KAIVALYOPANISHAD

Vinneka Tunggal Eka 

Sementara para ahli Hindu Dharma berpendapat bahwa berbagai Upanishad sebenarnya adalah intisari filosofi dari berbagai Veda, dan berhubungan secara masing-masing dengan keempat veda yaitu Rig, Yajur, Sama dan Atharva Veda (Atharvana Veda).

 Keempat Veda ini mengungkapkan ajaran dengan membagi diri mereka menjadi 4 bagian yaitu :

a)      Mantra-mantra (mantram)

b)      Brahmanas (tata cara upacara)

c)      Aranyakas (metode-metode meditasi, Upasanas)

d)      Upanishads (ajaran-ajaran para resi guru mengenai penciptaan dan tujuan penciptaan ini)

Seperti yang telah kita ketahui kata Upanishad dapat diartikan duduk di dekat seorang guru sambil mendengarkan ajaran beliau, atau mengajar sambil duduk berhadapan dengan para murid. Ajaran-ajaran ini ada yang bersifat adi-luhung dan adi-karya dan diakui sebagai ajaran-ajaran suci yang kemudian dikenal dengan sebutan Upanishad.

Konon di masa silam diperkirakan ada 1008 karya Upanishad ini, namun hilang entah kemana rimbanya. Ada yang dibumi hanguskan oleh Alexander yang pernah menjajah India dan ada juga yang telah dihilangkan secara sengaja karena berbagai alasan yang tidak diketahui dengan pasti. Di antaranya para ahli  memperkirakan ada sekitar 280 karya Upanishad ini yang masih belum dapat ditemukan tetapi seharusnya ada; dan ada sejumlah 108 karya lainnya yang telah ditemukan. Dari keseratus delapan karya ini 11 buah karya telah mendapatkan pengakuan dari para guru resi dan dari filsuf resi Sri Shankara Acharya, bapak Sanatana Dharma yang tanpa studi beliau tidak mungkin Hinduisme mencapai puncaknya seperti kini. Kesebelas karya-karya ini dianggap karya-karya yang agung sedangkan yang lain-lainnya dianggap biasa-biasa saja dan cukup untuk diajarkan kepada para pemula saja (tingkat pelajar), sedangkan kesebelas karya ini untuk para sishya yang sudah tinggi pemahamannya akan Sanatana Dharma ini. Kesebelas karya (ditambahkan satu lagi menjadi 12) karya ini adalah :                 

                - Katha                   - Isha

                - Kena                    - Prasna

                - Mundaka              - Mandukya

                - Taittiriya                - Aitareya

                - Chandogya           - Brihadaranyaka

                - Kaivalya                - Svetasvatara

Kaivalya Upanishad ini tercangkum di dalam Atharva Veda dan sering dianggap karya minor karena sedikit isi sloka-slokanya, namun makna yang dikandung sungguhlah agung dan sakral.

Berisikan dialog suci antara sang pencipta Brahma dan salah seorang sishyanya, dialog ini merupakan ajaran yang penuh dengan intisari spritual yang tinggi dan menakjubkan.

 

SHANTI PAT

 (PUJA-PUJI PERDAMAIAN)

 “Wahai para dewata ! Semoga kami senantiasa mendengarkan dengan telinga kami berbagai perihal yang bersifat suci dan murni; Wahai yang kami puja, semoga kami melihat hal-hal yang suci dengan mata kami. Semoga seluruh kehidupan kami yang telah ditentukan masanya ini dapat kami jalani secara sehat dan bahagia sambil selalu memuja-mujiMu. Semoga Hyang Indra yang dimuliakan, yang berasal dari masa yang teramat silam dan terkenal, semoga Pushan (Hyang Surya) yang maha mengetahui, semoga Hyang Bayu yang melaju cepat menjaga kami dari berbagai bencana, dan semoga Brihaspati yang menjaga harta benda kami yang bersifat spritual, memberkahi kami dengan kekuatan budhi (daya intelektual) agar kami mampu memahami karya spritual ini, dan memahami semangat yang menyertai ajaran ini.”

  

OM . . . SHANTIHI . . . SHANTIHI . . . SANTIHI

  

Keterangan : Puja-puji ini harus diucapkan sebelum memulai suatu ajaran suci. Para resi dan guru di masa lalu tidak pernah melupakan Shantipat sebelum mengajar. Biasanya doa ini diulang tiga kali, masing-masing untuk bhur-bwah dan swah, agar berbagai bencana yang bersifat Adhi-Divika (kodrat Ilahi), yang bersifat Adhi-Bhandika (bencana alam) dan Adhyatmik (bersifat negatif yang timbul dari sang pengajar dan para murid, contoh mengantuk, lelah, bosan, kurang iman, dan sebagainya) dapat dihindarkan, atau dikurangi dampaknnya seminimum mungkin. 

Semoga karya minor (ukurannya bukan isinya) ini akan bermanfaat bagi kita semuanya.

  

OM……..SHANTIHI………SANTIHI………SHANTIHI

OM   TAT   SAT

 

K A I V A L Y O P A N I S H A D

BAB I

“Kemudian Ashvalayana menghampiri Hyang Parameshti (Brahma Sang Pencipta) dan berkata :

Keterangan : Ashvalayana adalah seorang guru spritual yang terkenal dan disebut-sebut di Rig veda, berbagai mantram-mantramnya diterima dan dipergunakan oleh kaum Hindu (Sanatana Dharma) dari masa ke masa hingga kini.

Walaupun di zamannya itu beliau adalah seorang guru besar namun tetap saja beliau merasa kekurangan, maka dengan kesaktiannya dan kemampuannya ia menghampiri Sang Pencipta, yaitu Dewa Brahma dan memohon agar dibimbing ke arah Hyang Maha Purusha. Ashvalayana bukanlah insan sembarangan dan beliau telah menyiapkan dirinya dengan baik sebelum menghadap ke Hyang Brahma, dengan penuh viveka (kesadaran spritual) dan vairagya (jauh dari sifat dan berbagai hasrat duniawi) dan penuh dengan shad-sampati (yaitu enam sifat pengendalian diri) beliau juga telah mempersiapkan dirinya agar lepas dan bebas dari berbagai ikatan dan fenomena duniawi (mumukshattwam)…..dengan demikian beliau telah amat siap lahir dan batin dalam mendapatkan Brahma Vidya yang agung dan bersifat rahasia (terpendam secara spritual) ini.

 1.”Wahai Bhagawan, sudilah mengajariku ilmu pengetahuan tertinggi akan Sang Realitas (kebenaran hakiki), yang selama ini bersifat rahasia dan tersembunyi dari manusia, sebuah pengetahuan yang konon katanya di tangan seorang yang bijaksana sepenuh dosa apapun juga, dapat dipergunakannya untuk mencapai Hyang Maha Tinggi, Hyang Purusha.”  

Keterangan : Sebuah ajaran spritual yang bersifat terpendam dan dirahasiakan para guru tidak berarti tidak boleh dipelajari setiap insan manusia. Sebaliknya para resi guru  malahan mencari murid yang berbudhi tinggi berintuisi tajam agar dapat diturunkan berbagai Brahma Vidya  ini, dan sishya semacam itu sulit didapatkan, jadi sang ajaranpun makin hari makin terpendam dan dianggap rahasia, padahal sebenarnya sangat bersifat sakral. Disamping itu diperlukan sentuhan dan doa dari sang guru bagi muridnya agar ajaran tersebut dapat terserap oleh sang murid, dengan sentuhan atau pandangannya saja beliau akan mampu membuka cakrawala spritual sang murid dengan lebih luas sehingga tidak menimbulkan kesesatan dan malapetaka bagi sesamanya.

 2.”Kepadanya Leluhur Agung (Hyang Brahma) bersabda : Fahamilah berbagai bentuk iman, bhakti dan meditasi ini.”

Keterangan : Sewaktu seorang sishya menghampiri seorang guru yang agung penuh tata sopan santun, dan sang guru sadar bahwa dihadapannya hadir seorang sishya yang tepat dan memenuhi semua syarat-syarat spritual, maka adalah kewajibannya secara kodrati untuk mempersiapkan sishya ini ke jenjang spritual yang lebih tinggi dan menurunkan ilmu pengetahuan yang dimilikinya penuh dengan tanggung jawab dan kasih sayang. Apalagi di karya agung ini terlibat dua orang guru, yang satu Hyang Brahma dan yang satu lagi seorang guru resi.

Dengan singkat tetapi tegas Hyang Brahma bersabda bahwa dasar dari pemahaman Brahma Vidya ini adalah : iman (Sradha), bhakti dan dhyana. Ketiga fungsi hati nurani ini kalau digabungkan dengan baik maka akan menimbulkan kekuatan spritual yang tinggi dan dasar yang kuat bagi seorang sishya. Hyang Brahma tidak menganjurkan berbagai upacara seperti mecaru atau hal-hal yang bersifat konsumtif tetapi hanya tiga buah teknik (upasana) yang terkesan sangat sederhana namun sulit untuk dilaksanakan oleh manusia-manusia super sibuk dan mereka-mereka yang sudah terbiasa dengan yang wah-wah dan serba megah karena merasa Tuhan atau para dewa akan bahagia dengan segala upacara dan sesajen yang serba mahal dan bertele-tele, padahal persepsi tersebut mungkin salah total.

 

3.”Tidak dengan berkarma (bekerja), tidak juga karena garis keturunan, tidak juga karena memiliki harta benda, namun hanya semata-mata berdasarkan kepasrahan saja, Keabadian ini dapat dicapai; Keabadian ini kedudukannya lebih tinggi dari swarga (dan) bersemayam (terdapat) di dalam relung sang budhi. Ia bercahaya dan menjadi tujuan dari para pencari (Keabadian) ini,”

Keterangan : Jelas sudah bahwa berbagai status dan harta benda duniawi tidak menjamin bahwa seseorang akan mampu mendapat ajaran adi-luhung ini. Sebaliknya hal-hal yang jauh dari semua keterikatan itulah yang dibutuhkan. Bukan berarti lalu pekerjaan sehari-hari lalu ditanggalkan, namun sesuai ajaran Bhagayat-Gita yang salah satu sumbernya adalah Upanishad ini, maka yang dibutuhkan adalah kesadaran akan pemasrahan total akan hal-hal yang bersifat duniawi dan jauh dari pamrih dan pahala-pahala yang positif maupun negatif.

Disamping itu tentu saja diperlukan daya nalar spritual yang tinggi dan dasarnya adalah iman, bhakti dan upaya-upaya dhyana dari sang individu itu sendiri. Seandainya seorang pembaca ajaran ini beritikad yang sama dalam memahami ajaran spritual ini, dan insan ini bertindak sama seperti yang di isyaratkan oleh Hyang Brahma maka semoga tercapailah cita-citanya untuk memahami ajaran-ajaran ini.  OM TAT SAT.

 

4.”Mereka-mereka yang jalan pikirannya murni, yang senantiasa berjuang di jalan pemasrahan diri, akan berhasil mencapai makna sesungguhnya dari ilmu pengetahuan ini, yang adalah intisari dari Upanishad (Vedanta). Mereka-mereka ini akhirnya akan mencapai Brahmaloka dan seterusnya setelah membebaskan diri mereka dari berbagai hal akan mencapai Hyang Maha Tinggi dan Hyang Maha Abadi (Keabadiaan Yang Tertinggi SifatNya).”  

Keterangan : Diperlukan berbagai upaya spritual dan waktu yang cukup lama agar seseorang dapat menempa jalan pikiran dan pelaksanaan sehari-harinya dengan baik dan menghasilkan sifat-sifat yang suci dan murni, baru kemudian masuk ke tahap Brahmaloka yang bisa diartikan bermacam-macam seperti ”sorganya Hyang Brahma,” atau “pemahaman akan Sang Brahman itu sendiri secara spritual”.Banyak yang beranggap semua ini ilusif dan bersifat ”mission impossible” selama kita masih menyandang kehidupan ini, namun pada hakikatnya bagi yang beriman perjalanan kodratnya bisa berarti lain.

 

5.”Di sebuah tempat yang tak terganggu, sambil duduk secara santai (relaks), secara bersih dan murni, dengan posisi leher, kepala dan tubuh tegak lurus dalam suatu garis kesatuan, berdasarkan sifat-sifat Sanyas; Setelah mengendalikan berbagai indriyasnya, (dan) menghaturkan salam puja-puji kepada guru (spritualnya) secara batin dengan penuh rasa hormat, (kemudian) bermeditasi ke dalam relung sanubari (yang bersifat) Tak Ternoda, Murni, Cerah dan Tak Memiliki rasa khawatir.”  

Keterangan : Sebuah tempat yang jauh dari gangguan bisa didirikan secara sederhana di tepi pantai, di sebuah desa yang asri, di daerah pegunungan bagi yang mampu dan punya kesempatan untuk hal tersebut, bagi yang sehari-harinya harus tinggal di kota yang sibuk, sebuah ruang suci kecil ukuran 2 x 2 meter yang bersih, kalau masih tidak mampu yah dicoba seadanya dengan tidak mengganggu atau diganggu orang-orang di sekitarnya. Alangkah baiknya kalau pada akhir pekan kita-kita yang sibuk ini bisa ke kuil atau ashram dan lokasi lokasi yang sakral, yang alami, bahkan ke tepi pantai yang bersih untuk bermeditasi barang satu dua jam. 

Kalau tidak bisa sesering mungkin yah diatur sebisa mungkin tanpa memaksa diri, karena sebenarnya yang diperlukan adalah disiplin diri. Para guru resi umumnya bisa berdhyana di mana saja, bahkan di tengah-tengah keramaian tanpa merasa terusik sedikitpun. 

Meditasi atau dhyana itu harus relaks dan santai sifatnya, bahkan boleh-boleh saja diiringi oleh berbagai iringan musik lembut dan syahdu, yang bisa membantu pembukaan cakra-cakra tertentu di raga kita sewaktu bermeditasi. Bagi yang sering kesemutan boleh juga memakai bantalan yang empuk di bawah kedua kakinya. Bagi orang yang tidak mampu duduk bersila, dengan duduk di kursipun dhyana ini bisa dilakukan secara baik, apabila bagi yang sakit sambil tidur terlentangpun sangat baik untuk berdhyana dan berpuja-puji. Yang penting itu adalah itikad dan disiplin sehari-hari bukan alasan-alasan yang dicari-cari untuk menghindarkan diri dari Upasana yang satu ini. Dengan mengulang-ulang mantra Om atau Gayatri atau yang lainnya, dengan bertasbih atau mendengarkan musik, dhyana ini boleh dilakukan secara santai dua kali sehari, pagi dan malam, dan sebaiknya diatur waktunya dua jam sebelum dan sesudah makan agar tidak mengantuk dan mampu berkonsentrasi penuh. Kalau hanya dilakukan sekali saja maka hanya setengah bagian otak yang mendapatkan energi dan yang setengah lagi tidak mendapatkan apa-apa, hal ini malahan bisa menimbulkan stress dan panyakit. Otak (Hypothalamus) di bagi dua bagian, bagian yang satu menyerap prana pagi hari dan yang satunya lagi menyerap prana malam hari dengan seimbang, oleh karena itu dhyana pun harus dua kali sesuai hukum alam dan keperluan raga kita sendiri. Mereka-mereka yang vegetarian akan lebih berkonsentrasi daripada yang bukan vegetarian.

Beruntunglah mereka-mereka yang dibimbing oleh guru-guru spritual yang tanpa pamrih, dan celakalah mereka yang belajar pada guru-guru profesional di hotel-hotel dan di berbagai seminar meditasi yang makin hari makin menjamur, karena metode-metode yang dilakukan di kursus-kursus singkat ini tidak sesuai dengan semangat spritual Sanatana Dharma, akibatnya banyak peserta yang sakit kepala. Sebaiknya seseorang tidak perlu memaksakan diri bermeditasi tanpa bimbingan guru spritual yang non pamrih, yang akan mengajarkan meditasi yang baik, suci dan murni penuh dengan kebersihan luar dan dalam. 

Suatu saat dengan bimbingan sang guru yang suci, seorang bhakta secara lambat laun akan mencapai titik kebahagiaan hakiki dalam meditasinya yang disebut Sat Chit Ananda. Pada saat itu rasa khawatir duniawi akan bersurut punah, dan relung hati akan terisi oleh karunia Ilahi yang tidak terhingga. 

Bagi pemula biasanya fokus meditasi diarahkan ke Istha-Dewata yang berwujud, dan lambat laun oleh sang guru diarahkan ke Omkara atau Hyang Tidak Berwujud (Nirguna Brahman).

 

6.”Yang Maha Tak Terpikirkan, Yang Maha Tak Berwujud, Yang Maha Berbentuk dan tak terbatas jumlah wujudNya, Yang Senantiasa Suci, Yang Maha Damai, Yang Maha Abadi, Asal Muasal Sang Pencipta, Yang Tak Bermula, Yang Berada ditengah-tengah dan di akhir, Yang Eka (Tunggal, Satu),  Yang Maha Hadir. Yang merupakan Berkah penuh dengan ilmu pengetahuan, Yang Maha Mengagumkan KedashyatanNya;” 

Keterangan : Berbagai pernyataan para resi guru dirangkum di sloka mantra di atas; berbagai imajinasi, hakikat dan wujud Yang Maha Esa diekspresikan dari sudut penalaran masing-masing guru. Demikian juga kita semua bebas untuk memfokuskan meditasi kita ke fokus yang kita kehendaki dalam bentuk dewa-dewi, Istha Dewata tertentu, ke Guru Spritual, ke arah kekosongan, dan sebagainya. Tetapi fokus ke arah kekosongan adalah yang paling sulit, sloka mantra berikutnya akan membantu kita ke arah tersebut.

 

7.”Dengan bermeditasi ke arah Hyang Parameshwara (Shiva) yang didampingi oleh Bunda Uma, Hyang Yang Maha Tinggi, Hyang Maha Berkuasa, Hyang Bermata Tiga, Hyang Berleher Biru dan Senantiasa Tenang, maka seseorang muni (suci) akan mencapaiNya, Beliau ini adalah saksi dari semuanya dan jauh dari segala bentuk kegelapan.” 

Keterangan : Kalau di sloka sebelumnya dianjurkan bermeditasi ke arah kekosongan, maka di sloka ini seorang sadhaka dianjurkan untuk bermeditasi ke suatu simbol maha dashyat atau Istha Dewata yang dikenal dengan sebutan Dewa Shiva yang adalah Dewa Utama dari segala bentuk meditasi berkonotasi pembukaan mata ketiga. Mata ketiga adalah simbol dari Sang Atman di dalam diri kita sendiri. Seandainya seorang Sadhaka mampu dibukakan mata ketiganya oleh seorang guru yang suci maka seluruhnya persepsi kehidupannya akan berubah secara total karena Sang Shadaka ini terbuka jalan spritualnya ke Yang Maha Esa secara langsung melalui Jati Dirinya sendiri (Jati Diri = Sang Atman). 

Mengapa harus ke Dewa Shiva ? Karena Beliau ini adalah salah satu wujud Yang Maha Esa dalam bentuk pendaur ulang setiap jiwa, kata Shiva juga berarti pemilik setiap jiwa. Beliau adalah Purusha secara duniawi, dan Nir (nol, nil, kekosongan) secara spritual. Sedangkan shakti Beliau, Dewi Uma adalah wujud Prakriti; dari segi Shivaisme inilah jalan meditasi tertinggi. Ada jalan Vaisnawa, yaitu para pengikut Vishnu, Kreshna, Narayana dan sebagainya. Bagi mereka Purushanya adalah salah satu di atas dan Prakritinya adalah Radha, Laksmi, Maya, dan Hare, dan sebagainya. Mantram mereka adalah Hare Krishna, Hare Rama, juga Hare-Hare, Radha-Krishna dan sebagainya. 

“Yang berleher biru”…..Dewa Shiva berleher biru karena konon pada saat penciptaan berbagai elemen dari bumi yang disebut pengadukan bumi oleh para dewa dan asura (Mandalagiri) guna mendapatkan Amrita dipergunakan Naga Vasuki untuk melilit gunung Mandhara yang diletakkan di atas kkura-kura Raksasa (reinkarnasi Vishnu). Para dewa memegang bagian ekor sang naga ini dan para asuras memegang kepalanya, mereka langsung tarik-menarik dan dari gerakan-gerakan sang gunung ini lahirlah berbagai unsur maha dashyat bagi bumi dan alam semesta ini. Terakhir baru muncul Amrita, air keabadian, sementara itu Naga Vasuki yang terlalu letih ditarik-tarik mendadak memuntahkan racunnya karena sudah tidak tahan memikul beban ini. Para Asuras akibatnya menjadi kalang kabut dan memohon bantuan dewa Shiva. Shiva langsung hadir dan tanpa berpikir panjang karena penuh dengan welas-asih langsung menelan racun tersebut, karena kalau terjatuh ke bumi akan memusnahkan bumi dan segala isinya. Pengorbanan tanpa pamrih ini seluruhnya diserahkan kepada Yang Maha Esa. Dewi Uma yang melihat tindakan nekat suaminya langsung mencekik leher Dewa Shiva guna menghentikan aliran racun agar tidak turun ke perut dan membunuh suaminya ini. Dengan kesaktian yang dimilikinya Dewi Uma berhasil menahan racun tersebut di sekitar leher Dewa Shiva dan selamatlah bumi dan alam semesta ini. Oleh karena itu Dewa Shiva dikenal dengan sebutan Yang Berleher Biru. 

Kisah di atas sebenarnya adalah simbol penuh makna bagi pengambil jalan dhyana. Para resi sadar bahwa simbol dan kisah-kisah spritual merupakan jembatan yang ampuh bagi para Shadaka untuk meniti jalan yang langgeng ke arah Tuhan Yang Maha Esa. Kalau di alam makro kosmos Hyang Maha Vishnu bersemayam di tengah-tengah samudra susu dengan dipayungi oleh SeshNag (ular kobra berkepala tujuh), maka di alam mikro kosmos, Beliau sebagai Hyang Atman bersemayam di tengah-tengah otak kita yang sepintas memang mirip dengan cairan susu dan otak ini hidup berkat energi yang dialirkan oleh Kundalini (ular kobra) melalui 7 cakra utama. Naga Basuki (vasuki) adalah ego pribadi kita yang terbagi dua yaitu ego positif dan ego negatif yang digambarkan sebagai Asuras di bagian kepala naga dan para Devas di bagian ekornya.

 Dalam penitian dhyana kita pada permulaannya para sadhaka akan diganggu oleh para Asuras dan ditunjukkan jalan kesaktian dan kekuataan duniawi atas nama Yang Maha Esa, kalau sang sadhaka terbius oleh semua atau sebagian kekuatan ini, maka melencenglah jalan dharmanya dan masuk ke jalan yang sesat walaupun kemasannya terkesan sangat spritual dan satvik. Namun seandainya sang sadhaks tekun dan tidak terbius oleh berbagai kesaktian ini, maka seperti juga halnya Naga Vasuki ia akan memuntahkan seluruh racun (kotoran-kotorannya) dan akhirnya mendapatkan Amrita yaitu air kehidupan abadi (Hakikat Yang Maha Esa). Seluruh kekotoran vasanas (intisari berbagai nafsu dan hasrat) akan terganti oleh Gyana (kebijaksanaan Ilahi).

 Seluruh racun ini harus kita kekang di sekitar leher dan kepala kita (maksudnya dikendalikan karena tidak mungkin disingkirkan dari kehidupan kita), agar tidak turun kehati nurani kita dan mengkontaminasi daerah tersebut maupun organ-organ lainnya. Sewaktu jiwa raga sang sadhaka penuh dengan rasa kasih untuk semua mahluk dan benda, sewaktu ia sadar akan kehadiran Hyang Maha Hadir ini di setiap ciptaannya secara sama rata, maka ia akan mencapai Prasantam, ketenangan abadi yang bisa dicapai oleh seorang muni, yaitu seorang yang suci murni. Upanishad ini sedang mengarahkan kita kearahNya namun seperti Upanishad yang lainnya cara penyampaian selalu terbungkus dengan berbagai simbol dan perumpamaan yang sarat dengan makna dan hakikat kebenaran.                

      

8.”Beliau itu adalah Hyang Brahma, Beliau itu adalah Hyang Shiva, Beliau itu adalah Hyang Indra, Beliau itu adalah Hyang Maha Berkuasa, Hyang Maha Bercahaya yang timbul dari Dirinya Sendiri. ”Beliau itu adalah Vishnu semata-mata, Beliau adalah Prana, Beliau adalah Sang waktu dan Sang Agni, Beliau adalah Sang Rembulan.” 

Keterangan : Seperti juga yang terdapat di Bhagavat-Gita, maka di Upanishad ini pun para resi guru mengatakan bahwa Istha-guru (wujud) apapun yang dipuja itu adalah Beliau juga dalam berbagai manifestasiNya. Jadi memang tidak ada alasan untuk berdebat satu dengan yang lainnya mana dewa yang lebih superior karena bukan wujud yang penting, tetapi makna dibalik wujud tersebutlah yang menjadi tujuan utama, dan itu dilambangkan dengan OM (Omkara) penyatu Sanatana Dharma yang juga dipakai oleh ajaran Buddha, Sikh bahkan ajaran-ajaran besar lainnya di dunia melalui ekspresi mereka masing-masing dalam bahasa setempat. 

Tuhan Yang Maha Agung sini juga disebut Samastha Sakshi di dalam setiap insan, dan salah satu elemen dominan Beliau adalah cahaya yang gilang-gemilang. Kebesaran dan kemegahan Beliau sulit untuk dijabarkan oleh siapapun juga bahkan para dewa tidak mampu, demikian juga para resi guru, sidhas dan asuras.

 

9.”Semata-mata (satu-satunya) hanya Beliau inilah yang hadir di masa-masa yang lampau, dan demikian juga di masa-masa yang akan datang, Beliau itu Maha Abadi. Dengan memahami Beliau maka seseorang akan mengatasi sengatan kematian. Tidak ada jalan lain untuk mencapai kebebasan yang sempurna (selain jalan ini).” 

Keterangan : Untuk memahami Yang Maha Esa maka satu-satunya jalan adalah jalur dhyana, dan tidak ada jalan lain tegas sang resi guru. Di Bhagavat-Gita diterangkan bahwa ada ribuan yogi yang melaju ke arahNya, tetapi hanya sedikit yang lolos dari lubang jarum spritual ini, dan diantara yang lolos hanya satu atau dua orang yang mampu mencapaiNya. Nabi-nabi dari berbagai agama lainnya menyabdakan hal yang sama. Dan kalau baru mulai berdhyana saja sudah putus asa maka itu akan lebih sia-sia lagi karena sebenarnya Sri Kreshna di Bhagavat-Gita telah mencanangkan bahwa satu langkah manusia ke arahNya akan diimbangi oleh seribu langkah Beliau ke arah insan tersebut. Bisakah anda membayangkan sebesar apakah satu langkah Tuhan Yang Maha Esa ini ? Dalam bentuk Avataranya saja dengan tiga langkah seluruh kerajaan Bali yang mencangkup bumi dan alam-alam lainnya langsung tercangkup olehNya, apalagi dalam bentuk Nirguna BrahmanNya yang tak dapat diterangkan sama sekali. Sloka berikutnya perlu kita simak.

 

10.”Merasakan kehadiran Sang Jati Diri kita (Sang Atman) di dalam semua mahluk dan semua mahluk di dalam Sang Atman, seseorang akan mencapai Hyang Brahman Yang Tertinggi…..dan tidak ada jalan yang lain (selain jalan tersebut).”

 11.”Sambil merubah alur sang ego (dalam diri kita) ke arah Arani (rendah, dibawah) dan memajukan OM ke alur yang tinggi (Arani yang di atas) dengan senantiasa memutar-mutar (mengaduk-aduknya) melalui upaya-upaya ilmu pengetahuan (yang berkesinambungan), seseorang akan membakar habis seluruh ikatan-ikatan duniawinya secara tuntas.” 

Keterangan : Bagi para sadhaka yang tidak berhasrat memfokuskan dhyana mereka ke wujud dewa-dewi atau manifestasi Avatara, dan sebagainya. Maka ada jalan yang disebut OMkara Upasana seperti yang dijelaskan di atas.  

Pertama-tama sang sadhaka harus menanggalkan segala ego dan sankalpa (kesombongan, ketamakan, dan sebagainya), semua ini harus ditekan kebawah (Arani bagian bawah). Kemudian persepsi dan penalaran OM ditekan ke atas. Dengan memahami arti OM baik dari segi simbol atau nada suara AUM, maka insan tersebut akan masuk ke hakikat Omkara ini. Diperlukan seorang guru suci yang teramat piawai dan handal untuk menerangkan bahwa AUM adalah pengejawantahan dari Bhur (Brahma), Bwah (Vishnu) dan Swah (Shiva), yaitu yang juga bermakna bumi, alam semesta dan kekosongan (antariksa) yang maha absolut (Realitas). Ilmu ini dikenal sebagai peleburan berbagai ilmu pengetahuan (Gyana Madhana); bagaimana merealisasikannya melalui Upanishad ini. Dua sloka berikutnya ini menyiratkannya secara terselubung.

 

12.”Sang Jati Diri (Atman) diselubungi oleh Sang Maya bertindak secara ragawi dalam melaksanakan berbagai pekerjaannya. Dalam “keadaan (tahap) terjaga” sang jiwa ini mencapai pemuasan hasrat-hasaratnya melalui kontak dengan berbagai objek-objek kenikmatan seperti wanita, bhoga (santapan) dan minuman keras dan sebagainya.”  

Keterangan : “Terselubung oleh Sang Maya, Sang Jiwa menyandang Sang Atman di dalam dirinya melupakan perjalanan spritualnya dan lebih terbius oleh kenikmatan dan penderitaan duniawi ini. Sedangkan tahap terjaga adalah posisi sehari-hari diluar tidur-tidur dan bermimpi (baca Mandukya Upanishad).

 

13.”Ego (sang jiwa) yang sama ini bersikap individualis dalam “keadaan (tahap) bermimpi” dan dalam keadaan ini merasakan berbagai bentuk kenikmatan dan penderitaan……hasil ilusi mayanya.

 Selama berada dalam “keadaan (tahap) tertidur lelap”, sewaktu semua perihal berkumpul menjadi satu, sang jiwa dikuasai oleh berbagai sifat tamas (kebodohan) dan berubah bentuk seakan-akan masuk ke dalam tahap kebahagiaan Ilahi. 

Keterangan : Kalau di sloka-sloka sebelumnya banyak disebut-sebut mengenai kondisi sang jiwa yang terselubung oleh kegelapan Sang Maya selama berada di dalam keadaan terjaga, maka di sloka ini jiwa (individu) yang sama diterangkan dari segi tahap tidur lelap dan tahap bermimpi. Ternyata dalam kedua tahap terakhir ini sang jiwa masih saja terselubung oleh ilusi-ilusi duniawi, dan sering sekali sang jiwa ini merasakan kebahagiaan Ilahi dalam mimpi-mimpinya, namun para resi guru menyatakan kebahagiaan ini masih bersifat semu karena juga terselubung oleh avidya (kebodohan). Mayasakti memang menakjubkan, bisa menyesatkan tetapi sekaligus juga dirancang untuk menuntun kita ke Yang Maha Kuasa. Untuk itu diperlukan seorang guru spritual yang suci untuk menuntun setiap jiwa, kitab-kitab suci bisa menimbulkan inspirasi spritual tetapi tidak bisa menciptakan sentuhan seorang guru suci. 

Bagi yang ingin mempelajari berbagai tahap kehidupan manusia seperti tahap terjaga, tertidur dan alam mimpi sebaiknya mempelajari dari Mandukya-Upanishad, sebuah karya para resi di zaman lalu yang menakjubkan isinya secara spritual dan dari segi penelitian. Manusia Barat masih jauh dari penalaran semacam ini.

 

14.”Sekali lagi sehubungan dengan perbuatan-perbuatan masa lalunya maka sang jiwa yang sama ini kembali ke tahap bermimpi dan tahap kesadaran. Demikianlah insan manusia bermain-main di dalam tiga bentuk keadaan……yang lahir dan tercipta dariNya. Beliau ini adalah substratum (alas), kesadaran yang penuh dengan kebahagiaan yang tak terpisah-pisahkan dan, hannya di dalam diriNya semata, ketiga tahap ini meleburkan diri mereka.” 

Keterangan : Jadi setiap pelaksanaan sehari-hari dan akibat sebenarnya adalah masa lalu yang berdampak pada masa kini dan kelahiran seterusnya. Di sloka (Sansekertanya) ketiga tahap ini diibaratkan sebagai tiga buah kota (pura), dan tanpa terasa sang jiwa selalu bermain-main dari satu ke kota lainnya. 

Namun di balik semua penderitaan dan perjalanan panjang reinkarnasi dan karma-karma kita ternyata ada harapan yang cerah yaitu bahwasanya semua tahap di atas ternyata meleburkan diri mereka Ke Yang Maha Kuasa dan karena Beliau itu adalah alas (dasar atau medium) atau sumber seluruh ciptaan-ciptaanNya, maka kesadaran yang penuh dengan KebahagiaanNya ini sebenarnya tidak terpisah-pisahkan, jadi bangkit dan sadarlah wahai insan manusia akan tujuan hakikimu di dunia ini, jangan tertidur terus.

 

15.”Dari ini lahirlah Prana, pikiran, semua indriyas, antariksa (ether), udara, api, air dan bumi, yang menunjang semuanya.” 

Keterangan : Dari Substratum (alas) ini terciptalah seluruh alam semesta dengan segala isinya baik yang kasat maupun non kasat mata.

 

16.”Itu yang dikenal sebagai Sang Brahman Yang Maha Kuasa, Yang adalah Sang Atman (Sarvaatma) di setiap jiwa, Penunjang Alam Semesta, Yang Maha Lembut diantara yang terlembut dan bersifat Abadi……itu adalah dirimu semata; dan dirimu itu adalah itu semata-mata.” 

Keterangan : Ini dan Itu adalah kata-kata pengganti Yang Maha Esa yang sulit untuk di jabarkan dalam bahasa duniawi, oleh karena itu dalam bahasa Sansekertanya kata ini dan itu juga disebut Ini dan Itu tetapi dalam konotasi bahasa halus yang tinggi. Manusia adalah pengejawantahan DiriNya Sendiri, itulah sebabnya disebut sebagai ciptaan yang mulia. Itu adalah dirimu (Tat-Twamewa) dan dirimu adalah Itu (Twamewa-Tat). Meditasi yang penuh dengan Kesadaran Hakiki akan Yang Maha Esa akan merealisasikan tahap “Tat Twamewa-Twamewa Tat” ini. Sabda ini dikenal sebagai Upadeshavakya atau berarti sabda-sabda yang sarat dengan makna hasil meditasi para guru resi yang bijaksana dan bersifat suci dan murni. Bagaimana melaksanakan dan merealisasikan meditasi murni ini, sloka berikutnya akan menerangkannya.

 

17.”Itu yang menyinari berbagai perjalanan kehidupan yang terdapat di tahap kesadaran, tahap mimpi dan tidur lelap……..Brahman tersebut adalah Aku. Menyadari hakikat ini seseorang akan dibebaskan dari semua rintangan (keragu-raguan).”  

Keterangan : Tahap penyatuan dengan Yang Maha Esa di dalam diri seseorang sukar dicapai dan tidak bisa disandiwarakan oleh seorang shadaka, jadi tentu saja tidak mudah untuk mengatakan aku adalah Tuhan dan Tuhan adalah aku, lalu kemudian berbuat semena-mena. Sejarah Sanatana Dharma dan dunia membuktikan berbagai fenomena semacam itu yang kemudian melahirkan orang-orang “Bijaksana” yang zalim yang bertindak atas nama Tuhan dan agama dan kemudian menghancurkan peradaban manusia secara biadab.

 

18.”Semua (hal) yang membentuk : yang bisa dinikmati, yang menikmati, dan kemudian kenikmatan dalam tiga dhama (faktor)……..semua ini adalah jauh dariKu, yang menjadi Saksi, (Aku) senantiasa bersifat sebagai kesadaran yang suci dan murni.” 

Keterangan : Semua insan dan mahluk ciptaan Yang Maha Esa adalah penikmat, yang merasakan kehidupan dan berbagai unsur dan efek di dalamnya. Kemudian Yang Maha Esa juga menciptakan berbagai objek dan unsur yang menikmatkan dan dapat dinikmati dalam arti yang sangat luas. Kata menikmati sebaiknya diartikan merasakan berbagai pengalaman hidup yang penuh dengan variasi. Suatu pengalaman hidup baru bisa dirasakan kalau ada sarana-sarana penunjangnya seperti objek, subjek dan pengalaman itu sendiri. 

Dari sudut pandang spritual hukum-hukum alam tersebut tetap berlaku juga, contoh : 

1.       Sang bhakta atau sadhaka adalah sipenikmat atau yang merasakan berbagai sensasi dan pengalaman.

2.       Pengalaman atau hal-hal yang dirasakan atau dinikmati tersebut disebut bhogyam.

3.       dan hubungan antara keduanya disebut bhoga. 

Tanpa ketiga faktor ini tidak ada tahap kesadaran, tidur lelap dan tahap bermimpi bagi setiap insan. Semua ini adalah sarana-sarana yang diciptakan bagi kelangsungan kehidupan duniawi maupun spritual dari setiap ciptaanNya. Yang Maha Esa itu sendiri tidak terlibat atau ternoda atau ikut mengalami semua fenomena ini walaupun Beliau itu hadir sebagai saksi dalam setiap Atman yang bersemayam di setiap jiwa. Beliau pada hakikatnya dekat tetapi jauh dan jauh tetapi dekat. Selain sebagai saksi di sloka ini Beliau juga diekspresikan sebagai Kesadaran Yang Senantiasa murni dan suci (Sada Sivah) yang hadir di tengah-tengah kedua alis mata kita. Kesadaran Hakiki (Chinmantra) ini seyogyanyalah yang menjadi pusat tujuan dari setiap sadhaka.

 

19.”Di dalamKu semata-mata semuanya ini dilahirkan, didalam Diriku semata-mata semuanya ini eksis (berada) dan kedalam Diriku semua ini melebur. Akulah Sang Brahman Yang Bersifat Non-dual dan Hakiki (Tatbrahmaadvayama-smyaham).”

 20.”Aku adalah yang terkecil diantara yang paling kecil dan juga Maha Luas. Akulah berbagai strata alam semesta ini…….menakjubkan; Aku adalah Yana Maha Purba, yang dikenal sebagai Purusha; Yang Maha Berkuasa adalah Aku, (juga) Yang Maha Bercahaya dan secara alami Yang Senantiasa Murni dan Suci (Sivarupam).” 

Keterangan : Strata alam yang disebut di atas mencangkup juga kita semua sebagai mikro kosmos dengan berbagai elemen indriyas dan raga kita.

 

21.”Aku tidak memiliki tangan dan kaki, namun bertenaga tanpa batas. Aku melihat tanpa mata, mendengar tanpa telinga. Tak memiliki bentuk apapun juga (namun) Aku senantiasa memahami semuanya dan tidak seorang (mahluk) pun yang sanggup memahami (mengenali) Ku. Aku adalah ilmu pengetahuan yang senantiasa Suci dan Murni (Chit-Sada-Ham).”

 22.”Aku semata-mata adalah tema (sari) dari berbagai ajaran Veda yang berbeda-beda. Akulah pengungkap tabir berbagai Upanishad, dan Vedanta dan Aku semata-mata yang faham akan berbagai Veda-veda ini. Bagiku tidak ada yanng menguntungkan maupun yang merugikan. Aku tidak pernah binasa. Aku tidak pernah dilahirkan, tidak memiliki raga, indriyas atau perangkat-perangkat yang berhubungan dengan pikiran dan budi daya.”

 

 ITI  PRATHANA  KANDA  

(akhir Bab I)

 23.”Bagiku tidak ada bumi atau air atau api, atau Ether. Demikianlah seyogyanya (dikau) memahami sifat-sifat Sang Paramatman….. Yang bersemayam di dalam relung terdalam hati sanubari, Yang Tak Terbagi-bagi, Yang lebih cepat dari ukuran detik, saksi dari semuanya, Yang Jauh dari berbagai hal yang eksis maupun yang tidak eksis, Dengan memahamiNya secara demikian seseorang akan mencapai ke Hakikat dari sifat-sifat Sang Paramatman ini.” 

Keterangan : Iti Prathana Kandah adalah dua buah sloka tambahan di Upanishad ini. Sebenarnya karya ini hanya merupakan satu bab saja, namun di akhir karya ini ditambahkan 2 sloka di bawah ini yang sering dianggap bab tambahan atau mungkin sisipan dari orang lain.

 

24.”Barang siapa mempelajari Satarudriya ini akan dirubah menjadi murni dan suci oleh Sang Agni, akan dibersihkan dari berbagai dosa-dosanya akibat membunuh seorang Brahmana, dibersihkan dari akibat-akibat berbagai jenis kesalahan dan dosa-dosa lainnya. Oleh karena itu insan tersebut akan diterima oleh Hyang Tunggal……Yang Senantiasa Penuh dengan Hakikat Kesadaran Sejati Siva, Sang Jati Diri Yang Maha Kuasa.” Seseorang yang berstatus tinggi di dalam kehidupan ini seyogyanya selalu mengulang ajaran ini paling tidak sekali dalam sehari.” 

“Dengan jalan ini seseorang akan mencapai ilmu pengetahuan yang menghancurkan berbagai kelahiran dan kematiannya. Oleh sebab itu setelah ilmu ini seseorang akan mendapatkan menghayati pahala berupa kebebasan spritualnya (Kaivalya)), sebenar-benarnya ia akan mendapatkan Kaivalya ini.”

  

ITYADHARVAVEDE  KAIVALYOPANISHATSAMAAPTAA

Dengan ini berakhirlah karya Upanishad Kaivalyopanishad (Upanishad pembebasan spritual) ini.

Disarikan ke dalam bahasa Indonesia yang sederhana oleh mohan m. s.

 

Kembali ke halaman induk Shanti Griya