KENOPANISHAD

Vinneka Tunggal Eka   

Walaupun para resi guru mengajarkan berbagai Upanishad ribuan tahun yang silam, ilmu pengetahuan ini seakan-akan merupakan sumber inspriasi spritual yang tidak ada habis-habisnya, konon juga sangat mempengaruhi ajaran-ajaran lainnya di dunia. Kandungan filosofis dan hakikat mengenai keberadaan Yang Maha Esa yang terkandung di dalam berbagai ajaran-ajaran ini ternyata tanpa disadari telah mempengaruhi umat manusia secara universal. Ternyata ribuan tahun yang silam nenek moyang kita di Persada Pertiwi yang indah ini telah menghayati ajaran-ajaran adi -luhung ini dampaknya masih terasa dalam tatanan budaya kita walaupun sebagian besar penduduk negeri ini bukan penganut Sanatana Dharma. Ternyata  dharma itu sendiri langgeng (abadi) sifatnya walaupun terbungkus oleh sesuatu yang lain. 

Di zaman Kali-yuga yang serba aneh ini, ada golongan manusia yang merasa lebih superior dibandingkan ras lainnya, bahkan ada yang digolongkan adi-daya karena lebih kuat ekonomi maupun persenjataannya. Bangsa manusia semakin lama semakin miskin nalar spritualnya, kekayaan bukan diukur dari betapa terpelajarnya seseorang ini dalam perjalanan spritualnya, namun berapa banyak harta dunia yang dimilikinya, tidak perduli bagaimana mendapatkannya. 

Namun gejala ini bukan milik manusia semata, konon di suatu masa yang silam para dewata yang mabuk kemenangan juga pernah lupa daratan dan merasa bahwa mereka ini adalah mahluk-mahluk tanpa tandingan, tanpa mau menyadari bahwa tanpa kehendak Tuhan Yang Maha Esa sebenarnya kita ini semua bukan apa-apa dan tidak berkemampuan apapun juga. Karya ini semoga bermanfaat bagi renungan kita yang sering terselubung oleh ego yang pekat, yang sering sekali membutakan nurani kita. 

 

OM SANTIHI………SANTIHI……….SANTIHI 

OM    TAT    SAT 

PERMULAAN

Shanti Mantra ke I 

 Semoga damai beserta kita dan menjauhkan kita semua dari kemurkaanNya.

Semoga beserta kita dan menjauhkan kita semua dari berbagai bencana alam.

Semoga damai beserta kita dan menjauhkan kita semua dari berbagai gangguan raga  kita.  

OM. Semoga Beliau melindungi kami berdua (sang guru dan sishya). Semoga Beliau berkenan agar kami menghayati Yang Maha Kuasa. 

¨       Semoga kami menghayati intisari sebenarnya dari berbagai ajaran-ajaran suci. Semoga usaha-usaha mempelajari ilmu pengetahuan ini berlangsung secara baik dan penuh dengan iman. Dan semoga kami berdua tidak saling salah mengerti satu dengan yang lain.

Semoga damai beserta kita dan menjauhkan kita semua dari berbagai gangguan raga kita.

Semoga damai beserta kita dan menjauhkan kita semua dari berbagai bencana alam

Semoga damai beserta kita dan menjauhkan kita dari kemurkaanNya. 

…………

 Shanti Mantra ke 2 

¨       Semoga organ-organ tubuhku, pembicaraanku, pranaku, mataku, telingaku, kekuatanku dan seluruh indriya-indriyasku bertumbuh dan berkembang secara baik dan penuh semangat. Semua ini adalah Brahman dari berbagai Upanishad. Semoga daku tidak sekali-kali mengingkari keberadaan Yang Maha Esa (Brahman).

¨       Semoga Brahman tidak membelokkan arahku. Semoga Brahman tidak menolakku. Sekali lagi semoga Sang Brahman tidak membelokkan arahku ! Semoga semua intisari suci yang dikumandangkan berbagai Upanishad hidup di dalam diriku ini, ! Semoga semua intisari suci yang dikumandangkan berbagai Upanishad hidup di dalam diriku agar daku dapat membahagiakan Sang Atman. Semoga mereka hidup di dalam diriku!

 

OM SANTIHI……….SANTIHI……….SANTIHI,

 

Keterangan : Dalam memulai suatu ajaran suci yang berhubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa adalah penting sekali agar doa-doa di atas ini dikumandangkan bersama oleh sang guru dan muridnya agar terjalin saling pengertian diantara keduanya. Seorang guru spritual yang handal mendambakan hadirnya seorang murid yang setaraf, begitupun sebaliknya hasrat sang murid ini. Dengan ini dimulailah sloka pertama dari karya suci Kenopanishad ini.

 

1.Sang sishya bertanya:

“Oleh siapa gerangankah sang pikiran digerakan dan ditujukan kepada berbagai  objek-objeknya?

Diperintahkan oleh siapa gerangankah maka Sang Prana berfungsi dan bekerja seharusnya ?.

Diperintahkan oleh siapa gerangankah maka insan manusia sanggup berbicara ?.

Intelegensia apa gerangankah yang menggerakkan mata dan telinga ke arah objek-objek mereka masing-masing ?”

 

2.Sang guru bersabda:

“Beliau (Hyang Atman) adalah telinga dari sang telinga, Beliau adalah pikiran dari sang pikiran, Beliau adalah lidah dari sang lidah, dan juga Beliau adalah Kehidupan dari kehidupan, dan mata dari mata itu sendiri. Dengan menanggalkan rasa “ke akuannya” yang hadir di berbagai indriyas ini dan menerobos ke atas melewati berbagai fenomena yang hadir di berbagai indriyas ini, maka seseorang yang bijak akan berubah menjadi Abadi.”  

Keterangan : Bahasa yang dipakai oleh hampir semua guru resi di berbagai ajaran Upanishad bersifat sugestif dan penuh dengan kiasan dan simbol-simbol bernuansa abstrak, tetapi umumnya sangat mengena di hati, khususnya bagi yang penuh bakti dan iman. Memang tidak mudah menggambarkan Tuhan dalam bentuknya yang tak berwujud jadi selalu diperlukan simbol-simbol dan raga ini untuk memahami bahasa yang sugestif ini. 

Berbagai ajaran Upanishad ini di India dari masa ke masa diturunkan khususnya untuk mereka-mereka yang berbakat secara spritual, dan tidak untuk umum yang cenderung mengambil jalan pintas dengan berbagai upacara-upacaranya. Bagi mereka yang menghasratkan lebih dari sekedar hidup saja, maka berbagai pengetahuan spritual seperti Upanishad ini adalah sumber mata air kehidupan abadi (nektar, amrita) yang tak ada habis-habisnya.

 

3.“Mata tak dapat mencapai tempatNya bersemayam, tidak juga kata-kata maupun sang pikiran. Kita semua tidak mengenaliNya. Kita semuapun tidak paham bagaimana caraNya mengajarkan seseorang akan KeberadaanNya. Beliau itu sangat jauh dari hal-hal yang diketahui. Demikian yang telah kita dengar, sabda para guru-guru yang mengajarkan kami akan KeberadaanNya itu.” 

Keterangan : Lagi-lagi definisi akan Yang Maha Esa dan HakikatNya dihadirkan secara tradisional dalam bentuk abstrak seperti “Beliau itu jauh sekali dari segala bentuk pemahaman dan juga non pemahaman.” Yang Maha Esa itu sulit untuk dijabarkan dengan bahasa maupun metode apapun juga. Namun HakikatNya sulit untuk dibantah, yaitu Beliau hadir sepanjang masa, baik itu dulu, sekarang dan nanti, sedangkan kita semua hanya menampung lewat di dunia ini untuk sementara waktu saja.  

Pengetahuan atau pemahaman ini oleh para guru resi disebut sebagai bukti-bukti tradisionil, bahasa Sansekertanya disebut agama. Agama tidak berarti religion (dalam bahasa Inggris), dan tidak bermakna sama seperti yang kita fahami selama ini di Indonesia. Kata-kata agama Hindu, Budha dan sebagainya menjadi salah kaprah kalau ditelaah dari sudut religion tadi, namun menjadi sangat tepat kalau dijabarkan sebagai “bukti-bukti akan hakikat Kebenaran Abadi Yang Maha Esa.” Di Indonesia para ahli berkata bahwa kata agama berasal dari kata a (non, bukan, tidak) dan gama (tidak beraturan). Jadi agama = tidak-tidak beraturan = beraturan. Menurut Sansekertanya ini salah kaprah, karena agama adalah bukti-bukti akan keberadaanNya, contoh ada tetapi tidak ada….tidak ada tetapi ada !

 

4.”Apa yang tidak dapat diungkapkan oleh kata-kata, tetapi sanggup diungkapkan olehNya,adalah Brahman itu semata-mata dan bukan ini, yang dipuja di sini.” 

Keterangan : Hakikat Yang Maha Esa bukanlah yang disebut kuil, mandira, pura dan lain sebagainya, tetapi sebenarnya Beliau adalah sang Pencipta, Pengayom, Penguasa dan Pemilik seluruh ciptaan-ciptaanNya. Para resi guru tidak melecehkan mereka-mereka yang memuja arca karena Sri Kreshna saja mentolerir pelaksanaan tersebut di Bhagavat-Gita. Namun begitu para kaum suci ini dengan meyakinkan mengisyaratkan bahwa kalau menghendaki pemujaan yang benar dan suci maka puja-pujilah Sang Pencipta yaitu Para Brahman.

 

5.”Apa saja yang tidak dapat dirasakan oleh jalan pikiran, namun karena kata mereka dapat dirasakan oleh sang pikiran ………..fahamilah Itu semata-mata sebagai Hyang Brahman dan bukan ini yang dipuja-puja di sini.” 

6. ”Apapun yang tidak sanggup dilihat oleh mata, namun yang sama Itu dipergunakan oleh mata untuk melihat…………fahamilah Itu semata-mata sebagai Sang Brahman dan bukan ini, yang dipuja-puja di sini.” 

7.”Apa yang tidak sanggup didengar oleh telinga, tetapi yang sama Itu dipergunakan oleh telinga untuk mendengar……….fahamilah Itu sebagai Sang Brahman dan bukan ini yang dipuja-puja di sini.” 

8.”Apa yang dihembuskan oleh seseorang tidak melalui nafasnya, namun melalui yang sama ini nafas dihembuskan……….fahamilah Itu sebagai Sang Brahman dan bukan ini yang dipuja-puja di sini.” 

Keterangan : Sanatana Dharma ajaran para resi guru ini adalah ajaran bersifat universal tanpa tandingan. Walaupun karya ini sepintas sangat minor dan jumlah sloka sedikit sekali, tetapi dari segi penalaran filosofi sangatlah memukau. Demikianlah sang resi guru memulai mengajarkan hakikat Yang Maha Esa dalam bentuk Sang Brahman secara universal dan sebagai Sang Atman yang hadir di setiap mahluk ciptaanNya. Sloka-sloka di atas begitu mengena, walaupun yang mendengarkan itu seorang awam. Merenungi makna yang dikandung di atas, kemudian memasuki dhyana, maka dipastikan lambat laun akan menghasilkan kesadaran hakiki dan selanjutnya kesatuan denganNya (Anugerah dalam bentuk kebahagiaan Ilahi yang tak dapat dijabarkan dengan kata-kata).

 

BAB II

1. Sang Resi Guru segera memperingatkan sishyanya dengan bersabda :

“Seandainya dikau berpikir, “Aku sudah faham benar, sebenarnya baru sedikit yang dikau fahami…….bentuk Sang Brahman juga dimiliki oleh para dewata. Oleh karena itu, kami berpendapat bahwasanya apa yang dikau pikirkan ini masih harus dipertegas (dijabarkan) lagi.” 

Keterangan : Sering sekali dalam perjalan dhyana kita, para sadhaka diberi cobaan dengan mendapatkan daya lebih berupa kesaktian dan pengetahuan-pengetahuan tertentu. Para sadhaka yang kurang waspada tiba-tiba merasa sudah mencapai dan menyatu denganNya dan kemudian menggunakan kemampuan ini secara salah dan melupakan Sang Pemberi kekuatan tersebut. Akibatnya ia akan keluar dari jalur dhyananya dan tersesat dengan sidhi ini. Para dewata yang hadir di dalam raga kita sering menampakkan diri atau dirasakan kehadirannya oleh seorang shadaka. Berhati-hatilah agar tidak merasakan bahwa itu adalah Atman-Dharsana atau penampakan tertinggi dari wujud Sang Atman. Para dewa-dewi ini bisa menganugerahkan berbagai kesaktian, harta dan kedudukan duniawi jadi terimalah kehadiran mereka dengan penuh respek dan mohon kepada mereka dengan santun dan tanpa pamrih agar diperkenankan ditunjukkan jalan ke Sang Atman di mana para dewa-dewi ini sebenarnya berasal dan bermuara.

 

2.Sang sishya berucap : “aku tidak berpikir bahwasanya aku memahamiNya dengan baik.” Tetapi bukannya aku tidak faham. Siapapun diantara kita (antara sang guru dan sishya) yang memahamiNya sebagai Yang Tak dapat Difahami dan juga sebagai Yang Dapat Difahami………memahamiNya.”  

Keterangan : “Barang siapa merasa tahu, sebenarnya tidak tahu apa-apa. Barang siapa merasa tidak tahu sebenarnya tahu.”………pepatah Cina (Lao Tse). 

Filsuf Cina lainnya, yaitu Yung Chia Ta Shih menyenandungkan satu syairnya berikut :

“Sewaktu engkau memburuNya engkau kehilangan Dia; Engkau tidak bisa menangkapNya, tetapi pada saat yang sama engkau tidak bisa lepas dariNya. Dan sewaktu engkau tidak bisa berbuat apapun juga, Beliau berjalan di alurNya sendiri. 

Sewaktu engkau diam Ia pun berbicara; Sewaktu engkau berbicara Ia diam seribu bahasa.” 

Mereka-mereka yang telah terserap kedalam HakikatNya akan lebih banyak berdiam diri karena toh tidak seorangpun di sekelilingnya akan memahami mereka ini. Einstein merasa lebih kecil dari debu, Sidharta Buddha Gautama lebih memilih tersenyum, Guru Nanak terserap senantiasa di dalam renungannya. 

Secara amat demokratis sang sishya di sloka ini mengutarakan pendapatnya tanpa dilandasi kemunafikan sedikitpun, dan pendapat tersebut disampaikan dalam paradox yang indah. Tanpa menjatukan dirinya maupun gurunya ia mengutarakan isi hatinya yang sebenarnya. Sang guru bijaksanapun sadar sekali akan daya nalar sekaligus kegalauan sang murid, dengan lembut ia menjawab:

 

3.”Seseorang yang memahamiNya adalah seorang yang tidak memahamiNya; dan barang siapa merasa bahwa ia memahamiNya, maka orang ini tidak memahamiNya. Bagi seorang pakar ilmu pengetahuan sejati, Beliau ini tidak dapat difahami namun bagi seorang yang kurang pengetahuannya maka Beliau ini adalah Yang Difahami.” 

Keterangan : Sang guru yang sekaligus seorang ayah yang baik ini segera menetralisir kegalauan sang murid yang cerdas ini dengan paradox yang tidak kalah indahnya dan sarat akan makna yang dalam.

 

4.”Sebenarnya seseorang akan mencapai keabadian, yang mempelajariNya penuh dengan kesadaran melalui berbagai jalan pemikirannya. Melalui sang Atman, orang ini akan mendapatkan tenaga sejati dan kemudian melalui ilmu pengetahuan, akan mendapatkan keabadian.” 

Keterangan : Ada suatu misteri yang jarang dibicarakan oleh sang guru kepada para murid-muridnya yaitu bahwasanya semua usaha bakti dan dhyana sang sishya bisa sia-sia saja kalau Sang Atman tidak berkenan untuk membantu sishya ini secara pribadi. Sepintas cobaan Ilahi seakan-akan tidak ada habis-habisnya bagi seorang sadhaka yang beriman tinggi tetapi secara terselubung rahmat dan karunia Yang Maha Esa selalu melindunginya dari segala cobaan ini. Suatu saat sang sishya tersentuh olehNya maka berubah total seluruh kehidupan sishya ini. Kematian bukan hal yang menakutkan lagi baginya, sebaliknya proses kelahiran dan kematian adalah sama dengan pergantian siang dan malam, jadi memang sebuah proses normal dan wajar secara alami. Tahap kesadaran ini disebut tahapKeabadian.

 

5.”Seandainya seseorang memahami (mengenal) Brahman ini, semasa hidup di dunia ini maka seluruh hakikat aspirasi kemanusiaan akan tercapai. Dan seandainya seseorang tidak memahamiNya selama berada di duniaini, maka bencana besar menunggunya. Para kaum bijak yang menyaksikan Satu Atman di dalam berbagai mahluk akan bangkit dari kehidupan ini dan berubah menjadi abadi.” 

Keterangan : Sruti menyatakan : “Brahmaiva Bhavati” yang berarti : “Setelah menyaksikan Yang Maha Esa maka seseorang mengakhiri kehidupan duniawi ini dan berubah menjadi Yang Maha Esa itu sendiri.” 

Seluruh ajaran Sanatana Dharma (Sruti), menuntun kita ke Hakikat Yang Maha Esa semasa kita hidup sebagai manusia bukan sebagai fauna atau flora. Seandainya kita menyia-nyiakan kehidupan sebagai manusia ini, maka sia-sia jugalah kehadiran kita sebagai mahluk yang diberi kesempatan emas yang langkah ini, dan bukankah itu berarti bencana bagi manusia bodoh tersebut. Bab III selanjutnya akan mengungkapkan sebuah kisah yang berhubungan dengan para dewayang mabuk kemenangan dan melupakanNya. Kisah ini sangat baik untuk mrnjadi panutan kita agar tidak sampai kita ikut melakukan kesalahan para dewa-dewa tersebut.

 

BAB III 

Dalam bab ini dikisahkan secara simbolis sebuah kisah para dewa-dewa yang larut dalam kesombongan merekadan merupakan harkat dan hakikat Yang Maha Esa yang seyogyanya mereka junjung tinggi Hakikat KebenaranNya. Karya ini merupakan sebuah pelajaran yang menyadarkan kita semua akan seringnya kebodohan itu melanda bahwa sadar kita sehingga sering pula kita melupakanNya dalam suka dan duka kita. 

Konon di suatu masa yang teramat silam para dewa memenanakan sebuah perang melawan para asuras. Peperangan tersebut sebelumnya sulit dimenangkan dan para dewa akhirnya memohon bantuan Yang Maha Esa dan ternyata doa mereka dikabulkan. Namun setelah perang dimenangkan para dewa terlena dan mabuk kepayang dan mereka bangga sekali akan ke adi-dayaan mereka dan lupalah Yang Maha Esa dari benak mereka. 

Tuhan Yang Maha Esa berkenan memberikan sebuah pelajaran bagi para dewa ini dan Beliaupun hadir di kejauhan dalam penampakanNya sebagai Yaksha (Roh Agung) yang amat menakjubkan. Tiba-tiba para dewa yang sedang kehilangan kesadaran mereka ini takjub melihat dikejauhan sebuah fenomena yang amat terang benderang namun tidak dapat diterangkan benda atau mahluk apakah itu. Maka diutuslah Dewa Agni yang juga masih penuh dengan ego untuk menemui Yaksha ini. Agni penuh dengan keangkuhan dan keyakinan yang berlebihan mendekati Sang Yaksha dan memproklamirkan dirinya sebagai dewa yang mampu menghanguskan seluruh alam semesta dalam sekejab. 

Zat yang maha menakjubkan ini meletakan sebatang rumput di hadapan Agni dan memintannya untuk membakar rumput tersebut dan ternyata Agni tidak mampu melakukannya. Ia kembali ke para dewa dan mengaku tidak dapat memahami benda tersebut. Para Dewa kemudian mengutus Dewa Bayu yang juga penuh dengan keangkuhan melakukan keteledoran yang sama. Sewaktu diminta oleh Sang Yaksha agar memindahkan sedikit saja posisi rumput kering tersebut, ternyata Bayu pun gagal melaksanakannya. Akhirnya ia kembali ke hadapan para dewa dan mengaku tidak bisa banyak berbuat apa-apa dalam menghadapi Yaksha ini. 

Para dewa yang penuh takjub akhirnya mendekati Dewa Indra, yang adalah penguasa para dewa agar sudi menyelidiki kehadiran Yaksha ini. Dengan penuh rasa hati-hati, rendah diri dan kecermatan, Beliau mendekati Sang Yaksha. Melihat kehati-hatian Indra ini, Sang Yaksha langsung sirna dari hadapannya. Dewa Indra yang kehilangan dharsana ini bukan lalu bersikap sombong atau merasa menang, melainkan Beliau kemudian memuja-muji dan mohon kepada Sang Yaksha agar sudi menemuinya. Dan seketika di tempat Sang Yaksha sirna hadir Dewi Uma memberkahi Dewa Indra. Dari Dewi Uma, Indra memahami bahwasanya Yaksha tersebut adalah dharsanaNya Yang Maha Esa dan kalau saja para dewa mengerti maka penampakan tersebut adalah Karunia Tertinggi, namun para dewa tidak menyadari hadirnya Hakikat ini. Seandainya kita mau merenungkan dalam dhyana kita sloka-sloka berikut ini, maka mungkin saja kesadaran yang sirna di dalam diri kita bisa kembal lagi. 

 1.Sang Resi guru bersabda : “Konon pada suatu masa Sang Brahman memenangkan perang para dewa melawan para asuras. Walaupun yang memenangkan perang tersebut adalah Sang Brahman itu sendiri, namun para dewa merasa bahwasanya mereka itulah penyebab kejayaan tersebut dan merekapun berpikir, kamilah yang menang dan keagungan adalah milik kami.” 

2.“Sang Brahman yang memahami kecerobohan para dewa ini, menampakkan dirinya dihadapan mereka; tetapi sebaliknya para dewa tidak faham dan tidak sadar akan hakikat Roh Yang Maha Terpuja ini.” 

3.“Para dewa meminta Agni : “Wahai Jataveda (yang mengetahui semuanya) coba diteliti apa gerangankah Roh Agung ini. Dan Agni pun setuju melakukannya.” 

4.”Agni melaju ke arah Roh ini. Dan Sang Roh bertanya, “Siapa gerangan engkau ini, dan Agni menjawab : sebenarnya aku adalah Agni, yang maha berkuasa.” 

5.“Beliau (Sang Brahman), dalam bentuk Yaksha ini bertanya : “Kekuatan apakah yang dikau punya wahai sang api ? Dan Agni menjawab, aku dapat membakar apa saja yang berada di bumi ini.” 

6.“Beliau, Sang Brahman, meletakkan sebatang rumput di hadapannya dan bersabda, “Bakarlah rumput ini,” Agni mencoba sekuat tenaga, tetapi sia-sia saja seluruh upayanya. Ia kembali ke para dewa dan berkata bahwa ia tidak bisa memahami Roh Yang Maha Terpuja (Agung) terebut.” 

7.”Para dewa kemudian mengutus Dewa Bayu, “Wahai dewata penguasa angin, telitilah siapkah Roh Agung ini. Dan Dewa bayupun menyetujui.” 

8.“Bayu melesat ke arah Roh ini. Sang Roh Agung pun bertanya siapa gerangankah dewa yang satu ini, dan Bayupun menjawab “Aku adalah Bayu dan sesungguhnnya aku adalah penghancur segalanya yang bergerak di langit.” 

9.“Kekuatan apakah yang dikau miliki, tanya Sang Brahman, dan mengapa sifatmu seperti demikian. Bayu menjawab : Aku dapat meniup apa saja di atas permukaan bumi ini.” 

10.“Sang Yaksha meletakan sebatang rumput di hadapannya dan berkata “Tiuplah rumput ini jauh-jauh.” Bayupun mencobanya sekuat tenaga namun rumput tersebut tidak bergeser sedikitpun. Ia pun kembali ke hadapan para dewa dan mengaku, bahwasanya ia tidak dapat memahami siapakah Roh Yang Maha Agung ini.” 

11.“Kemudian para dewa memohon Dewa Indra, “Wahai pemimpin para dewa, wahai Maghawana (terhebat) harap diteliti siapakah Roh Agung ini. Dewa Indra pun setuju dan segera melaju kearah sang Yaksha, namun Roh tersebut segera sirna dari pandangannya.’ 

12.“Dan di tempat yang sama ini Dewa Indra menyaksikan kehadiran Dewi Uma yang teramat menawan, putri Raja salju Himawan. Kepada Sang Dewi ini, Dewa Indra memohon penjelasan akan fenomena Roh Agung tersebut.”

 Akhir bab III

  

BAB IV 

Bagi sementara orang kisah yang baru saja lalu di bab III bisa-bisa dianggap kisah anak-anak, tidak demikian sabda para resi guru. Menurut para kaum bijak ini kisah ini penuh dengan makna yang secara spritual berhubungan dengan perjalanan sadhana dan dhyana seorang sadhaka ke Yang Maha Esa. Dalam Perjalanan dhayana seseorang biasanya diperlukan disiplin, iman, bakti dan kendali diri di samping berbagai tapa brata agar dhyana seseorang ini menjadi stabil. Namun kadangkala bertahun-tahun berlalu dan tidak nampak kemajuan apapun di dalam diri sang sadhaka ini. Ingin mundur sudah kepalang di jalan, yang agak optimis akan mencari guru atau penuntun; ada yang kendor di tengah jalan dan ada yang langsung berhenti dari berbagai upayanya. Pada permulaan biasanya yang diminta menuntun ini terkesan tidak mengacuhkan murid ini, namun sebenarnya tidak demikian. Yang Maha Esa dalam berbagai manifestasiNya pasti akan datang membantu karena hal itu sudah menjadi kewajibanNya. Beliau akan menolong dari jauh dan sang sadhaka yang kurang yakin diri tidak akan pernah menyadari hal tersebut. Ada juga sadhaka yang diarahkan ke sidhi (kekuatan gaib) yang menyesatkan ke arah lain bukan ke arah Tuhan itu sendiri. Dan biasanya sadhaka yang lengah dan kurang iman akan tersesat dalam sidhi ini yang berupa kekuatan sakti, posisi duniawi, kejayaan, dan sebagainya. Ia pun akan lupa bahwa semua ini karunia Ilahi dan seperti para dewa tersebut ia akan merasa hebat dan lupa diri. Kepada orang yang lupa diri ini Yang Maha Esa tetap akan menampakkan diriNya dan menegurnya ke arah yang seharusnya namun ego dan nafsu insan tersebut bisa menghalangi tuntunan Ilahi ini dan akibatnya seperti kisah di atas ini. Namun seandainya sadhaka ini sadar akan kebodohannya dan bertindak hati-hati maka ia akan menemui kembali tujuan semula dan mendapatkan dharsanaNya. Dewa Indra adalah pemimpin para dewa di Kahyangan, dan di diri kita Beliau adalah pemimpin seluruh organ tubuh kita (indriyas), dan bersemayam di otak kita. Pekerjaannya adalah mengendalikan agar organ-organ ini tidak ngawur cara kerjanya. Demikian juga dengan kemampuan otak budhi seseorang dapat diarahkan ke jalan spritual yang benar, dan di saat ia sadar bahwa semua bentuk sidhi sudah tidak berarti lagi baginya maka jalan sinar akan terbuka. Di kisah ini Bunda Sruti dilambangkan dan digambarkan sebagai Dewi Uma (Shakti Dewa Shiva). Dan Sang Yaksha adalah bukan tidak dan bukan lain Sang Atman itu sendiri, yang merupakan Sang Jnana. Paroksa-Jnana tidak bisa menyadarkan sang sadhaka akan kesalahan-kesalahan spritualnya kalau penghayatan sadhaka ini dangkal, seandainya ia berhati-hati seperti Dewa Indra maka jalan spritualnya akan menampakkan Istha-dewatanya dan menuntunnya ke jalan semula yang lurus. 

Kembali ke Dewa Indra tadi betulkah Beliau telah mendapatkan ajaran yang benar dari Bunda Sruti, untuk memahaminya para resi guru melanjutkan ajaran-ajaran mereka dalam bentuk sloka-sloka berikut ini : 

1. Resi guru bersabda; “Brahman, kata sang Dewi. Sebenarnya melalui Sang Brahman, dikau telah mendapatkan kemenangan dan kejayaanmu ! Kemudian sadarlah Indra bahwa sebenarnya Yaksha tersebut adalah Sang Brahman itu sendiri.” 

Keterangan : Sebenarnya Agni dan Bayu pun sadar bahwa yang mereka hadapi adalah Sang Brahman, namun di hadapan para dewa-dewa lainnya mereka tidak berani mengungkapkannya karena masih terliput oleh ego dan kebodohan mereka, apalagi kesaktian mereka tiba-tiba saja lenyap begitu saja. Inilah gambaran hilangnya akal sehat mereka-mereka yang masuk ke jalan sidhi. Mereka ini diliputi oleh kebodohan hasil ulah mereka sendiri.

 

2.”Oleh sebab itu, sebenarnya Dewa Agni, Bayu dan Indra ini lebih superior dari dewa-dewa lainnya, karena berhasil mendekati, menyaksikan dan bahkan berdialog dan mengikuti perintah-perintah Roh Agung tersebut.” 

Keterangan : Ada kalanya seorang sadhaka di dalam dhyananya tersentuh oleh Cahaya Ilahi atau Nuansa Ilahi, dan akibatnya ada yang kaget setengah mati, ada yang berdiri bulu kuduknya, ada yang meneteskan air mata, bahkan ada yang tersenyum cemerlang dan merasakan sensasi spritual atau dharsanya yang amat menakjubkan. Yang kurang penalarannya merasakan ketakutan yang amat sangat, sloka berikutnya menerangkan secara sekilas akan fenomena Ilahi ini.

 

3.”Oleh sebab itu, sebenarnya, Indra melampaui dewa-dewa lainnya, karena ia lebih dekat ke Roh Agung tersebut dan merupakan dewa pertama yang sadar bahwa Yaksha tersebut adalah Sang Brahman.” 

4.”Inilah penjelasan mengenai Sang Brahman (secara ilustratif); hanya Beliau semata yang bercahaya ibarat halilintar, Baliau menghilang dalam sekejab mata. Inilah perbandingan antara para dewa dan Sang Brahman.” 

Keterangan : Demikianlah salah satu Manifestasi Yang Maha Esa sebagai kekuatan Kosmis yang tak dimiliki para dewa.  Secara ilustratif……..dalam bahasa Sansekerta disebut adesa,berikut ini ada adesa lainnya lagi.

 

5.”Menjelaskannya dari sudut manifestasiNya sebagai Sang Atman yang hadir di dalam raga (maka Beliau Adalah) :………..secepat sang pikiran berpikir akan Sang Atman.” 

Keterangan : Bagi mereka-mereka yang telah tinggi tingkatan dhyananya, Sang Atman bisa dan mau hadir di dalam dhyana mereka, namun penampakan Ilahi yang dirasakan dengan sensasi spritual ini biasanya hanya berlangsung sekilas (sedetik dua) dan kemudian segera sirna meninggalkan sensasi dan getaran tubuh yang indah dan menakjubkan, yang sulit dijabarkan dan hanya mampu dirasakan oleh sang sadhaka tersebut. Jadi sebenarnya sang pikiran dengan lugu dapat menjangkauNya tetapi seperti sifat-sifatNya yang dominan, maka Beliau hadir dan sirna dalam sekejab. Inilah salah satu ciri khas sentuhan Yang Maha Esa di dalam dhyana seseorang yang tekun.

 

6.“Sang Brahman dikenal sebagai Tadvanam, yaitu yang dipuja sebagai Sang Atman di dalam setiap mahluk. Jadi sesungguhnya Beliau dipuja sebagai Tadvana. Semua yang memahamiNya secara demikian akan mencintaiNya.” 

Keterangan : Nama atau sebutan lain dari Sang Atman adalah Tadvanam, yaitu tujuan dari dhyana. Setiap sadhaka dianjurkan oleh gurunya untuk bermeditasi ke arah Beliau dan tepatnya terletak di tengah-tengah kedua alis mata. Namun para sadhaka harus sadar bahwa Beliau juga hadir di setiap mahluk, jadi tanpa bersikap ahimsa dan saling mengasihi secara sadar sia-sia sajalah memfokuskan meditasi ke arahNya kalau begitu selesai bermeditasi lalu bersikap egoistis dan diskriminatif kepada mahluk-mahluk lainnya.

 

7.Sang sishya memohon : “Guru, mohon sudi diajarkan kepada kami mengenai perihal Penunjang Ilmu Pengetahuan Tentang Sang Brahman (Upanisadamabrumeti)” 

Sabda guru, “Ilmu tersebut telah kami ajarkan kepadamu. Sebenarnya Upanisadamabrumeti ini telah dialihkan kepadamu pada waktu-waktu yang lalu.” 

Keterangan : Ilmu penunjang tersebut di atas, menurut para resi guru adalah teknik-teknik yoga atau pembersihan jiwa raga secara internal yang harus dilakukan oleh sang sishya, yang mencangkup berbagai upaya tapa brata dan upaya-upaya pemahaman berbagai mantra Upanishad. Di sloka berikutnya sekali  lagi sang guru mengulang ajaran ini kepada muridnya ini.

 

8.”Tapa brata yang penuh disiplin, kendali diri dan pekerjaan penuh bakti……..adalah dasar ilmu ini…….yaitu ilmu penunjang ilmu pengetahuan tentang Sang Brahman (berbagai Upanishad) : Berbagai Veda adalah perangkat-perangkatnya dan Kebenaran adalah Tujuan ilmu pengetahuan ini (Satyamayatanam).

 Keterangan : “Berbagai tapa brata adalah upaya-upaya disiplin bagi sang raga, sedangkan kendali diri (dama) adalah upaya-upaya yang diperuntukkan bagi sang jiwa (secara psikologis). Yang satu menunjang yang lainnya sehingga akan tercapai kesempurnaan. Upaya spritual tanpa kedua faktor ini akan menuntun seseorang ke arah ilmu hitam, termasuk di dalamnya tanpa disadari mecaru, sembahyang penuh pamrih, demi meraup keuntungan dan balas dendam. Seorang sadhaka dalam upaya sadhana dan dhyananya harus bersifat ahimsa, termasuk cara makan minumnya haruslah secara vegetarian dan sehari-hari bertindak-tanduk sederhana. Silahkan hidup secara materi duniawi, namun harus dalam batas-batas yang wajar, jangan lebih besar pasak dari pada tiang, namun ambruk fondasi kehidupan spritual dan duniawinya. Bhagavat-Gita adalah guru penuntun yang teramat canggih bagi seorang sadhaka dan kaum Hindu Dharma secara umum. Sebagai rangkuman dari berbagai Veda dan Upanishad, maka Bhagavat-Gita telah ditetapkan menjadi buku suci kaum Hindhu sampai akhir masa. Bodohlah seorang insan manusia kalau sampai mengabaikan ajaran-ajaran yang agung yang terkandung di kitab suci ini, dan menghabiskan waktunya untuk yang bersifat sia-sia belaka.

Adalah salah kalau senantiasa berpikir bahwa bekerja sehari-hari itu akan menjauhkan kita dari Yang Maha Esa, justru yang diajarkan oleh Bunda Sruti dan Bhagavat-Gita adalah melalui jalan karma dan bakti kita menuju kejalan gnana dan sadhana (dhyana), jadi saling menunjang, bukan saling menjegal,adalah intisari semua jalan tersebut. 

Kalau dasar aspal jalanan tidak kuat fondasinya, maka jalan tersebut akan segera hancur dan berbagai kendaraan tidak akan dapat mempergunakan jalan tersebut. Demikian juga Sanatana Dharma selalu mengulang-ulang agar manusia senantiasa setiap detik, setiap menit, jam, hari dan selama hidupnya berkarma yang baik, melalui berbagai indriyasnya. Inilah sebenarnya rahasia paling mendasar dari dhyana itu sendiri, dan tersirat dalam kisah di Upanishad ini. 

“Kebenaran adalah Tujuan hakiki ilmu pengetahuan ini (Satyamayatanam)……..seorang sadhaka adalah seorang Brahmana. Kemudian apakah ia ingin menjadi Brahmana yang baik atau tidak, itu semua tergantung akan hati nurani dan kodratnya. Untuk membentuk hati nurani yang bersih murni diperlukan berbagai tapa brata baik untuk jiwa maupun raga sehari-harinya serta hidup dari pemasukkan yang halal dan bersifat satvik. Seandainya semua faktor ini bisa dilaksanakan dengan baik tentu Sang Brahman akan berkenan untuk hadir di dalam diri kita.

 

9.”Demikianlah secara benar dikatakan bahwasanya barang siapa memahamiNya secara demikian, maka hancur leburlah dosa-dosa insan tersebut dapat menyatulah ia dengan Sang Brahman, Yang Maha Tak Terbatas, Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Penuh dengan Karunia……Yah, insan ini akan menyatu denganNya.”

 

 OM SANTIHI………..SANTIHI……….SANTIHI 

Dengan ini berakhirlah ajaran Kenopanishad, Brahma-Vidya yang agung ini. 

OM…..TAT…..SAT

 

Disarikan dalam bahasa Indonesia yang sederhana oleh  mohan m . s. 

 

 

Kembali ke halaman induk Shanti Griya