BHAJA
GOVINDAM (Carilah
Govindam)
Vinneka
Tunggal Eka
oleh Bhagawan Sri Shankara Acharya
SEPATAH KATA
Sri Acharya Shankara adalah seorang pemikir yang lahir pada kurun waktu
setelah agama Buddha lahir
di tanahnya para resi, yaitu yang dikenal sebagai India pada saat ini, dan di
era tersebut masih disebut Bharat (Negaranya sang Bharata).
Pada saat itu para brahmana yang korup di India telah berkuasa sedemikian
kuatnya sehingga agama Hindhu dijungkir-balikkan oleh mereka demi kepentingan
golongan-golongan mereka sendiri.
Dengan lahirnya agama Buddha terjadilah goncangan-goncangan spiritual
teramat dahsyat di India yang mengancam kedudukan para brahmana secara umum,
karena ajaran Buddha sebagai kelanjutan dari Sanathana Dharma mengingatkan
sekali lagi para pemujanya bahwasanya tidak ada sistim kasta di dalam ajaran
dharma itu sendiri.
Tentu saja hal ini menimbulkan kemarahan yang amat dahsyat dari para
brahmana pada waktu tersebut yang telah menyalah-gunakan
wewenang mereka dan menguasai jazirah India dengan mengagungkan kasta dan
golongan mereka sendiri. Akibatnya
masih terasa di India sampai saat ini bahkan juga di berbagai daerah di Asia
yang masih menganut ajaran Hindhu Dharma, seperti Nepal dan Indonesia (Bali),
dan di beberapa tempat lainnya. Di
jaman itu terjadilah revolusi
spiritual di berbagai tempat di India, para brahmana yang korup akan kekuasaan
mengucilkan dan mengecam para pengikut agama Buddha yang berkembang dengan
dahsyat dan akhirnya bahkan
melampaui batas-batas negara ke Cina, Indo-Cina,
Jepang dan Indonesia (Nusantara).
Pada saat itu hadirlah Sri Shankara Acharya (Beliau terkenal dengan
sebutan ini) sebagai seorang filsuf agung dari golongan yang dikenal dengan nama
Adwaitik, beliau adalah seorang muda yang sedemikian cemerlangnya sehingga
tafsir-tafsir beliau akan berbagai Veda, Upanishad dan Bhagawat –Gita dianggap
sebagai maha karya oleh kaum Hindhu di India. Berkat beliau inilah Sanathana
Dharma terangkat kembali di India hingga kini.
Sidharta Buddha Gautama sendiri yang lahir sebagai
seorang pangeran Hindhu sampai dengan akhir hayatnya tidak pernah merubah
status agamanya, dan Beliau dianggap sebagai salah satu avatara Visnu yang
kesembilan dan kehadiran Beliau ternyata berdampak begitu besar, karena
akibatnya lahir Sri Shankara
yang mengubah kembali wajah Hindhu Dharma ke asalnya, dan ajaran Buddha
ini kemudian menyebar ke wilayah-wilayah yang disebut di atas. Bahkan di
Indonesia seperti karya menumental yang tidak ada tandingannya di dunia, yaitu
Candi Borobudur.
Karya Bhaja Govindam yang hanya berisikan 31 sloka merupakan
kritikan-kritikan tajam dari Adi Shankara bagi manusia-manusia yang merasa
dirinya bergolongan tinggi dan cara berpikirnya bodoh (jauh dari
ilmu-pengetahuan yang sejati).
Orang-orang yang kurang pengetahuannya ini disebut bodoh oleh Sri
Shankara dan mereka ini bukan saja menyengsarakan diri mereka sendiri tetapi juga
orang-orang di sekitar mereka sendiri karena ulah mereka sendiri yang penuh
dengan kelemahan-kelemahan spiritual dan nilai-nilai komersiil, sehingga Hindhu
Dharma tampil ibarat suatu keharusan komersiel yang menyengsarakan banyak umat
yang mau tidak mau diperas terus dengan alasan keagamaan.
Dengan mempelajari kritik-kritik sosial dari filsuf yang piawai ini,
seorang pembaca bahkan bisa memasuki dunia dharmanya dengan penuh keyakinan dan
percaya diri. Kita harus
menghormati kaum brahmana, pendeta dan para guru agama kita, tetapi harus juga selalu waspada agar tidak “disesatkan”
oleh pelaksanaan sesuatu tradisi yang bertentangan dengan Sanathana
Dharma, atau dengan alasan bahwa dari dulunya sudah begitu. Setiap ajaran
dan ritual dalam Sanathana Dharma ada dasar logika spiritualnya, dan
tidak berdasarkan tradisi atau pemaksaan dari satu golongan tertentu yang merasa
golongannya lebih mulia dari warna-warna lainnya.
Yang dinamakan brahmana sejati adalah mereka-mereka yang kodratnya telah
menentukan demikian, yang buddhinya telah terbuka ke arah Yang Maha Esa,
bukan mereka-mereka yang lahir dari keturunan seorang brahmana.
Anak seorang pendeta tidak otomatis jadi pendeta dan begitupun dengan
warna-warna lainnya. Di India
seniman dalam bidang apapun juga berwarna brahmana karena berada di bawah
naungan Dewi Saraswati yang adalah Shaktinya Dewa Brahma, asal kata dari
brahmana itu sendiri.
Kembali ke Buddha Sidharta Gautama, setelah beliau mangkat maka para
pengikutnya pun terpecah-belah dalam berbagai golongan, dan ada sebagian yang
disebut Asadvadis yang dianggap sebagian orang berfahamkan atheis.
Golongan ini telah berhasil mempengaruhi sebagian kaum Hindhu di masa itu.
Pada saat yang penuh kegalauan semacam itu
hadirlah Sri Shankara Acharya dengan filosofi Brahman yang non-dualistik
yang bersumber pada ajaran-ajaran Upanishad. Era tersebut diperkirakan
abad 7 sampai dengan 9, Sri Shankara Acharya
(atau sering disebut sebagai Adi Shankara Acharya), seorang diri berkelana ke
berbagai pelosok India diusianya yang sangat muda, dengan berjalan kaki dan
kadang-kadang berteman satu atau dua murid. Dan kabarnya beliau sedemikian penuh kharisma dan
kejeniusannya sehingga kemanapun beliau melangkah beliau selalu berperan dan
berjasa dalam mengembalikan Sanathana Dharma ke rel yang seharusnya, kepada
turunan bangsa Arya. Dan selanjutnya sampai kini walau India pernah dijajah
Inggris, Sanathana Dharma (Hindhu
Dharma) makin berkibar ke seluruh
penjuru dunia dengan misi kemanusiannya yang
penuh dengan pesan-pesan Ahimsa (non-kekerasan)
yang berakibat lahirnya tokoh-tokoh dunia seperti Mahatma Gandhi, Martin Luther
King dan Nelson Mandela.
Selama 20 tahun Sri Shankara Acharya berkelana di seluruh
India, dan pada usianya yang ke tiga puluh dua, beliau telah
menyelesaikan berbagai karya agung dalam bentuk prosa dan syair, dan dengan
kepiawaiannya berbahasa Sansekerta yang plastis sehingga banyak karya kuno dapat
diterjemahkan ke dalam bahasa Hindi, lalu ke bahasa-bahasa lainnya di seluruh
dunia termasuk ke dalam bahasa Indonesia ini.
Dengan kejeniusannya beliau mengembalikan kaidah-kaidah
suci Hindhu Dharma ke dalam bahasa sastra yang indah.
Berbagai mantra dan japa puja-puji ke Yang Maha Esa, termasuk referensi
dan tafsir-tafsirnya akan Bhagawat-Gita telah menjadi pedoman dasar bagi umat
Hindhu dewasa ini di India dan berbagai belahan bumi lainnya.
Beliau terkenal bukan saja sebagai seorang filsuf, tetapi di zamannya
beliau dikenal sebagai seorang diplomat, sastrawan pencetus gagasan-gagasan yang
brilian dalam bidang spiritual dan sosial. Beliau juga mendirikan berbagai institut pendidikan
kerohanian, berbagai candi-candi dan berbagai karya spiritual sehingga dianggap
maha karya bagi seorang pemuda di zamannya, dan sampai saat ini jasa beliau
belum ada yang dapat menandingi.
Bhaja Govindam yang berarti puja-pujilah Govindam (Khresna atau Yang Maha
Esa) terdiri dari 31 sloka /syair, tetapi merupakan adi-karya dalam bentuk
sastra dan spiritual bagi umat Hindhu di India. Karya yang sederhana ini biasanya dilantunkan oleh para sishya
(murid). Bagi kaum bijak, karya ini dianggap sebagai penuntun spiritual yang
menakjubkan maknanya, sehingga
mereka beranggapan dengan meneguk sari karya ini akan menghapuskan dahaga
spiritual mereka, dan menghapuskan moha
(khayalan dan ikatan-ikatan duniawi mereka),
oleh karena itu karya ini juga disebut Moha-Mudgara
(Penghapus ikatan-ikatan duniawi).
Pada saat itu dengan 14 orang sishyanya, Sri Shankara sedang berkelana di daerah Benares, dan beliau
mendapatkan seorang pendeta tua yang sedang mengulang-ulang sloka-sloka suci
secara gramatika yang baik tetapi tanpa menghayati makna dari mantram-mantram
tersebut. Melihat sang pendeta yang
selama hidupnya hanya mampu mengulang mantra dan melakukan berbagai ritual
secara tradisi sebagai penghasilannya sehari-hari, Sri Shankara langsung saja
tergugah batinnya dan lahirlah
karya adi-sastra ini. Dua belas
stanza pertama adalah karya beliau dan disebut : “ Dwadasha-Manjarika-Stotram”
kemudian ada empatbelas syair lainnya yang masing-masing dikontribusikan oleh
seorang murid beliau yang disebut : “Caturdasha-Manjarika-Stotram”
yang merupakan karya tersendiri tetapi disatukan dalam karya ini, selanjutnya
ditutup oleh syair-syair Sri Shankara lagi.
Jumlah seluruhnya di buku ini adalah 31
syair. Mungkin saja
diterjemahan atau tafsir lainnya bisa saja lebih atau kurang jumlah syairnya
tergantung penafsirannya, tetapi menurut para ahli tidak mengurangi atau
melebihi isinya karena hal tersebut hanya
merupakan masalah teknis sastra semata.
Kedua-belas syair pertama walaupun berbentuk lagu, dipakai sebagai
pedoman spiritual dan pemujaan dan oleh para ahli digolongkan sebagai karya yang
penuh dengan kategori (Prakriya) dalam
jajaran ilmu-pengetahuan Vedanta. Tidak
seperti karya-karya lainnya dalam jajaran Vedanta maka, Bhaja
Govindam dalam lingkupannya yang kecil dan bahasa yang sederhana memberikan
gambaran penalaran kesadaran manusia akan penderitaan umat manusia itu sendiri (samsara). Karya ini menuntun para sishya
ke arah jalan dan tujuan kehidupannya, mengungkapkan sekaligus akan
kehancurannya sendiri seandainya seseorang tetap saja meniti kehidupan ini
berlandaskan ego dan nafsu-nafsu belaka. Buku
ini sekaligus berisikan nasehat
(upadasa) dan bukan merupakan isi yang memperdebatkan sesuatu (Vada).
Di dalam karya ini Adi Shankara sedang mengetuk hati sanubari para muridnya agar
merenung di dalam kesadaran nuraninya masing-masing.
Seseorang bisa disebut sebagai sishya
(a) setelah mendapatkan pelajaran dari seorang guru; (b) sudah maju cara
berpikirnya akan wawasan spiritual yang dipelajarinya melalui berbagai studi
shastranya; (c) sesorang yang sedang atau telah mengendalikan aktifitas berbagai
organ-organ sensualnya (indriyasnya).
Kepada orang-orang seperti inilah Bhaja-Govindam ditujukan .
Karya ini mungkin saja merupakan cambuk bagi orang-orang tertentu karena
terkesan sinis disana-sini, tetapi menurut
para cendekiawan dan orang-orang bijak, kalau sebuah rumah sedang
terbakar, yang diperlukan bukan petuah-petuah, tetapi bagaimana caranya
memadamkan api itu secepat mungkin tanpa merembet
ke rumah-rumah lainnya. Demikian
juga dengan karya ini, semoga yang masih tertidur di dalam
nuansa samsaranya yang lelap segera bangun dan sadar, sebelum api vignana (kebodohan) melalap mereka.
MOHA MUDGARA
(Bhaja-Govindam,
carilah Govinda)
1.
Carilah
Govinda, carilah Govinda, carilah Govinda, wahai orang bodoh! Sewaktu saat (kematian)
datang menjelang, (semua) aturan dan ajaran gramatika ini tidak akan
menyelamatkanmu.
Keterangan : Kata Govinda adalah nama dari Sri Kreshna Vasudewa yang lainnya yang juga berarti Tuhan Yang Maha Esa. Biasanya syair di atas dianggap sebagai sebuah korus dan diulang-ulang pada akhir setiap syair yang berikutnya oleh para sishya yang menyanyikannya. Kata “aturan dan ajaran” pada syair di atas berarti aturan-aturan gramatika yang terdapat pada ajaran Sidhanta Koumudi yang terkenal pada kurun masa tersebut.
Sri Shankara Acharya merasa aneh kalau sesorang merasa religius hanya dengan mengulang-ulang mantram, ajaran spiritual tanpa menghayati arti dari semua semuanya itu, dan lalu menjadikannya sebuah tradisi yang baku dan berharga mati dan tidak dapat ditawar-tawar lagi. Hal yang sama ditemukan di Chandogya Upanishad, sewaktu resi Narada menghampiri para Sanata Kumara dan mohon ditunjukkan jalan ke Ilmu-pengetahuan nan Agung, maka oleh para Sanata Kumara (resi-resi yang tidak bisa meninggal dunia karena umur mereka selalu berada di bawah lima tahun, dan dewasa ini hadir sebagai gugusan bintang-bintang di langit), Narada ditanya apa saja yang sudah dipelajari dan diketahuinya selama ini agar dapat diajarkan kepadanya sesuatu yang belum diketahuinya. Dengan sangat bangga Narada mengulang-ulang seluruh ilmu-pengetahuan dari berbagai bidang seperti astrologi, astronomi, sampai ke sastra, seni musik, tari dan berbagai ilmu lainnya yang dibacakannya dengan sangat brillian dan tepat. Tetapi para Sanata Kumara justru tidak terkesan akan teori-teori yang muluk-muluk ini, dan menyebut semua itu hanya nama belaka. Sang Maha Tak Terjelaskan (Buma) seharusnya disadari akan HakikatNya. Beliau melampaui semua nama, rupa dan ajaran.
Untuk apa ajaran-ajaran yang bersifat teori tanpa penghayatan dan penetrapannya? Di saat-saat kematian, semua itu tidak akan menolong jiwa seseorang. Kata Bhaja disini juga bisa berarti memuja, jadi yang dimaksud oleh Shankara, seandainya seseorang memuja dengan mencari hakikat akan Govinda (Yang Maha Esa) dan mendapatkan kesatuan identitas denganNya, barulah itu disebut Bhajan (puja-puji) yang sejati dan benar, yang merupakan seva (pelayanan) yang tersendiri bagi para pemujaNya. Dan hal ini bisa dilakukan secara pribadi atau secara bersama-sama di mana saja, tetapi bukan untuk sekedar pertunjukan religius, tradisional atau ritual-ritual kosong yang bernuansa indah.
Sebuah pemujaan haruslah penuh dengan penghayatan/kesadaran dan bukan dikarenakan sudah dari dulunya begitu (mulaketu). Ada sembilan bentuk pemujaan yang dianggap bermanfaat bagi sesorang yang ingin menjadi hamba yang baik:
1) Sravanam, mendengarkan dengan penuh penghayatan akan kebesaran dan keagungan Tuhan Yang Maha Esa.
2) Kirtanam, melagukan, memuja-muji Yang Maha Esa di dalam hati kita sendiri.
3) Smaranam, selalu bermeditasi dan memfokuskan pikiran kita ke Yang Maha Esa dan segala keindahan dan kebesaranNya yang hadir di segala ciptaan-ciptaanNya.
4) Padasevanam, yaitu memuja kaki Yang Maha Esa dalam bentuk penyerahan diri kepadaNya secara total (dengan menghapus segala keterikatan).
5) Archanam, memuja Yang Maha Esa dengan bantuan mantram-mantram tertentu, yang diambil dari berbagai Veda atau buku-buku suci lainnya.
6) Vandanam, menghaturkan sesuatu kepada Yang Maha Esa.
7) Dasyam, membaktikan diri demi seva ke umat manusia, dan ini bisa dilakukan melalui berbagai karya bakti.
8) Sakhyam, memohon kepada Yang Maha Esa secara lembut dan penuh kasih sayang agar sudi berbicara kepada sang pemuja sebagai seorang sahabat.
9) Atmanivedanam, menghaturkan dirinya secara total (sebagai sesajen yang sederhana ke Yang Maha Kuasa (dengan kata lain seluruh perbuatannya dihaturkan demi Yang Maha Kuasa).
Didalam semua bentuk pemujaan ini tersirat intisari Bhaja. Dengan kata lain intisari semua pemujaan adalah Bhajanam yaitu seva (pelayanan tanpa pamrih ke umat manusia, fauna, flora dan lingkungan melalui berbagai sifat pelayanan yang pada hakekatnya berarti ke Tuhan Yang Maha Esa yang bermanifestasi di dalam semua ciptaan beliau). Ihwara Seva adalah Ishwara Bhajanam, tanpa diragukan lagi seva yang penuh dengan dedikasi dan ketulusan, ini adalah bentuk seva yang terbaik.
Kata Govinda juga berarti Dewa Vishnu dan dharsanaNya seperti yang dimuat di karya suci Vishnu Sahasrana. Oleh Sri Shankara Acharya kata Govinda diartikan sebagai persamaan Yang Maha Brahman sebagai kesadaran Tertinggi seperti berikut:
a) Seseorang yang sadar dan memahami bumi dimana kita semua ini hadir --- yang berarti kehidupan kita di bumi ini sebenarnya ada maknanya, demikian juga dengan semua fenomena yang ada di dalam kehidupan dunia ini.
b) Seseorang yang sadar akan Sang Jati Diri, Sang Kreshna Vasudewa yang telah bereinkarnasi sebagai seorang penggembala sapi (Penuntun jalan umat manusia), dan yang hadir sebagai Tujuan dari dharma itu sendiri.
c) Seseorang yang sadar akan kekuatan kata-kata (pembicaraan).
d) Seseorang yang sadar akan Maha-Vakyas, yaitu yang selalu dipuja-puji di berbagai Veda sebagai Realitas Yang Maha Kuasa.
Dengan kata lain, secara singkat kata Govinda berarti intisari dari Sang Atman (Sang Jati Diri) yang bersemayam di dalam diri kita sendiri. Beliaulah Realitas yang tertinggi tersebut. Dengan kata lain Bhaja Govindam berarti “Puja dan Carilah identitasmu di dalam Yang Maha Kuasa”, jadi jangan menghamburkan waktumu untuk sekedar menghafal mantra-mantra atau ajaran suci tanpa penghayatan. Janganlah terbius oleh harta-benda duniawi beserta segala atributnya seperti ketenaran, posisi dan lain sebagainya. Semua itu sifatnya hanya sementara saja dan akan segera berlalu dengan sang waktu, sedangkan Govindam akan selalu hadir dari masa ke masa, pujalah dan carilah Dia (Bhaja Govinda).
2.
Wahai orang bodoh! Jangan berdahaga akan harta dan benda.
Ciptakanlah di dalam pikiranmu, kejauhan akan berbagai nafsu, ciptakanlah
pemikiran akan sang Realitas (Yang Maha Esa). Dengan apapun yang kau dapatkan di
masa kini (akibat karma masa lampau), isilah jalan pikiranmu dengan bersyukur
kepadaNya.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Sesorang yang menderita akibat perbuatannya sendiri disebut sebagai (mudha). Sebaiknya sang pikiran dibiasakan untuk selalu bersyukur untuk segala kenikmatan dan penderitaan dari Yang Maha Esa, dengan demikian akan tercipta pikiran yang bebas dari segala nafsu (Vi-trisna), dan pikiran yang kosong akan membukakan jalan ke Yang Maha Esa. Sabda Nachiketas di dalam Kathopanishad, “manusia tidak pernah terpuaskan hanya dengan harta-benda miliknya saja”. Jadi ada faktor lain di luar semua milik, ikatan dan harta benda duniawi ini, yaitu Yang Maha Esa. Carilah Itu !.
Dalam karya lainnya dari Sri Shankara, yang disebut Viveka-chudamani, beliau mengutip sebuah sloka dari Brihadaranyaka Upanishad yang mengatakan, “seseorang tidak mungkin mencapai Yang Maha Tak Terbinasakan dan Tak Terhancurkan melalui harta bendanya”. Jadi semua yang bersifat duniawi tidak berguna tanpa penghayatan dan pencarian yang sejati akan Sang Jati Diri kita sendiri.
3.
Menyaksikan kemolekan dan keranuman buah dada dan pinggangnya para dara
(gadis), janganlah dikau terjerumus ke khayalan yang bukan-bukan.
Semua ini hanyalah perpaduan daging dan lemak belaka. Renungkan hal ini
lagi dan lagi di dalam jalan pikiranmu.
(Bhaja
Govindam, Bhaja Govindam).
Keterangan : Pada stanza sebelumnya seorang bhakta diingatkan dengan harta-bendanya, dan di stanza di atas ini para bhakta diingatkan agar tidak terpesona dan tenggelam dalam pelukan hangat wanita, yang tentunya sangat menggoda. Sejarah Sanathana Dharma menunjukkan banyak resi yang sakti jatuh karena satu atau kedua godaan tersebut di atas. Hal ini bukan semata-mata berarti merendahkan martabat, diperingatkan bahwa secara biologis atau seksual, wanita itu sembilan kali lebih kuat daripada pria, oleh karena itu selalu dianjurkan kepada para murid yang umumnya adalah pria untuk mengendalikan nafsu seksual mereka melalui berbagai teknik meditasi dan lain sebagainya yang di yoga shastra disebut Pratipaksha Bhavana. Juga dengan ajaran ini seorang bhakta di ajarkan untuk menganalisa sesuatu dari sudut pandang yang lain, misalnya di sloka di atas, buah dada yang ranum dan pinggang yang molek sebenarnya adalah modifikasi antara gumpalan daging dan lemak. Dengan penafsiran-penafsiran semacam ini, para guru dimasa lampau mencoba mengalihkan berbagai hasrat dan nafsu para muridnya untuk menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi yang menggoda seperti harta-benda (kanchana) dan wanita (kamini). Kedua faktor ini adalah penghalang paling utama di jalannya seorang bhakta yang sedang meniti ke arah Realitas Yang Absolut (Tuhan Yang Maha Esa).
4.
Tetesan-tetesan air yang berlari-larian di atas kelopak bunga teratai,
tidak stabil kehadirannya, demikian juga dengan kehidupan ini. Fahamilah
bahwa seluruh dunia ini dilahap oleh berbagai ragam penyakit, khayalan dan penuh
dengan teka-teki (misteri) yang menjadi penghalang.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan
: Kalau pada dua stanza di atas Sri Shankara Acharya memperingatkan para
bhaktanya akan godaan harta-benda dan wanita, maka di syair ini beliau
mengingatkan kita agar berhati-hati dengan
kehidupan ini yang indah tetapi tidak abadi dan stabil, ibarat tetesan air
atau butir-butir embun
di atas kelopak bunga teratai yang sangat licin karena berminyak
permukaannya. Tetesan atau
butir-butir yang terkumpul dipagi
hari ini akan segera bergulir ke bawah dan menerjang butir-butir air yang berada
di dekatnya, ibarat sedang bermain sesama mereka (berlari-larian), lalu gugurlah
semua butir-butir air ini ke bawah bersama-sama.
Jadi semua di dunia ini hanya sementara sifatnya saja.
Ada peneliti yang menafsirkan syair tersebut di atas sebagai berikut : Teratai biasanya lebih subur kalau tumbuh di air yang keruh, semakin keruh semakin subur teratainya. Teratai itu tumbuh dari air dan akan mati di air juga. Bahkan butir-butir air yang terkumpul di kelopaknya juga akan jatuh ke air juga. Dari air ke air, atau dengan keterangan lain Brahman (Yang Maha Kuasa) itu adalah ibarat air itu sendiri dan semua ciptaan baik itu besar ataupun kecil melebur kembali ke dalamNya. Maha Vakya menyebutkan fenomena ini sebagai Tat Twam Asi (Itu adalah Dikau).
5.
Selama dikau (mampu) mencari nafkah dan menyimpannya, selama itu juga
semua orang akan bersandar kepadamu. Selanjutnya
kemudian sewaktu dikau menjelang hari tua dan lemah ragamu, tak ada seorangpun
yang akan menyapamu bahkan sepatah katapun.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Seorang kepala rumah-tangga yang sukses
mencari uang dan harta-benda, disayang anak-isteri dan keluarga yang
membutuhkan uangnya. Begitu ia tua renta, setiap orang akan menjauhinya karena
dianggap menjadi beban. Inilah
fakta kehidupan yang tragis. Jadi
carilah nafkah batin dan spiritualmu yang hakiki agar diwaktu tua nanti tidak
goyah karena dikau telah stabil dalam jalan kebenaranmu. Walau raga bisa tua, tetapi selama batin kita terikat kepada
Yang Maha Esa maka akan ada kekuatan
yang tersimpan yang akan melindungi dan menguatkan kita. Inilah pesan tersembunyi di dalam syair tersebut di atas.
Banyak orang yang menasehatkan kaum muda untuk bekerja keras mencari uang
dan menyimpannya untuk hari tua nanti. Mereka
lupa bahwa kita juga harus berupaya keras mencari nama Tuhan sewaktu muda untuk
ditabung dan menjadi bekal dimasa
tua di dunia lainnya sewaktu masa itu tiba.
6.
Selama tubuhmu masih bernafas, selama itu juga (dikau) akan diperlukan
demi kesejahteraan rumah-tanggamu. Begitu nafasmu terhenti
dan ragamu membusuk, bahkan
isteri sendiri takut akan raga ini.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Sloka di atas tidak menyarankan seorang pemuja
untuk meninggalkan berbagai kewajiban rumah-tangga atau masyarakat.
Sebenarnya sloka ini ingin memperingatkan kita bahwa suatu hari nanti
raga kita akan membusuk, dan pada saat itu mereka-mereka yang selama
kehidupannya bersandar kepada kita akan segera menjauhi badan kita yang mulai
membusuk. Siapakah yang butuh mayat
di rumah? Mayat ayam atau babi akan
lebih mahal harganya dari mayat manusia sehingga isteri tercinta yang tidur
sehari-hari bersama juga akan segera menjauhi mayat suaminya begitu ia meninggal
dunia. Jadi tetaplah berkewajiban
kepada keluarga dan masyarakatmu, tetapi ingat hakikat yang lebih tinggi yang
menantimu di ujung sana. Ikatkan
jiwa-raga, pikiran dan batinmu kepadaNya semata yang akan datang menjemputmu
kembali saat perpisahan itu tiba.
Di dunia barat pada dewasa ini pemujaan terhadap badan semakin menjadi-jadi. Segala upaya dikerahkan agar manusia tetap awet muda dengan cara apapun juga bahkan banyak yang tidak mau berkeluarga karena akan mempengaruhi bentuk tubuh mereka. Sanathana Dharma mengajarkan agar manusia merawat jiwa-raga mereka secara satvik dengan berbagai teknik hatha yoga, meditasi, ayur veda, bersifat vegetarian ditambah aktivitas seperti menari dan melakukan berbagai kegiatan seni sehari-harinya. Dengan jalan ini secara umum jiwa-raga mengalami relaksasi bukan seperti sekarang ini kita sibuk setengah mati demi sesuap nasi dan lupa akan penyegaran badan dan pikiran kita. Sesuai dengan ajaran Sanathana Dharma, hindarilah alkohol, merokok, obat-obat terlarang, berjudi dan sebagainya, karena Sang Atman tidak akan mau bersahabat dengan raga yang kotor seperti itu. Jauhi juga bertato badan kita karena ini dilarang keras di dalam agama Hindhu.
7.
Semasa kanak-kanak sesorang selalu terpikat dengan berbagai permainan.
Semasa remaja ia terpikat dengan kekasihnya (penuh dengan nafsu); semasa tua ia
terikat dengan berbagai kekhawatiran dan derita-deritanya …… (tetapi) tidak
ada seorangpun, aduh, yang
tertambat kepada (Sang Brahman) Yang Maha Kuasa.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Dewasa ini sistim ekonomi telah merubah
nasib manusia di berbagai belahan bumi ini.
Setiap insan besar-kecil, tua-muda berlomba-lomba demi mencari nafkah
yang halal maupun yang haram, tetapi siapakah yang betul-betul mempunyai waktu
barang sedikit untuk secara tulus mempersembahkan lima menit saja untuk
bermeditasi kepadaNya. Bahkan
sering kita melihat hand-phone ikut masuk di tempat-tempat ibadah
karena si empunya begitu sibuk melakukan transaksi.
Lihatlah iklan-iklan di TV yang sehari-hari sibuk
membohongi konsumen dengan berbagai tipu-daya dan trik-trik fotografi
yang semakin hari semakin menjauhkan manusia
dari alam yang sehat itu sendiri. Iklan-iklan
rokok yang menyesatkan dan bukan menyehatkan malahan
merupakan hiburan bagi kita yang sudah menjadi masyarakat yang
“sakit” dewasa ini. Dimana ada
iklan yang bersifat spiritual atau bersifat religius, malahan agama juga
dijadikan komoditi oleh pemasang iklan yang serba serakah ini.
8.
Siapakah istrimu? Siapakah putramu?
Maha menakjubkan samsara ini! Dari
siapakah dikau ini berasal? Darimanakah
dikau berasal? Wahai saudara
(“yang gila”), pertimbangkanlah akan makna kebenaran disini (di kehidupan
ini).
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Menurut berbagai sastra Hindhu kuno, sebuah
perkawinan adalah suatu keharusan dharma demi lestarinya keturunan dan kehidupan
rumah-tangga, tetapi tetap saja harus ada spasi antara suami dan istri ……
dan jangan yang satu tertambat dan bersandar kepada yang lainnya (mandiri) …..
karena ketertambatan ini tidak sehat sifatnya.
Di bagian sastra lainnya dikatakan keterikatan yang bersifat
berlebih-lebihan adalah racun bagi manusia-manusia yang saling terikat ini.
Siapakah anak-istrimu tanya Prabhu Shankara, jawabnya adalah setiap manusia itu lahir secara sendiri dan akan mati sendiri juga sewaktu saatnya tiba. Di tengah perjalanan, setiap individu, manusia ini saling kait mengait dan terbentuklah ikatan-ikatan yang disebut sebagai persahabatan, persaudaraan, perkawinan dan berbagai sebutan lainnya. Tetapi ingat setiap kelahiran individu adalah demi persiapan kematiannya dan setiap perjumpaan adalah awal persiapan untuk sebuah perpisahan. Jadi jangan bersikap cengeng dan selalu menuntut kepada orang lain baik itu ayah, ibu atau suami-istri dan sebagainya. Bagitu beranjak dewasa, bersikaplah secara sadar untuk mandiri. Ingat hukum alam akan selalu abadi sifatnya pada masa yang lalu, sekarang dan masa-masa yang akan datang. Sedangkan kemajuan teknologi tidak bersifat permanen dan merupakan alat yang bisa saja berubah fungsi sesuai jaman dan kebutuhannya. Pada hakekatnya setiap kelahiran dan kematian telah dirancang sebelum setiap individu itu lahir, sesuai dengan karma-karmanya di masa yang lalu.
Mari kita mencoba menganalisa ikatan keluarga di
bawah ini :
Seorang anak disebut putra atau putri kita setelah ia dilahirkan sebagai anak dari yang disebut istri atau anak kita. Sebelumnya ia hanya merupakan indung telur dan sperma yang terpisah bukan? Semua unsur vital ini diciptakan dari raga kita dari makanan yang kita konsumsi sehari-hari. Makanan berasal dari tanaman, dan tanaman berasal dari bumi ini, bumi ini bukan lain dan bukan tidak adalah gumpalan tanah, jadi sebenarnya kita ini apa dan siapa? Jawabannya karena berasal dari tanah maka kita adalah tanah juga, karena kita akan kembali ke tanah juga pada akhir hayat kita nanti. Tetapi sewaktu kita diberi kehidupan, maka Sang Maya mampu menimbulkan Maha Karya ilusi oleh khayalan yang begitu menakjubkan dan menggetarkan sekalugus mengikat kita. Padahal kita datang dari tanah dan sedang menuju ke tanah kembali !
Menurut Shankara, sebaiknya kita bergaul dengan
sesama manusia yang eling agar kita
selalu menyadarkan satu dengan yang lain dan
bersikap eling dan waspada (Pratipaksha
Bhavana). Sebaiknya bersahabat
selalu dengan insan-insan yang satvik agar kita dapat mempelajari hal-hal yang
baik darinya. Sebaiknya burung dara
terbang dengan burung-burung dara lain, dan tidak dengan burung gagak.
9.
Melalui persahabatan dengan orang-orang yang bajik, akan
tercipta ketidak-terikatan;
melalui ketidak-terikatan (duniawai), akan tercipta kebebasan dari khayalan ini,
sewaktu tercipta kebebasan dari khayalan ini, akan hadir Realitas Nan Tak Tergoyahkan; sewaktu mengalami Realitas Nan
Tak Tergoyahkan ini , maka hadir
nuansa (tahap) “Kebebasan di dalam Kehidupan ini.”
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Sri Shankara Acharya walaupun dikenal sebagai
seorang maha resi, toh tidak menganjurkan kita untuk hidup sebagai resi,
sebaliknya ia menganjurkan untuk selalu berkarma dan menghayati
kehidupan ini secara bajik dan bijak, dengan bersahabatkan orang-orang
yang saleh, beriman dan sadar, dengan demikian kita saling mengingatkan satu
dengan yang lain, begitupun bergaul dengan para penjudi dan pemabok, kitapun
akan terserap ke dalam kehidupan tersebut.
10.
Sewaktu masa muda telah pudar, dimanakah berada nafsu dan berbagai
permainannya? Sewaktu semua air
menguap, dimanakah letak sebuah danau? Sewaktu
harta-benda berkurang dimanakah berada para teman dan kerabat?
Sewaktu Kebenaran tercapai, dimanakah Samsara berada ?
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan: Secara amat singkat dan lugas, Sri Shankara Acharya
memperingatkan kita semua bahwa sewaktu sebuah (suatu) “sebab” berhenti,
maka “akibatnya” juga otomatis akan terhenti. Sewaktu masa tua datang
menjelang, maka fungsi raga dan seluruh aktivitasnya mulai berhenti secara
perlahan pasti, dengan demikian berbagai hasrat dan nafsu tidak mungkin bisa
dilaksanakan ibarat “nafsu besar tenaga kurang”.
Jadi harus pesimiskah kita akan kelanjutan kehidupan ini?
Tidak, analog dari Sri
Shankara menegaskan, sewaktu Kebenaran Ilahi tercapai, maka Samsara
yang sudah tidak memiliki basis duniawi inipun segera menghilang, dan orang
tersebut akan terserap ke dalam Hakikat
Yang Maha Esa yang penuh dengan Kebahagiaan Absolut.
Dengan kata lain, sewaktu sumua vasanas (intisari berbagai hasrat, nafsu
dan keinginan) terhapus, hilanglah ego positif dan negatif dari diri kita, dan
langsung saja seseorang hidup secara sadar di atas dwandas (2 sifat alami yang saling bertentangan, contoh :
panas-dingin, suka-duka, malam-pagi dan sebagainya) dan kesadaran Universal
mengisi seluruh jiwa-raga kita. “Sang Pengenal Brahman berubah menjadi
Brahman”, sabda Sruthis.
11.
Jangan dikau bersikap angkuh akan harta benda milikmu, jangan dikau
bersikap angkuh karena dikau adalah seorang yang memiliki banyak bawahan.
Dalam sekejap mata sang waktu mampu mencuri semua ini.
(Sebaiknya) dikau mengesampingkan semua ini, setelah dikau sadar akan
sifat-sifat mereka yang penuh dengan ilusi, sadarlah akan Tahap Sang Brahman,
dan masukilah tahap ini.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Carilah Sang Pencipta semua ilusi duniawi ini,
Sang Brahman yang hadir sebagai saksi Chaitanya
di dalam relung hati sanubari kita. Sadarilah
Kesadaran (Ayam Atma) yang bersemayam
di dalam setiap Kesadaran Sejati. Ingat setiap posesi (milik) kita akan berlalu
dalam sekejab-mata ibarat diambil oleh pencuri sewaktu kita lengah.
12.
Pagi dan malam, ufuk pagi dan senja hari, musim salju dan musim semi
senantiasa bergulir datang dan pergi. Sang waktu berpacu dan
sang kehidupan sirna. Toh,
manusia (yang sudah sadar akan ketidak-adilan) ini juga tidak pernah
meninggalkan gejolak-gejolak dan hasarat-hasrat berbagai nafsunya.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Walau seseorang mungkin hidup beratus-ratus tahun,
walaupun ia memiliki harta-benda untuk tujuh turunan, toh ia tidak memiliki
keabadian atas diri dan semua posesinya ini. Jadilah orang bijak, kesampingkan gejolak-gejolak nafsu yang
tiada habis-habisnya, carilah Realitas Kebenaran, karena hanya
Ia yang memuaskan semua hasrat-hasrat ini. Seandainya anda tidak dilanda
demam duniawi maka anda akan menikmati semilir angin Ilahi.
13.
Wahai dikau yang telah jauh dariNya! Mengapa harus khawatir akan istri,
harta-benda dan lain sebagainya? Bukankah Yang Maha Kuasa hadir di alam semesta
ini guna melaksanakan seluruh tugas-tugasnya? Di ketiga loka ini (Bhur-Bwah-Swah)
hanya dengan “bertemankan orang-orang
yang bajik” saja ibarat sebuah perahu yang akan menyeberangkan dari lautan
pertukaran (kehidupan-kematian yang berulang-ulang) ini.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Kekhawatiran akan apa saja adalah suatu hal yang
amat melelahkan jiwa-raga kita semua. Manusia
gagal bukan karena lingkungannya lebih kuat, tetapi hukum alam menyatakan yang
lemah pasti kalah dari yang kuat, bahkan bisa binasa.
Tetapi bertemankan para orang-orang suci dan sejati, nasib seseorang
manusia bisa berubah (sajanasangathi). Pengendalian
diri (dama) akan menghasilkan
kedamaian batin (shama) yang pada
gilirannya akan menghasilkan kebahagiaan internal (Santosh,
kesentosaan). Hanya dengan
bermodalkan perangkat dan piranti-piranti spiritual ini seseorang yang secara
otodidak (Swadaya) dan penuh dengan
refleksi diri (Vichar) berkonteplasi
ke Yang Maha Esa, maka ia akan menghasilkan sesuatu yang menakjubkan di jalan
Kebenaran. Semua ini harus dimulai
dengan berasosiasi dengan para kaum bijak, suci dan beriman. Sang Budha
melakukan hal tersebut, begitu juga Guru Nanak dan Sang Rama yang bahkan adalah
reinkarnasi dari Yang Maha Kuasa sendiri.
Sat-sangh
(berasosiasi dengan orang-orang yang saleh) diantaranya asosiasi antara guru dan
murid mungkin adalah kontak batin yang terbaik, dan diibaratkan sebagai perahu
yang menyeberangkan kita dari lautan kebodohan dan samsara ini ke ketepian yang
penuh dengan ilmu-pengetahuan dan Hakikat Kebenaran Absolut.
Keduabelas stanza di atas menurut para peneliti
adalah hasil karya dari Sri Shankara Acharya dan disebut sebagai karangan bunga
dalam bentuk syair (Dwadasha-Manjarika-Stotra),
sedangkan 14 buah sloka yang akan menyusul kemudian diperkirakan adalah hasil
para sishya beliau, yang mengikuti Sri Shankara Acharya dalam perjalanannya ke
Benares. Gabungan sloka-sloka ini disebut Chaturdasha-Manjarika
Stotra.
14.
Ada fakir yang mengenakan kunci pengaman, ada yang menggunduli kepalanya,
ada yang mencabut rambutnya satu persatu, ada yang berbusana compang-camping…….semua
ini adalah manusia-manusia bodoh yang melihat tetapi tidak menyadari apapun juga.
Sebenarnya semua penyamaran dan pertunjukan ini hanya demi perut mereka
yang gendut belaka.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Di India dan di berbagai bagian bumi ini banyak
manusia menyamar sebagai orang suci dengan bertingkah-laku, berpakaian ibarat
orang suci, atau juga bersifat aneh dengan menyiksa diri, berhatha-yoga secara
tidak karuan demi penghasilkan pribadi,
bukan karena mereka ini adalah yogi atau fakir spiritual.
Di sekitar kita juga banyak manusia munafik semacam ini, apalagi yang
berkedok pandita, brahmana, guru dan mengenakan berbagai atribut lainnya
seakan-akan terkesan suci. Seorang yang bersifat spiritual sejati tidak akan pernah
mengharapkan uang dari murid atau dari lain-lainnya. Bagi sesorang yang bijak
ini semua di atas datang dari Yang Maha Kuasa dan harus dikembalikan kepada-Nya
melalui berbagai ciptaan dan manifestasi Beliau. Apapun yang diberikan kepadanya
secara baik dan ikhlas akan diterimanya dengan puji syukur ke Yang Maha Kuasa.
Jadi berhati-hatilah akan guru, pendeta, orang yang berlagak seperti yogi,
fakir, resi dan sebagainya yang lebih menghasratkan uang, harta-benda berikut
berbagai fasilitas dari anda untuk pelayanan spiritual yang ia berikan kepada
saudara. Sesuatu yang baik dan
bersifat satvik, menurut Bhagavat-Gita
diberikan kepada orang yang tepat, dalam bentuk pemberian yang tepat, pada saat
yang tepat dan untuk tujuan yang tepat. Tentunya
ini berlaku untuk semua pihak baik yang memberi ataupun yang
diberi. Hindarilah uang hasil judi, pencurian dan korupsi, karena
tidak satvik sifatnya. Sloka di atas dipersembahkan oleh Padmapada, seorang
murid Sri Shankara yang terkenal sebagai salah
seorang murid sejati beliau.
15.
Sang raga telah mulai layu, sang kepala telah mulai beruban. Sang mulut
sudah ompong-melompong. Si orang tua berjalan tertatih-tatih bersandarkan
tongkatnya. Walaupun sudah sedemikian keadaannya, tetap saja memikul beban
nafsunya (kesana dan kemari).
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Sampai ke liang kuburan (atau ke perapian)
ternyata kita semua masih memikul (dan terjerat kedalam) nafsu-nafsu
ciptaan-ciptaan Sang Ilusi. Inilah
Sang Maya, Sang Moha, inilah yang disebut Samsara.
Sloka ini dipersembahkan oleh Sri
Totakachrya.
16.
Di depannya terletak api, dibelakangnya hadir sang surya
(mentari), larut malam ia duduk dengan dagunya yang bersandar ke belahan
lututnya, ia menerima dana-punia dengan tangannya yang terkatub dan hidup di
bawah naungan sebuah pohon, tetap saja sari keinginan dan berbagai hasrat tidak
mau meninggalkannya.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Demikian gambaran dari orang-orang yang sedang
menjauhi duniawi dengan mengasingkan diri mereka ke hutan-hutan, atau dengan
menjadi pendeta, biksu dan lain sebagainya. Bhagavat-Gita dan Sri Shankara
menyebut orang-orang ini munafik selama masih menyimpan hasrat dan nafsu.
Bukan itu jalan keselamatan atau pembebasan spiritual yang dimaksud,
tetapi tetap saja berkarya sesuai kodrat dan profesi dan warna, kemudian
memasrahkan semua hasil pelaksanaan
sehari-hari kembali kepadaNya. Sloka ini dipersembahkan oleh Sri Hastamalaka.
17.
Seseorang boleh beryatra ke lokasi sungai Gangga bertemu dengan samudra,
yang disebut Ganggasagar, atau bernazar akan sesuatu, atau berdana-punia.
Seandainya ia belum juga menemukan Kebenaran secara langsung (Iyanam),
maka berdasarkan semua kepercayaan, ia tidak akan terbebaskan walau hidup 100
kali.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Mantra-sloka di atas dipersembahkan oleh Sri
Subodha. Ganggasagar adalah sebuah lokasi dimana sungai Gangga berakhir dan bertemu dengan samudra disebut
Teluk Benggala. Lokasi pertemuan ini dianggap teramat suci oleh kaum Hindhu di
India, dan dianggap dapat menghapus segala dosa-dosa manusia, seandainya
seseorang mandi di sana, atau bershrada
(menghaturkan sesajen untuk leluhur yang sudah meninggal dunia, pitra-yagna)
atau melakukan berbagai aktivitas spiritual lainnya.
18.
Mencari perlindungan di berbagai kuil atau di bawah pepohonan, tidur
telanjang di lantai, hanya mengenakan kulit rusa, dan meninggalkan seluruh
harta-benda, keluarga dan segala kenikmatan, kepadanya (orang Ini), Vairagya
(non-keterikatan) akan menghantarkan kebahagiaan .
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Di sloka mantra di atas Sureshwaracharya ingin
menyatakan bahwa sebenarnya kalau
seseorang benar-benar telah mempasrahkan kehidupannya dan berbagai pahalanya
kembali kepada Yang Maha Esa, maka cara-cara kehidupan tersebut di atas walaupun
terkesan menyiksa, tetap saja akan membahagiakannya.
Dengan kata lain, walau telanjang bulat di tengah hutan dan tinggal di
gubug reyot, tetap saja bhakta ini akan bahagia seandainya ia sudah bersatu
dengan HakikatNya Yang Maha Esa, ibarat kebahagiaan yang dihantarkan secara
pribadi kepadanya sebagai hadiah.
19.
Biarkan saja seseorang menikmati Yoga (ilmu pengetahuan dan kendali diri)
atau menikmati Bhoga (kenikmatan indriyas). Biarkan saja sesorang bergabung dengan para orang suci atau
menyepikan dirinya dari masyarakat banyak.
Barangsiapa pikirannya telah menyatu di dalam Brahman, ia akan bahagia
….. dengan amat sangat, hanya ia sendiri yang berbahagia.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Inilah tingkat kesadaran dalam Sang Brahman bagi
seseorang yang telah merealisasikannya. Apakah ia seorang resi, fakir ataukah
seorang raja seperti Raja Janaka, Yudisthira, sekali ia mencapaiNya, ia sendiri
akan sanggup merasakan kebahagiaan kepada unsur-unsur lainnya.
Pada tahap ini pengetahuan dan tingkat kesadaran
sang pemuja yang telah bersatu dengan Sang Atmannya, tidak dapat
dijabarkan dengan rasio duniawi. Apa
yang wajar baginya mungkin secara duniawi dianggap gila atau sesat oleh sebagian
besar manusia yang belum faham dan
masuk ke tingkatan spiritual tertinggi ini.
Bukankah ada konsep salah di Jawa, di mana ada yang berpendapat bahwa Sang Khresna adalah seorang yang licik dan penganjur
peperangan, konsep ini juga berlaku untuk sebagian kecil umat Hindhu di India
dan berbagai tempat lainnya,
padahal Sang Khresna menganjurkan Arjuna untuk memerangi adharma yang hadir di
dalam saudara-saudara misannya, para Kaurawa, bukan manusia-manusianya. Sang
Khresna adalah kusir dan perancang perang Mahabharata. Di sisi lain beliau lahir
sebagai Sidharta Buddha Gautama yang penuh dengan welas asih. Sloka mantra di
atas dihaturkan oleh Sri Nityananda.
20.
Bagi seseorang yang telah mempelajari Bhagavat-Gita walau hanya sedikit
saja, yang telah mencicipi paling sedikit setetes air sungai Gangga, yang telah
memuja Sang Murari (Khresna) walau hanya sekali saja, pemuja seperti ini tidak
perlu berdiskusi (bertengkar) dengan dewa Yama (Dewa Kematian).
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Ada tiga unsur upaya spiritual yang ditekankan di
sloka mantra di atas:
1)
Mempelajari
Bhagavat-Gita;
2)
Mensucikan
diri di sungai Gangga;
3)
Pemujaan
kepada Sang Hyang Khresna Vasudewa.
Bhagavat-Gita yang terdiri dari delapanbelas bab adalah intisari dari seluruh Upanishad; dengan disiplin intelektual seseorang, maka seseorang ini akan mampu menghayati misteri akan intisari kehidupan ini, akan Tujuan Kehidupan ini, dan juga akan memahami berbagai upaya untuk mencapai tujuan ini.
Mensucikan diri dengan air Gangga bukan berarti harus mati-matian beryatra dan mandi di sungai ini, apalagi kalau ritual ini dijadikan destinasi pensucian terakhir. Gangga sebenarnya adalah ajaran misteri agung Dewa Shiva yang didapatkan olah Raja Bhagiratha. Ajaran ilmu-pengetahuan yang penuh dengan misteri spiritual ini ibarat sungai yang mengalir abadi dari ubun-ubun Dewa Shiva (dianggap juga salah satu manifestasi Yang Maha Esa) yang masih mengalir sampai saat ini dari para guru resi yang suci kepada murid-muridnya. Setetes saja ajaran murni sang guru yang diteguk oleh sang murid, ini akan menerangi kebijaksanaan internal sang murid. Perhatikan dengan baik gambaran Dewa Shiva yang sedang bersemedi dengan dada telanjang, dan Sang Gangga mengalir keluar dari kepala beliau yang berhiaskan bulan sabit (lambang alam-semesta). Sapi tunggangan Beliau disebut Nandini berdiri atau duduk di samping Beliau dan terdapat sebuah Trisula tegak juga di salah satu sisi Beliau, trisula ini adalah lambang dari Trimurti dan para shaktinya. Sedikit penjelasan dari gambaran ini : Kata Shiva bisa dijelaskan sebagai gabungan kata Sh yang berarti pemilik dan jiva yang berarti setiap jiwa, dengan demikian salah satu arti dari kata Shiva berarti Pemilik setiap jiwa, siapa lagi kalau bukan Yang Maha Esa itu sendiri. Sapi Nandini adalah simbol dari bumi ini, dianggap suci karena sapi selalu memberikan susunya kepada manusia tanpa mengeluh, begitu juga ibu dan Pertiwi ini, selalu melahirkan, mengayomi dan mendaur-ulang kita lagi dan mengembalikan setiap jiwa kembali ke Shiva untuk diproses kembali. Barang siapa memakan daging sapi maka ia memakan daging ibunya sendiri, inilah intisari mengapa sapi dan sejenisnya tidak dimakan oleh kaum Hindhu, bukan karena haram sifatnya, tetapi karena teramat suci apalagi susunya.
Mata ketiga yang terdapat di tengah-tengah alis melambangkan mata kebijaksanaan dan
yoga yang tertinggi; sekali terbuka sanggup membakar seisi dunia dan menimbulkan
bencana atau pralaya, tetapi seandainya mata ketiga manusia yang terbuka karena
konteplasi yoganya, maka seluruh kebodohannya akan terbakar habis, demikian juga
dengan dosa-dosanya, dan ia akan terselamatkan dari lingkaran kelahiran dan
kehidupan berulang-ulang. Mengapa
Shiva terkesan begitu sederhana dan hampir-hampir tidak berbusana sama sekali,
ini menunjukkan bahwa Beliau suci ibarat bayi (Achintya), tidak terikat akan ikatan-ikatan duniawi.
Itulah tujuan yoga tertinggi dalam sistim cakra tubuh kita yang merupakan
kuil atau padmasana/padmasari dengan kekosongan di ubun-ubun dimana Beliau
bersemayam dalam posisi meditasi raja-yoga yang tertinggi.
Tetapi kita di Indonesia lebih senang
membuat sebuah Padmasana yang mahal harganya daripada memuja raga kita sendiri
sebagai sebuah padmasana yang lebih berharga
karena Beliau (Achintya), Sang
Jati Diri, Atman lebih memilih bersemayam di dalam raga
yang merupakan kuil baginya. Manusia
yang “bodoh” lebih cenderung melihat fisik luar dan tidak mau menyaksikan
Beliau berada di dalam dengan mata ketiga kita, yaitu mata raja-yoga yang penuh
dengan kebijaksanaan dan ketakjuban.
Di sloka di atas ada kata-kata, “setetes air gangga” yang seandainya berhasil kita rasakan akan membuahkan sesuatu yang luar biasa bagi kita semua. Para resi sering menyebut Gangga ini sebagai Soma atau nektar kehidupan abadi, yang menetes keluar dari tengah-tengah hypotalmus (otak) kita sewaktu seseorang memasuki meditasi tahap tetingginya. Gangga yang menetes ini hanya seujung jarum pentul, tetapi begitu masuk ke aliran darah ternyata dapat menyegarkan seluruh tubuh, oleh karena itu para yogi tubuhnya jarang sakit dan cukup tidur satu dua jam saja sehari karena tertunjang oleh zat ini. Para ilmuwan di Amerika Serikat menemukan bahwa zat ini sanggup menuntaskan influenza dalam sekejap, dan kemungkinan dapat menghilangkan virus AIDS di dalam tubuh karena sejenis dengan virus influenza, juga mereka-mereka yang disiplin meditasinya ini lalu akan mendapatkan kekuatan supra-natural karena tubuh menjadi bersih dan terbukalah sarana-sarana spiritual yang memang sudah disediakan oleh Yang Maha Kuasa untuk raga semacam itu. Para resi, bhiksu dan orang suci sadar sekali akan faktor Shiva dan pengaruhnya kepada kita.
Kata Murari
(Penghancur Ego) adalah sebutan lain dari Sri Kreshna. Para pemujaNya yang
sejati akan menghayati segala ajaranNya dan akan berhasil mengarungi lautan
samsara ini dengan baik sesuai dengan berkat dan karuniaNya.
Seorang yang sudah faham akan ketiga faktor ini tidak akan takut lagi akan kehidupan dan kematian, apalagi dengan semua unsur-unsur duniawi yang mengikat ini, jadi bahkan Dewa Kematian, Yama Dewa (yang berarti pengendali agung) tidak akan pernah menyengsarakan manusia ini, karena manusia ini sadar bahwa kematian hanyalah sebuah proses daur ulang, begitu juga dengan kehidupan ini. Kehidupan menapak ke arah kematian dan begitu juga sebaliknya, jadi apalagi yang harus dikhawatirkan? Seharusnya setiap manusia diajarkan akan hakikat kehidupan ini, memahami fungsi tubuhnya saja ia belum tahu. Tersirat yoga ilmu-pengetahuan dalam stanza di atas yang dihaturkan oleh Sri Anandagiri.
21.
Lahir lagi, mati lagi dan lagi-lagi hidup di kandungan ibu --- proses
Samsara ini begitu sulit untuk diseberangi ---- selamatkan daku, wahai Murari
(Oh, Penghancur ego), melalui kebaikanMu Yang Tak Dapat Dijabarkan.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Stanza ini khusus dihaturkan oleh sang seorang
murid Sri Shankara yang tidak disebutkan namanya, untuk memperingatkan kita
semua agar selalu berpedoman ke Sang Khresna dan intisari yang terdapat di
Bhagavat-Gita guna mencapai Yang Maha Kuasa yang bersemayam di dalam diri kita.
22. Seorang
yogin yang mengenakan godadi (kain percah tambal-sulam)
yang menapak jalan di atas kebajikan dan kebatilan, yang jalan pikirannya
telah menyatu dalam Yoga yang sempurna beserta semua tujuan-tujuannya, ia
menyatu dalam Kesadaran Ilahi ---- dan hidup selanjutnya ----- ibarat seorang
anak balita atau seorang gila (tidak waras).
(Bhaja Govindam, Bhaja Govindam).
Keterangan : Di dalam berbagai karya suci Sanathana Dharma
disiratkan ciri-ciri dari seseorang yang telah mencapai tahap yang suci.
Orang-orang ini ada yang bertingkah laku ibarat anak balita yang polos,
lugu, jujur spontan dan jujur (Balavat),
atau sebagai orang sinting dan kurang waras (Unmattavat)
atau sebagai hantu (Pishachavat).
Sebenarnya orang suci ini bukan anak kecil atau gila ataupun hantu,
tetapi ia mungkin saja memiliki karakter tersebut
di atas. Oleh orang-orang awam, mereka ini sering dilecehkan dan oleh penipu
mereka ditiru, tetapi oleh berbagai sastra vidhis mereka disebut mahapurushas.
Salah satu Upanishad mengatakan: “Bagi seseorang yang telah berada di
atas ketiga gunas ---- tidak ada preskripsi dan tidak ada larangan apapun juga.”
Seorang yang telah melampaui ketiga gunas ini bergerak kesana-kemari
ibarat hantu, ke tempat-tempat keramat dan sepi, ke hutan-hutan dan lokasi yang
angker. Semua yang melihatnya takut
kepadanya, bahkan konon para jin dan hantu juga takut kepadanya.
Orang ini sudah tidak menjadi budak dari raga, nafsu dan indriyasnya lagi. Ia ibaratnya sudah tidak memperhatikan tubuhnya lagi, padahal tubuh satvik luar dan dalam ibarat dewa Shiva. Orang semacam ini akan memproteksi linggamnya dengan kain tambal-sulam yang didapatkan dari sana-sini, karena ia beranggapan bahwa linggam itu suci. Insan ini disebut sebagai seorang mistik. Seorang mistik dianggap telah mati secara duniawi tetapi tetap hidup dalam strata spiritual yang misterius. Selama sisa hidupnya ia berdoa secara terus-menerus demi lestarinya dunia ini. Menurut ajaran Sanathana Dharma, tanpa manusia-manusia ini, dunia seyogyanya sudah hancur dan kiamat dari dulu, akibat perbuatan rakus manusia ini, yang semakin lama semakin tidak mengenal batas lagi.
Para resi yang suci ini masih terdapat di India dan mereka ini hidupnya sederhana dengan bersantap dan meminum secara minimum sekali, tetapi selalu beraksi secara spiritual semaximum mungkin demi lestarinya alam-semesta ini. Dari mereka inilah Sanathana Dharma lahir di masa yang lalu, dan oleh mereka-mereka juga dilestarikan hingga waktu ini, mereka-mereka dikenal sebagai “manusia-tuhan”.
Stanza ini dipersembahkan oleh Sri Nityananda.
23.
Siapakah dikau? Siapakah aku? Darimanakah aku berasal? Siapakah ibuku?
Siapakah ayahku? (sambil) Memohon
demikian, meninggalkan seluruh pengalaman-pengalaman duniawi (vishwan) yang
tidak bermakna dan hanya merupakan dunia mimpi, yang lahir dari imajinasi
(khayalan- swapnavicharam).
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Kehidupan manusia
di dalam suatu masyarakat itu ibarat kain tenunan yang terdiri dari
benang-benang anyaman saling silang-menyilang. Bayangkan aneka ragam manusia dengan berbagai karakter,
sifat, kelakuan yang sebenarnya adalah produk manusia itu sendiri yang saling
kait-mengkait di dalam hamparan suatu masyarakat yang luas.
Seandainya terdapat kebiasaan-kebiasaan buruk atau baik yang saling
berasosiasi maka masyarakat tersebut bisa
saja menjadi masyarakat yang baik atau buruk atau campuran dari kedua unsur
tersebut, dan semua ini selalu disebut para resi sebagai hasil khayalan dari
dunia maya dan manusia menjadi “kalut” di dalamnya.
Lalu apa yang harus dilakukan oleh seseorang manusia? Ia harus waspada terhadap tindak-tanduk pikiran dan tingkah lakunya sehari-hari, waspada akan dampak lingkungannya. Memohon kepada para guru, resi dan kaum bijak untuk dituntun ke arah realisasi akan jati dirinya, akan peri-lakunya yang positif dan negatif. Ada ahli yang menyatakan bukan saja kehidupan sehari-hari adalah mimpi, ilusi dan khayalan, tetapi bahkan semua jenis mimpipun adalah produk dari khayalan duniawi ini, wahai manusia berhati-hatilah akan kehidupan dunia ini. Stanza di atas dipersembahkan oleh Sri Yogananda.
24.
Di dalam dirimu, dan di (semua) tempat juga, hadir Realitas Yang Maha
Hadir (Vishnu). Merasa tidak sabar,
dikau marah terhadapku, padahal kemarahan tersebut tidak diperlukan.
Seandainya dikau ingin segera mencapai status Vishnu, bersikap sama
ratalah di dalam berbagai keadaan.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Sang guru di sini mencoba sekali lagi untuk
mengungkapkan tentang kebenaran Abadi, yaitu Yang Maha Esa yang sebenarnya hadir
di mana saja, dan dalam bentuk apa saja …. Sering sekali
kita merasa jengkel kepada guru kita yang kita anggap memberikan keterangan yang
bertele-tele. Seorang guru yang
bijaksana biasanya sadar akan kekurangan sang murid, oleh karena itu beliau
selalu akan mengulang-ulang akan Hakikat Yang Maha Esa daripada menjabarkanNya
secara langsung. Karena pada
hakikatnya Yang Maha Kuasa sebaiknya dipersepsi secara langsung melalui intuisi
kita melalui budhi kita yang telembut berdasarkan disiplin, bhakti dan dedikasi
yang penuh dengan prema (cinta-kasih
spiritual). Untuk apa semua ajaran
para guru kalau sang murid tidak memiliki “RASA”
tersebut.
Sang murid ini tidak akan pernah mencapai tahap
kesadaran yang lebih tinggi. Rahasianya
diungkapkan sekali lagi di stanza di atas yaitu, “bersikap sama rata di dalam
berbagai keadaan (samachittawan).
Dan ini tidaklah mudah, seseorang harus melaksanakan beberapa upaya di
bawah ini secara berkesinambungan :
1)
Bhakti;
2)
Pemujaan yang tulus kepada Yang Maha Esa;
3) Seva
(pelayanan) terhadap sesama manusia sesuai dengan kemampuan kita secara tulus,
dan juga kepada lingkungan dan
hewan-hewan dan makhluk-makhluk lain di sekitar kita;
4)
Meditasi secara berkesinambungan dengan Tuhan Yang Maha Esa;
5) Mempelajari
secara terus-menerus mengenai Yang Maha Esa dari berbagai segi, buku (sastra
vidhi), dan dari para guru;
6)
Bersih secara lahir dan batin.
Bhagavat-Gita sebenarnya mempersiapkan kita semua ke
tahap yang disebut Vishnutwam ini,
yang bisa menghasilkan jivanmuktah
(pembebasan dari kehidupan ini). Stanza
ini dipersembahkan oleh salah seorang sishya Sri Shankara Acharya yang tidak
disebutkan namanya.
25.
Janganlah dikau menhambur-hamburkan energimu karena ingin melawan atau
berkawan dengan musuh-musuhmu, teman-temanmu, dengan putra-putri atau
keluargamu. Carilah Sang Jati Diri (Sang Atman) dimanapun juga, cabutlah rasa
perbedaan (pluralitas) yang lahir dari “kebodohan”.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Rasa benci, marah, gusar dan lain sebagainya
datang kepada kita sewaktu persepsi seseorang itu lain atau berbeda dengan
persepsi kita; kita langsung saja anti dan merasa orang tersebut beda dari kita.
Padahal Sang Atman hadir dimana saja dalam bentuk apapun juga bahkan juga hadir
di dalam diri para setan, dedemit, raksasa dan iblis sekalipun. Semua berasal
dari Yang Maha Kuasa termasuk engkau dan aku, jadi apakah yang
berbeda?, membenci seseorang
lain sama dengan membenci diri kita sendiri, demikian juga kalau kita mencintai
orang lain. Jadi jangan sia-siakan
energi dan tenagamu untuk membenci atau mencintai semuanya (secara duniawi),
lalu harus bagaimana?
Seandainya anda adalah sesorang pencari kebenaran dan
merasa dahaga akan eksistensinya, dan ingin menyatu kepada Yang Maha Esa, dan
ingin mengabdikan dirimu kepadaNya, maka sadarlah akan HakikatNya Yang Tunggal
yang serba hadir di dalam berbagai manifestasiNya, dengan demikian timbullah
sikap Ahimsa (welas-asih dan non
kekerasan) di dalam dirimu. Dan dikau akan sadar bahwa cinta-kasihNya (Prema)
sebenarnyalah yang menunjang seluruh alam-semesta dengan berbagai aktivitasNya. Alam semesta ini yang kita lihat dan rasakan sebenarnya
terpadu secara alami di berbagai hukum alam yang semuanya berlandaskan kepada
prinsip-prinsip cinta-kasih Sang Pencipta.
Seandainya seseorang di dunia ini merasa tidak
bahagia, selalu sengsara, terabaikan dan bejat, itu semata-mata adalah salahnya
sendiri yang selalu merasakan demikian, bukan salah dunia atau sekelilingnya.
Bhagavat-Gita menyatakan “Dikau sendiri adalah teman bagi dirimu sendiri, dan
dikau sendiri adalah musuh bagi
dirimu juga”. Sewaktu kita
bersikap kotor pada diri sendiri, maka Sang Jati Diri di dalam diri kita
“bereaksi dan memusuhi” kita. Sewaktu
kita mencintai diri dan sekeliling kita, Ia pun
bersikap ramah dan penuh prema kepada kita semua. Semua ini adalah
refleksi jiwa dan batin kita, jadi
mulailah dari dirimu sendiri dan jangan mengharapkan dari orang-orang lain.
Menurut Ishavasya Upanishad, seandainya seseorang sudah mampu mencapai
Yang Maha Tunggal di alam-semesta ini, manusia ini tidak akan merasa terabaikan
atau merasa ditolak dalam situasi apapun (tahap ini disebut jugupsa),
suatu tahap dimana insan yang saleh sudah harmonis jiwa dan raganya, dan selaras
dengan kehendak Beliau. Ishavasya Upanishad bahkan menyabdakan “di tahap ini,
tidak ada khayalan, tidak ada penderitaan yang dapat mencapai seseorang yang
telah manunggal dengan Yang Maha Kuasa yang hadir di mana saja”.
Stanza ini disampaikan oleh sishya yang tidak disebutkan namanya.
26.
Meninggalkan nafsu, kemarahan, keserakahan dan khayalan, seorang pencari
kebenaran melihat di dalam Sang Jati Dirinya, ”Ia adalah Aku”.
Mereka-meraka yang tidak melihatnya, adalah orang-orang yang bodoh dan
akibat selanjutnya adalah mereka ini akan disiksa sebagai penghuni neraka.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Stanza ini dipersembahkan oleh Bharathi Vamsha.
Untuk mencapai tahap bebas dari nafsu, kemarahan, keserakahan dan lain
sebagainya tidaklah mudah bagi manusia yang serba terganggu hidupnya sehari-hari
dikarenakan berbagai kebutuhan dan rongrongan kehidupan ini. Dan kalau seseorang
berhasil mencapaiNya setelah melewati semua hambatan ini, pastilah persepsi akan
Kebenaran dan Kesadaran tidaklah
sama dengan manusia awam. Seluruh pengetahuan kita bertumpu pada dunia luar
(kasat mata) ini bersifat objektif, dan kita memahaminya sebagai lain dari sudut
pandangan kita itu sendiri.
Sewaktu seorang jabang bayi dibentuk dalam rahim
ibunya maka ia tumbuh berkembang lepas dari berbagai nafsu, kemarahan,
keserakahan dan khayalan. Ia berkembang menjadi seorang bayi dalam keheningan
rahim ibunya, dan setelah ia dilahirkan mulailah ia mempelajari dan
mempraktekkan semua sifat-sifat alami ini, dan melupakan bahwasanya ia juga
diberi unsur-unsur ketenangan, keheningan pada awal mula penciptaannya.
Konon, para guru dan resi di India sering mengajarkan bahwa semasa janin
hidup di dalam rahim ibunya maka ia berada dalam posisi mengambang dan
bermeditasi sambil selalu berdialog dengan
Sang Atman selama 9 bulan 10 hari sampai ia dilahirkan, dan pada saat itu Sang
Atman pun langsung sirna dari depan matanya tetapi tidak dari sanubarinya yang
terbungkus oleh ilusi duniawi ini. Ada
juga yang mengatakan bahkan selama beberapa bulan atau tahun Sang Atman masih
mau menampakkan diriNya pada sang balita ini, yang sering terlihat tersenyum
manis atau berbicara sendiri sewaktu tidur.
Lalu pada perkembangan selanjutnya sang bayi terkontaminasi oleh berbagai
faktor duniawi dan kemudian melupakanNya. Pada
suatu saat dikemudian hari, seseorang akan selalu bertanya-tanya kepada dirinya
sendiri, “Siapakah aku ini, darimana aku ini berasal, kemana aku akan kembali,
dan apakah arti kehidupan ini?”. Ia
akan merenung dan sering mendambakan keheningan. Di saat inilah sebenarnya
meditasi dapat dimulai lagi dari awal, dan pada saatnya Sang Atman, yang
sebenarnya sudah bersama-sama kita sejak awal penciptaan akan menciptakan suatu
fenomena atau keadaan yang akan menjuruskan fokus kehidupan kita ke arahNya
lagi. Beliau yang terkesan
“hilang” karena ilusi duniawi selalu akan menuntun dan mengingatkan kita
agar kembali kepadaNya (Tuhan
Yang Maha Esa). Sloka di atas
mengingatkan kita bahwa seseorang yang tidak sadar akan hakikat ini adalah orang
yang bodoh, karena walaupun sudah memilikiNya, tetap saja tidak sadar akan
fenomena tersebut. Oleh karena itu kita semua seharusnya waspada akan seluruh
potensi baik itu, negatif atau positif yang diberikan oleh Yang Maha Esa di
dalam diri kita. Tanggalkan
ke”aku”an, tanggalkan jalan pikiran atau perasaan yang menyatakan
“ini punyaku” dan ego-ego pribadi semacam ini.
Kendalikan semua indriyas, pikiran dan berbagai potensi yang kita miliki
ini secara harmonis, pergunakan bila perlu saja dan secara wajar dan cukup-cukup
saja, kemudian pasrahkan hasil atau pahala baik dan buruk (akibatnya) kepada
Sang Pencipta yang tentunya lebih faham akan makna sebenarnya, karena setiap
tindakan kita ini berasal dariNya, dirancang olehNya dan ditentukan olehNya.
Tidak ada apapun selain Dia, dan Dia adalah aku ini (soham).
Tanpa Dia tidak ada yang eksis, dengan demikian kita semua akan sadar
akan kemanusiaan kita yang sesungguhnya dan berbakti penuh kesadaran demi Dia
yang bersemayam di dalam diri kita
ini. Sewaktu anda bersatu denganNya
di dalam kesadaran yang penuh, maka anda sebenarnya telah moksha semasa anda
masih hidup, demikian kata para resi guru.
Salah seorang murid Sri Shankara yang tidak disebutkan namanya pernah mempersembahkan sebuah sloka kepada gurunya sendiri seperti berikut ini :”Nafsu, kemarahan dan keserakahan adalah pencuri-pencuri yang selalu siap mencuri dan senantiasa hadir di dalam diri kita, mereka ini selalu siap untuk mencuri mutiara dalam (bentuk ilmu-pengetahuan) itu ….. oleh sebab itu waspada dan waspadalah selalu”.
27.
Bhagavat-Gita dan Sahasranama harus selalu disenandungkan;
bermeditasilah selalu ke bentuk Vishnu (Purushanya Sang Dewi Lakshmi); jalan
pikiran harus diluruskan ke arah manusia yang baik (bertemankan orang-orang yang
baik dan bijak); harta-benda harus selalu dibagi-bagikan kepada yang
memerlukannya.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan: Sloka di atas adalah kesimpulan dari
rangkuman,”Karangan 14 bunga-bunga sloka yang mekar”. Sloka ini dipersembahkan oleh Sri Sumati, murid Sri Shankara
Acharya kepada gurunya sewaktu bertirta-yatra ke Kashi.
Mungkin tidak ada yang baru di sloka ini bagi sidang pembaca, tetapi bagi
sang sishya ia seakan-akan menyadarkan dirinya dari yang lain-lain di sekitarnya
agar tidak banyak berbicara saja, tetapi sehari-hari harus ingat akan:
1)
Pelajaran
yang ada di Bhagavat-Gita;
2)
Memuja
Yang Maha Esa dalam bentuk Narayana;
3)
Bertemankan
orang-orang suci dan bijak;
4)
Membantu
mereka-mereka yang miskin bukan saja dengan harta-benda duniawi tetapi juga
dengan ilmu-pengetahuan, pekerjaan sosial dan banyak bentuk pengorbanan lainnya.
Di dunia ini banyak orang yang berharta tetapi miskin
sekali akan ilmu-pengetahuan spiritualnya dan juga begitu sebaliknya.
Ada yang miskin kesehatannya dan membutuhkan tranfusi darah, lalu kita
yang segar-bugar mengapa tidak membantunya dengan darah kita kalau hal tersebut
memungkinkan.
Mempelajari Bhagavat-Gita adalah sebuah anjuran dari semua resi dan guru, sampai saat ini belum ada satu gurupun di India atau dimanapun juga di dunia ini yang mampu menghasilkan kesadaran filosofi setinggi “Bhagavat-Gita. Bahkan Sai Baba secara pribadi dan para guru lainnya di India selalu bersumber kepada Veda ke lima ini, yang telah menjadi sumber pegangan bagi Mahatma Gandhi, Nehru, Swami Vivekananda, Soekarno dan banyak cendekiawan baik di barat maupun di timur. Tetapi mempelajarinya saja tidaklah akan cukup, bagaimana mengaplikasikan ajaran ini dalam kehidupan sehari-harinya adalah faktor penentu yoga kebenaran Hindhu Dharma ini.
28.
Seseorang dengan langsung melibatkan dirinya ke arah kenikmatan sexual,
kemudian orang tersebut akan menyerap berbagai penyakit di dalam dirinya.
Walau sebenarnya akhir kehidupan di dunia ini adalah kematian, manusia
tersebut tidak pernah meninggalkan berbagai tabiatnya yang penuh dengan dosa.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
29.
“Harta-benda bersifat bencana”, harap renungkan hal ini: Kebenaran
hakiki menyatakan, tidak ada kebahagiaan yang kita hasilkan dari harta-benda.
Bagi orang-orang yang
kaya-raya, mereka ini bahkan takut hartanya direbut oleh putra-putra mereka
sendiri. Inilah jalan kebendaan
duniawi dimanapun kau mengarah.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
30.
Bhagavat-Gita dan Sahasranama harus selalu disenandungkan;
bermeditasilah selalu ke bentuk Vishnu (Purushanya Sang Dewi Lakshmi); jalan
pikiran harus diluruskan ke arah manusia yang baik (bertemankan orang-orang yang
baik dan bijak); harta-benda harus selalu dibagi-bagikan kepada yang
memerlukannya.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Mempelajari skripsi-skripsi suci termasuk
Bhagavat-Gita, Sat-sangh (berasosiasi
dengan orang-orang yang saleh), berdana-punia dan lain sebagainya disebut
sebagai “olah-raga eksternal” (Bahiranga
Sadhana). Sedangkan
faktor-faktor yang disebut sloka di atas menghantarkan seseorang ke arah
samadhi. Perhatikan urutan di atas,
yang satu sebenarnya menghantarkan seseorang ke tahap berikutnya, dengan
demikian akhirnya akan tercapai samadhi yang menghantarkan kita ke Sang Atman Dharsana. Samadhi
itu sendiri sesungguhnya sudah kita miliki sewaktu kita masih di rahim ibu dan
jauh dari semua vasanas (intisari
berbagai keinginan, hasrat dan nafsu). “Dikau adalah Itu”, sabda resi guru di
Chandogya-Upanishad”. Dengan
kembali ke tahap “bayi atau janin”, seseorang akan suci bersih lagi seperti
semula, inilah rahasia yang sedang disabdakan oleh guru Sri Shankara Acharya
kepada kita semua, yang sebenarnya juga diutarakan oleh berbagai Veda dan
Upanishad termasuk Bhagavat-Gita.
31.
Oh! Wahai para pemuja kaki
Kamala Sang Guru!
Semoga dikau terbebaskan segera dari samsara melalui upaya-upaya
mengendalikan organ-organ sensual dan pikiranmu.
Dikau akan sampai ke Dharsana Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam hati
sanubarimu.
(Bhaja Govindam, Bhaja
Govindam).
Keterangan : Iman dan bhakti pada murid ke guru penuntun
spiritualnya adalah faktor inti dari penitian jalan ke arah
Yang Maha Esa. Sebaliknya seorang guru yang baik amat sangat berbahagia
hatinya mendapatkan sishya yang baik dan berbhakti kepadanya. Guru yang berprinsip “sia-sia saja guru yang baik tanpa
murid yang baik, demikian juga sebaliknya”, adalah guru yang bijaksana. Dengan
berbekal iman terhadap gurunya, para murid akan sanggup beriman kepada Yang Maha
Esa, inilah tangga-tangga spiritual yang harus didakinya.
Bagi seorang guru seagung Sri Shankara Acharya, para sishya yang
mengikutinya ke Kashi selama kurun waktu perjalanan spiritualnya pantas untuk
didoakan. Inilah karunia dari para
guru yang mulia bagi pengikut-pengikutnya.
Sri
Shankara Acharya sendiri adalah murid terbaik dari Sri Govindacharya dan
Shankara merasa gurunya adalah keberadaan dari Govindam (Yang Maha Esa) itu
sendiri …. “Bhaja Govindam, Bhaja Govindam” ini tersirat dipersembahkan
olehnya sekaligus ke gurunya dan ke Yang Maha Esa pada saat yang bersamaan.
Para guru spiritual di India, baik di masa-masa yang telah lalu maupun
dewasa ini selalu diagungkan oleh masyarakat dan para pengikutnya.
Berbagai Upanishad seperti Chandogya Upanishad dan yang lainnya
mengagungkan guru sesuai tradisi Sanathana Dharma.
Di Indonesia, bagi saudara-saudara kita yang berlainan agama banyak hadir
para kyai dan ulama dan pembimbing masyarakat yang sehari-harinya membimbing
umat ke jalannya Yang Maha Esa. Tetapi
bagi umat Hindhu Dharma, guru-guru agung dan mulia ini sudah tidak eksis lagi
diantara masyarakat kita, dan tradisi antara guru dan murid sudah hilang, kalau
ada satu dua pembimbing maka ia lebih banyak menulis di mass-media daripada
mendirikan ashram, sehingga kalau karya ini bisa diibaratkan seorang guru, maka
semoga para pembacanya akan terbebaskan dari segala ikatan duniawi ini, dengan
menghayati ajaran-ajaran yang tersirat di sini.
Bhaja-Govindam sebenarnya hanyalah berupa sebuah karya
kecil dan sederhana, tetapi adalah salah satu yang terpopuler di India
dan kata-kata “Bhaja Govindam, Bhaja Govindam” sudah menjadi puja-puji
tersendiri bagi umat Hindhu di mana saja.
Om
Tat Sat