KATHOPANISHAD

Vinneka Tunggal Eka   

 

Semoga Ia melindungi kami berdua.

Semoga Ia memberkati kami dengan Berkah Ilmu Pengetahuan.

Semoga ilmu pengetahuan ini kami pergunakan bersama-sama.

Semoga apa yang telah kami pelajari akan dipelajari

oleh yang lain-lainnya dengan baik.

Semoga kami tidak bersengketa (bertentangan)

satu dengan lainnya.

 Om Santihi – Santihi – Santihi

 

BAB  -  I

 

BAGIAN  -  I

(Kisah mengenai Nachiketas dirumah kematian) 

1.                  Pada suatu saat diswargaloka, Usan, putra dari Vajasrava (Gautama), melaksanakan suatu upacara pengorbanan, dengan mengorbankan semua yang dimilikinya. Beliau berputrakan seorang anak laki-laki yang bernama Nachiketas.

 

2.                 Sewaktu berbagai hadiah pengorbanan dipersembahkan, kegalauan (akan masa depan ayahnya) mengusik hati sanubari Nachiketas, yang pada saat itu masih seorang bocah kecil, dan iapun berpikir.

Keterangan : Usan putra dari Vajasrava melangsungkan upacara pengorbanan yang disebut Viswajit dimana ia harus menyerahkan semua harta benda yang dimilikinya kepada para resi dan fakir miskin. Upacara ini biasanya dilakukan oleh para raja yang berhasil mengalahkan kerajaan lainnya. Upacara ini juga biasanya dilakukan oleh sang kepala rumah tangga, dalam hal ini sang orang tua yang bersiap-siap ke hutan dan berburu, sambil memasuki kehidupannya sebagai Sang Sanyasi.

Pembicaraan dengan sang cucu, Nachiketas, ini malahan penuh dengan shradha (iman), ia memahami arti upacara yang dilaksanakan oleh ayahnya, Usan.

 

3.                  Sapi-sapi ini telah meneguk air untuk yang terakhir kalinya, menyantap rerumputan untuk yang terakhir kalinya, telah kering seluruh susunya dan telah tua, kurus kering dan lemah. Sia-sia saja (tanpa kebahagiaan) loka-loka yang akan dicapai oleh seseorang yang menghaturkan daksina dengan cara ini demi sebuah yagna (upacara pengorbanan yang bersifat suci).

 

4.              Ia berkata kepada ayahnya, “Ayahanda, kepada siapa dikau akan mempersembahkan diriku ini?”, ia mengulangi pertanyaannya ini sampai tiga kali, sampai-sampai ayahnya teramat murka dan berkata, “Pada Kematian akan kupersembahkan dirimu”.

Keterangan : Nachiketas yang berkesadaran tinggi paham betul bahwa ayahnya telah melakukan yagna ini secara tidak murni, padahal upacara Viswajit ini bersifat teramat sakral dan merupakan penyerahan total terhadap yang Maha Kuasa akan kehidupan duniawi ini demi mempersiapkan jalan menuju ke Pencapaian Kebenaran. Anak kecil ini sadar bahwa karena ia milik ayahnya, maka seharusnya iapun dikorbankan. Maka ia bertanya dengan lugu sampai tiga kali, tetapi sang ayah yang merasa tersindir oleh anak ini malahan murka dan menyatakan bahwa putranya ini akan dipersembahkan kepada dewa kematian.

 

5.               Nachiketas berpikir, “Dari kesemuanya yang berjumlah banyak ini aku akan pergi paling awal, dari kesemuanya yang berjumlah banyak ini aku akan pergi ditengah-tengah semuanya ini ; pekerjaan apakah yang akan dilaksanakan oleh Yama, Dewa Kematian, melalui diriku ini, yang telah dipersembahkan oleh ayahku ini?”

Keterangan : Sebenarnya Nachiketas sadar bahwa ucapan ayahnya bernada kesal dan tidak sungguh-sungguh berarti, tetapi anak yang saleh dan penuh dengan Kesadaran akan prinsip-prinsip Sanathana Dharma tahu dan paham bahwasanya apapun yang sudah dikatakan tidak dapat dijilat kembali, sehingga ia yang memang merupakan jenius spiritual langsung saja mempersiapkan jiwa raganya demi yagna ayahnya ini.

Disini sidang pembaca dapat menyimpulkan sendiri tentang hakikat dari Dharma dan adharma, tentang seorang yang tulus dan yang tidak tulus.

Bagi Nachiketas selama ini ia mempelajari bahwa ayahnya adalah sekaligus gurunya, dan seorang guru itu dipercaya tidak akan melakukan hal yang salah.

 

6.                “Ingat bagaimana leluhur kami bertindak, pertimbangkan juga bagaimana yang lain-lainnya bertindak pada saatnya, ibarat tanaman jagung, matilah manusia-manusia ini, dan ibarat tanaman jagung terlahir (hidup) kembali. “

Keterangan : Sloka ini langsung dialamatkan oleh sang anak kepada ayahnya dan sloka ini penuh dengan intisari kebijaksanaan yang dikandung semua Sruthis dan merupakan pengejawantahan dari Sanathana Dharma itu sendiri. Didalam sloka ini juga tersirat secara nyata sekali akan filosofi kelahiran kembali (reinkarnasi) yang merupakan salah satu sendi iman kita yang paling utama.

Nachiketas yang sadar akan karma, pralabdha dan jalan kehidupannya, pada saat ini sedang memberikan “teguran” kepada ayahnya bahwa kehidupan itu harus terhenti suatu saat, lalu mengapa ayahnya melaksanakan suatu bentuk adharma yang berdasarkan ilusi duniawi, yaitu keserakahan yang sifatnya palsu.

 

7.               Seorang Brahmin (Brahmana) memasuki sebuah rumah ibarat api. Manusia-manusia mempersembahkan ini agar (sang tamu) ini tenang. Vaisvata! Pergi dan ambillah air.

Keterangan : Diantara sloka 6 dan 7 tercipta keheningan yang dramatis dan terdengar sebuah suara yang tak “berbentuk” membimbing Nachiketas untuk memasuki Istana Kematian. Nachiketas memaksa ayahnya agar ia dipersembahkan kepada Dewa Kematian sesuai dengan ucapan sang ayah, dan sang putra ini meninggalkan rumahnya dan memasuki alam kematian.

Ada banyak teori tentang bagaimana ia sampai kegerbangnya Yama Dewa, singkatnya ia sampai pintu gerbang Istana Kematian tetapi harus menanti tiga hari dan tiga malam karena Dewa Yama sedang tidak berada ditempat. Nachiketas menunggu kedatangan Dewa Yama sambil berpuasa (suatu puasa atau upawasa adalah salah satu bentuk tapa-brata diantara upaya-upaya disiplin yang biasanya diajarkan oleh sang guru kepada muridnya agar jalan spiritual sang murid terbuka lebar).

Tiga hari berlalu dan Dewa Yama pun kembali ke Istananya serta mendapatkan ada seorang Brahmin sejati yang sedang berpuasa dirumahnya. Kata api di sloka mantra diatas berarti seorang Brahmana yang bukan berdasarkan garis keturunannya, tetapi berdasarkan tingkat budhi dan kesadarannya yang tinggi serta suci. Api bersifat sangat murni dan suci. Disini Nachiketas diibaratkan sebagai seorang Brahmin sejati dan suci, dan bagi Dewa Yama kehadiran Nachiketas adalah suatu kehormatan sekaligus beban spiritual yang amat berat. Ia sadar bahwa tamu yang satu ini bukan manusia sembarangan.

 

8.             “Harapan, hasrat, bersama-sama dengan orang-orang yang berbudi luhur, diskusi-diskusi penuh rasa persahabatan, pengorbanan dan pahala dari pemberian-pemberian yang bersifat suci, putra-putra dan ternak . . . .   semua ini hancur berantakan sekiranya dirumah seorang yang kurang pengetahuan (bodoh) tinggal seorang Brahmin tanpa memakan sesuatu (tanpa disuguhi atau diberi santapan oleh yang empunya rumah tersebut).

Keterangan : Didalam ajaran Sanathana Dharma, seorang tamu yang bersifat Brahmin sejati sangatlah dihormati oleh tuan rumah yang mendapatkan kunjungan seorang guru. Bagi sang empunya rumah dan keluarganya, kunjungan seorang suci dianggap berkah yang amat besar karena kaki sang orang suci ini dianggap menyucikan lantai rumah mereka. Jadi adalah suatu perbuatan yang nista kalau sampai terjadi tamu semacam ini tidak dihormati secara layaknya. Tiba-tiba saja Yama Raja mendapatkan seorang tamu suci dengan sifat-sifat seorang Brahmin sejati dirumahnya dan betapa terkejutnya beliau mengetahui bahwa sang tamu belum mendapatkan suguhan apapun juga selama tiga hari, bahkan sambil menunggu sang tamu malahan berpuasa selama tiga hari. Sruthi menyatakan bahwa seorang yang mengabaikan Brahmin yang sejati disebut apamedhasah (seorang yang alpa, idiot, bodoh sekali). Sanathana Dharma tidak berlaku untuk manusia saja, tetapi aturan-aturan dharma ini juga harus ditaati oleh para dewa dewi, bodhisatwa dan yang lainnya karena mereka adalah panutan dan penuntun manusia.

Didalam konsep Sanathana Dharma seorang tamu disebut sebagai Athihi-Narayana (atau manifestasi dari Tuhan itu sendiri). Memberikan santapan kepada seorang suci yang berkarakter Narayana Bhav dianggap sebagai salah satu dari Pancha Maha Yagna (Lima Pengorbanan Utama). Bagi sidang pembaca harus hati-hati membedakan bahwasanya tidak semua yang berkasta Brahmana harus dihormati, tetapi hanya orang-orang budiman yang menyandang sifat-sifat mulia sajalah yang harusnya dihormati dan dijadikan panutan serta diibaratkan sebagai seorang guru sejati dan insan mulia ini dapat saja berasal dari varna apa saja. Ciri-ciri insan yang agung ini selalu sederhana pembawaannya walaupun ia berasal dari golongan apapun juga, ia selalu penuh wibawa, pesona dan cahaya spiritual.

 

9.                  Yama berucap : “Wahai Brahmana, dikau adalah tamu kami yang terhormat, dan telah tinggal selama tiga malam dirumah kami tanpa menyantap sesuatu apapun juga. Oleh karena itu untuk penggantinya, kami mohon dikau untuk meminta tiga hal yang berkenan dihati kepada kami, wahai Brahmana, kami bersujud dihadapanmu. Semoga Kebajikan beserta denganku senantiasa.”

Keterangan : Suatu hal yang mengejutkan tentunya bagi sidang pembaca untuk mengetahui bahwa Yama Raja yang ditakuti oleh semua mahluk dan bahkan oleh para dewa dan manusia ternyata bersujud dan memohon maaf kepada seorang anak yang baru berusia sembilan tahun. Ada suatu nilai luhur yang telah hilang dibumi kita ini, yaitu menghormati orang lain yang lebih mulia. Umumnya kita yang merasa diri berkasta tinggi harus dihormati dengan bahasa yang khusus, dengan segala tata cara yang feodalistis. Seharusnya kita lebih banyak berintrospeksi dari cara Yama Dewa menghadapi Nachiketas ini. Dewa Kematian yang memegang otoritas tertinggi dijajaran dewa dewi ternyata juga adalah seorang Brahmin sejati.

 

10.            Nachiketas berucap : “Wahai Kematian! Permintaanku yang pertama agar ayahku (Gautama) bersikap welas asih, bajik dan jauh dari rasa amarah terhadap diriku, dan agar ia mengenalku dan menyambutku, sewaktu aku pulang dari kediamanku ini.”

Keterangan : Sekali lagi Nachiketas memperlihatkan sifat-sifat Brahminnya yang sejati. Tanpa memikirkan dirinya pribadi, yang diminta adalah kebajikan semata-mata bagi ayahnya, suatu contoh kesaputraan yang teramat mulia, walaupun ia telah dikorbankan oleh ayahnya kepada Dewa Kematian.

 

11.            “Melalui kehendakku, Anddalaki, putra Aruna, akan mengenalmu kembali seperti sebelum ini. Ia akan tidur secara damai dimalam hari, sewaktu ia menyaksikan dikau terlepas dari mulut kematian, ia akan kehilangan amarahnya.”

Keterangan : Di sloka ini Yama Raja langsung saja memenuhi permintaan Nachiketas yang pertama. Ayahanda Nachiketas mempunyai empat nama, yang di Upanishad disebut-sebut sebagai Gautama, Anddalaki, Aruni dan Vajasravasah. Kata Gautama mungkin adalah kata penghormatan baginya.

 

12.             Di swargaloka tidak terdapat rasa khawatir. Dikau tidak berada disana ; juga disana tidak terdapat kekhawatiran akan hari tua. Setelah menyeberangi rasa lapar dan rasa haus, seseorang di swargaloka berbahagia karena telah berada diatas (melampaui) rasa kesedihan.

Keterangan : Sambil mempersiapkan permintaannya yang kedua, Nachiketas mengagungkan kehidupan di swargaloka yang jauh dari berbagai penderitaan dan kekhawatiran akan hari tua. Manusia mempunyai lima tahap kehidupan yaitu kelahiran, masa kanak-kanak, masa muda, usia tua dan kematian. Sedangkan para dewa di swargaloka hanya memiliki tiga tahap pertama. Pada masa yang silam, yaitu pada jamannya Veda-Veda, Dewa Kematian dianggap sebagai dewa pembimbing seseorang kepintu sorga, pada masa kini Beliau dianggap sebagai dewa yang menakutkan, karena persepsi manusia telah berubah dari petunjuk-petunjuk Veda yang sarat dengan nilai-nilai spiritual yang mulia ke nilai-nilai duniawi yang sarat dengan materi pada saat ini.

 

13.             “Wahai Kematian, Dikau faham akan api yang menuju kearah swargaloka ; terangkan kepadaku yang penuh dengan rasa keingintahuan yang amat mendalam ini, akan unsur api ini, yang digunakan oleh mereka-mereka yang menginginkan kehidupan yang di sorga, inilah permintaanku yang kedua.”

Keterangan : Banyak manusia didunia ini yang menghabiskan waktu mereka dengan melakukan berbagai upacara, upaya spiritual, dana-punia, dan berbagai bentuk kebajikan agar mendapatkan pahala yang berupa kehidupan yang abadi di swargaloka. Bagi seorang Yogi atau Brahmin seperti Nachiketas, orang-orang ini adalah insan-insan yang bodoh, karena sebenarnya kehidupan disorgapun tidak abadi dan ada masa habisnya ; demi mereka-mereka ini ia memohon suatu petunjuk rahasia yang bersifat teramat mendalam yaitu sesuatu yang berhubungan dengan karma umat manusia. Kita lihat disini bahwa Nachiketas sebenarnya ingin menuntun umat manusia agar keluar dari unsur-unsur untuk mendapatkan pahala secara spiritual ; dan untuk itu ia memohon petunjuk kepada Yama Raja agar diberi ajaran pembebasan secara spiritual dari ilusi duniawi ini (termasuk didalamnya adalah swargaloka itu sendiri) yang sebenarnya bukanlah tujuan sejati kehidupan kita sebagai manusia dibumi ini. Seorang Hindu sejati seharusnya tidak mendambakan swargaloka, tetapi ia seharusnya menyadari akan hakikat dirinya sendiri dahulu sebagai Sang Atman yang berasal dari Yang Maha Atman (Paramatman). Secara tersirat dan hanya dimengerti oleh Yama Raja, sebenarnya Nachiketas melalui permintaannya yang kedua memohon agar diberi pengajaran suatu bentuk ajaran spiritual yang teramat rahasia demi kebebasan umat manusia dari ilusi duniawi dan spiritual ini yang merupakan hambatan kita kepenyatuan dengan Sang Atman dahulu lalu ke Sang Paramatman, yang adalah sebenarnya misi kita yang sejati, yang dilahirkan sebagai manusia yang berbudi (intelek).

 

14.            “Akan kami terangkan kepada dikau secara baik ; wahai Nachiketas, perhatikanlah ucapan-ucapan kami ini, kami tahu akan api yang menuju ke swargaloka ; pahamilah bahwa api (agni) yang menuju ke swarga ini adalah juga api yang menunjang alam semesta dan yang bersemayam didalam relung hati sanubari.”

Keterangan : Mulailah Yama Raja mengungkapkan rahasia alam yang disebut Agni-Vidya (ilmu pengetahuan atau pemujaan kepada Dewa Agni). Bagi manusia-manusia yang kurang paham akan nilai sesungguhnya, ia akan memuja Dewa Agni dengan berbagai ritual dan mengharapkan berbagai pahala. Bagi yang paham akan rahasia Agni ini secara sesungguhnya akan terbebaskan dari dunia ini. Agni atau api adalah unsur penunjang secara makro-kosmik dialam semesta ini dan dikenal sebagai Virat. Ia juga terletak direlung sanubari manusia yang berarti bahwa api ini adalah budhi (intelek spiritual) kita yang hanya terdapat didalam nurani kita yang paling dalam ibarat sebuah gua yang gelap dan teramat dalam (nihitam guhayam).

Sloka diatas menyadarkan kita bahwa bukan ritual yang penting tetapi penghayatan akan arti dan makna dari sesuatu pengorbanan, itulah yang harus dipahami secara sadar dan benar sebagai jembatan kearah pembebasan yang hakiki sifatnya.

Yama kemudian menerangkan kepadanya mengenai tatacara pengorbanan api ini, sumber dari berbagai loka-loka, batu-batu bata jenis apa yang harus dipergunakan sebagai altar, berapa jumlah dan bagaimana menata batu-batu bata ini dan Nachiketas mengulang kembali semua itu kepada gurunya sama seperti yang dijelaskan oleh sang guru. Kemudian Dewa Yama yang sangat terkesan dan bahagia dengan muridnya berkata lagi.

 

15.            Yama kemudian menerangkan kepadanya mengenai tatacara pengorbanan api ini, sumber dari berbagai dunia (loka-loka); batubara jenis apa saja yang harus dipergunakan sebagai altar, kemudian berapa jumlah dan cara menata susunan batu-batu bata ini, dan Nachiketas mengulang kembali semua itu kepada gurunya tepat seperti yang dijelaskan oleh Sang Guru. Dewa Yama yang sangat terkesan dan berbahagia dengan sang murid ini, kemudian berkata lagi.

Keterangan : Tidak diterangkan dikarya ini apa saja sebenarnya yang diajarkan oleh Yama Raja kepada Nachiketas, tetapi tentunya sesuatu yang teramat rumit dan memakan waktu agar sang murid gagal mencernakannya, ternyata Nachiketas adalah seorang murid yang jenius dan berbakti secara tulus dan ia mampu menjelaskan kembali semua ajaran Dewa Yama secara tepat dan terperinci. Tentu saja sang guru merasa bangga dan teramat puas serta berbahagia mendapatkan murid berbakat semacam ini, dan langsung saja Yama Raja memberikan sebuah anugerah kepadanya.

 

16.            Merasa sangat puas, Kematian yang bersifat mahatma (Maha Atma) ini berucap kepadanya : “Kuberikan kepadamu sebuah anugerah yang lain ; upacara pengorbanan api ini akan menggunakan namamu; dan ambillah olehmu untaian kalung yang beraneka rupa ini.”

Keterangan : Yama Raja menganugerahkan seuntai kalung yang beraneka rupa wujudnya kepada Nachiketas. Dalam bahasa Sansekerta dikarya Upanishad ini, kalung tersebut disebut sebagai sringam yang dapat berarti :

1.                  kalungan – contoh kalungan bunga.

2.                  dapat juga berarti tindakan-tindakan yang dapat menghasilkan berbagai pahala yang bersifat mulia dan agung.

Menurut ajaran Shri Sankara Acharya, seorang maha filsuf dimasa yang lalu, kemungkinan Yama Raja telah menganugerahkan sebuah ajaran mistik teramat rahasia kepada Nachiketas, juga beliau memperkirakan mungkin saja kalungan ini dapat juga berarti “jalan”, yaitu sebuah ajaran.

 

17.            Barangsiapa melaksanakan upacara pengorbanan Api Nachiketas ini selama tiga kali dan telah bersatu dengan “tiga” serta telah melaksanakan tiga kewajiban, maka ia akan melampaui kelahiran dan kematian. Sewaktu seseorang memahami akan Api yang abadi dan bercahaya ini, yang lahir dari Sang Brahman dan menyadari akan hakikat keberadaan Yang Maha Esa, ia akan mendapatkan kedamaian yang abadi.

Keterangan : Kata “tiga” diatas berarti tiga kali atau rangkap tiga. Pengorbanan api gaya Nachiketas rangkap tiga dapat diartikan seseorang yang mempelajari, memahami dan melaksanakan Agni-Hotra. Juga dapat diartikan seseorang yang sudah tiga kali melaksanakan upacara ini dapat juga ditafsirkan sebagai tiga jenis Agni-Hotra yaitu Garhapatya-Agni, Ahavantya-Agni dan Daksina-Agni.

Tetapi  pendapat ahli Upanishad yang lain mengatakan rangkap tiga disini dapat berarti :

a.       seseorang yang telah mendapatkan berkah dari orang tua atau guru ;

b.      seseorang yang telah mendapatkan saripati dari tiga bentuk ilmu pengetahuan, contohnya pathyaksha pramana (persepsi langsung), anumana pramana (sabda para kaum bijak, atau agama) ;

c.       menurut Shankara dapat juga berarti Veda, Smritis dan Shastras.

Tiga bentuk kewajiban yang disebutkan dalam sloka diatas adalah kewajiban seorang Brahmana sehari-hari yaitu pengorbanan, membaca (japa) mantra-mantra Veda tertentu dan berdana-punia. Mereka-mereka yang memenuhi ketiga kriteria tersebut diatas akan terlepas dari siklus (kematian dan kelahiran) yang berulang-ulang dikerajaannya Dewa Indra, sewaktu mereka ini menyadari akan hakikat Sang Jati Diri (Api) ini.

 

18.             Barangsiapa yang memahami tiga Api Nachiketas berdasarkan ilmu pengetahuan ini, membebaskan dirinya dari belenggu kematian dan pergi jauh melampaui berbagai penderitaan, ia berbahagia disorga.

Keterangan : Upanishad ini menerangkan, bahwa barangsiapa melaksanakan bentuk Agni-Hotra Nachiketas ini dengan mengagungkan jalan karma dengan disertai meditasi (upasana) akan menyadari Sang Jati Dirinya sebagai Virat (Makrokosmik, buana agung). Yama Raja di sloka mantra ini menyimpulkan nasehat-nasehatnya mengenai upacara api Nachiketas ini dengan mengagungkan Karma (pekerjaan sehari-hari sebagai pahalanya). Beliau menyatakan barangsiapa paham akan tiga bentuk api Nachiketas ini  akan terbebaskan dari belenggu kematian. Dan ketiga bentuk Agni-Vidya ini adalah :

a.       batu bata ;

b.      jumlah batu-batu

c.       tatacara pelaksanaan upacara.

Ketiga faktor ini sebenarnya adalah symbol-simbol dari berbagai upaya pelaksanaan demi mencapai kesadaran Sang Atman didalam diri kita; seseorang yang telah menyadari akan hakikat Sang Atman didalam dirinya akan mencapai tahap Hiranyagarbha (Brahmaloka) setelah kematiannya.

 

19.         Ini adalah tri-agni wahai Nachiketas, yang menuju ke swargaloka yang dikau dambakan, melalui permintaanmu yang kedua, insan-insan (didunia) akan menyebut Api ini sebagai milikmu semata-mata. Wahai Nachiketas, mintalah permintaan yang ketiga.

Keterangan : Dewa kematian sangat berbahagia dan puas akan daya intelegensia sang murid dan juga akan keluhuran budinya dan sang dewa ini segera menganugerahkan berkahnya berkali-kali bahkan Yama menyatakan semenjak saat itu ritual pengorbanan tersebut akan dikenal sebagai Agni-Hotra Nachiketas.

Lebih dari itu, sebelum sang murid lupa, Dewa Kematian mengingatkannya bahwa permintaan ketiga belum juga diajukan walaupun Yama telah memberikan anugerah yang lainnya, Dewa Yama tetap bersikap sportif dan ingin menganugerahkan berkah yang ketiga.

 

20.         Ada semacam keragu-raguan bahwasanya sewaktu seseorang meninggal dunia . . . . . . ada yang mengatakan ia sudah tidak eksis dan ada yang mengatakan ia masih eksis . . . . daku ingin mengetahui tentang hal ini sebagaimana yang diajarkan olehmu. Ini permintaanku yang ketiga.

Keterangan : Menurut berbagai kalangan peneliti spiritual di India, dari berbagai kurun waktu yang berlainan, Nachiketas adalah seorang jenius spiritual.

Pertama ia memohon kebajikan untuk orang tuanya, kemudian ia memohon ilmu pengetahuan mengenai kebebasan spiritual bagi umat manusia, ketiga pada saat kesempatan ini ia memohon penerangan yang terperinci mengenai keberadaan seseorang setelah orang tersebut meninggalkan raga yang fana ini dan bertransmigrasi ke loka-loka yang lainnya. Apakah manusia yang telah tiada lagi didunia ini, masih dapat disebut eksis (ada) atau sudah tidak eksis (tiada) lagi?

Dengan pertanyaan ini sekali lagi umat manusia diuntungkan oleh Nachiketas khususnya pengikut Sanathana Dharma. Manusia modern boleh bertanya kepada dirinya yang selama hidupnya secara mati-matian menumpuk harta kekayaan bagi diri dan keluarganya, apa saja yang telah mereka lakukan demi kemanusiaan. Seharusnya kita malu kepada Nachiketas yang baru berusia sembilan tahun, tetapi telah memikirkan nasib umat manusia ini. Yama Dewa sangat terkejut karena sekali ini mau tidak mau ia harus mengungkapkan sesuatu yang seharusnya tidak boleh “diketahui” umat manusia. Ia berusaha sedapat mungkin mengelak dari pertanyaan ini.

 

21.        Dari sudut titik ini bahkan para dewa yang diciptakan pada masa yang lalu masih terselubung oleh keragu-raguan akan arti dan hakikat kematian. Amat sukar untuk memahami kematian ini yang begitu lembut sifatnya. Wahai Nachiketas, pilihlah sebuah pertanyaan yang lain saja; jangan menekanku dengan pertanyaan yang satu ini, biarkan hal itu diserahkan kepadaku saja.

Keterangan : Sebenarnya Yama Dewa bukan tidak mau membuka rahasia tentang kematian kepada Nachiketas, tetapi sebagai lazimnya seorang guru yang baik dan bertanggung jawab, beliau ingin memastikan diri dulu apakah betul-betul sang murid sudah siap jiwa raganya dan juga bathinnya untuk menerima ajaran agung ini. Bukan seperti dizaman edan dewasa ini, siap atau belum siapnya seseorang, ia dapat menyuap sang guru dan segera lulus. Seorang guru adalah seorang Brahmin yang sejati, yang bertanggung jawab bukan saja pada dirinya pribadi tetapi juga terhadap masyarakat luas dan kepada Sang Pencipta itu sendiri. Tidak mudah mendapatkan guru berkarakter sedemikian mulia dizaman yang serba cepat dan materialistis ini.

 

22.         Dikau mengatakan, wahai kematian, bahwa bahkan para dewa ragu-ragu akan hal ini dan sukar sekali untuk memahami akan hakikat kematian ini. Tidak ada seorang yang lain selain dikau, yang dapat aku temukan, yang mampu menjawab pertanyaanku ini. Tidak ada permintaan yang dapat menyamai permintaan yang satu ini.

Keterangan : Kalau para dewa saja tidak paham akan hakikat kematian, apalagi kita manusia dan mahluk-mahluk lainnya, demikian pikir Nachiketas. Tetapi Dewa Kematian adalah seorang dewa yang lain daripada yang lain, beliau bahkan lebih berkuasa dan mengetahui segala sesuatu tentang kematian karena itu adalah tugasnya sehari-hari.

Beliau pasti memahami akan Sang Jati Diri, pikir Nachiketas, karena beliaulah otoritas tertinggi dibidang ini, jadi tidak mungkin ada guru yang lebih piawai selain Dewa Kematian.

 

23.         “Ambillah olehmu, putra-putra dan cucu-cucu laki-laki yang dapat berusia ratusan tahun, dan atau ternak, gajah, emas, dan kuda-kuda dalam jumlah yang tak terbatas. Ambillah harta benda seluas bumi ini, dan hiduplah sepanjang masa yang dikau kehendaki.”

Keterangan : Inilah jalan Sidhi yang selalu diberikan oleh seorang guru, dewa atau oleh Yang Maha Kuasa kepada seseorang yang sedang meniti jalan kebenaran. Begitu bhakta tergiur oleh harta benda atau kekuatan-kekuatan (bhal) tertentu, maka melencenglah ia dari tujuan meditasi atau jalan dharmanya. Sudah menjadi suatu bentuk pengujian sang guru akan menyesatkan murid-muridnya, sang guru juga sebenarnya sudah tahu kekuatan sang murid dan sudah yakin siapa yang lulus dan yang tidak lulus ujiannya.

 

24.         Adalagi yang dapat kau pilih yang tidak kalah dari anugerah yang diatas, sekiranya pantas dan layak untukmu yaitu kekayaan dan usia yang panjang ; sebagai raja diatas bumi yang luas ini, Nachiketas, aku akan membuatmu menikmati seluruh hasrat-hasratmu.

Keterangan : Tetapi Nachiketas tetap tidak bergeming dari pendiriannya, walaupun ia ditawari dengan berbagai kenikmatan dan harta benda duniawi ini. Dalam sejarah Sanathana Dharma sudah beberapa resi dan raja yang jatuh dalam ujian-ujian semacam ini.

 

25.         Apapun yang sulit dicapai didunia yang serba fana ini, dapat kau minta sesuai dengan kehendakmu. Bagaimana kalau kuberikan bidadari-bidadari nan cantik jelita lengkap dengan perangkat musik sorgawi dan kereta-kereta kencana yang tidak mungkin dapat dinikmati oleh manusia, ambillah mereka, wahai Nachiketas! Tetapi jangan dikau bertanya akan keadaan Sang Jiwa seseorang yang telah meninggal dunia.

Keterangan : Sekali lagi Yama Dewa menguji ketegaran sang murid yang masih berusia sangat muda ini, tetapi tetap saja Nachiketas tak tergiur oleh semua tawaran duniawi dan sorgawi ini. Sebenarnya para dewa dewi pantang untuk berhubungan dengan manusia secara perkawinan, Yama Dewa melanggar ketentuan ini demi lestarinya ajaran rahasia ini, tetapi tetap saja sang murid tidak mundur dari pendiriannya.

Banyak yang berpendapat seorang anak kecil yang masih ingusan tentu saja tidak tahu akan soal sex dan sebagainya. Tetapi rupanya Nachiketas adalah seorang yang berjiwa mulia yang sudah sempurna, sehingga umur tidak menjadi penghalang lagi karena ia adalah seorang Brahmin dalam arti yang hakiki.

 

26.         Semua ini tidak abadi sifatnya, wahai Kematian, semua ini akan layu, begitupun apa yang memanasi indra manusia. Bahkan usia yang terpanjang adalah pendek. Dan semua kereta kencana, musik dan tari-tarian sorgawi ini sebenarnya adalah milikmu semata-mata.

Keterangan : Nachiketas walau masih sangat muda usianya sadar sekali bahwa semua pemberian ini hanya manis pada mulanya, tetapi lama kelamaan setiap kenikmatan inipun menimbulkan kejenuhan dan penderitaan pada setiap insan ; apa gunanya umur panjang, kalau selalu sakit-sakitan dan anak cucu saling berkelahi memperebutkan warisan. Semua ini malahan menjadi beban dimasa kemudian. Nachiketas malahan terkesan jijik dengan semua tawaran ini.

 

27.         Seorang manusia tidak dapat terpuaskan dengan harta benda belaka. Seandainya diperlukan harta benda dapat kami peroleh dari dharsanamu. Kamipun dapat hidup sepanjang yang Dikau kehendaki. Jadi hanya permohonan yang kuajukan saja yang sebenarnya pantas kudapat.

Keterangan : Tidak lebih dan tidak kurang secara tegas anak ini menuntut haknya semata dan semua itu ia haturkan dengan penuh hormat kepada gurunya. Padahal setiap hari manusia ini memuja ditempat-tempat suci dan meminta ini-itu kepada para dewa dan Yang Maha Kuasa tanpa ada habis-habisnya, seakan-akan Yang Maha Esa itu adalah pegawai kita yang harus melayani kita. Jarang kita sadar apa yang menjadi hak kita dan apa yang bukan hak kita sesungguhnya, karena terliput oleh berbagai nafsu dan hasrat duniawi yang tidak ada habis-habisnya.

Hanya dengan menghaturkan sebatang dupa dan sedikit bunga kita sering sekali meminta hal-hal yang bersifat fantastis kepada Tuhan Yang Maha Esa. Nachiketas ternyata malahan tidak tertarik akan semua pesona duniawi karena dibalik pesona ini hanya terdapat penderitaan yang menyakitkan.

 

28.         Apakah yang dapat diperoleh oleh seseorang yang berusia lanjut dan telah menikmati berbagai kenikmatan dunia ini (tetapi akhirnya harus mati juga), setelah ia menghadap seseorang yang bersifat abadi.

Keterangan : Nachiketas sangat sadar bahwa dihadapannya hadir seorang yang bersifat abadi, dan pertemuan ini mungkin tidak akan terulang lagi bagi manusia yang lain, jadi selain ilmu pengetahuan tentang keabadian itu sendiri tidak ada lagi hal lain yang lebih penting dan berguna baginya dan bagi umat manusia itu sendiri.

Kata orang-orang Jawa yang bijak, dunia ini hanya tempat persinggahan yang bersifat sementara dan hanya untuk menumpang minum saja. Kata minum walau terkesan kiasan yang sederhana sebenarnya juga dapat berarti menimba ilmu pengetahuan. Sayang manusia malahan menjadikan semua sarana duniawi ini untuk menyesatkan dirinya dari pada memanjat lebih jauh dengan ilmu pengetahuan.

 

29.         “Wahai Kematian, beritahukanlah kepada Kami tentang kematian ini, karena manusia penuh dengan keragu-raguan akan hal ini, yang merupakan jalan kedunia yang lain. Aku tidak memilih yang lain, selain ilmu pengetahuan Sang Jiwa ini."

  

Dengan demikian berakhirlah Vali pertama dari Bab Pertama

 

 

BAGIAN – 2

(Ajaran Dewa Kematian akan Keabadian …….

Pengertian dan Kekhawatiran akan Realitas Nan Abadi)

 

1.            Yama berucap : “ Yang satu penuh dengan kebajikan, dan yang satunya lagi penuh dengan kenikmatan. Kedua factor ini memiliki tujuan-tujuan yang berlainan tetapi kedua-duanya membelenggu setiap manusia. Barangsiapa diberkati maka ia akan memilih kebajikan semata-mata diantara kedua sifat tersebut, tetapi barangsiapa memilih kenikmatan, maka ia akan kehilangan ujung (jalan) kebenaran.

Keterangan : Sudah menjadi sifat dasar setiap manusia untuk selalu mencapai kebahagiaan dan menikmatinya dari segala sisi. Sifat kebahagiaan ini adalah salah satu kenikmatan duniawi dan manusia cenderung sedih atau menderita kalau kekurangan atau kehilangan sedikit saja. Sesuatu yang penuh dengan kebajikan belum tentu memberikan kenikmatan, malahan mungkin penuh dengan penderitaan, walaupun kadang-kadang ada sifat-sifat kebajikan yang menghasilkan kenikmatan. Seseorang yang meniti jalan kebajikan dengan susah payah, pada suatu masa akan mencapai ujung jalan tersebut yang disebut Ujung Kebenaran yang hakiki, tetapi karena manusia cenderung berbuat kebajikan oleh motif-motif penuh pamrih, maka sering sekali ia tersesat diujung jalan yang penuh dengan kebahagiaan yang bersifat duniawi. Dipihak lain dalam kenikmatan adalah jalan yang penuh dengan dosa dan kebatilan. Kedua jalan tersebut tanpa penalaran yang sejati dan tulus sebenarnya adalah belenggu bagi setiap manusia.

 

2.            Kebajikan dan kenikmatan, kedua-duanya mendekati setiap manusia ; seseorang yang cerdas meneliti dan memilih satu diantara kedua factor ini ; bagi seorang yang cerdas, ia akan memilih kebajikan dan bagi yang kurang pengetahuannya, ia akan memilih kenikmatan demi kepuasan raganya.

Keterangan : Manusia secara duniawi (karmanya) adalah perencana masa depannya sendiri. Yang Maha Kuasa telah menyediakan kedua jalan tersebut bagi kita dan Beliaupun telah memberikan kebebasan terbatas kepada manusia untuk memilih jalan mana saja yang kita kehendaki.

 

3.            Wahai Nachiketas, dikau telah menanggalkan berbagai nafsu dan hasrat akan objek-objek duniawi yang manis ini, dikau telah mempelajari hasil yang sebenarnya dari setiap objek duniawi ini, dikau tidak menghendaki “jalan kekayaan” ini, dijalan mana telah banyak manusia yang tenggelam.

 

4.            Kedua factor, kekurang-pengetahuan (kebodohan) dan ilmu pengetahuan mempunyai jarak yang amat luas (diantara mereka) dan menuju ke tujuan-tujuan yang berbeda. Aku yakin Nachiketas telah memilih jalan ilmu pengetahuan, karena berbagai ragam nafsu dan hasrat tidak sanggup menggoncangmu.

 

5.           Orang-orang yang bodoh, yang hidup ditengah-tengah kegelapan tetapi berkhayal seakan-akan bijaksana dan berilmu tinggi, jalan berkeliling melalui berbagai jalan yang berkelok-kelok, ibarat seorang buta yang dituntun oleh orang buta yang lainnya.

Keterangan : Janganlah mentang-mentang menyandang kasta Brahmana atau merasa sangat paham akan Ved-Shastra dan lain sebagainya, lalu seseorang merasa dirinya atau golongannya saja yang benar. Pandita atau Brahmana semacam ini diibaratkan dengan orang-orang yang buta, bayangkan kalau mereka menuntun umat yang juga buta.

 

6.            Jalan ke Dunia setelah ini tidak terlihat oleh seseorang yang bodoh yang bersifat kekanak-kanakn, karena terbius oleh harta bendanya. Ia berpikir, “Hanya inilah dunia ini “, dan tidak ada dunia yang lain, dengan demikian ia tersandung lagi dan lagi dibawah pengaruhku.

 

7.             Ia (Sang Jati Diri, Atman) tidak mampu didengarkan oleh banyak manusia di dunia ini, dan kalau ada yang pernah mendengarkan tentang Dirinya, belum tentu sadar dan menghayati akan keberadaanNya ; menakjubkan sekali (kalau demikian halnya), sekiranya kita dapat menemukan seseorang yang mampu mengajari dirinya akan Sang Atman ini; menakjubkan sekali sekiranya ada yang sadar dan paham akan Sang Jati Diri ini, begitu ia diajarkan oleh gurunya.

Keterangan : Ilmu pengetahuan tentang Sang Jati Diri (Atman) disebut juga sebagai Brahman-Vidya (ilmu pengetahuan tentang Sang Pencipta). Menurut beberapa orang ahli, Resi Vyasa mungkin mendapatkan ilham dan inspirasi dari karya Kathopanishad ini sewaktu beliau mengarang Shrimad Bhagavatham. Juga diduga Bhagavat Gita pun terpengaruh oleh ajaran-ajaran yang ada dikarya agung dan suci ini. Secara teoritis kita mungkin sudah banyak membaca dan mengetahui tentang Sang Atman, tetapi yang sudah merealisasikannya ada berapa orang? Bagaimana merealisasikannya didalam kehidupan duniawi dewasa ini, dimana manusia cenderung bersifat economic-animal (binatang-ekonomi). Tujuan kehidupan dewasa ini sudah bergeser dari realisasi akan nilai-nilai Ketuhanan kenilai-nilai ekonomi dimanapun juga ; dari negara adidaya ke Indonesia ini, kesemuanya terkena imbas ekonomi ini. Setiap manusia dari yang paling miskin sampai ke negarawan, telah terjerat dan terbius oleh nilai-nilai ekonomi Barat yang ternyata sangat menyengsarakan manusia dan menjauhkannya dari dunia spiritual dan penghayatan akan Tuhan Yang Maha Esa. Akibatnya hakikat akan Sang Jati Diri telah kabur dari diri manusia modern dewasa ini. Tuhan itu sebenarnya teramat dekat dengan kita semua, tetapi kita malahan menjauhkanNya dari diri kita akibat kebodohan atau kekurang pengetahuan spiritual kita. Dewasa ini jalan itu telah dipilih oleh sebagian besar umat manusia.

Nachiketas dan visinya memperingatkan kita bahwa Yang Maha Esa sebenarnya masih sayang kepada kita, tetapi sayangkah kita sebenar-benarnya pada diri kita sendiri?

 

8.            “Sang Jati Diri itu, sewaktu diajarkan oleh seseorang yang rendah budinya, akan sukar untuk dipahami karena cara mengajarnya berbelit-belit. Tetapi seandainya diajarkan oleh seorang guru sejati yang telah manunggal (menyatu dengan Sang Brahman), maka tiada keragu-raguan lagi bagi sang murid untuk memahami Sang Jati Diri ini, yang bersifat lebih lembut dari yang terlembut dan yang tak dapat dicapai melalui perdebatan”.

Keterangan : Guru yang baik memerlukan murid yang setara, demikian juga sebaliknya, baru Brahma-Vidya ini akan dapat diterangkan secara sempurna tanpa keragu-raguan akan hakikat Sang Jati Diri. Ilmu ini tidak dapat diperoleh melalui perdebatan yang kosong dan berkepanjangan, tetapi melalui penalaran yang bersifat teramat lembut, karena Sang Atman itu sendiri adalah unsur terlembut diantara semuanya yang lembut. Hanya yang lembut yang sanggup mengenal sifat lembut lainnya dan kemudian lambat laun menyatu denganNya.

 

9.            Ilmu pengetahuan ini tidak dapat diperoleh melalui pertentangan, tetapi sebenarnya mudah dimengerti, wahai yang kusayangi, sewaktu diajarkan oleh seseorang yang tidak memiliki rasa dualisme ; dikau telah mendapatkannya sekarang ini; dikau telah bersatu dengan Kebenaran Hakiki. Semoga kita semua, wahai Nachiketas, mendapatkan murid seperti dikau.

Keterangan : Dapatkah mata kita melihat mata kita sendiri, tidak mungkin, kecuali melalui pantulan dicermin, itupun selalu merupakan pantulan yang terbalik. Demikian juga jiwa kita tidak mungkin menyaksikan Sang Atman melalui diskusi, perdebatan ataupun pertentangan kecuali melalui pantulan intuisi dan nurani kita yang sejati.

Seorang guru setaraf Yama Raja memerlukan seorang murid setaraf Nachiketas, barulah Brahma-Vidya ini layak untuk disebarluaskan dan untuk dipelajari. Dan hal ini tidak terjadi setiap hari, oleh karena itu Yama Raja menguji sang murid dengan mengatakan semoga para guru dapat memperoleh murid-murid setaraf Nachiketas, baru sang murid dan sang guru tersebut beruntung.

 

10.         Ketahuilah bahwa harta ini bersifat tidak abadi (Karma dan pahalanya) karena lazimnya sesuatu yang bersifat abadi tidak dapat dicapai oleh sesuatu yang tidak abadi. Oleh karena itu pada masa lalu upacara Agni-Hotra Nachiketas telah dilaksanakan olehKu melalui factor-faktor yang bersifat tidak abadi, walaupun begitu aku telah mendapatkan yang Abadi.

Keterangan :  Yama Raja yang teramat kagum akan kecerdasan dan sifat-sifat Nachiketas, menerangkan kepada sang muridnya bahwa dimasa lalu iapun pernah melakukan pencaharian spiritual seperti yang sedang dilakukan oleh Nachiketas, dan pada waktu itu Yama Raja telah melaksanakan Agni-Hotra Nachiketas yang sebenarnya adalah suatu bentuk ritual yang tidak bersifat abadi, tetapi walaupun begitu ternyata Yama Raja akhirnya menemukan Keabadian yang Hakiki, bahkan dari Yang Maha Esa beliau mendapatkan tugas sebagai Dewa Kematian.

 

11.         Akhir dari semua hasrat, basis dunia, pahala tanpa akhir hasil pengorbanan, dunia lain dimana tidak terdapat kekhawatiran, hal-hal yang pantas dibanggakan, Brahmaloka (semua aspek ini adalah ciri-ciri dari Brahmaloka yang juga dikenal dengan nama Hiranyagarha di Rig Veda, yang juga disebut tujuan moksha yang merupakan idaman semua pemeluk agama Hindu), semua aspek ini didambakan oleh kaum yang bijak, wahai Nachiketas, tetapi secara tegar dan penuh dengan budhi dikau menolak semuanya itu.

Keterangan : Yama Raja sangat tergetar dan kagum melihat Nachiketas secara tegar menolak bahkan Hiranyagarbha yang selalu didamba-dambakan oleh umat Hindu sedunia, bukankah setiap manusia mendambakan moksha dan ingin tinggal di Brahmaloka, sorga tertinggi. Tetapi Nachiketas lebih mendambakan ilmu pengetahuan akan Realitas yang Maha Kuasa, dan ia yakin bahwa dihadapannya hadir seorang guru agung (Yama Dewa) yang tanpa tandingannya dijajaran para dewa dewi. Sang gurupun sebaliknya amat bangga mendapatkan murid yang penuh dedikasi dan tingkat kesadaran spiritual (Vairagya) yang teramat tinggi dan mulia ini, padahal baru berusia sembilan tahun. Nachiketas yakin bahwa semua upacara ritual yang kosong dan untuk pertunjukan belaka tidak akan mungkin menandingi ilmu tentang Sang Jati Diri bagi umat manusia sepanjang masa.

 

12.        “Seorang Resi yang bijak, melalui jalan meditasi dan pengarahan semadinya ke sang Jati Diri akan menemukan Yang Maha Kuna (Puranam), yang sulit untuk disaksikan, yang tersembunyi didalam relung hati sanubari, yang bersemayam dijurang yang paling dalam, yang berastana didalam budhi dan yang sebenar-benarnya duduk ditengah-tengah berbagai kegalauan pikiran dan nafsu, Resi ini jauh dari kebahagiaan dan penderitaan (karena telah melepaskan semua itu).”

Keterangan : Yama Raja secara tersirat tetapi langsung menerangkan kepada Nachiketas bahwa ada Kebenaran Abadi yang lebih lembut dari totalitas pikiran dan seorang pencari kebenaran mampu mencapainya serta menyadari akan Hakikatnya yang disebut, “Inilah Aku” (Ayam Aham Asmi) suatu bentuk kemanunggalan yang begitu intim dan penuh karunia dengan Sang Jati Diri. Yang Maha Kuna (Puranam) adalah salah satu sebutan untuk Yang Maha Kuasa, yang telah hadir dari masa-masa teramat silam (Kuna).

Sang Atman yang merupakan manifestasi dari Yang Maha Kuasa (Paramatman) disebut juga sebagai Yang Maha Kuna. Seseorang tidak begitu saja dapat menyaksikan Ishwara Dharsana (menyaksikan Sang Jati Diri), ibarat kita pergi menonton film tetapi haruslah melalui upaya samadi yang dilandasi faktor-faktor non-ego, non-nafsu dan lain sebagainya.

Nachiketas oleh Yama Dewa dianggap sangat pantas untuk dibimbing dengan Brahma-Vidya ini ; tetapi barangsiapa membaca, mempelajari, menghayati dan melaksanakan yang tersirat di Upanishad ini seharusnyapun berkeuntungan sama dengan Nachiketas.

 

13.         Setelah mendengar dan menyadari Sang Jati Diri secara benar, seseorang yang telah mencapai Hakikat Sang Atman yang lembut dan abstrak ini (karena tidak dapat diraba) menjadi teramat bahagia, karena insan ini telah mendapatkan sumber dari segala kebahagiaan. Kupikir tempat bersemayam Sang Brahman (Kebenaran) telah terbuka luas untuk Nachiketas.

 

14.         Nachiketas berucap : “Sesuatu (Itu) yang dikau saksikan (berciri lain) berbeda dengan Kebajikan dan sebaliknya, dengan Kebenaran dan sebaliknya, yang berbeda dari hukum karma (sebab dan akibat) yang berbeda dari masa yang akan datang, terangkanlah sesuatu tersebut kepadaku.

Keterangan : Langsung saja, tanpa basa basi Nachiketas bertanya akan Hakikat Yang Maha Esa yang “seakan-akan” sudah disadari olehnya sendiri sebagai suatu unsur yang berbeda dan berada diatas Kebajikan dan Kebathilan, diatas hukum karma, bahkan jauh dari masa lampau, saat ini ataupun masa-masa yang akan datang. (Para ahli menerangkan bahwa sloka mantra diatas sebagai suatu protes halus oleh Nachiketas kepada gurunya. Ia minta langsung saja diajarkan penjabaran akan Hakikat Yang Maha Esa tanpa embel-embel agama).

 

15.         Yama berucap : “Tujuan (Kata) yang disebut-sebut selalu oleh semua Veda (yang dipuja puji), yang menjadi tujuan semua ritual dan tapa-brata, yang didambakan oleh para Brahmacharin (mereka-mereka yang tidak melakukan hubungan seksual), langsung saja kuberitahukan kepadamu. Ia adalah OM.”

Keterangan : Langsung saja Yama Dewa menyatakan dengan tegas dan jujur bahwa tujuan kebenaran tersebut yang berada jauh diatas dharma dan adharma adalah OM. Semua Veda diatas berarti juga seluruh Upanishad yang berjumlah 108 buah (tasbih Hindu berjumlah 108 butir yang melambangkan 108 Upanishad), kekosongan yang hadir ditengah-tengah untaian tasbih adalah OM yang selalu tersirat didalam setiap ajaran Veda, Upanishad atau karya-karya sastra suci lainnya. Dimasa yang lalu para Resi telah mensimbolkan Tuhan Yang Maha Esa dengan symbol Omkara agar Beliau dapat dipuja sebagai Saguna Brahman (Tuhan yang berwujud). Tetapi kata OM tidak terdapat di Rig atau Atharva Veda, melainkan didapatkan di Aittireya Samhita yang terdapat di Yajur Veda. Pada saat ini symbol Omkara adalah symbol penyatu umat Hindu dimana saja, tidak ada pemujaan atau mantra yang tidak dimulai dengan OM. Seharusnya faktor ini menyadarkan kita agar tidak bersengketa satu dengan yang lainnya karena merasa Tuhan, atau dewa atau Junjungan yang kita puja lebih suci atau superior dari yang lainnya. OM sendiri sudah ditentukan sebagai symbol atau lambang tertinggi dari Hindu Dharma darimana semua berasal dan akan kembali.

 

16.         Kata ini adalah Brahman itu sendiri, kata ini adalah hakikat tertinggi, barangsiapa yang sadar akan arti kata ini, secara benar, akan mencapai apapun yang dihasratkannya.

Keterangan : Dimasa yang silam di Veda, OM juga dipergunakan sebagai puja puji kepada Tuhan yang Maha esa dan dapat juga berarti “Yah, terjadilah (KehendakMu)”.

Disloka mantra diatas, kata OM berarti Realitas. Dewasa ini setelah melalui berbagai penalaran spiritual dimasa-masa yang lalu, symbol OM tidak saja diartikan sebagai suatu lambang tertinggi tetapi OM dihormati sebagai pengejawantahan dari Realitas yang berciri Relatif. Seseorang dapat dan boleh bermeditasi ke symbol ini sebagai tujuan semadinya. Dia pasti akan mecapai tahap, “ini adalah Aku” (Ayam Aham Asmi). Sedangkan kata diatas, “mendapatkan apapun yang dihasratkannya”, tidak berarti Nachiketas harus mengikuti semua hawa nafsunya, tetapi pada tahap ini ia menyatu dengan Sang Jati Diri, apapun yang terpercik disanubarinya akan segera terealisir, dan kalau yang dihasratkannya adalah penyatuan dengan sang Atman, maka ia akan langsung terserap kedalamNya. Juga seandainya seseorang menghasratkan Brahma-Loka, maka ia akan mencapainya, dan seandainya tanpa pamrih ia bermeditasi dengan tujuan mencari dan menghayati yang Maha Esa, maka ia akan berubah menjadi “Itu” (Yang Maha Esa itu sendiri dengan melebur kedalamNya).

 

17.         Sandaran ini teramat agung dan luhur. Sandaran ini adalah Yang Maha Tinggi. Barangsiapa memahami sandaran ini akan bersuka ria di Brahma-Loka.

Keterangan : Sloka diatas agak membingungkan bagi kita semua, yang dimaksud sebenarnya adalah sebagai berikut. Dalam bahasa Sansekerta, Brahma-Loka dapat berarti ganda, yang pertama adalah Brahma-Rupi Loka (Lokanya Sang Atman, Jati Diri) dan yang kedua adalah Lokanya Sang Brahma, Sang Pencipta. Seorang upasaka (pemuja) melalui jalan karmanya pada akhirnya akan masuk ke Lokanya Sang Brahma. Sedangkan yang berkontemplasi ke OM dan menyadari akan Kebenaran yang Hakiki akan terserap ke Beliau yang bersifat Absolut. Dengan kata lain para ahli menyimpulkan bahwa Yama Raja secara tegas menyatakan ada dua Brahma-Loka, yang pertama dapat dicapai melalui karma (pemujaan) dan yang kedua melalui jalan Gyana (ilmu pengetahuan).

 

18.         Sang Atman yang penuh dengan kecerdasan tidak dilahirkan, tidak juga Beliau meninggal dunia ; Beliau tidak timbul dari apapun juga dan tiada suatu apapun juga yang timbul dariNya ; Tak terlahirkan, Abadi, hadir selamanya, Kuna (sudah ada semenjak masa yang amat silam). Beliau ini tidak dapat dibantai walaupun raga ini dapat dibinasakan.

Keterangan : Resi Vyasa sebagai pengarang karya suci Bhagavat Gita telah mengkristalkan arti Atman dalam dialog-dialog suci antara Khrisna dan Arjuna. Berkali-kali, dari satu kurun waktu ke kurun waktu yang lainnya ajaran mengenai Sang Atman selalu diturunkan oleh Yang Maha Esa, tetapi manusia cenderung menyukai ritual dan upacara-upacara daripada berkontemplasi ke Yang Maha Esa.

 

19.         Seandainya seorang pembantai berpikir, “aku telah membantai”, dan seandainya yang telah dibantai berpikir, “aku telah dibantai”, maka kedua-duanya tidak paham akan arti sesungguhnya. Sang Atman tidak membantai dan tidak juga terbantai.

 

20.         Sang Atman yang lebih lembut dari yang terlembut, lebih agung daripada yang teragung, bersemayam didalam hati sanubari setiap mahluk hidup. Barangsiapa bebas dari berbagai hasrat dan keinginan dengan pikiran dan indera-inderanya yang terkendali, akan mendapatkan (menyaksikan) Kebesaran Sang Jati Diri dan terbebas dari penderitaan.

Keterangan : Mungkin membingungkan untuk membayangkan mengapa Sang Atman disebut lebih lembut dari yang terlembut. Beliau disebut terlembut karena Beliau bersemayam didalam relung hati sanubari kita yang paling dalam dan terselubung oleh sang jiwa. Beliau juga disebut sebagai yang terbesar diantara yang paling besar karena tidak ada mahluk hidup dan benda yang tidak berintikan Sang Atman ini, dan coba membayangkan seluas apakah alam semesta ini, jadi seluas apakah Sang Jati Diri ini (Yang Maha Esa ini).

Dengan  kata lain coba simak, Sang Atman = Paramatman = Alam Semesta = Tuhan Yang Maha Kuasa ; lalu dibalik urutannya menjadi Tuhan Yang Maha Kuasa = Alam Semesta (Bhur-Bwah-Swah) = Paramatman = Sang Atman (yang hadir disetiap benda dan mahluk hidup). Faktor (pengetahuan ini) disebut Atma-Tatva.

 

21.         Sewaktu ia duduk ia pergi jauh, sewaktu ia berbaring ia pergi kemana-mana. Siapa lagi, oleh karena itu, selain aku yang dapat memahami keberadaan Tuhan Yang Maha Esa yang berbahagia dan tidak berbahagia.

Keterangan : Sang Atman hadir seakan-akan satu disetiap raga, padahal Beliau pada saat yang bersamaan hadir dimana-mana memenuhi seluruh rongga-rongga alam semesta melalui yoganya. Diatas terkesan Yama Dewa bersifat arogan dengan mengatakan bahwa hanya ia sendiri yang dapat memahami akan hakikatNya. Sebenarnya para ahli menyimpulkan bahwa kata-kata tersebut tercetus begitu saja secara spontan dari seorang guru sejati yang telah manunggal dengan Sang Atman.

 

22.         Seseorang yang bijak tidak akan bersedih hati seandainya ia paham akan Sang Atman sebagai yang tak memiliki raga, yang bersemayam secara tegar diraganya para mahluk yang luar biasa, Yang Maha Agung dan Yang Maha Hadir dimanapun juga.

 

23.         Sang Atman ini tidak dapat dicapai dengan mempelajari berbagai Veda, tidak juga dengan kecerdasan ataupun dengan banyak mendengarkan (ceramah-ceramah spiritual misalnya). Sang Atman hanya dapat dicapai oleh seseorang yang telah memilikinya semata-mata sebagai tujuan hidup dan tujuan dedikasinya. Kepada seseorang pemuja ini Sang Atman mengungkapkan sifatNya Yang Sejati (Sang Jati Dirinya).

Keterangan : Banyak pemuja di India yang memiliki kecerdasan spiritual yang amat mengagumkan seperti misalnya ada yang mampu menghafal seluruh teks Bhagavatam dengan sempurna. Ada yang mempunyai ingatan (memori) dan memampu menyanyikan seluruh mantra-mantra diberbagai Upanishad. Bunda Sruthi mengajarkan kepada kita bahwa semua aktivitas ini hanya membuang-buang waktu saja dan merupakan penghamburan energi secara sia-sia dan tidak akan menghasilkan suatu Atman-Dharsana. Adalagi manusia-manusia yang gemar bertirta-yatra, mandi ditempat-tempat suci, melakukan berbagai upacara, Sat-Sangh dan sering sekali semua ini dilakukan secara megah dan besar-besaran sekedar pertunjukan belaka. Menurut Sruthi inipun sia-sia saja, lalu apa gunanya semua ritual dan upacara. Sruthi menjawab, jadikan para resi (dari masa-masa yang telah lalu) sebagai pedoman, mereka ini selalu memfokuskan diri mereka ke Yang Maha Esa dan upacara yang mereka lakukan selalu bersifat sederhana dan penuh dengan itikad yang benar. Bagi yang tulus ini Sang Atman akan menunjukkan Jati Dirinya. Guru Nanak mengatakan bahwa barangsiapa disayangi olehNya, maka ia akan mendapatkan DharsanaNya. Lalu bagaimana caranya agar kita dapat menjadi hamba kesayanganNya?

 

24.         Tetapi barangsiapa belum menjauhi perbuatan-perbuatan yang buruk, yang indera-inderanya belum dikendalikan, yang jalan pikirannya belum terkonsentrasi, yang pikirannya belum bersifat Ahimsa (non-kekerasan), tidak akan mencapai Sang Atman ini melalui ilmu pengetahuan.

Keterangan : Hampir  seluruh ajaran Sanathana-Dharma berpedoman pada tiga prinsip utama : Bramacharya, Satyam dan Ahimsa. Tanpa ketiga factor ini sebuah upacara, ritual meditasi dan yagna ataupun pelaksanaan spiritual lainnya akan sia-sia saja, karena akan terjerumus kepelaksanaan yang bersifat adharma.

Ketiga faktor tersebut tanpa ditunjang kendali diri dan kontemplasi samadi ke Yang Maha Kuasa tidak akan menghasilkan Atma-Dharsana.

 

25.         Bahkan golongan Brahmana dan Keshatriya yang dianggap manusia-manusia unggul diantara jajaran manusia, hanyalah ibarat sesuap nasi yang dengan mudah dapat ditelan dan dicernakan oleh Yang Maha Kuasa!

  

Dengan ini berakhirlah Vali kedua dari Bab – 1

 

Keterangan : Mantra sloka diatas ingin menegaskan sekali lagi, bahwa manusia ini tidak perlu bersikap sombong atau terlalu membanggakan diri seakan-akan hanya dia dan golongannya saja yang mulia. Bahkan mereka yang menganggap dirinya golongan mulia seperti kasta Brahmana atau Keshatriya tidak lain dan tidak bukan ibarat sesuap nasi bagi Tuhan Yang Maha Kuasa, dan kematian mereka diibaratkan sambal (acar berupa sambal).

Mereka- mereka yang mengagungkan wangsanya adalah mereka yang tidak mungkin mampu menghayati Sang Jati Diri. Dengan kata lain setiap insan tanpa memandang statusnya adalah ibarat santapan bagi kematian itu sendiri. Jadi sia-sialah semua upaya ritual, kecerdasan dan lain sebagainya kalau tidak disertai kemurnian pikiran, ketenangan, kendali diri, dan unsur-unsur Dharma lainnya yang berpedoman kepada kebenaran.

 

 

BAGIAN   –   3

Sebuah perumpamaan (amsal) dari sebuah kereta (gerobak) yang mengajarkan Adiatma-yoga (ilmu pengetahuan tentang Sang Jati Diri), yang mengikat setiap jiwa (ibarat sapi yang terikat pada sebuah gerobak) dengan Jiwa yang maha utama.

 

1.            Kedua-duanya yang menikmati pahala dari kebajikan-kebajikan mereka, yang bersemayam direlung hati (seseorang) yang merupakan singgasanaNya Yang Maha Kuasa, yang oleh yang mengetahui (memahami) akan sang Brahman disebutkan sebagai sang bayangan dan sang cahaya ; begitu juga hal ini dipahami oleh mereka-mereka yang melaksanakan agni-hotra yang berangkap lima dan juga yang dipahami oleh mereka-mereka yang bersujud tiga kali ke agni-hotra Nachiketas.

Keterangan : Sloka mantra diatas pastilah membingungkan para pembaca pada umumnya. Dibawah ini kami coba untuk menerangkannya secara sederhana.

Kata kereta atau gerobak adalah sebuah metaphor/amsal atau sebuah perumpamaan yang sangat terkenal dikalangan masyarakat India. Raga manusia diibaratkan dengan gerobak penarik beban, disebuah gerobak biasanya duduk seorang kusir yang tentunya adalah si pemilik gerobak. Yang dimaksudkan kusir disini adalah Paramatman, Sang Jati Diri dan “si pemilik” adalah Sang Jiwa (Jiwatman),yang melingkupi ego, ilmu pengetahuan dan semua aspek-aspek kehidupan duniawi.

Dengan ini dimulailah ajaran Yama Dewa mengenai Adiatma-Yoga. Para ahli menyimpulkan kedua faktor diatas, Atma (Jati Diri) dan Jiwa (ego) adalah faktor-faktor pengendali dan pelaksana berbagai tindakan sang raga, walaupun begitu Sang Jiwa adalah replika atau bayangan dari Sang Atman. Sang bayangan tidak akan eksis tanpa subjek utamanya juga eksis. Sumber utama ini disebut sebagai Paramatman (Atman Utama) dan sang replika/bayangan adalah Sang Jiwa (Jiwatman).

Berbagai pahala sebagai akibat dari berbagai pelaksanaan dan karma manusia dirasakan dan dinikmati oleh Sang Jiwa. Kata “kedua-duanya” disloka mantra diatas berarti Sang Jiwa dan Sang Atman adalah dua faktor yang bekerja sama didalam kereta (raga). Kedua faktor tersebut bekerja sama tetapi Sang Jati Diri hadir sebagai Saksi Utama dari setiap pelaksanaan Sang Jiwa. Oleh karena itu tidak dapat dipahami oleh kaum awam, maka sering dianggap kedua-duanya menikmati pahala perbuatan mereka selama keduanya hadir didalam raga setiap insan. Padahal Sang Jiwa disebut juga aku yang palsu (duniawi dan ilusif), dan Sang Atman adalah Aku yang sejati. Aku yang sejati menuntun aku yang palsu. Kedua-duanya hadir didalam relung hati manusia yang paling dalam. Sang Atman adalah Sang Cahaya, Sang Budhi (intelegensia) utama, Ia dapat dicapai dengan jalan meditasi ; sedangkan Sang Jiwa adalah pelaksana semua raga. Kathopanishad mengagungkan jalan meditasi dan sekaligus juga tidak menentang kehidupan manusia sehari-hari. Melalui Sang Jiwa, Sang Atman bekerja secara misterius meniti jalan penyatuannya dengan Sang Paramatman.

 

2.             Pengorbanan (Nachiketas Agni-Hotra) adalah ibarat sebuah jembatan bagi mereka yang melaksanakan pengorbanan ini, dan juga merupakan jembatan ke Brahman Yang Abadi, Yang Maha Tinggi dan Yang Maha Pemberani, dan juga merupakan jembatan keloka-loka lainnya bagi mereka-mereka yang ingin menyeberangi Samudra Samsara ini . . . “Nachiketas ini seharusnya kita pahami (kuasai)”.

Keterangan :  Pengorbanan dalam bentuk Agni-Hotra Nachiketas adalah jembatan yang menghubungkan manusia dengan berbagai loka-loka, juga kearah kesadaran spiritual dan ke keabadian. Nachiketas harus dipahami, berarti fenomena Nachiketas, perjuangan dan baktinya yang merupakan inti tujuan kehidupan inilah yang harus kita kuasai (dipahami dan dilaksanakan dengan baik).

 

3.            Pahamilah bahwa Sang Atman sebagai Penguasa (pengendali kereta), dan raga ini sebagai kereta; pahamilah bahwa budhi (intelek) sebagai kusir dan pikiran (manusia) sebagai tali kekang (sang kuda).

Keterangan : Sloka diatas merupakan sebuah analogi terkenal didalam berbagai literatur Hindu Dharma khususnya di Bhagavat Gita dan Swataswatara Upanishad.

 

4.            Berbagai indera (instink) disebutkan sebagai kuda-kuda (yang menarik kereta), dan jalan-jalan yang dilalui kereta ini adalah tujuan-tujuan indera-indera ini. Para kaum bijak menyebutNya sebagai Sang Penikmat (sewaktu Beliau) bersatu dengan sang raga, berbagai indera dan sang pikiran.

Keterangan : Yang disebut sebagai indera-indera atau indrias adalah mata, telinga, hidung, anus, kemaluan, mulut dan sang pikiran. Secara kolektif indrias ini tidak saja berarti organ-organ sensual tetapi juga organ-organ pelaksanaan pekerjaan kita sehari-hari, oleh karena itu disebut juga organ sensual dan instink. Pemahaman ini didasarkan pada ajaran-ajaran philosofi Sankhya dari Vedanta.

Ada suatu hal yang menarik mengenai organ-organ sensual ini, misalnya mata tidak dapat mendengar, dan telinga tidak dapat melihat. Secara keseluruhan ini berarti setiap indera ini mempunyai area eksplorasi yang terbatas, tetapi kerja sama semua indrias ini dapat menghasilkan sesuatu yang luar biasa bagi manusia si penyandang semua organ sensual ini. Para ahli menyatakan hasil kerja indera-indera sensual ini dirasakan dan dinikmati oleh Sang Jiwa dan disaksikan serta dimonitor oleh Sang Atman. Kedua-duanya bekerja sama demi tercapainya tujuan spiritual manusia itu sendiri yaitu penyatuannya dengan Sang Pencipta.

 

5.            “Seseorang yang senantiasa tidak terkendalikan jalan pikirannya, yang tidak memiliki pengetahuan yang benar, maka organ-organ sensualnya berubah menjadi tak terkendalikan ibarat kuda-kuda liar yang terikat pada sebuah kereta.”

Keterangan : Bayangkan sebuah kereta dengan begitu banyak kuda yang berlarian kian kemari tanpa koordinasi dan liar, begitupun raga ini tanpa kendali. Andaikan seseorang menyadari bahwa diatas kuda-kuda ini ada sang pengendali yaitu Sang Jati Diri, maka jalan meniti Kebenaran akan lebih jelas.

 

6.            Tetapi barangsiapa yang mengetahui (sadar akan) Beliau (Sang Jati Diri) dan yang jalan pikirannya terkendali, maka berbagai indera-inderanya terkendali ibarat kuda-kuda yang jinak.

Keterangan : Oleh karena itu setiap manusia sebaiknya menjadi seorang kusir yang bertanggung jawab, dan dengan demikian raga ini akan dapat dikendalikan dengan baik. Orang semacam ini disebut sebagai Sadhaka (pencari kebenaran), ia juga disebut sebagai Yukta, karena ia mampu mengendalikan indera-indera sensualnya dengan baik. Orang-orang bijak bahkan menyebutnya sebagai Vignawan (yang memiliki budi pekerti dan ilmu yang tinggi).

 

7.            Dan barangsiapa jauh dari pengertian yang seharusnya (pantas), tiada memiliki pikiran yang wajar dan selalu bersikap kotor, maka orang ini tidak akan pernah mencapai tujuan tersebut (dan selalu) akan masuk kedalam putaran-putaran kematian dan kehidupan yang berulang-ulang.

 

8.            Tetapi barangsiapa memiliki sifat yang cerdas dan selalu bersih perilakunya, dengan pikirannya yang terkendali akan mencapai tujuan tersebut , dimana ia tidak akan terlahir kembali.

 

9.            Seseorang yang memiliki budhi (intelegensia spiritual) bagi kendali dirinya dan yang jalan pikirannya terkendali dengan baik, orang ini akan bertahan (dalam pencariannya), ia akan mencapai ujung perjalanannya yaitu Atananya Sang Hyang Vishnu, Yang Maha Kuasa.

Keterangan : Astana Sang Hyang Vishnu disloka diatas bukan berarti Vaikunta-Loka, tempat bersemayamnya Dewa Vishnu, tetapi lebih mengungkapkan Vasudeva (Krishna) Sang Paramatman. Disloka-sloka diatas, perumpamaan raga manusia, jiwa dan Atman telah diibaratkan sebagai kereta, kuda-kuda liar, pengendali (kusir) dan pengamat. Melalui pengetahuan yang sebenarnya sangat sederhana ini saja, seseorang pada hakikatnya sudah mendapatkan ajaran Brahma-Vidya (ilmu pengetahuan mengenai Brahman) secara mudah dan sekaligus mendapatkan petunjuk kearah keselamatan dan pembebasan yang sekaligus menyatukan Sang Jiwa, Sang Atman dengan asal usulnya yaitu Sang Paramatman (Para Brahman atau Vasudewa).

 

10.         Diatas organ-organ indrias terdapat objek-objek (tujuan) indrias ; diatas objek-objek indrias ini terdapat sang pikiran; dan diatas sang pikiran terdapat intelek (budhi) dan diatas budhi terdapat (bersemayam) Sang Jati Diri yang maha agung.

Keterangan : Kata “diatas” dalam sloka mantra ini sering juga diartikan sebagai “didalam”  atau “lebih lembut dari”.

Contoh : lebih lembut dari berbagai indrias adalah dsb.

Diajaran Bhagavat Gita terdapat sloka yang amat mirip dengan sloka diatas dan oleh Sang Krishna diajarkan bahwa barangsiapa sadar akan Sang Jati Diri ini ia akan secara otomatis mengendalikan unsur-unsur yang berada dibawahnya dan begitulah seterusnya, sehingga pada suatu saat seluruh jiwa raganya terkendali dengan sempurna.

 

11.         Diatas Yang Maha Agung (Mahat) terdapat Avyaktam (Yang Tak Termanifestasikan). Diatas Avyaktam terdapat Purusha ; diatas Purusha terdapat kekosongan; kekosongan ini adalah ujung jalan; ujung jalan ini adalah tujuan terakhir.

Keterangan : Menurut para peneliti dan ahli Hindu-Dharma, Yang Maha Esa selalu bersemayam didalam Keadaan Yang Sempurna. Tetapi sesuai dengan kehendak Beliau sebagai Sang Pencipta, Beliau menciptakan Sang Maya (Ilusi duniawi, prakriti) dan dari Sang Maya ini lahir jajaran jagat raya ini beserta seluruh fenomena dan manifestasinya yang disebut sebagai Avyaktam yang tak dapat dijabarkan luas atau kebesarannya. Harap diperhatikan berbagai istilah seperti Avyaktam, Pradhana, Mula-Prakriti, Avyakrii dan Maya berarti sama. Dan diatas semua faktor ini hadir Sang Purusha (Yang Maha Kuasa) yang merupakan tujuan akhir dari semua bentuk kehidupan didunia ini (yang termanifestasi). Lalu apa yang eksis diatas Sang Purusha? Sruthi mengatakan secara tegas yang eksis adalah kekosongan, dan kekosongan ini adalah yang paling atas atau akhir (Sa Kasta).

 

12.         Atman (Sang Jati Diri) ini tersembunyi didalam setiap mahluk hidup dan tidak bercahaya keluar tetapi Beliau dapat terlihat oleh mereka-mereka yang memiliki penglihatan yang lembut melalui budhi (intelek), mereka yang tajam dan halus.

Keterangan : Menakjubkan sekali Sang Atman ini, Beliau sebenarnya hadir didalam diri kita dari masa ke masa, dari kita masih berbentuk sperma, kemudian menyatu dengan indung telur ibu kita dan kemudian berubah diri menjadi janin dan seterusnya lahir sebagai jabang bayi yang polos dan seterusnya tumbuh dewasa dan menjadi tua. Beliau selalu hadir dan menuntun kita ke kematian kita dan terus mengikuti kita dalam kelahiran dan kematian kita yang berulang-ulang. Karena “kebodohan” kita, maka Beliau (Sang Atman) ini tidak terlihat wujud dan hakikatnya oleh kita yang sehari-hari tenggelam dalam jalannya Sang Maya. Dunia materi dari semasa kanak-kanak telah membenamkan kita kedalam lumpur kegelapan, tetapi mereka-mereka yang menjalani kehidupan ini secara eling (sadar), yang hidupnya didedikasikan senantiasa kepada Yang Maha Esa secara utuh, akan menyaksikan Sang Jati Diri didalam diri mereka (Atma-Tattwa). Berdedikasi kepadaNya bukan berarti lalu kita harus menjadi Pandita, Resi, Brahmana dan lain sebagainya. Seseorang dapat mendedikasikan dirinya sesuai dengan hati nuraninya karena ia memiliki sifat-sifat seperti yang diutarakan disloka mantra 8, 9 dan 12 diatas.

 

13.         Sebaiknya seorang yang bijak membenamkan (menyatukan) kata-katanya kedalam jalan pikirannya, dan membenamkan pikirannya kedalam budhinya dan membenamkan budhinya kedalam Sang Atman Yang Maha Agung, dan membenamkan Sang Atman Yang Maha Agung kedalam Sang Atman Yang Maha Damai (tenang).

Keterangan : Kata membenamkan diatas berarti “menyatukan dengan kesadaran”. Jadi sehari-hari sebaiknya kita membiasakan diri kita berkata-kata identik dengan jalan pikiran kita, dan sang pikiran sebaiknya menjauhi hal-hal yang bersifat munafik, dan harus bersatu dengan sang budhi. Dengan demikian setiap bentuk pikiran kita seperti keragu-raguan, rasa terombang-ambing, berbagai nafsu yang menggoda, emosi dan lain sebagainya sebaiknya dipasrahkan kepada sang budhi untuk dikendalikannya. Lalu budhi yang sudah tegar ini menyatu dengan penuh kesadaran dan terserap dalam meditasi yang berkesinambungan dan dalam yang disebut sebagai tahap Thuriya Avastha. Ditahap ini sang pemuja dan yang dipuja menyatu (manunggal) dan sadarlah seorang pemuja tersebut akan Sang Jati Diri yaitu Sang Purusha itu sendiri. Tahap meditasi ini disebut juga sebagai tahap penyatuan, ditahap ini semakin lama ego kita semakin sirna dan cahaya Sang Atman memasuki jiwa dan budhi kita, dan selanjutnya dari budhi ke pikiran dan ke perilaku kita sehari-hari yang tentu saja sudah tidak bermotifkan kepentingan pribadi lagi, tetapi semata-mata adalah demi Yang Maha Esa semata.

 

14.         Bangkitlah, sadarlah; Para Resi-resi agung setelah mencapainya sadar akan Sang Atman. Para kaum bijak mengatakan : jalan ini ibarat ujung pisau yang teramat tajam, jalan ini sulit untuk diseberangi apa lagi untuk dilintasi.

Keterangan : Sloka diatas seakan-akan ingin menyatakan kepada kita semua, bahwa jalan menuju kearah Kebenaran, kearah penyatuan dengan Sang Atman bukanlah jalan yang mudah, dan para guru-guru agung dan suci dimasa-masa yang lampau, begitu mencapainya bersukaria dalam karuniaNya, dan karena itikad mereka sangat bersih, maka ilmu pengetahuan akan Sang Jati Diri ini dijabarkan oleh mereka melalui berbagai ajaran yang pada saat ini dikenal dengan berbagai sebutan seperti Sruthis, Shastras, Upanishads, Vedas, Bhagavat Gita dan lain sebagainya.

Tetapi walaupun semua jalan ini sudah dibuka luas, tetap saja setiap jalan yang menuju ke Maha Kuasa ini sulit dijalani oleh manusia, dan diibaratkan sebagai ujung pisau yang amat tajam dan bahkan mampu melukai kita setiap saat.

Para guru (disloka mantra diatas) berseru, bangkitlah dan sadarlah, tetapi aduh, manusia tidak sadar juga akan ajakan yang tanpa pamrih ini. Untuk dapat sadar dan bangkit, kita semuanya memerlukan guru penuntun yang tanpa pamrih. Di Indonesia jenis guru atau resi semacam ini sudah langka sekali dan umat yang sehari –hari berhubungan dengan para pendeta yang mungkin “korup” malahan bertambah galau jalan pikirannya daripada mendapatkan tuntunan yang semestinya sesuai dengan jalan dharma. Lalu untuk para pencari kebenaran dharma ini, kalau guru-guru yang baik langka, apakah kita harus ke India mencarinya? Haruskan kita memaksakan diri kita? Sebenarnya semua ini tidak perlu, dengan mempelajari karya-karya suci dan selalu mohon tuntunan ke hadiratNya, dipastikan Yang Maha Esa akan memberikan jalan keluar terbaik kepada setiap individu. Setiap hal akan terwujud pada saat yang tepat, dikesempatan yang tepat, untuk seseorang yang tepat, sesuai dengan kehendak dan karuniaNya.  Yang maha penting adalah agar bangkit, melangkah dan secara sadar menuju kearah kebenaran tanpa suatu target atau pamrih. Yama Dewa adalah seorang guru sejati sifatnya, Beliau selalu mengutip ajaran-ajaran para resi, walaupun Beliau sendiri sudah menyatu dengan Yang Maha Esa.

 

15.         Barangsiapa yang telah mengenal itu yang tanpa suara, tanpa sentuhan, tanpa bentuk, tanpa kematian, tanpa tersia-sia, abadi, tanpa penciuman, tanpa permulaan, tanpa akhir, diatas (luar) Mahat (Yang Agung), yang tak berubah-ubah, maka seseorang ini akan dibebaskan dari cengkeraman kematian.

Keterangan : Tentu para pembaca masih ingat akan pertanyaan Nachiketas kepada Yama Dewa, apakah ada kehidupan setelah kematian, dan jawabannya ternyata kesana dan kemari, malahan bisa-bisa membingungkan kaum awam. Sebenarnya sebagai seorang guru yang agung, Beliau tidak mau berbohong sedikitpun. Seandainya Beliau berkata bahwa tidak ada kehidupan, berarti Beliau membohong, karena eksistensi Yang Maha Kuasa selalu hadir dimana-mana, dan sebaliknya kalau Beliau berkata bahwa ada kehidupan setelah kematian, itupun tidak sesuai dengan kehidupan didunia ini. Walaupun demikian, semua jawaban Yama Dewa ini secara langsung atau tidak langsung sedang menggambarkan situasi yang sebenarnya setelah seseorang melewati kematiannya. Dan bagi kaum yang bijak serta sadar, intuisi mereka langsung menangkap makna yang tersembunyi didalam setiap kata-kata Yama Dewa.

Dunia materi dan dunia spiritual (alam sana) berbeda jauh situasi dan kondisinya. Di dunia ini manusia memakai berbagai bahasa untuk saling berkomunikasi, sedangkan menurut Sruthis, di dunia sana tidak ada sabda, tidak ada rasa, tidak ada bentuk dan lain sebagainya. Oleh karena itu, dialam sana organ-organ indrias kita tidak dapat berfungsi karena badan kasar sudah mati dan sudah ditinggalkan di bumi ini, jadi yang eksis disana adalah kebenaran yang hakiki. Dan seandainya seseorang sudah menyatu dengan Atman Yang Agung, maka penalaran spiritualnya tentu tidak mengenal lagi akan kelahiran dan kematian, ia berubah menjadi abadi seperti Maha Keabadian itu sendiri, karena telah menyatu kembali denganNya.

 

16.         Seseorang yang berbudhi (yang memiliki intelek spiritual) setelah mendengarkan dan mengulang-ulang kisah yang berasal dari masa yang teramat silam ini, yaitu kisah Nachiketas yang berguru ke Dewa Kematian, akan dimuliakan di dunianya Sang Brahman.

 

17.         Barangsiapa penuh dengan bakti mengulang-ulang rahasia tertinggi (ajaran ini) dihadapan para Brahmin, atau sewaktu seseorang menghaturkan sradha kepada para leluhurnya, maka ia akan mencapai keabadian (tidak akan pernah mati).

  

Dengan ini berakhirlah Vali ketiga dari Bab – 1 ini

 

Anantyaya Kalpathe (mencapai keabadian) yang disebutkan diatas jangan langsung diartikan secara harafiah. Keabadian tidak dapat dicapai hanya dengan mengulang-ulang isi buku atau mantra atau sloka dibuku ini, tetapi seseorang harus mencari, berdedikasi penuh bakti dan tanpa pamrih sehari-harinya penuh dengan usaha dhyana (semadi) yang berkesinambungan, sampai ia mencapai dharsana akan Swarupa (Sang Atman) nya yang sejati.

Dibagian satu Upanishad ini kita melihat sifat-sifat agung sang guru dan sang murid serta pernyataan akan fenomena-fenomena spiritual tentang masalah setelah kematian.

Dibagian kedua akan diterangkan secara filosofis mengenai sifat-sifat dari Sang Jati Diri. Bagian satu ini ditutup dengan mantra yang berikut :

 

“Semoga Beliau melindungi kita berdua.

Semoga Beliau memberkati kita berdua

dengan karunia ilmu pengetahuan,

semoga kita berhasil bersama-sama.

Semoga kita tidak bersengketa

satu dengan yang lainnya.”

 

OM Shanti Shanti Shanti

 

Disarikan dalam bahasa Indonesia yang sederhana oleh  mohan m . s. 

 

 

Kembali ke halaman utama Kathopanishad                    Kembali ke halaman induk Shanti Griya