hari khusus lainnya, untuk mengumandangkan ajaran kebenaran mereka.

Kata Upanishad ini sendiri bisa berarti : Upa + ni + shad yang berarti duduk didataran rendah (level yang ama). Maksudnya guru dan murid duduk di level yang sama di lapangan terbuka, yang satu menghadap ke yang lainnya.  Inilah sistim sekolah tertua di dunia dan masih dipraktekkan di Shantiniketan, sebuah universitas yang didirikan oleh Sri Rabindranath Tagore di tahun empat puluhan.

Kembali ke Mandukya Upanishad ini, konon menurut ajaran Muktiko Upanishad, adalah tepat untuk mengantarkan seseorang  ke arah pembebasan  duniawi yang disebut mukti atau moksha. Di dalam bahasa Sansekertanya dikatakan, “Mandukya ekam kevalan mumukshunam vimuktaye”.

Kedua-belas sloka mantra di Upanishad ini berbicara mengenai sebuah topik utama kehidupan yang tidak lekang dari segala jaman, dan masih merupakan misteri bagi dunia Barat yang serba sakit akibat kelebihan duniawi mereka.  Mandukya berbicara akan tiga tahap kehidupan manusia sehari-harinya disamping menyiratkan ajaran akan “Non-dualisme”. Juga yang terkenal dari ajaran ini adalah “Maha Vakya” yang merupakan ajaran untuk meditasi tingkat tinggi.

Menurut ajaran Sanathana Dharma, ada empat maha-vakya yang diperuntukkan bagi Vedanta Shadana yang masing-masing diambil dari setiap Veda. Contoh : Yang diambil dari Atharvana Veda yang terkenal adalah:

“Ayam Atma Brahma” yang berarti “Atman ini adalah Sang Brahman”.

Kata Aku (Atman) yang bersifat universal di atas juga hadir di Upanishad ini secara dominan.

Sekarang marilah membahas Karika , yang rumit dan panjang ini. Ada bab yang memuat 215 sloka, masing-masing disebut Agama Prakarana (bersifat skriptual) … bab 29. Kemudian Vaithathya Prakarana (Ilusi) … bab 38, kemudian Adwaita Prakarana (Non-dualisme, bab 48) dan Alatha Santi Prakarana (memenangkan kobaran api).

Agama Prakarana memuat 12 sloka inti Uphanisad ini, dengan tambahan Karika disana-sini sesuai dengan ajaran Sruthi.

Selanjutnya mari kita ikuti bagian yang satu ini: 

AGAMA PRAKARANA

(SKRIPTUAL) 

Pembukaan Mandukya Uphanisad ini disebut sebagai “Perjanjian Skiptual (Penjelasan Skriptual) karena isinya dan karena berbentuk metrikal yang disusun oleh Sri Gaudapadiya, sehingga sering juga disebut sebagai Sri Gaudapadiya Karika oleh peneliti asing. Disebut skriptual karena sloka-sloka mantra Uphanisad ini juga pada teks aslinya memuat stanza-stanza Karika di titik-titik yang dianggap penting. Pada prinsipnya dengan metodenya sendiri, Sri Gaudapadiya ingin mengarahkan ajaran ini ke tahap paling penting, yang di Upanishad ini disebut sebagai tahap Thuriya, yaitu Realitas Absolut yang bersifat Non-Dual. Itulah sebabnya dalam bahasa Sanekerta, bab ini disebut Agama Prakarana.

Dalam bahasa Sansekerta aslinya, agama berarti: bukti-bukti tradisional akan keberadaan (Hakikat) dari Tuhan Yang Maha Esa, sedangkan Prakarana berarti ajaran-ajaran  yang bersifat permulaan atau dasar. Sri Gaudapadiya dalam ajarannya, mencoba untuk membimbing kita melampaui tiga tahap yang kita tempuh sehari-hari dalam kehidupan kita yaitu:

Tahap Kesadaran,

Tahap Mimpi,

Dan tahap Tidur Lelap (tanpa mimpi)

Kata tahap bisa juga berarti alam, contoh: alam sadar, alam mimpi dsb. Beliau, sang guru ini ingin membimbing kita melalui ketiga tahap ini untuk mencapai alam atau tahap Thuriya. Bagi sishya modern disajikan maket di halaman berikut ini.

Bagi yang tidak mementingkan maket, maka ajaran selanjutnya akan sangat berguna dalam peningkatan daya spiritual dan pemahaman akan misteri dan kehidupan ini, yang ternyata dibahas oleh Sri Gaudapadiya pada suatu level seminar di India kuna, bersama-sama dengan berbagai utusan resi-resi agung dari berbagai aliran agama (ajaran) Hindhu Dharma. Bayangkan mereka semua ini duduk berhari-hari dalam suatu lingkaran untuk mencapai suatu persamaan konsep akan Hakikat  Yang Maha Kuasa, demi lestarinya umat manusia ini.  Om Shanti Shanti  Shanti. 

MANDUKYA UPANISHAD 

Sloka - 1      “Harihi Om, Om, seluruhnya, hanya terdiri dari satu patah kata ini saja. Penjelasannya adalah seperti berikut ini.  Semuanya dimasa lalu, dimasa kini, dan dimasa yang akan datang, sebenar-benarnya adalah Om. Semua yang diluar ketiga masa tersebut juga sebenar-benarnya adalah Om”.

Keterangan: Bagi seorang siswa atau sishya pemula, sloka pembukaan ini bisa mengacaukan persepsi spiritual yang dianutnya selama ini. Sebaiknya ia mempelajari dahulu berbagai Upanishad yang lainnya agar memaklumi arti kata dan intisari Om.  Om adalah Nama, obyek yang dituju oleh nama ini, Om juga adanya, sebenarnya yang terlihat, terasakan dan terpikirkan oleh umat manusia dari masa ke masa adalah Om itu sendiri, demikian sabda dari Sri Shankara Acharya, seorang filsuf muda yang dianggap sebagai pembaharu agama Hindhu. Beliau lahir  kira-kira pada zamannya Sang Sidharta Gautama. Semua benda dan makhluk, apa saja, baik yang kasat mata maupun yang tidak kasat mata adalah juga Om. Tanpa kecuali semua berasal dariNya, untukNya dan kembali kepadaNya juga. Beliau ini adalah Om.

 

Sloka - 2      “Semua ini secara hakiki adalah Brahman. Sang Atman adalah Sang Brahman.  Sang Atman ini memiliki empat bagian”.

Keterangan: Sloka ini dikategorikan sebagai sloka maha-vakya, karena kandungan intisarinya yang amat dalam secara spiritual dan tidak terbatas penalarannya.  Semakin banyak seorang sishya memfokuskan  arah studi dan meditasinya ke makna yang dikandung oleh sloka  di atas, maka makin banyak yang akan diresapinya.

4 bagian Sang Jati Diri (Atman) adalah aspek-aspek sehari-hari secara duniawi bagi seorang manusia, yaitu alam kesadaran, alam mimpi dan alam tidur lelap (jumlah 3 tahap). Diatasnya baru hadir tahap keempat yang disebut Thuriya, yaitu tahap kesadaran akan  Hakikat Yang Maha Esa. Bagi yang awam seakan-akan hadir 4 bagian ini,  padahal bisa berarti Yang Maha Esa secara hakiki hadir di dalam keempat alam ini.

 

Sloka - 3      “Seperempat tahap ini (Pada) disebut Vaiswanara yang mencakup aktivitas tahap-tahap kesadaran, yang sadar akan obyek-obyek dunia eksternal, yang memiliki tujuh organ  perangkat dan 19 mulut (bibir), yang menikmati berbagai obyek-obyek kasar duniawi ini.”

Keterangan : Alam atau tahap-tahap ini disebut sebagai pengalaman oleh para resi guru, dan setiap pengalaman ini dibagi dalam tiga faktor utama yaitu :

Yang mengalami, yang dialami, dan hubungan antara yang mengalami dan yang dialami. Dan yang terakhir ini disebut juga sebagai mengalami secara terus menerus. Sehari-harinya setiap insan manusia berinteraksi dengan ketiga alam ini dan ketiga faktor yang eksis bersama-sama ini. Sekilas ketiga alam ini berlainan dan tidak berkelompok secara bersama-sama. Upanishad ini untuk selanjutnya akan membahas semua ini secara terperinci.

Ego kesadaran manusia disebut Vaisnawara, dalam bahasa Sansekerta atau Viswa. Ego ini menikmati seluruh alam kesadaran dan seluruh aspek/obyek-obyek sensualnya. Juga semua fenomena sensual dinikmatinya, contoh: suara, rasa, bau dan sebagainya.  Dalam alam sadar semua faktor dan fenomena ini bisa dinikmati oleh seluruh organ-organ sensual kita (indriyas). Viswa ini diilustrasikan seakan-akan berorgan 7 dan bermulut 19, seakan-akan seekor ular naga yang mengerikan bentuknya, padahal hanya kata-kata kiasan saja, namun pada hakikatnya berarti dalam, ibarat naga yang menjerat kehidupan kita dengan yang serba duniawi ini, melalui jerat indriyas.

Mulut disini berarti berbagai perangkat konsumsi  yang masing-masing adalah lima perangkat persepsi, lima perangkat berbagai tindakan (pelaksanaan), lima aspek Prana, ditambah sang pikiran, budhi, egoisme dan chitta (keterikatan).

Sloka-mantra di atas menyatakan bhwasanya Atman adalah Brahman, dengan kata lain itu bisa diartikan sang ego individual adalag Ego Totalitas (Absolut). Dengan kata lain “Sang Jati Diri yang terbatas” adalah “Sang Jati Diri Yang Maha Tak Terbatas (Bentuk Universal).”

Para resi guru mengistilahkan fenomena ini sebagai Vyasthi, yaitu mikrokosmos atau buana alit, dan Samasthi yaitu makrokosmos atau biana agung.  Diterangkan di Upanishad ini bahwa sang Atman didalam tahap kesadaran bermanifestasi melalui raga kasar ini yaitu Vaiswanara yang juga berperangkat 7 buah. Sekali lagi ditegaskan bahwa buana alit adalah Vaiswanara dan buana agung adalah Virat (kata lain untuk bentuk Universal).

Chastra-widhi menyatakan Sang Jati Diri Vaiswanara ini mencakup kepala (daerah bercahaya), mata (surya), udara sebagai nafasnya, antariksa (bagian perutnya), ginjal (air), bumi (kaki) dan mulut (api yang disebut sebagai Ahavaniya). Ungkapan-ungkapan ini pastilah membingungkan bagi para pemula, namun tidak bagi yang telah mempelajari Bhagavat-Gita dan berbagai Upanishad lainnya.

Sloka mantra berikutnya berbicara tentang mimpi.

 

Sloka - 4      “Pada yang kedua disebut Taijasa, berbagai aktivitasnya disebut tahap (alam) mimpi. Tahap ini sadar akan kehidupan internal dari berbagai obyek-obyek lembut (halus) yang berasal dari berbagai aktivitas mental.”

Keterangan: Sloka sebelumnya berbicara akan alam sadar manusia, sloka di atas menyatakan kekuatan yang sama itu bisa menjauhi dunia eksternal dan mengidentifikasikan dirinya  ke tahap (alam) mimpi dan berinteraksi dengan alam ini dan juga dengan berbagai obyek lembut yang berasal dari badan halus manusia itu sendiri. Tahap ini disebut Taijasa, dan ketujuh perangkat dan 19 mulut yang dimilikinya bersifat sama dengan uraian  di sloka sebelumnya di alam sadar. Kedua tahap ini yaitu Vaiswanara dan Taijasa, sang ego di alam sadar dan sang ego di alam mimpi, adalah 2 bagian integral manusia. Kesadaran sejati atau rasa eling yang berinterasi dengan raga kita memainkan peran sebagai Vaiswanara  dalam alam sadar, dan faktor yang sama ini juga sewaktu ke alam mimpi, terserap oleh obyek-obyek dan fenomena  halus di alam mimpi ini, dan berubah menjadi sang (si) pemimpi (Taijasa) itu sendiri. Demikianlah kedua Pada  ini dijelaskan, kita akan memasuki Pada yang ketiga yaitu alam tidur.

 

Sloka - 5      “Itulah tahap tidur-lelap, dimana yang  tertidur ini tidak mendambakan obyek apapun juga, dan iapun tidak menyaksikan mimpi apapun juga. Pada ketiga  ini disebut Prajnya yang tahapnya adalah tidur lelap. Di tahap ini seluruh pengalaman bersatu dan tidak  bisa dibeda-bedakan, yang sebenarnya adalah kesadaran dalam bentuk homogeneou (kesatuan secara keseluruhan), tahap ini merupakan pintu gerbang yang mengantar manusia ke arah dua tahap kesadaran yaitu alam sadar dan alam mimpi.”

Keterangan: Ternyata alam tidur lelap adalah tahap kekosongan yang tidak kosong, seperti antariksa yang mengelilingi seluruh alam semesta ini. Tahap homogeneous ini merupakan kesatuan dari berbagai kesadaran, disebut juga Prajnyanaghana, para resi juga menyebutnya sebagai alam kebahagiaan (Anandamaya) karena di tahap ini manusia bisa lepas dari berbagai suka dan duka yang mengikatnya, kemudian lepas dari alam ini, kita ibaratnya mendapatkan energi baru, seperti alat yang telah direcharge lagi. Sebenarnya tubuh kita adalah teknologi penciptaan yang  amat menakjubkan, sayang manusia karena kebodohannya merusak raga ini dengan obat terlarang dan perilaku serta minuman keras yang merusak.

Dari tahap tidur lelap ini kemudian seorang manusia diantar ke alam mimpi, lalu diproyeksikan kembali ke alam sadar dan kemudian ke alam mimpi lagi dan seterusnya ke alam tidur lelap.  Selama orang masih hidup maka proyek ini berjalan terus.  Demikianlah Pada ketiga telah diuraikan secara manis sekali di sloka mantra di atas, selanjutnya mantra sloka berikutnya akan berbicara mengenai Sang Prajnya.

 

Sloka - 6      “Inilah Tuhan (Sarreswara) dari semuanya; Yang memahami semuanya; Inilah yang mengendalikan bagian-bagian alam; Inilah sumber dari segala-galanya. Dan Ini adalah Itu yang merupakan asal-muasal  dari semua ciptaan dan kedalamNya juga, semua ini akhirnya akan melebur kembali.”

Keterangan: Kata Ini dan Itu adalah sebuatan halus yang sangat bernuansa halus dalam sabda-sabda para resi untuk menjelaskan akan Keberadaan dan Hakikat Tuhan Yang Maha Esa (Sarreswara) secara sederhana sekali.  Mereka, para resi teramat bijak senantiasa menyebut Yang Maha Esa dengan kata-kata seperti : Ini, Itu, Yang, Nya, Dia dan sebagainya. Kata Sarreswara (Tuhan) di sloka ini menggambarkan Kesadaran Maha Hakiki yang hadir di dalam semua ciptaanNya. Dari Beliau semua ini berasal, dan kepadaNya juga semua ini akan melebur kembali.

Selanjutnya akan hadir Karika (Tafsiran) dari Sri Gaudapadiya. 

K A R I K A  

1.         “Viswa, Pada yang pertama adalah dia Yang Maha Hadir, Yang merasakan obyek-obyek eksternal yang kasar (disebut sebagai Yang Sadar). Taijasa, Pada yang kedua adalah dia yang memahami bagian dalam, badan halus (disebut sebagai yang bermimpi). Prajnya adalah dia yang berbentuk kesatuan kesadaran. Dia  adalah ketiga-tiganya yang dikenali di ketiga Pada (tahap-tahap kesadaran) ini.”

2.         “Viswa bekerja melalui mata kanan. Taijasa bekerja melalui sang pikiran, dan Prajnya bekerja melalui spasi yang ada di hati sanubari. Demikianlah, Satu Jati Diri ini diperkirakan bekerja dari tiga titik pusat sebagai tiga fenomena yang berlainan.”

 

3.         “Pahamilah ketiga lapis pengalaman-pengalaman (hidup) ini; Vaiswanara senantiasa merasakan obyek-obyek sensual yang kasar (badan kasar); Taijasa menikmati obyek-obyek yang lembut yang berasal dari badan halus, dan Prajnya menikmati yang bersifat kebahagiaan (Ilahi).”

 

4.         “Pahamilah ketiga faktor ini sebagai tiga lapis pemuasan; Vaiswanara terpuaskan oleh obyek-obyek  kasar (luar), Taijasa terpuaskan oleh obyek-obyek yang halus, dan Prajnya mendapatkan kepuasan dari yang bersifat kebahagiaan Ilahi (Anandascha).”

 

5.         “Seseorang yang mengalami kedua perihal ini, yaitu yang merasakan dan yang dirasakan, sesuai dengan yang telah dijabarkan sejauh ini, sebagai yang berhubungan dengan tiga tahap kesadaran, (maka) insan tersebut tidak akan terpengaruh sewaktu ia merasakan masing-masing obyek ini, yang berasal dari ketiga tahap (alam) ini.”

 

Keterangan: Membaca sebuah buku masak memasak tidak berarti lalu seseorang bisa langsung memasak. Diperlukan latihan terus menerus, diperlukan juga ketekunan dan teknik memasak dan perlahan-lahan seseorang akan trampil memasak.  Demikian juga didalam kehidupan kita sehari-hari, dari satu Pada ke pada yang lainnya dibutuhkan waktu, disiplin dan ketrampilan tersendiri untuk suatu waktu nanti merealisasikan Kesadaran Yang Paling Hakiki, yaitu Sang Atman yang juga dikenal sebagai Prajnya ini.  Latihan meditasi yang berkesinambungan, guru-resi dan berbagai masukan spiritual  yang positip harus senantiasa  hadir didalam berbagai Pada ini, barulah dengan karuniaNya, insan yang berusaha ini dapat merealisasikan Kebahagiaan Ilahi ini, yang bersifat tanpa batas.  Sekali terserap kedalamNya, maka kehidupan sehari-hari hanya dilakukan demi lestarinya kehidupan itu tanpa terikat kepada hasilnya.

 

6.         “Selama ini telah ditegaskan bahwa sesuatu itu hanya bisa berasal dari sesuatu lainnya yang eksis (bukan yang non-eksis). Sang Prana memanifestasikan berbagai hal yang bersifat halus; Sang Purusha menciptakan makhluk-makhluk yang memiliki kesadaran, yang juga memiliki ego, didalam berbagai bentuk ciptaan-ciptaan, secara terpisah-pisah.”

 

Keterangan:  Menurut Sri Gaudapada dan para resi lainnya, dari aspek realitas (Prana)  timbul hal-hal yang bersifat halus dan gaib di dunia ini, dan dari aspek kesadaran Ilahi (Purusha) lahirlah seisi dunia yang berwujud ini.

 

7.         “Ada sementara peneliti dalam bidang penciptaan dunia ini berpendapat bahwasanya ini adalah pancaran dari kekuatan Kemegahan Yang Maha Kuasa itu sendiri yang bersifat Super Manusia; sedangkan ada pendapat  lain yang mengatakan bahwasanya dunia ini sifatnya sama saja dengan mimpi atau ilusi.”

 

Keterangan:  Sekarang kita akan mulai menyimak berbagai argumentasi yang paling diajukan di forum Sri Gaudapada ini, oleh sebagian resi guru yang teramat agung dan piawai dari sekte-sekte yang berbeda aliran dan pendapatnya mengenai Hakikat Yang Maha Esa.

Secara pribadi, konon dikatakan bahwasanya Sri Gaudapadiya tidak mengakui keberadaan ciptaan-ciptaan ini. Menurut beliau, Realitas Yang Maha Suci ini tidak diciptakan dan dunia inipun tidak pernah diciptakan olehNya. Semua yang kita lihat dan pahami  ini adalah proyeksi kita sendiri. Teori non-penciptaan ini disebut Ajatawada. Konon dikatakan teori ini sinkron dengan filosofi permulaan ajaran Vedanta dan Yoga Vashista. Namun Ajaran Vedanta berkembang terus dari zaman ke zaman, dan dibawah Sri Shankara Acharya, ajaran Vedanta memasuki dimensi yang baru. Beliau mengakui adanya Realitas  relatif yang terbungkus dengan berbagai obyek-obyek duniawi dan makhluk yang kita lihat dan rasakan sehari-hari. Sedangkan para resi lainnya berpendapat pada hakikatnya kedua teori ini sama saja isinya, dan kalau digabungkan malahan akan menambah khazanah dan wawasan kita semua.

Ada ahli yang berpendapat bahwasanya dunia ini sebagai sebuah mimpi yang panjang, seperti yang akan diterangkan oleh Sri Gaudapadiya selanjutnya di karya ini juga. Sedangkan ada ahli non-penciptaan yang percaya bahwa hidup ini adalah sebuah mimpi panjang, namun mimpi ini bukan ilusi tetapi betul-betul  eksis (sebenar-benarnya ada) dan berjalan terus secara abadi. Mimpi itu benar-benar ada dan yang bermimpi juga ada.

 

8.         “Para ahli yang percaya akan penciptaan ini berpendapat bahwa manifestasi ini terwujud karena Kehendak Tuhan Yang Maha Kuasa, sedangkan yang lainnya berpendapat, bahwa Waktu adalah suatu perihal yang benar, dan menyatakan bahwa Sang Waktu adalah penyebab semua manifestasi penciptaan-penciptaan ini.”

9.         “Yang lainnya berpikir bahwasanya dunia ini diciptakan demi kenikmatan Yang Maha Esa, kemudian yang lainnya lagi berpendapat bahwa dunia ini hanya sebuah benda permainan dari Tuhan Yang Maha Esa. Namun bagi Sang Atman Yang Bercahaya Gilang-Gemilang, Beliau ini tidak berhasrat apapun juga, karena (sebenarnya) apakah yang tidak mungkin didapatkanNya?

Keterangan: Demikianlah Sri Gaudapadiya telah mengemukakan berbagai teori akan Hakikat Yang Maha Esa dari segala arah, namun diakhir sloka ini beliau menegaskan bahwa sebenarnya Tuhan itu tidak membutuhkan apapun juga,  semua ini hanya teori-teori manusia saja. Dengan ini Karika dari Sri Gaudapadiya diakhiri untuk sementara, dan kita kembali ke Mandukya Upanishad, ke sloka 7, dimana kita akan mendapatkan penjelasan akan  tahap kesadaran alam Thuriya. 

            Kembali ke : 

MANDUKYA UPANISHAD 

Sloka - 7      “Tahap (alam) ini bukanlah sesuatu yang sadar akan bagian dalam dunia yang bersifat subyektif, bukan juga sesuatu yang sadar akan dunia luar, juga bukan sesuatu yang sadar akan kedua-duanya ini, juga bukan kesatuan kesadaran, juga bukan bentuk kesadaran yang sederhana, juga bukan tidak memiliki kesadaran.  Tahap ini tidak terlihat oleh indriyas yang manapun juga, tidak terhubungkan dengan apapun juga, tidak bisa diterangkan oleh pikiran, tidak bisa ditembus, tidak terpikirkan, tidak bisa dijabarkan, semata-mata adalah Sang Jati Diri itu sendiri, jauh dari semua bentuk fenomena, bersifat shanti (damai) dan non-dual. Alam ini disebut sebagai tahap keempat Thuriya. Ini adalah Sang Atman dan (Tujuan) yang harus dicapai dan disadari.”

 

Keterangan: Ada yang tersirat di sloka ini, yaitu Sang Atman itu jauh dari segala-galanya. 

Kembali ke Karika:

 

10.     “Di dalam sesuatu yang dikatakan Tidak Berubah-ubah ini, yaitu Yang Maha Kuasa, terdapat akhir keseluruhan dari segala bentuk penderitaan; Sesuatu yang disebut Thuriya, Yang Maha Bercahaya Gilang-Gemilang secara Abadi dan Maha Hadir.”

11.     “Viswa dan Taijasa, kedua-duanya ada dibawah pengaruh “sebab dan akibat”. Namun Prajnya hanya ada dibawah pengaruh “sebab”.  Kedua faktor “sebab dan akibat” ini tidak hadir di tahap Thuriya.”

Keterangan: “Sebab dan Akibat” adalah elemen-elemen hukum karma. Secara spiritual “sebab” juga merupakan manifestasi dari kebodohan atau kekurang-pengetahuan  (Avidya) dari sifat asli kita sendiri.

 12.     “Prajnya tidak memahami apapun juga yang berasal dari kebenaran atau non-kebenaran, tidak juga Prajnya faham akan apapun yang berhubungan dengan Sang Jati Diri ataupun non-jati diri; Prajnya tidak memahami apapun juga. Namun Thuriya ini abadi dan senantiasa adalah Yang Maha Tahu (dan) Yang Maha Menyaksikan.”  

13.     “Faktor ketidak-pahaman akan dualitas bersifat sama rata baik di tahap tidur maupun di tahap Thuriya, namun, insan yang tidur, terkondisi di dalam tidurnya, berada didalam bentuk “penyebab”, (dan) faktor ini . . . yaitu tidur dan penyebab (Avidya, kebodohan) tidak hadir di dalam Thuriya.”

 

Keterangan : Secara sederhana sloka-mantra  ini menyatakan bahwa  alam tidur masih  berada di bawah faktor-faktor duniawi yang diliputi oleh Avidya, yaitu kebodohan atau kekurang pengetahuan. Dan Faktor ini tidak eksis di alam Thuriya, karena alam ini adalah alamnya Sang Pencipta itu Sendiri, Yang Maha Mengetahui.

 

14.     “Viswa dan Taijasa, kedua-duanya ini berhubungan dengan berbagai keadaan mimpi dan tidur; Prajnya adalah tahap tidur tanpa mimpi. Mereka-mereka yang memahami Kebenaran tidak merasakan tidur maupun mimpi di tahap Thuriya.”

 

15.     “Mimpi adalah sebuah tahap dimana Realitas tidak bisa dipahami secara tepat (pemahaman yang menyimpang), sedangkan tidur adalah tahap dimana Realitas tidak dapat dipahami karena kebodohan (Avidya).  Sewaktu pengetahuan yang salah dikedua tahap ini menghilang, (maka) tercapailah tahap Thuriya.

 

Keterangan: Secara psikologis dan filosofis, pernyataan diatas adalah fantastis sifatnya. Renungkanlah dengan baik: Seandainya Avidya dapat ditumpas maka efeknyapun tidak akan hadir di dalam kehidupan kita pribadi, dan itu berarti insan ini terangkat ke alam Thuriya, alam Yang Maha Esa itu sendiri.

 

 

16.     “Sewaktu  sang jiwa yang bersifat individual (tertidur dibawah pengaruh Sang Maya yang tidak bermula) ini, terjaga dari tidurnya, maka sang jiwa ini manyadari akan faktor Non-dualitas yang hadir di dalam dirinya, yang bersifat tanpa mula dan tanpa mimpi.”

 

Keterangan: Dari saat kita dilahirkan sampai saat ini, kita hidup dalam keadaan “tertidur”, yaitu alam-sadar yang terbungkus oleh Sang Maya (materi duniawi). Tahap ini disebut tahap ketidak-pahaman akan Realitas.  Sewaktu seseorang melalui upaya shadananya berhasil “bangun” dari tidurnya (tidur duniawi) ini, maka ia akan sadar bahwa sebenarnya Sang Realitas (Kebenaran Hakiki) ini bersifat non-dual (diluar faktor dan fenomena negatif-positif), tanpa mula dan tanpa mimpi.

Para resi di berbagai upanishad dan Sruthis selalu bersabda tanpa henti-hentinya “bangun dan bangkitlah”. Demikian juga seluruh ajaran Sanathana Dharma senantiasa menyiratkan demikian, “Wahai manusia, janganlah lelap dan terbius oleh ayunan tidur Sang Maya ini”.  Melalui meditasi dan renungan yang berkesinambungan, seseorang akan mencapai tahap Thuriya ini, dimana Sang Maya tidak hadir.”

 

17.     “Seandainya  pruralitas yang selama ini kita pahami betul-betul bersifat realitas, maka keadaan tersebut akan menghilang suatu saat. Dualitas ini dipahami sebagai ilusi dari Sang Maya semata-mata. Yang Maha Kuasa (Realitas) adalah satu-satunya yang bersifat Non-Dualitas.”

 

Keterangan: Yang dimaksudkan sebagai pruralitas adalah alam-semesta dan seluruh isinya, seluruh ciptaan ini, dan yang dimaksud dengan dwidasas adalah dua unsur yang saling bertentangan dalam harmoni yaitu positip-negatip, baik-buruk, panas-dingin dsb. Di sloka ini dikatakan seandainya alam-semesta dan segala isinya itu benar-benar eksis maka suatu saat nanti akan tidak eksis dan begitupun sebaiknya. Itu  hukum alam! Dwandas adalah produk Sang Maya, dan Yang Maha Kuasa  (Realitas) berada jauh dari fenomena ini. Beliau adalah  Satu-satunya yang keberadaanNya disebut Non-dual semata-mata (advaitan paramathatah).

 

18.     “Seandainya ada yang berkhayal atau berpikir akan adanya berbagai unsur di alam-semesta ini, maka semua itu akan menghilang. Keterangan ini diberikan untuk tujuan mengajar para sishya.  Dualitas yang baru saja diperbincangkan ini juga akan sirna sewaktu Kebenaran Tertinggi tercapai.”

 

Keterangan: Stanza kedelapan belas ini sementara mengakhiri ulasan Sri Gaudapada, dan kita kembali lagi ke Mandukya Upanishad sloka ke 8. Para pembaca yang budiman, sudilah maklum akan gaya penulisan buku ini, yang aslinya memang ditulis dari Mandukya ke Karika dan sebaliknya ini.

 

 

Sloka - 8      “Dari pemahaman alfabet, Atman yang sama ini adalah Aum.  Aum dengan Pada-pada  (bagian-bagian)Nya akan kita pelajari dari segi suara atau Aksara. Pada-pada disini adalah aksara (suara) dan aksara-aksara ini adalah Pada-pada. Aksara ini adalah A, U, dan M”.

 

Keterangan: Kalau sebelumnya sampai sloka 7 Mandukya Upanishad ini menerangkan mengenai bagian (Pada) dari Sang Atman, maka ternyata sekarang ini akan diterangkan melalui pemahaman aksara dan suara. Dalam bahasa Sansekerta ketiga Pada ini  disebut sebagai tiga Matras.  Satu Pada adalah ¼ bagian dari keseluruhan Atman.

 

Sloka - 9      “Seorang yang bersifat Vaiswanara yang tahap-tahap aktifitasnya berpola tahap kesadaran adalah A, aksara pertama dalam komposisi AUM, dan aksara ini adalah yang selalu utama dalam (suara dan pembicaraan) atau selalu di depan (yang pertama). Faktor-faktor ini adalah biasa di kedua keadaan ini. Barangsiapa menyadari hal ini akan mencapai berbagai hasrat-hasratnya dan menjadi utama (pertama diantara semuanya (yang lain-lainnya).”

 

Keterangan: Sekarang ajaran Mandukya menekankan atau menambahkan sebuah makna baru yang bersifat duniawi sekali. AUM dijelaskan secara duniawi, baru A saja sudah bermakna utama atau prima, apalagi ditambah U dan M yang secara psikologis saja sudah pasti akan memberikan dampak sugesti yang bersifat suci dan spiritual.  Sama dengan sugesti yang kita ciptakan sewaktu memuja kepada arca ini dan arca itu, benda-benda keramat dan lain sebagainya. Sugesti dapat menghadirkan kesucian, ketakutan, kecemasan bahkan kebahagiaan dan kesembuhan.

Demikian juga seandainya A-U-M  ini dijadikan fokus meditasi kita, dan disimbolkan sebagai manifestasi Hyang Maha Esa, atau Bhur-Bwah-Swah ataupun Tri Murti (Brahma-Vishnu-Shiva), maka dampaknya akan muncul. Dan lagi tidak menghadirkannya, apapun tidak akan muncul dihadapannya. Para resi konon mengatakan A adalah bagian dari AUM yang diutarakan oleh seorang jabang bayi yang baru lahir. Ada yang mengatakan teriakan jabang bayi yang pertama adalah  bernada uah, uah. Ada yang mengatakan oeh, oeh dan sebagainya, tetapi  para resi yakin suara pertama jabang bayi apapun kebangsaannya adalah Aum, Aum dan Aum, dan A adalah yang dominan di aksara ini.

 

Sloka - 10  “Seseorang yang tergolong Taijasa, yang tahap aktivitasnya adalah tahap mimpi, adalah U, aksara kedua dalam komposisi AUM (OM), yang menandakan superioritas atau juga bersifat “ditengah-tengah keduanya”.  Barangsiapa yang paham akan hal ini akan mencapai ilmu pengetahuan  yang dahsyat (superior) dan akan diperlakukan secara sama rata oleh semuanya dan insan ini akan memiliki turunan yang dari waktu ke waktu akan paham (akan) Sang Brahman.”

 

Sloka - 11  “Prajnya, yang tahap aktivitasnya adalah tahap tidur lelap, adalah M, aksara ketiga dari AUM, akara ini adalah ‘timbangan’  dan juga “sesuatu dimana semuanya menjadi kesatuan (satu)”.  Seseorang yang memahami identitas “Prajnya” dan M ini akan mampu menyadari sifat sejati dari berbagai benda dan manusia di dunia ini, dan memahami (menerangkan) semuanya di dalam dirinya.”

 

Kembali ke Karika:

19.     “Sewaktu identitas Viswa dan suara A dijelaskan (maka) perihal yang sama diantara kedua-duanya adalah “pertama” pada posisinya masing-masing; faktanya: kedua-duanya memang serba utama.”

 

20.     ”Jelas sekali terlihat bahwa Taijasa bersifat sama dengan U diantara AUM, persamaan kedua-duanya adalah sifat “superioritas”, alasan selanjutnya adalah ciri khas mereka adalah posisinya yang berada ditengah-tengah.”

 

21.     “Identitas Prajnya dan M mempunyai persamaan yang nyata, kedua-duanya bersifat “timbangan”. Alasan yang lainnya, demi menunjang identitas itu adalah karena “semuanya menjadi satu” di Prajnya dan di M.”

 

22.     “Seseorang yang paham tanpa ragu-ragu kaidah-kaidah sama yang hadir didalam ketiga tahap (alam) ini, akan dipuja dan dikagumi oleh semua makhluk; dan sebenar-benarnya insan ini adalah seorang resi yang mulia (teragung).”

 

23.     Suara aksara A membantu yang bermeditasi mencapai tahap Viswa yang terbentuk dengan baik. Sedangkan yang bermeditasi ke U, akan mencapai Teja (Tejasa, kekuatan pikiran dan budhi) yang telah terbentuk dengan baik, dan yang bermeditasi ke m akan mencapai Prajnya. Di tahap yang “tidak bersuara (beraksara)” tidak ada pencapaian (tidak ada yang harus dicapai).”

 

Keterangan: Ternyata menurut para resi guru yang handal, memang kalau meditasi difokuskan ke salah satu aksara atau suara AUM maka akan timbul semacam karunia spiritual yang tinggi seperti disaratkan oleh sloka-mantra Mandukya Upanishad berikutnya.

 

Kembali ke Mandukya:

Sloka - 12  “Sesuatu Itu yang tidak memiliki bagian-bagian (Pada), tidak bersuara, yang tidak dapat dijabarkan, jauh berada di atas seluruh indriyas, akhir dari seluruh bentuk-bentuk fenomena, senantiasa berada dalam kebahagiaan (Ilahi) dan adalah AUM yang non-dual; adalah (alam) tahap yang keempat dan sebenarnya sama dengan Sang Atman. Seseorang yang memahami perihal ini akan meleburkan dirinya ke dalam Jati Diri Yang Maha Agung . . . Sang individu ini terlebur ke dalam Keseluruhan.”

 

Keterangan: Secara  mikrokosmis (buana alit), alam keempat ini bisa hadir tanpa disengaja oleh sadhaka yang sedang bermeditasi secara serius. Menurut para resi guru, sewaktu seseorang didalam meditasinya  yang khusyuk mengucapkan mantra AUM berulang-ulang, maka spasi kosong diantara satu AUM ke AUM yang lainnya bisa juga diartikan sama dengan tahap keempat yang dituju oleh para sadhaka, dan kalau si sadhaka beruntung terhubungkan  secara langsung ke Sang Atman dalam kekosongan ini, maka jatuhlah berkahNya. Spasi ini eksis di dalam keheningan dan disebut spasi Thuriya.  Sebenarnya mantra AUM adalah mantra meditasi tertinggi , lihat Bhagavat Gita, khususnya bab VI yang membahas meditasi spiritual ajaran langsung dari Sri Kreshna  kepada umat manusia. Japa Gayatri adalah japa-mantra yang tertinggi, namun untuk meditasi AUM adalah yang tertinggi. Namun semua ini harus dilakukan tanpa pamrih dan pengharapan sama sekali.

Dengan ini berakhirlah seluruh sloka-mantra Bab I mengenai Mandukya Upanishad. Dan selanjutnya kita kembali  akan mempelajari uraian Sri Gaudapadiya dalam bentuk Karikanya. Kita kembali lagi ke Karika.

 

Kembali ke Karika:

24.  “Mantra AUM (Omkara) ini harus dipahami secara Pada dari Pada, tidak perlu diragukan bahwa pada-pada ini sama dengan suara (morae).  Setelah menggapai seluruh makna Omkara ini, maka tidak perlu lagi memikirkan hal-hal yang lainnya.”

Keterangan: Sloka ini menerangkan Sri Gaudapada yang sedang menjabarkan teknik-teknik meditasi yang harus difokuskan ke Omkara. Teknik-teknik ini mencakup naik-turun nada AUM dari nada tinggi ke nada rendah, namun teknik ini sebenarnya membutuhkan tuntunan seorang guru yang handal.

 

25.  “Bersihkan (mandikan) pikiran dengan raungan AUM; Kenalilah sang pikiran melalui suara AUM; AUM adalah Brahman Yang Maha Gagah Berani (Perkasa). Barangsiapa yang senantiasa terjalin dengan AUM, tidak akan pernah  kenal dengan rasa takut dalam bentuk apapun juga.”

 

26.  ”Om adalah sebenarnya Brahman (bagian bawah) dan Beliau dinyatakan juga sebagai Brahman Yang Maha Kuasa. Pranawa (AUM) ini bersifat  tanpa asal, tanpa manifestasi berikutnya, tanpa sesuatu apapun diluarnya, dan tidak berubah-ubah.”

 

27.  “AUM adalah sebenar-benarnya permulaan (Adi), bagian tengah (Madhyana) dan akhir (Anta) semuanya. Memahami AUM seperti ini, maka seseorang pasti segera akan mencapai Realitas  Yang Maha Kuasa itu.”

 

28.  “Pahami AUM sebagai Iswara (Penguasa), Tuhan, Yang senantiasa hadir di alam pikiran semuanya; Seseorang yang bijak yang telah memahami AUM sebagai Yang Maha Hadir, tidak akan pernah khawatir (akan sesuatu hal apapun juga).”

 

29.  Seseorang yang memahami AUM, yang tanpa suara dan (juga bersuara ini) dan senantiasa damai karena jauh dari pengaruh sifat-sifat dualitas, maka orang tersebut adalah seorang suci yang benar, bukan yang lain-lainnya.”

  

Dengan ini Sri Gaudapadiya mengakhiri Karikanya, yang mengulas Bab Pertama Mandukya Upanishad ini.

 

Disarikan ke bahasa Indonesia yang sederhana oleh mohan.m.s    (Cisarua – Jakarta  6 April – 30 Mei 2002)

 

 

Kembali ke halaman utama Mandukya Upanishad                    Kembali ke halaman induk Shanti Griya