KATHOPANISHAD

Vinneka Tunggal Eka   

 

BAB – II

Bagian  -  4

(Panggilan akan visi didalam sanubari kita, yang menentukan arah

pemahaman dan pencapaian kesatuan denganNya)

                

1.            Sang Jati Diri Yang Maha Hadir didalam dirinya sendiri (Brahma) menciptakan indria-indria sensual dengan tendensi kearah luar; oleh karena hal tersebut manusia hanya mampu melihat (menganalisa) hal-hal yang bersifat eksternal saja dan bukan yang bersifat internal yaitu Sang Atman. Tetapi beberapa orang yang bijak dengan matanya yang memandang kearah dalam (karena telah menolak faktor-faktor yang eksternal), yang berhasrat untuk menyatu dengan Sang Keabadian akan menyaksikan Sang Atman didalam sanubarinya.

Keterangan : Yang Maha Kuasa telah menentukan manusia berpersepsi naluri eksternal yang luar biasa. Manusia dengan seluruh kemampuan pancaindra dan ditambah pikiran serta imajinasinya mampu melaksanakan berbagai inovasi dalam ilmu pengetahuan dan menghasilkan berbagai kemajuan-kemajuan teknologi yang menakjubkan saat ini, tetapi belum ada satupun hasil teknologi yang mampu mencapai Yang Maha Kuasa dalam bentuk Sang Jati Diri, apalagi dalam bentuk para Brahman.

Kemampuan yang satu ini oleh Yang Maha Kuasa disimpan khusus bagi manusia-manusia tertentu yang mata hatinya (mata ketiga = mata kebijaksanaan) telah terbuka lebar karena manusia-manusia ini menutup penglihatan eksternalnya dan lebih memfokuskan diri mereka ke Yang Maha Hadir didalam relung paling dalam dihati sanubari mereka.

 

2.            Seseorang yang kurang pengetahuannya (Avidya) ibarat seorang anak kecil yang mengejar kenikmatan-kenikmatan eksternal dan dengan demikian jatuh kedalam perangkap kematian. Tetapi orang-orang yang bijak tidak menghasratkan apapun juga didunia ini, setelah paham apa yang bersifat abadi diantara yang tidak abadi.

Keterangan : Dikedua sloka permulaan diatas kita semua seyogyanya sudah memahami dua buah halangan yang selalu akan menghadang perjalanan spiritual kita kearah Yang Maha Esa.

Yang pertama : Kecenderungan alami milik organ-organ sensual (indrias) kita yang selalu lari kesana kemari ibarat kuda-kuda liar yang sulit untuk dikendalikan.

Yang kedua : Berbagai hasrat akan objek-objek tujuan kenikmatan duniawi dimasa ini dan dimasa-masa atau diloka-loka yang akan datang.

Berdasarkan kedua hal ini, para Resi mengibaratkan manusia yang kehilangan pedoman sejati ibarat anak-anak kecil yang berlari kesana kemari tanpa pernah tumbuh dewasa secara spiritual. Orang-orang semacam ini gagal untuk sadar, bahwa semua objek-objek duniawi ini hanya alat semata demi tercapainya tujuan kebenaran yang hakiki. Karena kekurang-pengetahuannya, orang-orang ini malah mengejar-ngejar alat-alat tersebut sebagai tujuan kehidupan ini dan akhirnya terperangkap oleh karma mereka sendiri.

 

3.            Apalagi yang perlu diketahui oleh Sang Atman di dunia ini, yaitu Sang Atman yang berada didalam manusia yang dengannya mampu mengenali bentuk, mampu merasakan, mencium, mendengar dan menikmati kenikmatan-kenikmatan seksual. Inilah Itu (Atman yang selalu dikau dambakan).

Keterangan : Di Upanishad ini, disloka mantra diatas tersebut, Yama Dewa sekali lagi secara tegas menyatakan bahwa Yang Maha Kuasa itu tidak lain dan tidak bukan juga adalah Sang Atman (Jati Diri) yang hadir didalam diri kita sendiri (Ini adalah Itu). Beliau itu sebenarnya dekat sekali kehadirannya dengan kita semua, tetapi manusia yang ingin tahu siapa dan apa Beliau itu malahan cenderung mencarinya kemana-mana, bahkan ketempat-tempat yang jauh dan menyembah yang bukan-bukan, ada yang berganti-ganti agama dan melakukan hal-hal yang aneh dan sebagainya.

 

4.            Seseorang yang bijak, sewaktu ia paham dan sadar bahwa Itu yang hadir didalam dirinya yang menyebabkan ia mampu menikmati semua objek, baik dikala ia sedang bermimpi (tertidur) atau dikala ia sedang terjaga (sadar), adalah Yang Maha Hadir Atman, maka orang bijaksana ini tidak akan bersedih hati lagi.

Keterangan : Di era teknologi dan ekonomi ini setiap insan didunia oleh keadaan lingkungan dan gaya hidupnya diarahkan untuk mengejar kesuksesan materi dan kemashyuran belaka, baik itu di India maupun Eropa atau Afrika dan Indonesia. Hidup ala kebarat-baratan adalah status symbol bagi semua orang, tujuan kehidupan bukan menuju kehakikat Yang Maha Kuasa. Tragisnya di dunia Barat manusia modern cenderung kembali ke Timur, karena semua kemajuan adalah semu dan serba imitasi, didunia Barat sudah tidak berarti lagi bagi penduduknya yang sadar akan sesuatu yang hakiki dan sejati yang hilang dari tengah-tengah masyarakat mereka.

Para Resi dimasa-masa yang lampau dan para manusia eling dijaman modern ini, yang jumlahnya tidak banyak sadar bahwa Sang Atman sebenarnya hadir didalam diri kita sendiri. Beliau yang disebut Itu adalah penyebab dari kehidupan didalam raga kita dan yang juga menyebabkan kita merasakan, menikmati, menderita, berintuisi dan lain sebagainya. Oleh karena itu, mereka-mereka yang sudah sadar budi pekertinya lalu berkata untuk apa bersedih atau bergembira kalau semua fenomena kehidupan sehari-hari sebenarnya adalah interaksi pikiran kita dengan Sang Maya dan manifestasinya. Tanpa Sang Atman kita semua tidak eksis, tanpa Brahman Sang Maya tidak hadir, Sang Atman dan Sang Maya adalah bagian dari para Brahman itu sendiri yang diciptakan untuk berinteraksi dalam berbagai manifestasi mereka. Dari Dia untuk Dia oleh Dia juga. Mungkinkah seseorang mampu menjadi Mahatma Gandhi atau Einstein. Menjadi Gautama Budha atau Bunda Theresa seandainya Sang Atman tidak hadir dan tidak berfungsi sebagaimana mestinya. Sang Atman selalu hadir dalam diri kita, baik kita dalam keadaan tertidur, terjaga dan bahkan dalam keadaan bermimpi.  Pekerjaan siapakah semua ini kalau bukan Sang Atman yang bersifat cahaya Ketuhanan Yang Maha Esa yang hadir sebagai suatu bentuk energi, zat dan intelegensia yang maha tinggi sifatnya.

 

5.            Barangsiapa yang paham akan Sang Atman ini, yang menikmati sari madu, pengayom kehidupan dan penguasa yang hadir dimasa lalu, dan dimasa yang akan datang, bahwa Beliau itu sebenarnya hadir dekat sekali (didalam diri kita sendiri) . . . orang semacam ini tidak mengenal rasa takut lagi setelah pengetahuan ini datang kepadanya. Inilah yang sebenar-benarnya yang disebut Itu.

Keterangan : Kata “sari madu” (madhwadam) diatas berarti karma (pahala), baik yang dilaksanakan, juga yang dirasakan oleh Sang Jiwa. Diibaratkan diatas bahwa Sang Atman adalah penikmat pahala-pahala baik tersebut (padahal diajaran Vedanta dan seluruh ajaran di Sanathana Dharma, Beliau Sang Atman adalah kesadaran murni yang jauh dari nuansa kenikmatan duniawi ini). Sang Jati Diri yang bersifat teramat murni (Atma-Chaitanya) ini adalah sumber dari seluruh fenomena dan pelaksanaan ego maupun non-ego dari sari Sang Jiwa. Dan kalau seseorang sudah sadar akan zat tertinggi yang hadir didalam raganya dan yang juga adalah pelaksana dari semua tindakan-tindakannya, maka insan ini akan segera kehilangan hasrat-hasrat duniawinya, dan lenyaplah aspek-aspek kekhawatiran dan ketakutannya seketika itu juga; ia bahkan merasa raga yang disandangnya bukan miliknya tetapi adalah milik Sang Pencipta, dan Sang Pencipta ini dalam bentuk Sang Atman sedang bekerja dan menikmati dirinya sendiri melalui berbagai ciptaan-ciptaannya.

Manusia jenis langka ini akan terserap kembali dan menyatu kedalam kesadaran dan hakikat Yang Maha Kuasa. Inilah Sang Brahman yang dikau cari dan dambakan selama ini, wahai manusia pencari hakikat Yang Maha Esa.

 

6.            Barangsiapa menyaksikanNya bersemayam didalam Maha Panca Butha Beliau yang lahir akibat tapanya (Brahmaji) yang diciptakan sebelum berbagai elemen air diciptakan, yang memasuki relung sanubari dan bersemayam didalamnya (maka orang bijak ini secara pasti telah menyaksikan Sang Brahman). Inilah Brahman yang hakiki yang dikau cari dan dambakan.

Keterangan : Sang Brahman sebagai realitas Yang Maha Kuasa (Samashti) didalam aspek makrokosmisnya (buana agung) disebut Hiranyagarbha dan didalam aspek mikrokosmisnya (Vyasthi) disebut Sang Jiwa. Barangsiapa menyadari akan kedua aspek dari Sang Brahman ini, maka orang ini adalah seorang yang disebut bijaksana yang sadar akan realitas.

Adhyapurwam (sebelum berbagai elemen air) Hiranyagarbha atau pikiran absolut telah hadir sebelum Maha Panca Butha. Disloka mantra diatas berbagai elemen air adalah sebutan bagi Maha Panca Butha yang dipercayai berasal dari air. Akasha (ether, kekosongan, Sang Jiwa) adalah manifestasi yang timbul dari pikiran absolut yang lahir dari tapa (Brahmaji). Keterangan yang terdapat diberbagai Upanishad menyatakan bahwa Brahmaji, Yang Maha Kuasa sewaktu Beliau pada suatu saat dimasa lampau berhasrat menciptakan seluruh alam semesta dan isinya, maka dari dirinya sendiri Beliau menciptakan dan menghadirkan seluruh alam raya ini melalui proses tapashyaNya. Secara singkat sloka mantra diatas berusaha menerangkan bahwa sewaktu sang mikrokosmis (buana alit) sadar akan sang makrokosmis (buana agung) maka terciptalah kesatuan. Sewaktu Sang Jiwa menyadari akan hakikat Sang Brahman (Vyasthi bergabung dengan Samasthi) maka sirnalah pengaruh dari ilusi Sang Maya, dan Hiranyagarbha dan jiwapun menyatulah (manunggal).

Inilah yang disebut sebagai Itu, yang selama ini dikau cari dan dambakan, wahai manusia!

 

7.            Beliau yang dilahirkan bersama-sama dengan Prana dalam bentuk semua Dewata, yang sewaktu memasuki relung hati, bersemayam didalamnya, yang lahir bersama berbagai elemen. (Barangsiapa mengenaliNya, sebenar-benarnya mengenali Sang Brahman). Ini sebenar-benarnya adalah Itu.

Keterangan : Kata “Prana” diatas oleh para ahli disamakan dengan Hiranyagarbha (buana agung) dan bukan Prana (tubuh halus) yang berada didalam diri kita (buana alit).

 Semua Dewata berarti elemen-elemen Cahaya dibuana agung, tetapi juga hadir didalam organ-organ sensual kita diraga dan jiwa kita (buana alit). Hiranyagarbha juga disebut Aditi (yang melahap, memakan) . . . karena Beliau itu juga menikmati seluruh alam semesta, kehidupan makrokosmis dan sekaligus intelegensia kosmis. Semua bentuk kenikmatan yang dirasakan oleh para mahluk hidup “dicatat” dipikiran kosmis atau “didaftar” oleh pikiran total (absolut). Inilah Brahman Itu yang senantiasa dikau dambakan dan cari-cari selama hidupmu!

 

8.             Ibarat janin didalam rahim yang terpelihara dengan baik oleh sang ibu yang mengandungnya, ibarat api yang tersembunyi diantara gesekan dua batang kayu, maka (Yang Maha Esa) pun dipuja setiap hari oleh mereka-mereka yang telah “sadar” dan yang berkorban kepadaNya. Ini sebenar-benarnya adalah Itu.

Keterangan : Di India dari masa yang lalu sampai masa ini api pengorbanan dinyalakan dengan menggesekkan dua batang kayu (ada juga alat khusus yang terbuat dari dua batang kayu). Batang yang pertama dan berada diatas disebut Utararani dan yang kedua dan berada dibagian bawah disebut Adharani. Didekat ujung Adharani diletakkan sedikit kapas dan api yang keluar dari gesekan kedua batang kayu ini akan segara menyambar kapas ini, yang selanjutnya api yang didapatkan secara murni ini disimpan disebuah tempat yang disebut havan-kund (tempat api suci pengorbanan). Api suci yang sudah diberikan mantra-mantra ini dijaga agar tidak sampai padam sampai dengan akhir yagna (agni-hotra) dan ini disebut pengorbanan lengkap (Puranakuti).

Bentuk api kedua yang selalu dijaga dengan baik disetiap rumah tangga adalah api pawon (api dapur), dan pada malam hari sewaktu tidak terpakai lagi sisanya akan dijaga dengan baik sedemikian rupa sehingga dapat dipergunakan lagi keesokan harinya dan begitu seterusnya.

Semenjak masa silam api juga disembah sebagai salah satu wujud Yang Maha Kuasa (Agni Dewa). Mereka-mereka yang khusus bertugas menjaga agar api tidak padam disebut Ritvik.

Dengan sangat manis dan penuh makna sloka diatas menggambarkan perumpamaan orang-orang yang telah sadar yang memelihara api kehidupan (Sang Atman) didalam diri mereka dan memeliharanya secara lestari dan hati-hati ibarat dua golongan manusia yaitu para Brahmana dan para penjaga dapur, yang sama-sama menjaga agar api tidak padam. Juga dengan sangat manis hal tersebut diibaratkan bagaimana penjagaan api itu dilaksanakan, yaitu ibarat seorang ibu yang menjaga janinnya dengan penuh kehati-hatian, tanggung jawab sesuai naluri keibuannya. Cukup satu sloka ini saja bagi Nachiketas dan bagi kita semuanya untuk dijadikan pedoman, bagaimana kita seharusnya memelihara, menjaga dan melestarikan, agar Beliau senantiasa bersemayam secara damai dan penuh karunia didalam raga kita ini, yang diibaratkan sebagai berbagai Upanishad, sebagai kuil atau pura dimana Yang Maha Esa itu sendiri bersemayam didalam relung sanubari yang paling dalam.

Kalau kuil ini kita rusak dengan merokok, minum alkohol dan obat-obat terlarang, dengan mentato badan kita, dengan memakan hewan, darah dan sebagainya apalagi daging sapi yang disucikan, dan berbagai hal-hal lainnya yang merusak raga ini, maka sesuai dengan sabda di Bhagavat Gita, Sang Atman ini menjadi teman bagi yang menghormatinya dan menjadi musuh bagi yang mengabaikan dan mengotori kuilnya ini. Ingat, ibarat api sewaktu kecil dan terjaga dengan baik akan bermanfaat bagi penerangan dan rumah tangga; dan kalau besar serta tidak terkendali lagi, apalagi dekat dengan bahan bakar yang mudah menyala, maka api itu akan memusnahkan semuanya. Semoga kita sebagai insan didunia ini khususnya yang mengaku dirinya berdharma secara Hindu sebaiknya bersikap eling dan waspada setiap detik, setiap menit, setiap menghembuskan nafas kita dan sepanjang hidup kita sehari-hari.

Api ini sebenarnya adalah symbol dari OM (Omkara) itu sendiri, sewaktu symbol ini kita hilangkan, maka yang hadir adalah eksistensi Yang Maha Murni yaitu kebenaran Yang Maha Esa yang bersifat total atau absolut. Kebenaran hakiki inilah yang harus dilestarikan oleh kita semua ibarat para Brahmana dan para penjaga dapur yang sehari-harinya menjaga api miliknya. Dan hal ini sebenar-benarnya adalah Itu, yang selalu dikau cari dan dambakan sepanjang hidupmu, wahai manusia.

 

9.            Dan Itu yang daripadaNya sang mentari timbul, dan didalamNya sang mentari tenggelam, disana semua para Dewata bersandar dan tak seorangpun pergi lebih jauh dari tempat tersebut.  Ini sebenar-benarnya adalah Itu.

Keterangan : Para ahli spiritual di India sering berargumentasi satu dengan yang lain. Ada yang menjabarkan bahwa para Dewata sebagai unsur-unsur cahaya yang menjaga dan mempunyai fungsi-fungsi khusus diseluruh alam semesta beserta segala isinya, seperti : Dewa Brahma sebagai Sang Pencipta, Dewa Vishnu sebagai Sang Pemelihara, Dewa Shiva sebagai Sang Pendaur Ulang semua jiwa dan bentuk mahluk-mahluk hidup dan lain sebagainya.

Tetapi ada juga para ahli spiritual lainnya yang menyatakan bahwasanya para dewa adalah manifestasi dari Yang Maha Esa dalam bentuk sakara (berwujud), oleh karena itu kita sering menyaksikan berbagai lukisan dan figur dewa dewi yang unik dan berwarna warni serta penuh dengan berbagai simbol yang menyandang arti.

Disamping dua pendapat tersebut, ada pendapat lain yaitu para Dewata ini adalah manifestasi dari Maha Panca Butha yang hadir dengan berbagai manifestasi penunjang lainnya dan tersebar diseluruh alam semesta sesuai dengan tugas-tugasnya masing-masing, mereka ini kabarnya berjumlah 4 milyar dewa dewi (buana agung), dan sekaligus para dewa dewi ini hadir pula diraga manusia sebagai buana alit.

Dimasa lampau sewaktu peradaban Eropah masih bersifat barbarik, para Aryan di India telah mampu menjabarkan fenomena-fenomena astronomi dengan sangat baik, dan mereka ini telah sadar akan rotasi bumi, bulan, matahari dan planet-planet lainnya disekitar bumi, mereka bahkan sadar sekali akan Sang Pencipta dan berbagai fenomena jagat raya yang dicatat dengan sangat baik.

Tidak mengherankan kalau fenomena-fenomena ini disebut sebagai kebesaran Yang Maha Esa di sloka diatas. Diatas disebutkan bahwa apa yang hadir dibuana agung hadir juga dibuana alit yaitu raga kita yang merupakan duplikat dari semesta itu sendiri. Jadi seharusnya kita eling bahwasanya kita adalah ciptaan yang mulia dan sederajat dengan ciptaan-ciptaan lainnya dijajaran alam semesta dan Yang Maha Esa hadir diraga kita sama seperti Beliau diraga-raga lainnya dialam semesta ini. Sebenar-benarnya Ini adalah Itu yang kau dambakan dan cari-cari selama ini.  Bukankah adalah suatu karunia yang luar biasa dan kehormatan yang besar sekali dilahirkan sebagai manusia ini?

 

10.         Apa yang kasat mata didunia ini, maka hal yang sama hadir tetapi tidak kasat sebagai Sang Brahma dialam sana; apa pun yang terdapat dialam sana semuanya terdapat dialam sini. Barangsiapa didunia ini mampu menyaksikan perbedaan antara Sang Brahman dan dunia ini, maka ia akan melampaui kematian demi kematian.

Keterangan : Mantra atau sloka diatas ingin menjabarkan kepada setiap insan yang selalu berpikir bahwa alam sana berbeda dengan alam sini, ibarat air yang ada di samudra luas dan air yang ada di pantai Kuta adalah air yang sama, yang juga sama dengan air laut yang ada di Hawaii; gelombang, buih, riak-riak berbeda nama dan bentuknya tetapi tetap saja mereka ini semuanya adalah air.

Demikian juga intisari Yang Maha Kuasa yang hadir didunia ini dan diberbagai manifestasiNya. Jadi setiap perbedaan dialam semesta dan isinya adalah sebenarnya berasal dari Yang Maha Tunggal maka ia telah menyatu denganNya secara seketika. Baginya kematian dan kelahiran sudah tidak eksis lagi, ibarat air dilautan luas adakalanya ia bernama gelombang, adakalanya ia disebut buih, adakalanya juga ia dinamakan riak-riak, padahal sehari-harinya adalah air semata-mata dihamparan yang disebut samudra atau lautan yang juga air adanya.

 

11.         Melalui pikiran semata-mata maka Sang Brahman ini dapat dicapai, dengan demikian tidak ada perbedaan sama sekali di dunia ini. Barangsiapa mampu menyaksikan perbedaan ini, maka ia akan berhasil melampaui kematian demi kematian.

Keterangan : Didalam berbagai karya-karya para Resi agung dimasa yang lalu banyak terdapat kontradiksi antara satu pernyataan dengan yang lainnya. Ini sudah menjadi logika spiritual karena secara duniawi logika tersebut sulit untuk dijabarkan apalagi untuk kaum awam.

Saat ini para ilmuwan Barat, bahkan telah menemukan fuzzy-logic, logika yang tidak beraturan tetapi sebenarnya dalam pola yang teratur. Para Resi semenjak masa yang silam menjabarkan Yang Maha Esa secara paradoks (berlawanan).

Sejauh ini para pembaca yang budiman tentu sudah terbiasa membaca pernyataan-pernyataan bahwa sang pikiran perlu dikendalikan, karena pikiran adalah sumber utama kegalauan manusia dalam meniti jalan kearah kebenaran absolut. Tetapi disloka diatas, sebaliknya disebut bahwa hanya melalui pikiran semata-mata Sang Brahman dapat dicapai oleh seseorang manusia. Bagaimana logika ini dapat dijabarkan, karena kita sudah terbiasa memahami bahwa pikiran adalah sumber dari kekacauan manusia itu sendiri karena sifatnya yang teramat liar ibarat kuda-kuda yang sulit untuk dikendalikan.

Sebenarnya tidak ada kontradiksi sama sekali dengan pernyataan diatas. Yang dimaksud di Upanishad ini adalah sewaktu sang pikiran sudah terkendali dengan baik, maka ia akan mencapai hakikat kebenaran dan menyaksikan hadirnya Sang Jati Diri didalam dirinya, seperti juga didalam diri dan manifestasi-manifestasi yang lainnya. Semua upaya ini tentunya tidak mudah, diperlukan sedemikian banyak kelahiran dan kematian, diperlukan juga sedemikan banyak bakti, pemujaan, meditasi dan samadi sampai suatu saat Yang Maha Esa berkenan hadir didalam diri kita. Pada saat itulah seseorang akan paham bahwa tidak ada perbedaan baik disini maupun disana. Yang hadir hanya Ia semata-mata.

  

12.         Sang Purusha, yang berukuran ibu jari bersemayam ditengah-tengah raga kita, sebagai Yang Maha Kuasa, baik dimasa-masa yang lampau maupun dimasa-masa yang akan datang; bermula dari ini (selanjutnya) setelah paham akan Beliau ini janganlah takut atau khawatir lagi. Ini sebenarnya adalah Itu.

Keterangan : Sruthi menyatakan bahwa kehidupan manusia ini dapat mekar adalah dengan memelihara jalan pikiran milik sang pikiran itu sendiri dengan berbagai upaya kendali diri. Manusia diciptakan dalam berbagai kategori guna dan bahwa setiap individu telah menyandang sifat-sifat kodratinya sendiri yang alami sekali sesuai dengan misi dan pembawaannya. Bagi seorang yogi sebenarnya ia sadar akan pengendalian pikirannya sesuai dengan jalan yang diambilnya. Seandainya ia mengambil jalan bakti, maka ia memerlukan nama dan bentuk Yang Maha Esa sebagai symbol utama meditasi dan konsentrasinya.

Seandainya ia adalah seorang hathayogin, maka ia memiliki Kundalini Shakti yang harus dikendalikan dan diarahkan kepadaNya secara baik dan bertanggung jawab.

Seandainya ia adalah seorang karma-yogin, maka ia diharuskan mengingat selalu melalui japa, ritual dan dedikasinya kepada Yang Maha Kuasa; dalam banyak hal pemujaan insan karma yogi ini, biasanya ke Yang Maha Esa dalam wujud Sri Narayana dan berbagai manifestasi Beliau dari waktu ke waktu. Diluar semuanya itu ada beberapa insan yang langka, yang memuja Sang Atman (Sang Jati Diri) didalam dirinya sendiri yang sebenarnya teramat sukar untuk diterangkan.

Upanishad yang satu ini sedang berusaha menjabarkan Yang Maha Esa melalui sloka-sloka dan mantra-mantra yang sarat akan makna. Tiba-tiba disloka mantra diatas, sesuatu yang sulit diterangkan ini (Sang Atman) digambarkan sebagai seorang Purusha yang berukuran sebesar ibu jari kita dan bersemayam ditengah-tengah hati sanubari kita. Bukankah hal ini sekali lagi berkontradiksi dengan ajaran spiritual Upanishad ini sendiri? Bagaimana mungkin yang diterangkan dapat digambarkan sebagai seorang Purusha sebesar ibu jari?

Tetapi menurut para resi-resi yang agung, bunda Sruthi yang sayang pada putra-putranya, yaitu kita semua insan dimayapada ini, selalu mencari jalan keluar bagi pemula yang sedang meniti jalan ke Yang Maha Kuasa. Bagi seorang pemula sebaiknya ia menvisualisasikan Sang Atman dalam bentuk dalam Sang Purusha ini dulu. Dari yang berbentuk, baru secara perlahan dan pasti masuk ke yang tidak berbentuk, yang tidak dapat dijabarkan bahkan oleh semua pancaindera kita yang utama.

 

13.         Purusha tersebut yang berukuran sebesar ibu jari dikatakan ibarat api yang tidak berasap, Beliau adalah wujud Yang Maha Esa yang hadir dimasa-masa yang lampau dan akan selalu hadir dari masa ke masa. Ini sebenarnya adalah Itu.

Keterangan : Purusha atau Sang Atman atau Sang Jati Diri yang hadir disetiap insan ini juga dikenal sebagai Sang Cahaya atau Jyoti yang selalu hadir dari semenjak masa yang teramat silam, pada saat ini dan masa-masa yang akan datang. Ia berada dalam setiap mahluk dan setiap manifestasi, baik itu yang berasal dari masa lalu maupun sekarang dan yang akan datang. Sambil berkonsentrasi kepada Yang Maha Esa (Atman), janganlah seorang sadhaka (pencari kebenaran) tertipu oleh gambaran sebesar ibu jari ini yang sebenarnya tidak ada dan hanya bersifat imajinasi belaka. Patung Dewa Shiva bukanlah Shiva Sri Parameshvara itu sendiri, begitu juga Sang Jyoti atau Cahaya Yang Maha Esa ini bukan Sang Atman itu sendiri, jadi jangan mengeluh kalau sudah puluhan tahun bermeditasi dan berkonsentrasi, mengapa Sang Atman Dharsana tidak menampakkan diri juga. Suatu upaya konsentrasi kearah Yang Maha Esa tanpa pamrih, tanpa target, dan tanpa hasrat serta berbagai nafsu dan keinginan, tanpa mengharapkan pahala akan mengantar kita keberbagai fenomena dan ilmu pengetahuan yang pada akhirnya akan menuntun kita ke hakikat Sang Atman, Yang Maha Kuasa yang hadir didalam relung sanubari kita yang teramat dalam. Para pemuja yang masih dalam tahap pemula boleh saja menvisualisasikan Atman dalam wujud ibu jari ini, ataupun gambaran (Istha) lainnya pada permulaan meditasi mereka, tetapi secara perlahan dan pasti masukilah hakikatNya daripada terpaku pada gambaran yang sebenarnya adalah imajinasi manusia itu sendiri.

 

14.         Ibarat air yang mengalir melalui lereng-lereng sebuah gunung terpencar menjatuhi batu-batuan yang berserakan disana sini, demikian juga ia yang menyaksikan berbagai tujuan kehidupan (objek-objek kehidupan), seakan-akan yang satu berbeda dengan yang lainnya, berlari-lari mengalir kearah objek-objek ini dan kemudian tercerai berai kesetiap arah setiap saat.

Keterangan : Pikiran manusia sebenarnya adalah suatu ciptaan Yang Maha Esa yang berdimensi kekuatan itu sendiri. Tetapi sehari-hari karena kekurang pengetahuan kita, maka manusia malahan menjadi budak dan hamba sahaya dari pemikirannya sendiri, daripada mempergunakannya sebagai alat atau perangkat pemberianNya agar kita mampu menggunakannya demi mencapai hakikatNya Yang Maha Esa dan abadi ini. Mantra atau sloka diatas menggambarkan jalan pikiran manusia ibarat air hujan yang turun disebuah puncak gunung, akhirnya ada yang tercerai berai menghantam bebatuan dan muncrat kesana kemari dan malahan tidak mengalir secara berkesinambungan ibarat aliran sebuah sungai. Lalu adakah jalan keluar bagi sang pikiran yang tercerai berai ini? Para ahli menyatakan karena pikiran manusia terdiri dari dua bagian yaitu yang positif dan negatif (Im dan Yang), maka sebaiknya yang positif ini penuh dengan kesadaran berupaya untuk mengendalikan sisi yang negatif, agar jalan pikiran menjadi berimbang. Ada ahli yang menyatakan bahwa sang pikiran itu sendiri bertendensi menjadi hamba dari jalan pikirannya sendiri, dan ada yang berasumsi bahwa setengah jalan pikiran selalu ke kanan dan setengah jalan lagi ke kiri, yang setengah mau kesana (liar) dan setengahnya lagi kesini (intelegensi / budhi). Sebaiknya hal ini diselaraskan, dikendalikan. Sebenarnya inti dan tujuan karya suci ini bukankah mengarah ke Itu juga?

 

15.         Ibarat air yang jernih mengalir masuk ke air yang jernih lainnya dan menjadi sama jernihnya, demikian juga Sang Atman dari seorang pemikir akan menyadari akan hakikat ini, wahai Gautama.

  

Dengan ini berakhirlah Vali ke empat dari Bab kedua ini.

  

Keterangan : Mantra ini adalah kesimpulan dari Bagian ke empat diatas dari Bab – 2 ini yang sekali lagi melihat aspek kesatuan dari kehadiran Yang Maha Esa didalam setiap manusia dan totalitas dari Yang Maha Esa yang tersebar dimana-mana diseluruh jajaran alam semesta ini.

Dikatakan oleh seorang guru resi diabad ini yang tidak kami sebutkan namanya bahwa : manusia minus (tanpa) ego adalah Tuhan, Tuhan ditambah (plus) ego adalah manusia. Dengan menghapus ego didalam diri kita akan tercipta perwujudan dan hakikat Yang Maha Esa disanubari kita. Sewaktu kita menanggalkan semua persepsi yang salah, dari kekurang pengetahuan kita, juga dari khayalan-khayalan duniawi yang menyesatkan dan menambatkan diri ke ilmu pengetahuan akan kebenaran dan akan Yang Maha Abadi, maka sang ego pun lalu menguap ke permukaan yang selama ini diselimuti oleh ego ini, yaitu Sang Jati Diri (Kebenaran Absolut), yang bercahaya penuh kesejahteraan dan kemuliaan yang hakiki.

Pada saat itu seseorang manusia lalu sadar akan sifat aslinya yaitu kesadaran hakiki, dan dengan kesadaran ini ia menyatu dengan Yang Maha Hadir dan Yang Maha Benar.

Ibarat air jernih kemudian sang manusia ini bersatu kembali dengan sumber air jernihnya sendiri, setelah kotor sementara waktu yaitu sewaktu ia berubah fungsi. Tetapi setelah melampaui proses penyulingan spiritual, ia menjadi jernih kembali dan kembali ke sumbernya yang jernih dari mana ia berasal dahulunya, dan semua hal ini adalah air jernih belaka, tidak ada hal yang lainnya. Dan kalau semua pengetahuan dalam berbagai analog ini sudah disampaikan kepada kita, bukankah kita sebagai insan sedharma seharusnya bersyukur kepada Yang Maha Kuasa untuk semua pengetahuan hakiki yang bersifat adiluhung dan suci ini. Dan kalau diantara kita masih ada yang menyalahkan berbagai ajaran dan tuntunan dalam berbagai Veda-Veda, Upanishad dan karya-karya suci lainnya, dan kalau ada yang masih berkasta tinggi dan rendah, dan berdiskriminasi atas nama ras, warna kulit, bangsa, kedudukan, keturunan ataupun kekayaan dan posisi kita, bukankah pada hakikatnya itu sebenarnya merupakan pelecehan akan hakikat dan martabat kita sebagai buana alit itu sendiri?

 Dan sekaligus hal tersebut juga merupakan pelecehan terhadap Sang Pencipta dan ini bertentangan dengan prinsip-prinsip Sanathana Dharma itu sendiri.

Tidak mengherankan kalau kehidupan keagamaan Hindu Dharma dinegara kita pada saat ini ditulis berada dalam posisi yang teramat lemah, baik dalam penghayatan maupun aplikasinya, karena kekurang pengetahuan akan hakikat sejati dari ajaran Dharma yang serba kabur dan tidak jelas dari mereka-mereka yang selama ini merasakan dirinya sebagai agen-agen Yang Maha Kuasa, mereka-mereka ini menyesatkan umat dengan berbagai ritual yang aduhai dan bersifat tamasik, yang gemerlapan dan lebih dicondongkan untuk konsumsi turis daripada untuk pengabdian yang sebenarnya kepada Sang Pencipta.

Hal ini terjadi di India dan juga di Indonesia, sehingga generasi penerus mulai bimbang dan ragu-ragu akan Hindu Dharma dan terombang ambinglah mereka karenanya. Syukurlah Sang Maha Dharma pada saat ini telah melahirkan generasi penerus yang sebagian besar masih berusia muda belia, terdidik dan berwawasan luas, ditambah batas-batas negara sudah tidak berarti lagi dikarenakan kemajuan teknologi yang luar biasa, maka kita semua tahu sendiri akan perbedaan dan persamaan persepsi agama Hindu yang berlaku dimanca negara dan di tanah air.

Para muda belia ini berupaya dengan berbagai jalan mendalami hakikat Dharma yang sesungguhnya. Untuk mereka inilah karya agung ini dipersembahkan dan bukan untuk mereka-mereka yang selama ini menyesatkan umat atas nama Dharma. Tanpa berbagai Upanishad, Hindu (Sanathana  Dharma)  tidak akan eksis dan tak dapat disebut sebagai dharma!

 

 

Bagian  -  5

(Sang jiwa didalam . . . . . .  yang bersifat imanen dan juga bersifat transcendental)

 

1.            Kota (pura) tempat bersemayam Sang Brahma Yang Tak Dilahirkan, yang ilmu pengetahuannya bersifat permanen (tetap) berpintu gerbang sebanyak sebelas buah. Barangsiapa memuja Beliau maka ia tidak akan bersedih hati dan akan terbebaskan dari semua ikatan-ikatan kebodohan dan berubah menjadi bebas. Ini sebenarnya adalah Itu.

Keterangan : Kata Pura atau Puram diatas dalam bahasa Sansekerta berarti sebuah kota dengan sebelas pintu gerbang yang disebut Puramekadasadvaram, yang tidak lain dan tidak bukan adalah raga kita sendiri. Ada tujuh pintu dibagian kepala / wajah kita, dan tiga buah pintu lagi dibagian tengah tubuh kita (wanita memiliki dua pintu di kemaluannya dan satu di anus, pria satu di penis dan satu di anus) dan yang ke sebelas adalah suatu celah yang teramat lembut dan sulit dideteksi yang disebut sebagai Brahma-randhra di cakra mahkota kita yang selalu dibicarakan diberbagai yoga-shahtra. Kalau raga ini diibaratkan sebagai kota yang berpintu gerbang sebelas, maka seharusnya pintu-pintu gerbang ini dijaga oleh para penjaga pintu gerbang, yang memeriksa setiap insan yang masuk dan keluar; secara logika duniawi maka kota inipun memiliki istana dan raja sebagai penguasanya, memiliki juga para pelayan dan abdi dalam yang melakukan kewajiban mereka sehari-hari secara sistematik dan teratur dengan baik didalam maupun diluar kota ini.

Berbagai lubang di bagian atas dan tengah kita (dua dihidung, dua ditelinga, dua dimata, satu dimulut, dua divagina, satu dianus) adalah pintu-pintu gerbang kita, dan para dewa dewi yang bersemayam di setiap organ-organ indera ini, adalah para pengayom dan penjaganya; sang pikiran adalah petugas pengendali dan tragisnya sering kehilangan kendali diri dan Sang Purusha adalah Penguasa seluruh aparat-aparat.

Seseorang yang memuja Purusha ini akan menyaksikan keagungan dan hakikat Sang Atman, penguasa raga ini dan akan dibebaskan dari berbagai kehidupan dan kematiannya berulang-ulang. Inilah yang disebut Itu dan yang dicari serta didambakan oleh Nachiketas dan akhirnya diterangkan secara terperinci, baik secara duniawi maupun secara hakiki oleh gurunya sang Dewa Kematian, sang Yama Raja.

Manfaatnya diperoleh kita semua, semoga kita berterima kasih kepada kedua unsur sejati yaitu guru dan murid diatas ini. Om Shanti Shanti Shanti.

 

2.            Sebagai Hamsa (sang surya) Beliau bersemayam diruang angkasa; sebagai Vayu (udara) Beliau bersemayam dilangit; sebagai Agni (api) Beliau bersemayam dibumi; sebagai seorang tamu Beliau hadir disebuah rumah; Beliau hadir dan bersemayam disetiap insan, dewa dewi, didalam setiap pengorbanan (yang mengandung kebenaran), dilangit. Beliau dilahirkan diberbagai wujud yagna (pengorbanan), Beliau dilahirkan diberbagai pegunungan; Beliau benar dan teramat mulia serta agung adanya.

Keterangan : Sebagai yang hadir disetiap organisme dan bentuk diseluruh jagat raya ini, Beliau dilahirkan sebagai Sang Atman didalam setiap mahluk yang berasal dari air (Abja) sebagai Gojah yang dilahirkan dalam bentuk tumbuh-tumbuhan dan berbagai flora serta tanaman dimuka bumi ini.

Sebagai Adrijah yang dilahirkan oleh / diberbagai pegunungan seperti sungai, air terjun dan lain sebagainya.

 

3.            Beliau (Sang Brahman) yang menaikkan Prana keatas dan menurunkan Apana kebawah. Yang Maha Mulia ini, yang bersemayam ditengah-tengah, dipuja oleh para dewa semuanya.

Keterangan : Seandainya Sang Atman tidak hadir didalam diri kita, maka sang raga tidak akan mampu bernapas. Adalah Sang Atman yang menyebabkan udara vital (napas) kita berfungsi dengan baik yaitu dengan menarik napas Prana dan menghembuskan kembali Apana, tanpa itu raga langsung berhenti berfungsi. Ada lima bentuk energi utama dan vital didalam tubuh kita yang berfungsi secara teratur dan sistematis; walaupun mempunyai tugas yang berlainan, mereka semuanya ini adalah eksistensi tunggal dan berprinsip sama.

Ke lima bentuk Pranas ini diterdiri dari :

1.      Prana, kekuatan kosmis yang bermanifestasi didalam tugas-tugas organ tubuh yang disebut paru-paru serta organ-organ lainnya yang berhubungan dengan sistim pernapasan kita.

2.      Apana, yang berfungsi diusus dan saluran urine.

3.      Samana, yang berfungsi disistim pencernaan.

4.      Udana, yang berfungsi didalam pita suara dan sistim-sistim tubuh lainnya yang memproduksi suara.

5.      Vyana, yang aktif bekerja dan berfungsi disirkulasi darah didalam tubuh.

Jadi harap diperhatikan, yang disebut Prana bukan hanya napas. Prana adalah energi vital, dan pernapasan adalah salah satu dari berbagai fungsi serta manifestasinya.

Para dewa yang bersemayam diberbagai organ tubuh (buana alit) yang jumlahnya sama dengan yang bersemayam disetiap penjuru jagat raya (buana agung), semuanya memuja kesatu arah dipusat tubuh ini, yaitu Sang Jati Diri (Sang Atman).

 

4.            Apakah yang tersisa sewaktu Sang Atman ini yang bersemayam didalam raga, meninggalkan raga tersebut? Ini sebenar-benarnya adalah Itu.

 

5.            Tidak dengan Prana, tidak juga dengan Apana, seseorang itu mampu hidup; tetapi ada sesuatu yang lain, yang menunjang Prana dan Apana, yang memungkinkan manusia mampu untuk bertahan hidup.

Keterangan : Sesuatu yang lain, yang menunjang Prana dan Apana adalah Sang Atman, Sang Jati Diri itu sendiri. Tanpa Beliau seluruh fungsi Prana dan Apana terhenti, dan selanjutnya seluruh indrias menjadi layu dan raga mulai membusuk secara total.

 

6.            Oleh karena itu, wahai Gautama, akan kuterangkan mengenai Sang Brahman yang misterius dan berasal dari masa yang teramat silam, dan juga apa yang terjadi kepada Sang Jiwa setelah kematian.

 

7.             Ada jiwa yang menitis ke raga manusia, dan ada yang lainnya ke pepohonan dan bebatuan, sesuai dengan pekerjaan dan pengetahuannya dimasa-masa yang lalu.

 

8.            Sang Purusha yang selalu terjaga (tidak pernah tidur), membentuk semua objek-objek keinginan; bahkan sewaktu kita berada dalam keadaan tertidur, objek-objek keinginan ini divisualisasikan kedalam mimpi . . . sebenar-benarnya Beliau itulah Sang Brahman yang disebut Yang Maha Abadi. Didalam Itu bersandarlah seluruh dunia ini dan tak seorangpun yang mampu melampaui Itu. Ini sebenarnya adalah Itu (yang dikau cari dan dambakan).

Keterangan : Kehidupan manusia didasarkan (dibagi) dalam tiga kategori yang disebut terjaga (tidak tidur), dalam keadaan mimpi dan dalam keadaan tertidur lelap.

Sebuah karya agung Mandukya-Upanishad menerangkan secara terperinci dan fantastis mengenai ketiga keadaan tersebut diatas.

 

9.            Ibarat seunggun api sesudah memasuki dunia, walaupun seunggun, berupa-rupa wujudnya sesuai benda yang terbakar olehnya; demikian juga dengan Sang Atman, yang mengambil wujud sesuai dengan berupa-rupa manifestasi yang dimasukinya, Beliau juga hadir diluar bentuk dan berbagai manifestasi ini.

Keterangan : Disalah satu sloka Bhagavat Gita tertulis bahwa seluruh alam semesta ini hanya sepercik dari Yang Maha Esa itu sendiri, dan bayangkan Sang Atman yang merupakan pancaran-pancaran Beliau yang memenuhi seisi jagat raya ini.

 

10.         Ibarat udara (Bayu) yang berbentuk satu, setelah memasuki dunia ini, walaupun sebenarnya masih beresensi satu, tetapi terbagi dalam berbagai jenis sesuai dengan bentuk yang diambilnya; demikian juga dengan Sang Atman didalam setiap mahluk hidup walaupun tunggal keberadaannya, tetapi mengambil berbagai bentuk sesuai dengan yang dipilihnya dan Beliau juga hadir diluar semua ciptaan-ciptaan ini.

Keterangan : Udara dapat juga disebut napas, oksigen, udara yang mengandung gas, angin, Bayu dan lain sebagainya. Pada hakikatnya semua itu berasal dari satu unsur juga.

 

11.         Ibarat sang surya, yang merupakan mata dunia ini, tidak terkontaminasi oleh berbagai cacat mata eksternal, demikian juga dengan Intisari direlung yang paling dalam (Sang Atman) yang hadir disetiap mahluk, tidak akan terkontaminasi oleh berbagai penderitaan eksternal di dunia ini.

Keterangan : Sarva-lokasya chaksuh (mata seisi dunia), sang surya adalah sumber dari daya penglihatan kita semua, demikian kesimpulan para resi Upanishad di jaman Vedik. Tanpa penerangan dari sang surya, mata kita ibarat mata cacat yang buta dan tidak dapat melihat (merefleksi kembali) sinar surya ini.

Sang surya bersinar sama ke kotoran manusia ataupun ke arah seseorang yang merasa dirinya suci, tanpa sedikitpun tercemar atau menjadi suci karenanya. Demikian juga Sang Atman tidak akan terkontaminasi oleh berbagai bentuk karma dan karma manusia berdasarkan sifat-sifat egosentris setiap individu yang berlainan perilaku dan karakternya.

Ada dua pendapat diantara para pemikir dan cendekiawan Hindu, yang mencoba menerangkan status relatif dari Kebenaran itu sendiri.

Yang satu berpendapat, Yang Maha Kuasa (Kebenaran) merubah diriNya sendiri, ibarat susu yang menjadi mentega atau yoghurt.

Kaum Vedantin tidak setuju dengan teori ini, karena dengan demikian Tuhan tidak eksis lagi, yang ada hanya seluruh alam semesta ini sebagai perwujudannya, jadi tidak bersifat abadi. Nonsens, kata mereka.

Para Vedantins berpendapat bahwa Yang Maha Kuasa menciptakan Sang Maya (ilusi duniawi), dari Sang Maya inilah seluruh ciptaan yang berbentuk seisi alam semesta dengan segala fenomena, bentuk dan kehidupan ini diproyeksikan. Teori ini disebut Vivartavada. Dengan demikian walau mencipta, Yang Maha Kuasa tetap bersifat jauh dan abadi, diluar seluruh ciptaan-ciptaan dan berbagai manifestasinya ini.

 

12.         (Itu) Penguasa Yang Maha Tunggal, yang merupakan jiwa didalam setiap mahluk, yang memanifestasikan diriNya yang tunggal keberbagai bentuk . . . . . para kaum bijak, yang menyadari akan hakikatNya sebagai Sang Jati Diri didalam diri mereka sendiri (Ishwar-dharsana), kepada mereka datang kebahagiaan yang abadi dan tidak kepada yang lain-lainnya.

 

13.         Beliau, Yang Maha Abadi diantara yang tidak abadi, yang maha intelligent (cetana-cetanam) didalam berbagai intelegensia, yang walaupun tunggal, memenuhi berbagai hasrat manusia . . . . mereka-mereka, kaum bijak yang telah mencapai hakikatnya, yang menyadariNya sebagai Sang Jati Diri, yang bersemayam didalam diri mereka sendiri; kepada orang-orang bijak inilah datang Shanti (kedamaian) yang abadi dan tidak kepada yang lain-lainnya.

Keterangan : Cetana-cetanam (Yang Maha Intelligent) didalam intelegensia. Di Barat  para ilmuwan dianggap sebagai manusia yang jenius, apalagi yang memenangkan hadiah Nobel. Di India semua jenius ini tidak akan berarti kalau Sang Atman Yang Maha Inteligent tidak berkenan membagi daya intelegensiaNya demi tujuan duniawi dan manusia banyak. Einstein yang bijak pernah berkata : “Wahai Tuhan, aku ini ibarat sebutir pasir dipantai yang maha luas ini.”

 

14.         Para resi mengamati (menyaksikan) bahwa karunia tertinggi (Ini) diibaratkan sebagai, “Ini adalah Itu”, bagaimana mungkin aku mengenalNya (Itu)? Apakah Ia bercahaya dari diriNya, ataukah Ia bercahaya dikarenakan cahaya yang lainnya?

Keterangan : Tad etad iti (Ini adalah Itu). Sewaktu seorang yang suci sanggup menarik unsur-unsur persepsi, rasa dan tekad dari jalan pikirannya, sewaktu ia sudah tidak terikat lagi akan perilakunya sehari-hari yang datang dan pergi sesuai dengan kodratnya, ia akan “disentuh” oleh Sang Atman yang senantiasa hadir didalam dirinya. Kehadiran Sang Atman yang gilang gemilang ini dipertanyakan oleh Yama Dewa itu sendiri, yang kemudian disloka berikutnya akan dijawabnya secara cemerlang olehnya sendiri juga.

 

15.         Sang surya tidak bersinar disana, tidak juga sang chandra, tidak juga bintang-bintang, tidak juga halilintar apalagi agni. Sewaktu Beliau bersinar, semuanya bersinar mengikutiNya; berkat cahayaNya, semua ini bercahaya.

 

Dengan ini berakhirlah Bagian ke lima dari Bab – 2

  

Keterangan : Di India, sloka diatas ini dianggap sebagai mantra yang suci, yang selalu dikumandangkan diberbagai Arathi (Puja dengan memakai pelita dan berbagai ragam bunga diatas penampan yang diayunkan secara berputar dengan perlahan-lahan). Karena begitu seringnya mantra ini dilagukan, hampir semua pemuja dan pendeta menganggapnya sebagai suatu tradisi yang harus dilakukan, tanpa banyak yang paham bahwasanya mantra ini adalah kesimpulan yang amat menakjubkan dari Katopanishad, dan sebenarnya merupakan inspirasi dan tujuan bagi yang mengambil jalan dhyana (semadi).

Kami tulis mantra aslinya seperti berikut, agar dapat diucapkan oleh anda yang ingin bermeditasi ke Sang Jati Diri dalam bentuk Sinar Yang Maha Esa (Jyoti) yang terletak ditengah-tengah kedua alis mata.

Baca Bab – 6, Bhagavat Gita, jalan meditasi, sebagai petunjuk melakukan dhyana ini. Dibawah ini kami sertakan mantra diatas :

 

Na tatra suryo bhati, na chandra-tarakam,

nima vidyuto bhanti, kuto “yam agnih”

 

Tameva bhantamanubathi sarvam,

tasya bhasa, sarvamidam vibhati.

 

BAGIAN  -  6

(Jalan Adhiatma-Yoga diterangkan lebih lanjut secara terperinci)

 

1.            Ini adalah pohon Aswatha yang berasal dari masa yang silam, yang akar-akarnya tumbuh keatas dan yang cabang-cabangnya tersebar kebawah. Itu sebenar-benarnya sejati, Itu adalah Brahman, yang juga disebut Yang Maha Abadi. Didalam Itu terletak dengan baik seluruh isi dunia ini, dan tak seorangpun yang melampauiNya. Secara hakiki (sebenar-benarnya) Ini adalah Itu.

Keterangan : Pohon Aswatha (pohon kehidupan) adalah perumpamaan dari kehidupan ini (Samsara) yang seperti di Bhagavat Gita, XV.3, dijabarkan sebagai bermula (berakar) diatas, di Vishnu Paramam Padam (tempat bersemayam Sang Vishnu, Sang Atman Yang Maha Hadir). Kata Aswatha sendiri dalam bahasa Sansekerta dapat berarti “sesuatu yang tidak akan berubah menjadi esok hari”. Jadi kehidupan ini tidak bersifat abadi. Walaupun demikian Upanishad ini berusaha memberitahukan kepada kita bahwa kehidupan didunia ini sebagai Aswatha walaupun tidak abadi sifatnya, berakar pada Kebenaran Absolut . Menurut Bhagavat Gita dengan berpedoman pada kesadaran dan pengetahuan (viveka), pohon kehidupan ini dapat ditebas habis.

 

2.            Seluruh alam semesta ini secara lambat laun bermula dari Sang Brahman, bergerak (bergetar) didalam Prana (dalam bentuk Brahman yang tinggi sifatNya). Sang Brahman ini adalah sebuah teror yang dahsyat, ibarat halilintar yang terangkat. Barangsiapa paham akan hal ini akan menjadi abadi.

Keterangan : Kata Prana diatas ditafsirkan sebagai Sang Brahman itu sendiri, darimana semua ini berasal dan akan berakhir, dan seisi dunia ini bergerak didalam Prana itu sendiri yang maha hadir setiap saat. Para ilmuwan Barat mengetahui bahwa unit-unit energi dialam semesta bergerak dengan kecepatan yang amat dahsyat. Sewaktu sebuah atom terbelah, maka didapatkan elektron dan proton yang bergerak dengan velositas yang tinggi mengitari neutron yang tidak bergerak dan lain sebagainya.

Dengan kata lain, para ilmuwan Hindu dengan mudah menerima fakta bahwa penciptaan adalah gerakan, vibrasi dari unsur-unsur energi, dan memungkinkan bagi vibrasi tadi untuk berfungsi seandainya ada medium stabil yang tidak bergerak terikat dipusatnya, dan para resi menyebut unsur ini sebagai Realitas Absolut.

Kata Mahadbhayam (terror yang dahsyat) menggambarkan kedahsyatan Yang Maha Esa (Brahman) yang tentunya bagi kaum awam sangatlah menakutkan ibarat terror menyaksikan gerak kerja dari alam semesta, dari permulaannya sampai dewasa ini. Semua fenomena alam semesta ini begitu dahsyat dan menakjubkan sehingga diibaratkan seakan-akan sebuah terror yang maha menggentarkan. Didalam Bhagavat Gita digambarkan bagaimana tergetarnya sang Arjuna sewaktu menyaksikan fenomena alam ini sehingga ia mohon kepada Sang Krishna agar diperlihatkan wujudNya yang lembut yaitu Vishnu, karena Arjuna sudah tidak sanggup menyaksikan kerja alam yang begitu menakjubkan ini sehingga seluruh sendi-sendi tubuhnya serasa hancur. Dengan demikian mantra sloka diatas berupaya untuk menerangkan bahwa Yang Maha Kuasa itu sendiri sebagai sesuatu kekuatan yang aktif dan dinamik, dan pada saat yang bersamaan merupakan Intelegensia Murni yang bersifat non-aksi. Barangsiapa paham akan hakikat Sang Brahman Yang Maha Tinggi ini, sumber dari segala kehidupan diseluruh jagat raya, sebagai elemen vital yang juga hadir didalam diri kita masing-masing, maka insan yang paham akan hakikat ini segera akan dituntun kearah Keabadian.

 

3.            Karena gentar akan Yang Maha Kuasa, Sang Agni pun menyalakan dirinya, karena gentar akan Yang Maha Kuasa, sang surya pun bersinar, karena gentar akan Yang Maha Kuasa, sang Dewa Indra, Bayu dan Dewa Kematian, berfungsi sesuai tugas mereka masing-masing.

Keterangan : Kata gentar akan Yang Maha Kuasa juga didapatkan di Taittereya Upanishad. Dengan kata lain gentar diibaratkan sebagai kepatuhan seluruh unsur alam semesta ini akan keberadaan Yang Maha Kuasa dan semua unsur ini lalu berfungsi secara harmonis, sempurna dan sistematis sehingga alam semesta lestari dan hadir bekerja sesuai dengan hukum-hukum alam itu sendiri yang sulit untuk dijabarkan.

 

4.            Seandainya didalam kehidupan ini seseorang mampu menemukan hakikatNya (Brahman) sebelum ia meninggalkan raganya, maka insan ini akan terbebaskan dari ikatan-ikatan duniawi ini; seandainya seseorang tidak mampu mencapaiNya, maka ia harus lahir kembali didunia ini.

 

5.            Ibarat sebuah cermin, demikian juga Sang Brahman dapat terlihat dengan jelas dikehidupan ini oleh seseorang didalam Sang Jati Dirinya sendiri; seperti didalam mimpi begitu juga di pitraloka; seperti di air begitupun di lokanya para Ghandarvas; seperti ditempat yang terang dan ditempat yang teduh, begitu juga di dunianya Sang Brahman.

Keterangan : Dimana mantra sloka diatas, Dewa Kematian sedang berusaha untuk menerangkan kepada Nachiketas bahwa realisasi akan Sang Jati Diri didalam kehidupan sebagai manusia ini lebih suci sifatnya dari pada realisasi akan hakikatNya distrata-strata lainnya.

Itulah sebabnya, sering disebutkan bahwa manusia adalah mahluk yang mulia. Tragisnya, kita lebih merendahkan diri kita sendiri dari pada sadar akan hakikat yang mulia ini.

Sebagai manusia kita ini hidup didalam strata kesadaran, dan mengalami berbagai pengalaman kehidupan melalui raga, indera-indera sensual kita, pikiran dan daya intelek kita. Juga pengalaman kehidupan kita terbagi dalam keadaan terjaga, tidur, mimpi dan sebagainya.

Selain strata duniawi ini, terdapat strata (loka-loka) kehidupan lainnya seperti Pitraloka (lokanya para leluhur yang telah meninggalkan dunia ini) dimana dikatakan tidak ada raga, tetapi yang hadir hanyalah pikiran budhi saja. Jadi pengalaman hidup sehari-hari di Pitraloka pasti berlainan coraknya dengan kehidupan manusia didunia ini. Begitupun pengalaman kehidupan di Ghandarvaloka (lokanya para bidadari yang sehari-harinya bermain musik, menari dan melaksanakan berbagai kegiatan seni budaya sorgawi).

Sedangkan di Hiranyagarbha (Brahmaloka), totalitas kehidupan masih merupakan teka teki dan misteri. Apakah disana seseorang menjadi satu dengan Yang Maha Esa? Apakah dan seperti apakah sebenarnya moksha itu, dan bagaimana kelanjutannya?

Ada teori yang mengatakan bahwa mereka-mereka yang telah mencapai Brahmaloka akan menikmati kehidupannya diloka tersebut sampai suatu saat Sang Pencipta menghendaki orang suci tersebut menjadi abadi disaat pralaya (kiamat) tiba. Tahap ini disebut Karma-Mukti didalam istilah Vedanta.

Kesimpulan mantra sloka diatas :

Melalui ilmu pengetahuan tentang Sang Jati Diri, seseorang akan diangkat ke strata yang paling tinggi. Tahap ini dapat dicapai seseorang walaupun ia hadir diloka manapun juga, tetapi tidak sesempurna seperti dibumi ini. Dalam wujud manusia yang bahkan konon didambakan sekali oleh para dewa ini terdapat pelajaran akan hakikat Yang Maha Kuasa dengan baik.

Bumi atau mayapada ini adalah jalan yang diberikan kepada kita semua untuk merealisasikannya.

 

6.            Seorang yang bijak . . . . . . setelah memahami bahwa indera-indera sensual sebenarnya diciptakan secara terpisah jauh dari Sang Atman, begitupun semua pengalaman-pengalaman indera-indera sensual ini . . . . .  orang yang bijaksana ini tidak bersedih hati lagi.

Keterangan : Mungkin kita pada saat ini mulai bertanya-tanya lagi untuk apa kita harus sadar akan Sang Jati Diri. Mungkin sloka diatas sedang berupaya untuk menjawabnya secara Sruthi Bhagawathi (skripsi-skripsi kuno). Menurut para resi, organ (indera) sensual diciptakan sesuai dengan hukum sebab dan akibat (karma) seseorang itu sendiri, bahkan berbagai cara kerja, cacat ataupun kelebihan indera-indera sensual ini berbeda satu dengan yang lainnya, karena telah diatur oleh kodratnya masing-masing. Sedangkan Sang Atman yang hadir didalam raga kita, walaupun adalah sumber atau motor dari berbagai aspek kegiatan indera-indera sensual ini, tidak tercemar atau tersentuh oleh kegiatan ini. Barangsiapa mampu menyeberangi ilusi duniawi ini (dalam bentuk indera-indera dan kegiatannya masing-masing) akan menemui Sang Jati Diri yang bersemayam dekat sekali didalam relung sanubari kita yang paling dalam tetapi sekaligus.

 

7.            Diatas indera-indera hadir sang pikiran, diatas sang pikiran hadir sang budhi, diatas sang budhi hadir Sang Atman Yang Agung. Yang lebih Maha dibanding Sang Atman adalah Yang Tak Terterangkan.

 

8.            Dan sebenar-benarnya diatas Yang Tak Termanifestasikan hadir Sang Purusha yang serba hadir dimanapun juga, yang tak ada cela ataupun cacatnya, dimana setelah memahamiNya, seseorang yang paham akan hal ini akan dibebaskan dari kehidupan ini dan akan mencapai status keabadian.

Keterangan : Sang Purusha, unsur yang paling lembut didalam raga kita disebut sebagai Vyapaka (yang serba hadir dimanapun juga), juga Beliau disebut sebagai Alinga (tanpa karakter, pemikiran, cacat cela dan lain sebagainya). Dengan kata lain, seorang pencari hakikat kebenaran didunia ini harus mengalahkan dulu berbagai hasrat, instink , pikiran dan lain-lain faktor duniawi untuk mencapai Sang Purusha (Sang Jati Diri). Dan jalan ini tidaklah mudah sama sekali.

Ujung jalan (tujuan) ini disebut tahap tanpa kematian dari eksistensi nan abadi (Brahmavith Brahmaiva Bhavathi).

 

9.            BentukNya tak boleh disaksikan. Tak seorangpun pernah menyaksikanNya dengan mata biasa. Dengan mengendalikan sang pikiran, dengan budhi dan dengan meditasi yang berkesinambungan, Ia akan memperlihatkan diriNya. Mereka-mereka yang mengenali (Brahman) Ini, berubah menjadi seseorang yang abadi.

 

10.        Sewaktu kelima organ ilmu pengetahuan beristirahat secara bersama-sama dengan sang pikiran, dan sewaktu sang budhi berhenti berfungsi (menjadi tenang), hal tersebut oleh mereka disebut sebagai tahap yang tertinggi.

Keterangan : Sewaktu seseorang sehari-harinya berhasil mengendalikan kelima organ sensualnya dengan baik, maka sang pikiran berubah tenang dan tidak penuh dengan riak-riak kegalauan, dan dengan hadirnya ketenangan ini terjadi domino effek terhadap sang budhi yang pada gilirannya sekarang tidak perlu banyak menetralisir unsur-unsur sang pikiran dan indera-indera sensualnya; akibatnya sang jiwa jadi sangat hening dan lepas dari unsur-unsur duniawi yang selalu menggodanya dengan berbagai kegalauan, hasrat dan berbagai kontradiksi kehidupan dan lain sebagainya.

Kekosongan atau keheningan ini adalah jalan yang menyatukan sang jiwa dan Sang Jati Diri. Tahap ini sulit dicapai, bahkan oleh para guru. Oleh para resi yang suci sebagaimana diterangkan dalam berbagai Sruthi, maka tahap ini disebut sebagai Tahap Keselamatan Abadi. Tahap tertinggi dalam samadi ini sulit untuk dijabarkan, walaupun diterangkan secara terperinci tetap saja sulit dimengerti oleh yang bukan merasakannya secara pribadi dan langsung.

 

11.         Pengendalian yang ketat atas organ-organ sensual disebut sebagai yoga. Sesudah itu seorang Yogin bebas dari segala tingkah laku sang pikiran, karena yoganya telah tercapai dan kemudian yoga ini menghilang.

Keterangan : Seperti juga di Bhagavat Gita, disloka mantra diatas disebutkan bahwa pengendalian yang ketat (bukan penghentian fungsi-fungsi indrias, tetapi ingat pengendalian yang ketat) akan menghasilkan suatu tahap yang disebut Yoga yang bersifat abadi. Yoga ini menghantarkan kita ketahap Sang Jati Diri.

Pada masa kejayaan spiritual Sanathana Dharma banyak manusia yang telah berhasil mencapai tahap ini. Ada juga para ahli yang menyebutkan tahap ini sebagai “Param Dristhwa Nivarthathoe”, ditahap ini berkat realisasi total akan Sang Jati Diri, seseorang secara pasti dapat mengendalikan organ-organ sensualnya dengan penuh kendali. Tapa sang yogi dalam bentuk pengendalian indrias ini dianggap yang tertinggi sifatnya (Eikagryam Paramam Tapah). Dan pada tahap ini seluruh keberhasilan yoga ini dapat hilang dalam sekejap kalau sang yogin yang berhasil mencapainya tiba-tiba bersikap kurang hati-hati akan karunia Yang Maha Esa ini, dan sang yogin dapat tersesat ke jalan Siddhi dan menyalah gunakan kekuatan-kekuatan spiritual yang didapatnya. Ingat, semakin tinggi gunung yang didaki, semakin dingin dan buruk cuacanya, apalagi angin topan siap menghantam kapan saja.

Jalan ilmu pengetahuan (yoga) ini begitu terjal dan suramnya sehingga disebut tajam ibarat pisau cukur, begitu tersandung, sang yogin akan langsung terjerumus kekehancuran spiritualnya. Sebaiknya seseorang selalu berpasrah diri secara total kepada Sang Pencipta dan mohon untuk selalu dituntun olehNya.

Dengan kehendakNya, seseorang akan terjerumus atau terselamatkan; pujalah Ia siang dan malam dari mana kita semua ini berasal dan sedang meniti misteriNya yang menakjubkan. OM Tat Sat.

 

12.         Sang Jati Diri tidak dapat dicapai dengan kata-kata, dengan pikiran ataupun dengan mata. Bagaimana mungkin Ia dapat dicapai dengan jalan lain, selain jalan yang telah dinyatakan oleh para resi yang mensabdakan “keberadaan Tuhan Yang Maha Esa”.

Keterangan : Sang Atman adalah sebenar-benarnya pengendali, motor dan penguasa seluruh jiwa raga manusia dan tidak ada unsur lainnya. Dan tidak ada jalan lainnya, selain jalan spiritual yang ada di Vedanta (Kathopanishad ini termasuk didalam jajaran besar Vedanta) yang mampu mengantarkan seseorang kepenemuannya dengan Sang Jati Dirinya sendiri.

Sabda-sabda suci yang sama ini juga dikumandangkan diberbagai Upanishad lainnya dan juga di Veda-Veda, di Bhagavat Gita dan karya-karya sastra suci lainnya yang kita kenal dengan sebutan Sabda Pramanam yang merupakan hasil berbagai ajaran para resi dari masa ke masa yang berasaskan Sanathana Dharma. Sejauh ini belum ada ajaran lain selain dari Sanathana Dharma.

Sang Budha, Guru Nanak, bahkan Sai Baba dan berbagai guru resi dewasa ini masih berpedoman pada sabda-sabda dan petunjuk-petunjuk yang ada dijajaran Vedanta, tidak seorangpun mengingkari hakikat ini. Setiap pencari jalan ini akan menapak jalan ini sesuai dengan karuniaNya dan menemukan Sang Tujuan sesuai dengan kehendakNya juga, para guru suci yang sadar akan hakikat dan tujuan Yang Maha Esa, secara ihklas membagi-bagikan pengetahuan ini kepada semua insan didunia agar terbuka jalan kepada Tuhan Yang Maha Esa dalam berbagai bentuk petunjuk seperti Veda, Upanishad, Puranas dan lain sebagainya.

 

13.         Beliau seharusnya dikenal sebagai Yang Maha Hadir (Asti) dan juga sebagai Apa hakikat Beliau itu sebenarnya. Diantara keduanya, bagi seseorang yang mengenalNya (memahamiNya) sebagai Yang Maha Hadir, maka sifat Beliau yang sejati akan bermanifestasi kepada orang tersebut.

Keterangan : Sloka mantra diatas hadir ibarat sebuah teka teki bagi kita semuanya. Ada ahli yang berpendapat bahwa Atma-chaitanya (penyatuan dengan Sang Atman) dapat direalisasikan dalam bentuk manifestasi seperti bentuk-bentuk Avatara, atau tanpa bentuk dan atribut, sebagai Kesadaran Sejati, sebagai Kebenaran yang Absolut dan lain sebagainya.

Didalam beberapa sloka di Kathopanishad ini, Dewa Yama mengajarkan kepada Nachiketas bahwa seseorang yang bermeditasi ke sumber OM dengan menyimbolkanNya sebagai Sang Brahman, akan mencapai Hiranyagarbha; dan bagi yang ingin menyimbolkan OM sebagai Kesadaran Sejati akan merealisasikannya dalam bentuk realitas yang maha Hadir.

Sri Kreshna di Bhagavat Gita bahkan sangat liberal dengan menyatakan bahwa barangsiapapun yang datang kearahNya melalui jalan apapun juga akan Beliau sambut secara pribadi. Barangsiapa melangkah kearahNya satu langkah saja, maka Beliau akan melangkah kearah pemuja tersebut seribu langkah.

Oleh karena itu sebaiknya seorang bhakta (pemuja yang baik) mengikuti bisikan nuraninya saja yang tidak akan pernah kalah. Sruthi dijadikan petunjuk, tujuan diserahkan kepada Sang Pencipta, karena Beliau ini yang punya gawe diseluruh alam semesta ini.

Apakah dipuja sebagai Yang Berbentuk (Sakara Brahman)  atau Yang Tidak Berbentuk (Nirguna Brahman) sebenarnya hanyalah merupakan kembang-kembang pemujaan itu sendiri. Pada akhirnya bhakta yang penuh dengan ketulusan akan mencapaiNya karena Beliau memiliki langkah yang lebih besar, lebih banyak dan lebih cepat dari manusia. Penyatuan dengan Yang Maha Esa bukanlah laba dari suatu pemujaan tetapi lebih merupakan sebuah Karunia yang tidak terhingga nilainya hasil dari keheningan yang hadir di diri kita .

 

14.         Sewaktu semua hasrat yang ada didalam hati kita hancur berantakan, pada saat itu manusia yang seharusnya dapat mati, malahan berubah menjadi abadi, dan iapun mencapai Sang Brahman bahkan semasa ia disini (dibumi ini, bahkan semasa ia masih hidup).

Keterangan : Banyak orang percaya bahwa moksha atau mukti hanya dapat diperoleh setelah seseorang suci meninggal dunia. Mukti type ini disebut Videha Mukti (kebebasan setelah meninggalkan raga). Banyak juga yang beranggapan lain, misalnya seperti di Bhagavat Gita, bahwa kebebasan dapat juga dicapai semasa seseorang masih hidup didunia ini, dan type ini disebut Jivam (Jivan) Mukti.

 

15.         Sewaktu simpul-simpul dihati diluluhlantakkan semasa seseorang masih hidup dibumi ini, maka seseorang manusia yang dapat mati ini akan berubah menjadi abadi, demikianlah sabda-sabda yang ada didalam semua Vedanta.

Keterangan : Simpul-simpul dihati (Hridayagrandhi) . . . . ini adalah filosofi Vedantin (penganut Vedanta) yang menyatakan bahwa Avidya (kekurang pengetahuan) adalah sifat manusia yang menjerumuskan manusia itu kealam kegelapan spiritualnya sendiri. Didalam kegelapan (ilusi duniawi) ini manusia tersesat dan tertambat kepada yang lebih kuat lagi, karena kebodohannya, dan akhirnya lupa akan eksistensi sejati yang seharusnya menjadi tujuannya semula ia dilahirkan sebagai manusia. Ikatan-ikatan atau berbagai simpul yang terdiri dari Avidya, Kama dan Karma disebut sebagai Hridayagrandhi. Berpedangkan ilmu pengetahuan, pangkaslah unsur-unsur kebodohan spiritual yang mengikat ini, demikian kira-kira sabda Sri Kreshna di Bhagavat Gita.

Dengan demikian sebenarnya seseorang dapat berubah menjadi “Tuhan kecil” itu sendiri semasa ia masih hidup didunia ini dengan bekal ilmu pengetahuan yang sejati. Seseorang kemudian akan sadar dan memahami bahwa Yang Maha Esa bukan saja hadir didalam dirinya sendiri tetapi juga sebagai seisi jagad raya ini dan Itu adalah sifatNya yang paling hakiki.

 

16.         Terdapat seratus dan satu urat-urat syaraf jantung; diantara semua itu salah satu urat syaraf ini memasuki cakra mahkota di kepala. Menuju keatas melalui syaraf ini, tetapi banyak yang meniti jalan ini secara berbeda.

Keterangan : Dalam tahap ini kita akan sampai ke suatu teka teki lainnya yang sulit untuk diterangkan bagi mereka-mereka yang tidak paham akan jalan meditasi (dhyana) secara filosofi yoga.

Ada sebuah Upanishad khusus yang menjabarkan tentang cakra-cakra (pusat-pusat) energi ditubuh kita ini. Yama Raja hanya mengisyaratkan cakra utama yang terbuka karena upaya yoga seseorang. Terbukanya cakra mahkota ini merupakan suatu fenomena yang teramat menakjubkan bagi seseorang yang menjalankan upaya meditasi (syaraf ini disebut shushumna), yang terdapat disepanjang tulang punggung sampai bagian atas yang disebut Apex dalam dunia medis, yang kemudian masuk ke bagian cakra mahkota di kepala.

 

17.         Sang Purusha yang berukuran sebesar ibu jari, Sang Jati Diri, senantiasa bersemayam didalam hati setiap mahluk, seseorang harus menariknya keluar dari raganya dengan tegar, ibarat seseorang mencabut isi sumsum dari buluhnya, seseorang seharusnya mengenaliNya sebagai Yang Maha Sejati dan Abadi.

Keterangan : Sebuah analogi yang penuh dengan misteri yang terkesan mudah tetapi sulit dilaksanakan. Yama Dewa sudah akan mengakhiri wejangannya. Ia menyimpulkan kepada Nachiketas (dan tentunya kepada kita semua juga) agar Sang Atman yang merupakan Hakikat Absolut (bagi yang telah sadar akan Sang Atman) harus ditarik keluar secara begitu hati-hati ibarat mengeluarkan cairan lembut yang ada di dalam suatu batang (buluh), tanpa merusak batangnya.

Seyogyanya kita juga mampu merealisasikan Sang Atman (Jati Diri) didalam diri kita dengan mengesampingkan berbagai halangan duniawi seperti Kama (Nafsu), krodah (Kemarahan) dan lobha (Keserakahan) dan lain sebagainya.

 

18.         Nachiketas, setelah mendengarkan semua ajaran dari Yama Raja dan setelah mengalami seluruh proses Yoga ini, berubah menjadi bersih abadi dan bebas dari segala kekotoran (duniawi) dan iapun mencapai Sang Brahman; demikian juga mereka-mereka yang menghayati dan memahami akan Sang Jati Diri.

  

Dengan ini berakhirlah Vali ke enam dari Bab – 2

 

Keterangan : Setelah mendengarkan dengan penuh perhatian semua wejangan dari Dewa Kematian, Nachiketas mengundurkan dirinya dari dunia yang penuh dengan hiruk pikuk ini dan mempelajari Brahma Vidya yang agung ini dan secara lambat laun iapun mencapai Sang Atman yang bersemayam didalam dirinya sendiri. Menurut Sruthi, hal yang sama dapat dicapai oleh setiap insan, bahkan di era Kaliyuga ini seandainya ia telah bebas dari Virajah (dari dosa-dosa, kekotoran-kekotoran duniawi), dari penalarannya akan baik dan buruk dan lain sebagainya yang menjadi penghalang spiritualnya.

Semoga karya ini bermanfaat bagi kita semua.

                        Om Saha Navavathu

                        Saha Nau Bhunakthu

                        Saha Viryam Karavavahai

                        Tejavi Nav Adhitam Astu

                        Ma Vidvisavahai

 

                        (Om Santihi - Santihi - Santihi)

                        Ithi Kathopanishad Samaptah

 

                        Semoga Ia melindungi kita berdua

                        Semoga Ia memberkati kita dengan berkat ilmu pengetahuan

                        Semoga kita menggunakannya secara bersama-sama

                        Semoga apa yang telah kita pelajari dipelajari oleh yang lainnya

                        Semoga kita tidak bertengkar satu dengan yang lainnya.

 

                                    ( Om Santihi - Santihi – Santihi )

 

Dimasa lalu seorang guru amat menghormati murid-muridnya dan begitupun sebaliknya, rasa hormat didasari oleh pengetahuan, bahwa guru yang baik sulit untuk didapatkan, begitu juga murid yang baik.

Itulah sebabnya mantra diatas diucapkan agar ilmu pengetahuan yang hakiki dapat bermanfaat bagi yang mengajar dan yang mendapat pelajaran. Sia-sia saja pelajaran seorang guru yang baik tanpa murid yang baik dan begitupun sebaliknya. Dalam Brahma Vidya tidak akan ada kemajuan tanpa kerja sama yang baik antara sang murid dan sang guru.

Setiap hari seorang guru spiritual dan para sishynya, sebelum memulai pelajaran mengucapkan mantra tersebut diatas. Semoga sidang pembacapun memanfaatkan karya ini sebagai penuntun (guru) dan dengan merendahkan diri mencoba merenung dan mempelajari secara hening.

Semoga karya para resi yang agung dimasa yang silam ini berguna bagi kita semua. Rasa syukur dan terima kasih bagi Nachiketas dan gurunya Yama Dewa, bagi semua dimasa yang lalu dan masa kini sehingga memungkinkan karya ini ditulis lagi dan lagi disepanjang zaman.

 

Dengan ini berakhirlah Kathopanishad ini.

 

HARI  OM  TAT  SAT

 OM SHANTIHI – SHANTIHI – SHANTIHI

 

 

Disarikan dalam bahasa Indonesia yang sederhana oleh  mohan m . s. 

 

 

Kembali ke halaman utama Kathopanishad                    Kembali ke halaman induk Shanti Griya