10  

 

 

BHAGAVAT GITA

Prawacana

 

Sepatah Kata dari Sang Pengarang TL Vaswani

Bhagavat Gita adalah sebuah lagu atau nyanyian: dan sebuah lagu adalah sebuah sintetis.  Gita adalah rangkuman musik: rangkuman dari berbagai nada dalam satu kesatuan yang indah.  Salah seorang guru Hindu pada masa yang silam, pernah mengibaratkan Bhagavat Gita ini seperti berikut: “Seluruh Upanishad adalah sapi-sapi perahan, Yang Maha Esa adalah Sang Pemerah sapi-sapi ini, Arjuna adalah salah satu dari anak sapi, dan mereka-mereka yang telah mendapatkan pengetahuan suci (penerangan) diibaratkan sebagai yang meminum susu sapi, dan susu ini sendiri adalah Bhagavat Gita yang diibaratkan sebagai air-sorgawi (dari pancaran Ilahi) yang maha suci.”

Di dalam Bhagavat Gita jelas sekali terpancar adanya sebuah filsafat yang mengalir dalam bentuk, sebuah lagu, dan merupakan susunan sloka-sloka (syair-syair) filsafat kehidupan nan paling agung dalam seni sastra dunia.

Yoga yang secara objektif tersirat di dalam Veda-Veda dan Yoga yang secara subjektif terdapat di dalam Upanishad-Upanishad tergabung menjadi suatu sintetis, yaitu Bhagavat Gita.  Sejauh ini kami secara pribadi belum pernah menemukan sebuah karya sastra semacam ini di mana secara amat sarat merupakan suatu karya yang amat bersifat sintetis.  Memang misi yang dikandung Bhagavat Gita ini adalah suatu paduan sintetis yang teramat agung.

     Bhagavat Gita mengalir dari suatu peradaban kuno yang terletak jauh dan penuh dengan kearifan.  Gita mengalir dari daratan Hindia ke negara-negara lain, dan akan selalu merupakan sumber inspirasi dalam peradaban yang amat modern sekali pun.  Dengan keyakinan inilah kami bekerja untuk menterjemahkan Bhagavat Gita dari naskah-naskah Sansekertanya ke bahasa Inggris.  Harap diketahui bahwa dari daratan Hindia kearifan kuno ini mengalir ke Assyria dan Mesir, ke Judea, Yunani dan Roma, ke Tibet dan Cina, ke Korea dan Jepang.  Bagi kami Bhagavat Gita bukanlah sebuah buku yang penuh dengan pandangan metafisik abstrak, tetapi merupakan sebuah gita (lagu) yang penuh kasih-sayang dari Yang Maha Kuasa untuk peradaban manusia.  Banyak para ahli mengartikan Gita dalam bentuk-bentuk teori, theologi, pandangan-pandangan abstrak yang tidak menentu; kami sendiri selalu membacanya untuk mendapatkan inspirasi-inspirasi spirituil yang seakan-akan tidak ada habisnya.  Salah seorang ahli dari Barat yang mendalami Bhagavat Gita, Dr. Thomas, menilai Bhagavat Gita sebagai “Monumen agama Hindu yang paling kaya dan agung sampai masa kini.”

Saya yakin bahwa kehidupan ini lebih baik dari metafisik.  Bagi saya Bhagavat Gita adalah sebuah nyanyian Kehidupan.  Saya mempelajari Gita bukan sekedar sebagai sebuah dokumen tetapi sebagai sebuah nyanyian untuk hidup yang lebih kreatif, sebuah lagu yang penuh dengan pesan-pesan Ilahi.  Berbagai sistim dan teologi adalah produk semata-mata dari hati kita sendiri, tetapi di atas itu semua saya percaya terdapat nilai-nilai yang lebih tinggi yang dapat diproduksi oleh nurani kita, Bhagavat Gita menghubungkan hati-nurani kita ke Atman.  Pikiran dalam hati kita tak akan mungkin membawa kita lebih dari suatu dimensi kejiwaan, tetapi Atman dapat menghubungkan kita ke Yang Maha Esa.

Saya tidak begitu yakin apakah diantara kita masih banyak yang menghargai buku ini, tetapi bacalah Bhagavat Gita dan anda mungkin akan mengabaikan buku-buku filsafat lainnya.  Di dalam Bhagavat Gita terdapat kekuatan dan inspirasi kehidupan, dan hal tersebut telah dibuktikan baik di Barat maupun di Timur.  Banyak orang-orang Barat membawa Bhagavat Gita ke tempat pekerjaan mereka, atau pun kalau sedang berbelanja.  Buku saku Bhagavat Gita yang kecil merupakan sumber inspirasi bagi mereka yang hidupnya telah diatur sedemikian rupa sehingga bekerja ibarat mesin yang mekanik.

Pesan yang terkandung di dalam Bhagavat Gita diberikan oleh Sang Krishna kepada Arjuna; Arjuna yang masih muda dan gagah perkasa, penuh dengan idealisme dan kekuatan konsentrasi tinggi adalah simbol dari seorang pemuda yang penuh dengan energi dan vitalitas tinggi, gagah perkasa dan dinamik.  Dengan kata lain pesan-pesan Bhagavat Gita adalah suatu pesan untuk mereka yang masih berjiwa muda dan dinamis, bukan untuk mereka yang tidak dapat mengekang nafsu-nafsu dirinya dan telah tenggelam jauh ke dalam ilusi sang Maya.

Pemuda-pemuda yang berkwalitas dan bermoral tinggi akan lebih baik guna menunjang negara, dan di dalam era yang makin canggih teknologinya ini yang diperlukan adalah kekuatan moral yang tangguh, dan inilah salah satu misi Bhagavat Gita untuk kemanusiaan.  Memang Bhagavat Gita tidak mungkin akan dapat dimengerti atau dihayati oleh setiap pemuda atau orang yang bersemangat muda, tetapi yang penting bagi saya adalah kwalitas dan bukan kuantitas.  Gita diajarkan oleh Sang Krishna kepada Arjuna karena Arjuna bukan saja seorang negarawan yang besar tetapi ia juga adalah seorang kesatria yang amat sportif dan ia memiliki dua hal yang amat mengagumkan, yaitu sakti dan bakti.  Karenanyalah Bhagavat Gita hanya sesuai untuk orang-orang yang penuh dengan bakti dan kekuatan hidup, Bhagavat Gita sebaliknya sama sekali tidak sesuai dengan orang-orang yang bersifat rajais dan tamais, karena masih terikat akan segala nafsu dan kerakusan duniawi.  Mereka-mereka yang menjalani kehidupan satvik akan menemukan Bhagavat Gita sejalan dengan hidupnya.

Bhagavat Gita diturunkan oleh Sang Krishna di medan laga Kurushetra.  Kurushetra dapat juga diartikan sebagai “medan untuk suatu aksi” atau “ladang untuk suatu aktivitas/pekerjaan.”  Gita mengajarkan kita untuk selalu aktif bekerja atau beraksi (action);  aksi atau aktif bekerja di sini tidak berarti agresi, tetapi juga tidak berdiam diri menghadapi sesuatu.  Aksi atau pekerjaan yang tulus harus timbul dari suatu tapa (disiplin pribadi) yang kuat, bukan suatu aksi yang penuh dengan motivasi yang penuh dengan nafsu duniawi maupun kekuasaan.  Evolusi jiwa dan diri pribadi kita harus melalui tapa atau disiplin diri pribadi dan seorang yang penuh disiplin adalah seorang pengawas atau polisi/prajurit untuk dirinya sendiri.  Ia tidak akan pernah lari dari kerumitan hidup ni.  Ia akan selalu berdiri dibawah panji-panji Ilahi, bekerja untuk Nya dan sesuai dengan segala kehendak Nya.  Dengan kata lain Kurushetra pun punya pesan lain untuk kita yaitu: jadilah seorang pengawas atau prajurit yang mengawasi dan selalu memerangi nafsu duniawimu sendiri dan sekitarmu.  “Sudah lama, wahai engkau anak-anak Bharata menjadi korban dari kelemah-lembutanmu sendiri, bangkitlah sekarang dan jadilah prajurit Ku, bekerja untuk Ku, bekerja untuk Yang Maha Kuasa.  Berperanglah dibawah panji-Ku, jadilah prajurit-prajurit kebenaran dan kasih sayang,” sabda Sang Krishna kepada para Pandawa.

Karma atau aksi (aktivitas/kerja) barulah salah satu aspek dari Bhagavat Gita.  Dua aspek lainnya adalah pengetahuan dan bakti.  Mempelajari Bhagavat Gita berarti harus mempelajari juga ketiga faktor yang amat penting ini yang merupakan sendi-sendi utama dari Bhagavat Gita.  Ketiga faktor ini kami ulangi adalah karma (aksi), gnana (kesadaran/ilmu pengetahuan), dan bakti, yang kesemuanya disebut Marga.

Pertanyaan yang timbul kemudian mengapa harus ada tiga marga?  Mengapa tidak lebih atau tidak kurang?  Perkenankanlah kami menerangkannya, ketiga marga ini adalah anak tangga dalam evolusi kehidupan setiap manusia.  Seperti yang kami terangkan di atas, yang pertama adalah karma (aksi), misalnya seorang anak bayi yang baru belajar menangis, merangkak, belajar berdiri dan berjalan, jatuh dan kemudian bangun lagi, ini menunjukkan suatu aksi.  Setelah ia tumbuh dewasa dan menjadi seorang pemuda mulailah suatu era baru baginya.  Dengan kata lain setalah karma/aksi tadi menyusullah sekarang kesadaran atau pengetahuan.  Sang pemuda mulai berpikir dan bertanya-tanya tentang segala aspek kehidupan ini, bahkan tentang alam dan Sang Penciptanya, tentang kehidupan biologisnya, dan ini munujukkan tahap kedua atau anak tangga kedua dalam kehidupan setiap invidu.

Berikutnya datang tahap ketiga yang disebut bakti yang bisa berarti luas sekali, tetapi dengan suatu fokus yang amat sentral yaitu cinta atau kasih.  Setelah bertahun-tahun bahkan puluhan tahun menjalani kehidupan ini, apakah sebenarnya yang telah kita capai atau dapati?  Kita menyadari bahwa banyak harapan yang tidak pernah tercapai, rencana-rencana yang tidak pernah terlaksana walaupun telah disiapkan secara seksama dan amat matang.  Invidu-invidu yang paling dikasihi pun diambil kembali sebelum kita puas menyayangi.  Ayah, ibu, istri, suami, anak atau pun kekasih yang mendadak harus binasa dan pergi dari kehidpan ini.  Harta benda yang pergi tanpa diduga karena berbagai musibah atau pun penyakit datang tanpa terduga.  Lalu tumbuhlah vairagya (kesadaran) dalam setiap invidu.  Apakah kesadaran ini sebenarnya?  Kesadaran atau vairagya ini adalah asal-mula atau benih yang kemudian akan membungakan atau menghasilkan bakti yaitu kasih Ilahi.  Saat anda telah mengasihi atau jatuh cinta kepada Nya, anda sudah tidak akan membutuhkan apa-apa lagi.  Di dalam kasihNya tersirat puncak dari segala cita-cita dalam kehidupan ini, kesempurnaan dari segala kekuatan, realisasi dari jati diri kita sendiri.

Karma (aksi), gnana (kesadaran) dan bakti (kasih) sering dipisah-pisahkan oleh para ahli dan ditafsirkan dalam bentuk atau arti yang lain dan sempit.  Tetapi bukankan kita selalu membutuhkan ketiga-tiganya?  Seperti yang telah kami kemukakan di atas Gita adalah sebuah karya yang sintetis.  Dan ketiga anak tangga ini bagi saya, adalah satu jalan yang seharusnya disebut mukti-marga (Jalan Kehidupan).  Kesimpulan yang paling hakiki dari ajaran Sang Krishna adalah: “Tinggalkan semua darma (ritus dan kewajiban duniawi), serahkan semua itu kepadaKu, datanglah depadaKu untuk berlindung.  Janganlah khawatir, akan Ku bebaskan engkau dari segala dosa-dosa mu.”

Bhagavat Gita adalah ajaran-ajaran yang sarat dengan pesan-pesan yang penuh dengan harapan.  Disamping itu kita harus mengerti bahwa penyerahan total segala kewajiban kita kepada Yang Maha Kuasa bukan terjadi begitu saja, tetapi harus melalui suatu proses darma dan bakti dan melalui berbagai tahap-tahap dalam hidup ini sampai suatu saat kita ditentukanNya menemui jati-diri kita sendiri (atma-dharsana).

Karma atau aksi adalah jalan ke arah purifikasi diri kita, dan setiap aksi ini hanya bermotifkan dedikasi kita kepada Sang Maha Pencipta tanpa ambisi atau hasil untuk diri pribadi kita.  Secara perlahan dan langkah demi langkah kita akan mencapai suatu tahap di mana kita akan sadar bahwa setiap jiwa adalah sebagian dari Yang Maha Esa.  Apa yang dipancarkan Gita adalah sebenarnya suatu bahasa universal, terbuka untuk siapa saja yang mau menerimanya baik ia pria maupun wanita, terdiri dari suku bangsa apapun juga.  Ajaran Gita adalah sinar kehidupan dan sinar itu hidup dalam jiwa kita.  Barang siapa jujur dan tulus dan mempunyai aspirasi dan semangat yang menggelora, hati nurani yang lembut pasti akan mencapai penerangan yang dimaksud oleh Bhagavat Gita.  Suatu saat nanti dalam setiap tindak-tanduknya yang penuh dengan ketenangan ia akan menjadi sumber kasih-sayang untuk setiap benda dan insan di sekitarnya.  Dan manusia semacam itu adalah seorang mahatma untuk penduduk disekitarnya, bahkan untuk bangsa dan negaranya.  Manusia selalu belajar dari pengalaman manusia lainnya, dan dengan mepelajari Gita kita mempelajari Krishna dan Arjuna sekaligus, dan di sinilah kita belajar bahwa setiap penderitaan sebenarnya bersumber pada trishna (nafsu).  Kuasailah nafsu-nafsu ini, adalah pesan Gita.  Jadilah manusia yang tanpa nafsu negatif -- adalah pesan inti Sang Krishna, karena nafsu apapun juga merupakan ikatan yang erat antara kita dengan penderitaan.  Dengan mengendalikan nafsu-nafsu kita, suatu saatnya nanti kita akan diantar ke arah mukti (bersatunya jiwa kita ke asalnya yaitu Yang Maha Pencipta).  Pengalaman adalah permulaan dari suatu filsafat hidup.  Kebebasan adalah puncak dari filsafat tersebut.

Salah satu tahap dari evolusi kebebasan ini adalah kesadaran yang dalam bahasa Sansekertanya disebut atma-bodhi.  Banyak diantara kita sepanjang hidupnya bekerja dan bekerja tanpa suatu kesadaran yang nyata seakan-akan berjalan dalam tidur.  Gita membuka mata dan hati kita agar beraksi atau bekerja haruslah dengan suatu kesadaran dan tujuan, yaitu bermotifkan untuk dan dengan Sang Pencipta.  Untuk itu carilah diri mu sendiri, atau kenalilah siapa diri mu sendiri, itulah pesan Sang Krishna pada Arjuna.  Manusia selalu tenggelam dalam Sang Maya (ilusi kehidupan yang diciptakan oleh Yang Maha Esa).  Manusia selalu lupa akan rumah asalnya, dan inilah misi sang Krishna dalam Bhagavat Gita, membawa kita kembali kepada Nya, dan jalannya adalah dengan mengendalikan semua nafsu-nafsu dan keinginan-keinginan kita.  Kami sitir salah satu ayat dari Bhagavat Gita.  Sabda Sang Krishna pada Arjuna: “Oh Arjuna yang gagah perkasa!  Seperti samudra yang tenang walaupun sungai-sungai menuju kearahnya dari berbagai jurusan maka seharusnya sikap seorang yang telah mengendalikan dirinya, berdiri tenang tanpa harus terusik oleh segala nafsu yang masuk ke dirinya.  Hanya manusia semacam itulah yang akan mencapai kedamaian, bukan yang selalu mengikuti hawa nafsunya.”

Manusia akan mencapai kedamaian/ketenangan hatinya kalau ia mengesampingkan semua nafsu-nafsunya, dan bekerja tanpa suatu ikatan atau keinginan, tanpa merasa bahwa ini “aku yang berbuat” dan “itu adalah milikku.”

Sang Krishna juga bersabda:  “Menguasai dirmu sendiri dengan Dirimu (Atman) sendiri, hancurkanlah musuhmu yang bernama nafsu, musuh yang paling sukar untuk ditaklukkan.”  Di dalam ajaran Buddha kita juga menemukan sabda Sang Buddha seperti berikut ini:

Seseorang harus meninggalkan amarahnya,

Seseorang harus meninggalkan kesombongannya.

Seseorang harus melepaskan semua keterikatannya

Karena penderitaan tidak akan pernah singgah

Pada seseorang yang tidak terikat pada nama dan

Kemashyuran, atau pada ia yang tidak pernah merasa

Memiliki sesuatu apapun juga.

Semua kesadaran atau pengetahuan di atas tak akan pernah tercapai tanpa suatu disiplin-pribadi (Sadhana), tanpa suatu tapa dan bakti yang terus menerus, konstan dan tulus ke Sang Pencipta.  Maka bukan suatu hal yang aneh kalau Sang Krishna pernah bersabda kepada Arjuna bahwa ajaran Bhagavat Gita tidak boleh diajarkan kepada mereka yang tidak punya sifat-sifat di atas, karena bisa saja terjadi penyalah-gunaan ajaran-ajaran Bhagavat Gita untuk hal-hal yang lainnya.  Gita hanya tepat untuk mereka-mereka yang penuh dedikasi dan disiplin yang keras atas dirinya sendiri.

Salah satu aspek yang amat penting dari suatu tapa adalah kesederhanaan.  Untuk mengerti dan mencapai inti ajaran dari Bhagavat Gita, maka sangatlah perlu seseorang untuk belajar hidup sederhana dan menjadikan kesederhanaan sebagai keperluan untuk segala aspek kehidupannya, baik itu cara hidup maupun tutur-kata, baik itu cara berpakaian dan tempat tinggalnya, dan jauhilah juga rasa benci dan marah.  Sesungguhnya kesederhanaan adalah tenaga inti kita sendiri, dan kesederhanaan yang tulus tidak dapat dibuat-buat, ia akan terpancar sendiri dari hati-nurani kita sendiri yang bersih tanpa beban.

Gita juga amat menekankan hidup ini pada pengertian tentang Atman (inti-jiwa kita).  Penerangan dalam hidup ini tidak dapat dicapai hanya melalui buku-buku atau teori-teori saja, tetapi di dalam agama Hindu suatu penerangan Ilahi (dharsana) adalah wahyu yang diturunkan olehNya sesuai dengan kehendakNya, pada suatu saat yang tepat bagi kita untuk menerimanya.  Dan untuk menerima wahyu ini seseorang harus bersih lahir dan batin dan salah satu bahan pencuci diri kita ini adalah aspek kesederhanaan.  Setelah bersih diri kita, maka bebaslah juga kita dari nafsu-nafsu duniawi dan saat itulah Yang Maha Kuasa mungkin berkenan untuk menurunkan wahyunya.  Arjuna pernah bertanya, “Apakah hidup ini sebenarnya pantas untuk kita jalani, dan berhargakah dunia ini, dan apakah semua manifestasi dalam hidup ini mempunyai arti?”  Jawaban Sang Krishna adalah tegas, “Jangan sekali-kali menyalahkan dunia ini, semua manifestasi kehidupan ini sesungguhnya penuh dengan arti.”  Bagi sebagian besar manusia hidup ini mungkin saja berarti, mungkin juga tidak, dan mungkin juga berarti tetapi sesuai kehendak hatinya sendiri.  Seandainya seseorang mau menyatukan dirinya dengan Si Pemberi Hidup ini, kalau saja kita mau mencariNya dan menjadi alat dari Nya, maka Sang Inti Jiwa (Atman) di dalam sanubari kita akan bersinar dengan penuh arti yang mendalam dan membawa kita ke suatu dimensi Ilahi yang lain dari yang lain.

Hidup kita banyak dihabiskan untuk hal-hal duniawi yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya.  Kewajiban kita terhadap keluarga, harta-benda dan sesuatu yang kita kira milik kita menjerat kita ke suatu kewajiban duniawi yang sarat dengan ilusi Sang Maya.  Lupalah kita manusia ini bahwa kewajiban kita yang sebenarnya adalah kepada Sang Maha Pencipta, dan semua kewajiban kita ke sekeliling kita haruslah sinkron dengan kehendakNya dan untukNya semata, dan harus dilakukan penuh dengan dedikasi dan tanggung jawab kepada Nya, dengan melepaskan cinta (moha) kita dari sekililing kita dan dialihkan kepadaNya, demi Dia dan untuk Dia.  Dan kalau Dia berkenan akan dedikasi kita tentu Dia akan mewahyukan suatu arti dalam hidup kita ini, Dia akan datang dan membuka mata dan hati kita agar mengenalnya lebih mendalam lagi.

Apapun yang kau berikan,

Apapun yang kau cernakan,

Apapun yang kau lakukan,

Lakukanlah itu semua oh Arjuna, untukKu semata.

Dalam kehidupan yang penuh dengan konflik dan kontradiksi ini, Bhagavat Gita akan memberikan penerangan kepada mereka-mereka yang hati dan tindak-tanduknya penuh dengan dedikasi dan sesuai dengan anjuran Sang Krishna.  Bagi yang hidupnya semata-mata untuk Nya, pastilah suatu saat nanti menerima wahyuNya.  Arjuna tak pernah kenal Sang Krishna dalam arti yang sesungguhnya sampai terjadinya Barata Yudha, dengan mengenal Sang Krishna secara sesungguhnya terbukalah mata-hatinya akan arti sesungguhnya hidup ini.  Begitu pun kita seharusnya mengerti bahwa setiap saat dalam kehidupan kita ada Kurushetra dan ada BarataYudha, tetapi juga ada Sang Krishna, Sang Penyelamat dan Sang Penuntun hidup kita.  “Carilah perlindungan dalam diriku semata” dan “ikutilah Aku” sabda Sang Krishna.  Di dalam sabdaNya tersembunyi arti hidup ini.

             TL Vaswani

 

Pendahuluan

 Srimad Bhagavat Gita yang berarti Nyanyian Ilahi atau disebut juga Gita Ilahi (The Song Divine atau The Song of God) adalah sekumpulan ayat-ayat suci berbentuk syair-syair yang diwartakan oleh Sang Kreshna kepada Arjuna di medan-laga Kurukshetra.  Bhagavat Gita sendiri adalah sebagian dari epik agung Mahabrata yang disebut Bhisma-Parva.  Walaupun Bhagavat Gita adalah sebagian dari Mahabrata toh Bhagavat Gita adalah karya tersuci Hindu dan dianggap yang terpenting dari agama ini.

Bhagavat Gita dianggap juga sebagai salah satu Upanishad dan sering disebut dengan nama “Gitopanishad,” juga dianggap sebagai inti-sari dari semua sastra dan Upanishad yang ada di dalam agama Hindu.  Bhagavat Gita lahir dari bibir Sang Kreshna beberapa waktu sebelum perang BarataYudha dimulai.  Baiklah kita ringkas kisah antara Pandawa dan Kaurawa yang menjadi awal dari lahirnya Bhagavat Gita di medan-laga Kurukshetra, agar para pemuda maupun sidang pembaca kita yang belum mengetahui tentang perang ini bisa lebih menghayati Bhagavat Gita secara utuh.

Duryodana adalah putra tertua raja Dhritarastra yang buta dan adalah putra tertua diantara 100 Kaurawa bersaudara.  Ia bernafsu sekali untuk merebut hak para Pandawa lima yang sebenarnya memiliki setengah dari kerajaan Hastinapura.  Yudhistira adalah putra tertua para Pandawa yang terdiri dari berturut-turut, Bima, Arjuna, Nakula dan Sadewa.  Arjuna walupun bukan putra tertua adalah yang terperkasa di antara mereka, dan dia jugalah satu-satunya kesatria yang dianggap sebagai teman spiritual Sang Kreshna.

Yudhistira terkenal sekali sebagai seorang raja yang maha dermawan dan bijaksana, bahkan tidak pernah berbohong seumur hidupnya.  Ia terkenal sekali jauh melebihi Duryodana yang serakah dan congkak; dan dihormati oleh rakyat jelata bahkan oleh raja-raja lainnya.  Tentu saja hal ini menimbulkan iri-hati yang mendalam pada diri Duryodana yang semenjak kecilnya ingin mencaplok seluruh wilayah Hastinapura untuk dirinya sendiri.

Bersama Sangkuni, Duryodana berkomplot untuk menipu Yudhistira dengan mengajaknya bermain dadu, bukan saja Yudhistira dikalahkan secara licik tetapi juga kehilangan seluruh kerajaan, bahkan istri dan adik-adiknya.  Lebih dari itu para Pandawa pun semuanya harus mengasingkan diri mereka selama 13 tahun ke hutan dan setelah lewat masa tersebut barulah mereka diperkenankan kembali ke Hastinapura dan menerima setengah bagian mereka.

Dengan berbagai suka dan duka para Pandawa berhasil melalui berbagai rintangan dan menyelesaikan masa pengasingan mereka secara konsekwen dan kembalikah mereka ke Hastinapura untuk menuntuk hak mereka.  Tetapi Sang Duryodana menolak mentah-mentah untuk memulihkan status mereka dan tetap bersikeras untuk memiliki Hastinapura dengan cara apapun juga.  Berbagai upaya di lakukan oleh para penengah termasuk Sang Kreshna, Bhisma bahkan Dronacharya guru para Pandawa dan Kaurawa tetapi sia-sia belaka karena nafsu tamak Duryodana telah mencapai puncaknya dan ia tidak mau tunduk pada siapapun juga.  Himbauan Sang Kreshna agar para Pandawa diberikan lima buah desa saja sebagai kompensasi pun di abaikannya, bahkan Duryodana mengatakan tanah seluas ujung jarum pun tidak akan pernah diberikan kembali kepada para Pandawa.  Dengan berbagai akal-licik Duryodana berusaha mencelakakan Sang Kreshna, tetapi beliau lolos dengan tenangnya, kembali ke kerajaannya di Dwarka.  Dan mulailah persiapan perang antara Kaurawa dan Pandawa demi tegaknya keadilan dan kebenaran, dan matinya nafsu-nafsu ketamakan dan keserakan.  Itulah permulaan dari Bratayudha.

Alkisah sebelum perang ini dimulai maka sebagai kebiasaan di zaman itu, yang tidak berbeda dengan zaman sekarang ini, mulailah kedua belah pihak meminta bantuan kepada negara-negara lain yang bersimpati atau terikat pada mereka.  Suatu saat Duryodana dengan bermuka tebal menuju ke kerajaan Dwarka untuk meminta bala-bantuan dan pada saat yang sama Arjuna pun diutus para Pandawa untuk memohon bantuan Sang Kreshna.  Kedua-duanya tiba di Dwarka pada saat yang sama, dan sewaktu masuk ke kamar Sang Kreshna, mereka menemui Beliau sedang tidur di peraduannya.  Menunggu Sang Kreshna terjaga dari tidurnya, Druyodana secara amat tak sopan duduk di permadani Sang Kreshna, sedangkan Arjuna dengan mengatubkan kedua tangannya berdiri di ujung kaki Sang Kreshna sambil menghaturkan sembahnya.  Tak lama kemudian Kreshna terjaga dan yang pertama-tama dilihatnya adalah Arjuna, kemudian barulah Ia berpaling dan melihat ke arah Duryodana.  Duryodana yang melihat hal ini segera menjadi berang hatinya dan timbulah langsung nafsu tamaknya.

Setelah memaklumi kunjungan keduanya, sang Kreshna dengan senang hati menyatakan hasrat hatinya untuk membantu kedua pihak dengan syarat bahwa Beliau sendiri tidak mau berperang secara pribadi.  Dan mengenai bala-bantuan tidak menjadi persoalan tetapi karena yang pertama dilihatnya adalah Sang Arjuna dan menurut sastra-satsra kuno yang muda harus didahulukan dalam segala hal, maka Sang Kreshna bersabda yang berhak untuk meminta bantuan adalah Arjuna barulah Duryodana, dan hanya ada dua hal yang dapat diberikan oleh Beliau, yaitu pertama laskar untuk berperang dan kedua dirinya sendiri yang tidak akan berperang secara langsung.   Arjuna ternyata dengan segala rendah-hati memilih Sang Kreshna, sedangkan Duryodana bersorak gembira karena yang dimauinya sesungguhnya adalah bala-bantuan dalam bentuk laskar kerajaan Dwarka yang terkenal kehebatannya, dan Sang Kreshna mengabulkannya.  Sepeninggal Duryodana dengan para laskar Dwarka, Sang Maha Bijaksana Kreshna bertanya kepada Sang Arjuna mengapa Arjuna begitu bodoh memilih diriNya dan bukan laskar yang hebat.  Dengan penuh hormat dan dedikasi yang tinggi Arjuna menjawab bahwa yang dibutuhkannya hanyalah Sang Kreshna, dan telah menjadi cita-citanya agar Yang Maha Bijaksana mau menjadi sais dari kereta perangnya disaat Barata Yudha berlangsung, karena Arjuna yakin bahwa Sang Kreshna adalah penuntun yang paling diyakininya dan dihormatinya, lebih dari itu menurut Arjuna, Kreshna adalah sumber dari harapan para Pandawa yang selama ini terbukti tehal menolong mereka dari segala mara-bahaya.  Tentu saja hal ini membuat Sang Kreshna makin mengasihi Arjuna dan bersedia dengan senang hati menjadi sais dan sekaligus penuntun dalam hidupnya.

Sebaliknya bagi para Kaurawa hidup ini hanya dihitung dari segi materiil, kekuatan manusia dan keserakahan yang seakan-akan tanpa akhir, dan semua itu menunjukkan hukum karma yang berlaku.  Kaurawa akhirnya mendapatkan kebinasaan, sedangkan para Pandawa khususnya Arjuna medapatkan penerangan agung yang merupakan ajaran suci Bhagavat Gita.  Bhagavat Gita mengajarkan kita semua untuk selalu bekerja pada sisi dharma dan berperang terhadap segala bentuk angkara murka, dan semua itu dimulai dari berperang melalui diri kita sendiri.

Akhir dari catatan ini adalah kisah mengenai raja Dhritarastra, bapak para Kaurawa yang buta kedua matanya semenjak lahir.  Sebagai seorang raja ia bukan saja buta kedua matanya tetapi juga seluruh hatinya karena membiarkan, bahkan merestui tindak-tanduk anak-anaknya yang berlaku angkara murka kepada para Pandawa yang sebenarnya masih para keponakan sang raja sendiri.  Dalam hidupnya tidak tampak sesuatu gejala bahwa ia pernah mengoreksi kehidupan anak-anaknya dengan tegas, ia bahkan selalu bersikap menutup mata dan hatinya dari perbuatan para Kaurawa.  Berberapa saat sebelum BarataYudha akan dimulai, raja Dhritarastra menaiki kereta perangnya bersama saisnya yang menjadi pendampingnya, bernama Sanjaya.  Kepada Sanjaya ia berpesan agar diberikan laporan langsung tentang apa yang ia lihat dan dengar selama perang berlangsung.  Pada saat itu datanglah resi Vyasa yang ingin memulihkan penglihatan sang raja ini, tetapi Dhritarastra menolaknya karena tidak ingin menyaksikan sanak-saudaranya saling membunuh dan ia bersikap lebih baik mendengar dari pada melihatnya sendiri.

Resi Vyasa kemudian memberkahi Sanjaya dengan penglihatan yang terang dan bersabdalah beliau kepada sang raja bahwa Sanjay akan melaporkan bahkan detil-detil yang paling kecilpun yang terjadi di BarataYudha; dan Sanjaya tak akan pernah merasa letih atau bosan baik siang maupun malam.  Juga kedua orang ini yaitu raja Dhritarastra dan Sanjaya selama perang berlangsung tidak akan pernah celaka atau berlibat dalam peperangan.  Akhirnya sebelum meninggalkan mereka sang resi bersabda bahwa dharma akan menang melawan adharma dalam perang ini.  Setelah resi Vyasa berlalu maka raja Dhritarastra bertanya kepada Sanjaya, “Hai Senjaya, saat ini di medan laga Kurushetra nan suci berkumpulah putra-putra ku dan putra-putra Pandu (Pandawa) bersiap-siap untuk suatu yudha (perang).  Beritakanlah kepada kami apa saja yang sedang mereka lakukan.”  Bermula pada pertanyaan ini mulailah adhyaya (bab) pertama dari maha suci Bhagavat Gita.

 

Kembali ke halaman induk Bhagavat Gita                            Kembali ke halaman induk Situs Shanti Griya