|
BAB IV Ajaran Rahasia |
1 |
Berkatalah
Yang Maha Pengasih: 1.
Ilmu pengetahuan yang tak dapat habis ini Kusabdakan pada Vivasvan;
Vivasvan menyabdakannya kepada Manu; dan Manu menyabdakannya kepada
Ikshvaku. |
2 |
Begitulah pada masa yang silam para guru (resi) agung mengenal ilmu pengetahuan ini, dari satu ke yang lainnya, tetapi dalam kurun waktu yang lama kemudian, ilmu pengetahuan ini hilang (dilupakan) dari dunia, oh Arjuna. |
Sri Krishna menyatakan di sini, bahwa Beliaulah
Adiguru yang Pertama yang mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada
mereka-mereka yang pantas menerimanya di masa-masa yang lampau.
Yang pantas menerima disebut adhikari, dan adhikari yang pertama
adalah Vivasvan (Batara Surya), Dewa Cahaya.
Dari Vivasvan ajaran ini turun ke Manu (manusia yang pertama) yang
dianggap menjadi cikal-bakal bangsa Aryan.
Manu kemudian menurunkan ajaran ini kepada Ikshvaku, seorang raja
Hindu di India pada masa yang amat silam. Ajaran sejati ini amat kuno sifatnya, tetapi amat relevan sampai masa kini, dan hanya diajarkan kepada para adhikari yang terpilih. Itu sudah suatu ketentuan spiritual Ilahi. Para guru atau resi-resi yang agung dan suci, para pemikir atau filsuf dan raja-raja di masa silam menjadikan ajaran ini sebagai pegangan hidup mereka, sampai suatu saat dimana manusia melupakan ajaran ini.
|
|
3 |
Dan yoga
(ilmu pengetahuan) yang sama ini Kubukakan kepadamu hari ini,
karena dikau adalah pemujaKu dan sahabatKu.
Inilah rahasia yang amat agung sifatnya. |
4 |
Berkatalah
Arjuna: 4.
Kelahiran Dikau berlangsung kemudian, sedangkan Vivasvan terlahir lebih
awal. Lalu bagaimana mungkin daku
dapat memahami bahwa Dikaulah yang pertama kali menyabdakan yoga ini pada masa
awal dunia ini dibentuk?
|
Tentu
saja Arjuna kebingungan, karena menurut pengetahuan duniawinya Sang Krishna yang
sebenarnya adalah pamannya sendiri berasal atau lahir pada kurun waktu yang sama
dengannya, sedangkan Vivasvan atau Batara Surya lahir berjuta-juta tahun yang
silam. Lalu bagaimana mungkin Sang
Krishna mengajarkan ilmu pengetahuan sejati ini kepada Vivasvan pada awal mula
terbentuknya sistim tata-surya itu. Sebagai
balasan atas pertanyaan ini, Sang Krishna pun mengajarkan mengenai inkarnasi (avatarvad)
dalam ajaranNya yang agung di bawah ini.
|
|
5 |
Bersabdalah
Yang Maha Pengasih: 5.
Banyak kelahiran yang telah Kualami dan juga olehmu, oh Arjuna!
Aku mengetahui semua itu, tetapi engkau tak pernah tahu akan
kelahiran-kelahiran itu. |
Kelahiran
Sang Krishna tidak seperti kelahiran manusia biasa, kelahiranNya bebas dari
segala nafsu dan keinginan duniawi, dari segala karma dan selalu dimaksudkan untuk suatu tujuan yang agung dan suci,
yaitu penyelamatan mahluk-mahluk dan dunia ciptaanNya. Sebaliknya jiwa manusia selalu dibatasi oleh hadirnya ketiga guna
(sifat prakriti), dan akibatnya tak pernah bisa ingat akan masa atau kehidupannya yang
lampau. Dilain sisi, raga kita ini
harus menjalani karmanya. Tetapi bagi
Yang Maha Esa, tak ada masa lampau, masa sekarang atau masa yang akan datang.
Baginya semua adalah sekarang, karena Ia hadir sepanjang waktu, dan
kelahiranNya sebagai manusia atau mahluk di bumi ini selalu karena terdorong
faktor KasihNya pada mahluk-mahluk yang harus dilindungiNya.
|
|
6 |
Walaupun Aku tak pernah dilahirkan dan DiriKu tak
terbinasakan, dan
walaupun Akulah Pencipta (Penguasa) semua mahluk; menghadirkan DiriKu kedalam
SifatKu, Aku lahir melalui kekuatanKu. |
Ia tak
pernah lahir dan tak dapat dibinasakan. Ia
juga Pencipta semua mahluk dan alam semesta ini, dan Ia juga yang mengendalikan
Sang Maya dan bereinkarnasi sesuai dengan kehendakNya yang bebas, dengan
kekuatanNya semata. Yang Maha
Pencipta ini sempurna dalam segala hal, tetapi mau juga Ia bereinkarnasi sebagai
manusia yang sifat-sifatnya tidak sempurna dan penuh dengan keinginan-keinginan
duiawi. Sebenarnya tidak pantas
ditinjau dari sudut duniawi untukNya menjadi manusia tetapi Ia melakukannya juga
demi mahluk-mahluk dan manusia yang dikasihNya. Inilah kebesaranNya. Di dalam salah satu pustaka kuno Hindu yang disebut Bhagavatta dapat kita
baca kelahiran Sang Krishna sebagai manusia itu ibarat terbitnya bulan purnama
di ufuk Timur. Jadi seperti sesuatu episode yang sudah direncanakan secara
khusus dan indah, dan bukan karena suatu efek karma.
|
|
7 |
Pada saat-saat dharma (kebenaran) turun ke titik yang rendah, dan kezaliman (tindakan
adharma) menanjak mencapai puncaknya,
maka Kuproyeksikanlah DiriKu. |
Dikala
adharma mengalahkan dharma, dan suatu saat manusia mencapai puncak dari kejahatannya,
dan dunia penuh dengan kezaliman dan rasa keangkara-murkaan, maka Yang Maha
Pengasih pun lalu memanifestasikan DiriNya, dalam bentuk manusia atau mahluk
lainnya untuk kemudian meluruskan lagi jalannya Sang Dharma dengan ajaran-ajaran atau tindakan-tindakannya.
Contoh-contoh ini banyak terdapat dalam pustaka-pustaka Hindu Kuno,
seperti Sang Rama yang menghancurkan keangkara-murkaan sang Rahwana, dan lain
sebagainya. Semua ini dilakukan oleh Yang Maha Kuasa untuk menyelamatkan
manusia dari kehancuran moral secara total. Dalam sloka ini Sang Krishna mengucapkan kata, “Kuproyeksikan DiriKu .
. . ,” ini berarti Sang Krishna atau Yang Maha Esa turun ke bumi ini, yang
lebih rendah derajatnya dibandingkan dengan tempat Ia bersemayam, karena
kasihNya kepada kita agar dapat bangkit lagi ke jalan yang benar, jalan dharma
yang lurus dan suci. Ia turun
sebagai titisan dari Sang Hyang Vishnu dari masa ke masa.
Inilah Kasih-Ilahi yang selalu tulus untuk manusia dan segala
mahluk-mahlukNya di alam semesta ciptaanNya ini. Om Tat Sat.
|
|
8 |
Demi membela
kebaikan, demi hancurnya yang zalim, dan demi teguhnya kebenaran, Aku selalu lahir dari masa ke
masa. |
Ia
selalu menghukum yang jahat dan yang zalim dari masa ke masa, tetapi hukumanNya
ini pun penuh dengan hikmah, penuh dengan kasih-sayangNya, karena sebenarnya
dengan menghukum ini Ia menginginkan agar mereka-mereka yang tersesat ini
kembali ke jalan dharma yang lurus dan
suci. Hukuman dariNya sebenarnya
dapat disiratkan sebagai suatu karunia yang terselubung bagi yang berdosa.
Karena seyogyanyalah setelah selesai menjalani masa-hukumannya maka
seseorang seharusnya sadar dan kembali ke jalan yang benar.
Bayangkan kalau seseorang tidak dihukum untuk mempertanggung-jawabkan
kesalahan-kesalahannya, atau dihukum secara abadi tanpa ampun, maka habislah
harapan orang tersebut untuk bertobat atau kembali ke jalan yang benar. Berbeda mungkin dengan ajaran-ajaran yang lain, maka dalam agama Hindu,
Yang Maha Esa selalu hadir dari masa ke masa untuk menyelamatkan evolusi manusia
ini dan mengarahkan lagi umat manusia ke jalan yang benar, baik itu dalam skala
kecil maupun dalam skala besar. Bhagavat
Gita sebenarnya kalau ditelaah dengan baik adalah suatu ajaran yang penuh dengan
harapan untuk mereka-mereka yang salah jalan; penuh dengan pengampunan dan
Kasih-Ilahi yang tak terbatas. Om Tat Sat.
|
|
9 |
Barangsiapa
mengetahui hal ini (Maksud Sang Krishna: Kelahiran dan PekerjaanNya yang
Suci ini) secara benar, maka ia tak akan lahir kembali setelah meninggalkan
raganya, tetapi ia datang kepadaKu, oh Arjuna! |
10 |
Bebas
dari nafsu, ketakutkan dan kemarahan; penuh dengan DiriKu, berserah total
kepadaKu, bersih oleh kebijaksanaan yang penuh disiplin dan dedikasi . . .
maka banyak orang-orang semacam ini yang telah mendapat DiriKu. |
Setiap
menitis (atau reinkarnasi) misiNya sudah jelas, yaitu mengajak kita manusia
untuk bersatu lagi dengan Yang Maha Esa, agar lepas dari beban lahir dan mati di
dunia ini. Seseorang yang sudah lepas dari nafsu dan rasa amarah adalah yang jiwanya
sudah penuh dengan Kenikmatan Ilahi.
Orang semacam ini kalau melepaskan raganya akan lepas dari perputaran karma,
dan langsung menyatu dengan PenciptaNya (madbhava
magatah). Sang Krishna tidak saja lahir sebagai manusia, sering sekali Ia pun
datang kepada kita pada saat-saat tertentu dalam hidup setiap individu yang
membutuhkanNya, yang memujaNya secara tulus dan tanpa pamrih.
Ia datang dan berbisik, menuntun ke arah yang benar, sering sekali jalan
dan cara menuntunNya ini terasa aneh, misterius dan tak masuk akal, tetapi
dibalik itu semua selalu tersembunyi hikmah dan akhir yang baik untuk sang
pemuja ini. Bagi yang menyayangiNya dan yang disayangiNya maka bersihlah
jiwa orang ini lambat-laun da akhirnya bersatu dengan DiriNya. Om Tat Sat.
|
|
11 |
Jalan apapun yang diambil seseorang untuk
mencapaiKu, Kusambut mereka
sesuai dengan jalannya, karena jalan yang diambil setiap orang disetiap sisi
adalah jalanKu juga, oh Arjuna! |
Jalan
kepercayaan atau agama apapun juga yang diambil seseorang untuk mencapai Yang
Maha Esa adalah jalanNya juga. Jadi
setiap manusia menurut Bhagavat Gita berhak untuk menentukan jalan apa saja yang
diinginkannya untuk mencapai Yang Maha Esa, dan di ujung jalan itu berdiri Yang
Maha Esa menyambutnya, karena bagiNya semua jalan itu akan berakhir pada suatu
ujung. Jadi tidak ada agama yang
dibeda-bedakan oleh Sang Krishna atau Yang Maha Esa, karena tujuannya baik,
yaitu ke arahNya semata, walaupun dalam pengertiannya manusia sering salah
mengartikannya. Bagi seorang Hindu yang sejati semua kepercayaan terhadap Yang Maha Esa
dan agama adalah sama, yaitu jalan ke Yang Maha Esa semata, dan tidak ada alasan
lain untuk merobah atau mempengaruhi orang yang beragama atau berkepercayaan
lain untuk masuk ke agama Hindu. Seorang
Hindu yang baik akan selalu tunduk dan hormat melihat tempat-tempat pemujaan
agama lain, karena baginya yang ia lihat adalah jalan dan tujuan yang Satu,
yaitu jalannya Yang Maha Esa.
|
|
12 |
Mereka yang mengingini sukses di muka bumi ini memberikan pengorbanan
kepada para dewa (dan merekapun mendapatkan imbalan dari para dewa), karena di
dunia ini sesuatu tindakan itu cepat mendapatkan tanggapan (hasil). |
Tidak
semua orang mau maju ke arah Yang Maha Esa, banyak yang memuja para dewa agar
dipenuhi keinginan duniawi mereka, dan para dewa ini pun segera memberikan
tanggapan atau respons kepada para pemuja-pemuja mereka ini dan memenuhi
permintaan mereka. Sebenarnya para
pemuja ini secara tidak langsung dan tidak sadar memujaNya juga melalui proses
yang panjang. Suatu waktu kemudian
di dalam hati mereka nanti akan timbul suatu kesadaran akan perlunya Yang Maha
Esa dan mereka pun mencari dan memujaNya secara tulus dan penuh kesadaran.
Yang Maha Esa dalam Bhagavat Gita tidak melarang seseorang untuk memuja
para dewa, karena para dewa juga datang dan berasal dariNya.
Semua ini hanya merupakan suatu proses panjang dalam tahap-tahap evolusi
kehidupan manusia itu sendiri, bermula pada pemujaan kepada para dewa untuk
maksud-maksud tertentu dan setelah itu berakhir dengan kesadaran penuh dan tulus
bahwa seharusnya yang dipuja adalah Yang Maha Esa itu sendiri tanpa perlu
melalui jalan yang panjang. Seharusnyalah
Bhagavat Gita menyadarkan kita semua agar tidak lagi melalui dedikasi yang tulus,
sesuai dengan ajaran-ajaran Sang Krishna ini kita bisa langsung menuju ke
arahNya.
|
|
13 |
Kuciptakan keempat sistim kehidupan
(chaturvarnyam), sesuai dengan
pembagian guna (sifat-sifat prakriti) dan karma
(aksi dan kerja). Walaupun Aku yang
mencipta keempat sistim kehidupan ini, tetapi ketahuilah bahwa Aku tidak bekerja
dan tak pernah berganti-ganti (sifat). |
Keempat
varna adalah empat tipe kehidupan, masing-masing merupakan produk asli dari
pikiran dan tindakan manusia itu sendiri yang sudah ada semenjak ia dilahirkan.
Ada manusia yang ingin menjadi seorang brahmin, ada yang ingin menjadi
tentara (keshatria), dan ada yang ingin menjadi pedagang dan ada yang memilih
menjadi seorang buruh. Semua ini
sebenarnya adalah manifestasi dari karma,
pikiran dan bakat masing-masing sesuai dengan keinginan sejatinya. Harus dicamkan secara serius oleh kita semua bahwa di dalam
masing-masing individu ini bersemayam Satu Tuhan dan adalah bebas bila seseorang
memilih menjadi brahmin, kshatria, vaishya atau sudra, dan semua ini bukanlah
seperti anggapan atau tradisi yang salah yang berlaku selama ini, yaitu seorang
ditentukan kastanya karena status atau garis keturunnya, tetapi kastanya
ditentukan kemudian setelah ia menentukan dengan sadar garis dan tujuan hidupnya
dan sebagai apa ia akan bekerja sesuai dengan bakat dan kemauannya yang sejati. Sistim varna atau kasta ini sebenarnya adalah pembagian kerja dengan
konsep yang modern yang disebut kelas di negara-negara Barat.
Tetapi banyak masyarakat Hindu malahan menyalah-gunakan ini demi
kepentingan pribadi yang akibatnya menimbulkan diskriminasi sosial yang serius
yang mengacaukan agama Hindu itu sendiri, dan menjadi bahan tertawaan
orang-orang luar. Di satu pihak
orang-orang Hindu menjunjung tinggi nilai-nilai Sang Atman dan yakin terdapat
satu Atman yang sama di dalam semua mahluk, di lain sisi banyak orang Hindu yang
memutar-balikkan fakta-fakta tentang kasta ini dan menimbulkan diskriminasi
sosial yang rawan. Sistim yang
sebenarnya diciptakan untuk fungsi-fungsi sosial masyarakat ini seharusnya
dijalankan secara sejati dengan membiarkan seseorang untuk memilih profesi
kesukaannya secara sama derajatnya dengan profesi-profesi lainnya.
Konsep Sang Krishna bukanlah meninggi atau merendahkan derajat seseorang
tetapi secara demokratis membiarkan setiap individu berkehendak masing-masing.
Karena bisa saja seseorang yang lahir dengan kasta Brahmana secara
duniawi ini mempunyai jiwa patriotik dan ingin mengabdi sebagai seorang
keshatria dan begitu pun sebaliknya. Semua manusia didasarkan pada karma,
sifat-sifat prakriti dan jalan hidupnya, bukan berdasarkan pada sistim kasta
yang diskriminatif, atau jenis kelamin yang berbeda. Yang Maha Esa sendiri di sloka ini menegaskan bahwa Ia
sendiri walaupun sebagai pencipta sistim kasta ini tidak terlibat pada sistim
ini maupun pada sifat-sifat prakriti.
|
|
14 |
Tidak ada tindakan yang dapat
mengotoriKu; dan tidak pula Aku mengingini
suatu imbalan dari suatu tindakan. Barangsiapa
yang mengenalKu seperti itu tak akan terikat oleh karma
(aksi). |
Sang
Krishna menerangkan sebuah paradox di sloka ini, yaitu tanpa bekerja pun Ia
tetap saja mampu menciptakan karma dan
guna. Tetapi setiap tindakanNya
tidak seperti tindakan manusia yang selalu mengharapkan sesuatu pamrih untuk
setiap tindakannya. Bagi Sang
Krishna setiap tindakan adalah cetusan dari rasa Kasih-SayangNya terhadap
manusia atau mahluk-mahluk lainnya. Dan
tidak ada satu pun dari tindakanNya ini yang dapat mengikatnya ke jalur karma
karena Ia memang tidak terikat oleh karma
yang diperuntukkan untuk manusia dan mahluk-mahluk di dunia ini.
Dan barangsiapa menyadari akan status Sang Krishna yang unik ini, maka
orang yang sadar ini akan lepas juga dari lingkaran karma (hidup dan mati) ini. Sebenarnya Yang Maha Kuasa adalah dasar dari setiap tindakan kita, tetapi
di mata manusia Ia tak pernah terlihat bahkan sukar untuk disadari kehadiranNya
di dalam diri kita karena kegelapan yang menyelubungi diri dan jiwa kita.
Walaupun Ia bertindak melalui diri kita, Ia sendiri sebenarnya tidak
terlibat atau terpengaruh oleh tindakan-tindakan ini, yang merupakan tindakanNya
Sendiri.
|
|
15 |
Mengetahui akan hal ini maka orang-orang dahulu kala telah bertindak sesuai dengan hal tersebut. Maka seyogyayalah dikau pun bertindak seperti orang-orang di masa silam ini. |
16 |
Apakah aksi
(tindakan) itu? Dan
apakan tidak bertindak (akarma)?
Kaum yang bijaksana pun kalut memikirkannya. Dengan ini akan Kuberitahukan kepadamu apakah aksi itu;
dengan mengetahuinya engkau dapat terhindar dari dosa (kesalahan). |
17 |
Seseorang seharusnya tahu apakah aksi itu
(perbedaan antara satu aksi
dengan yang lainnya), dan aksi apakah yang salah sifatnya (vikarma)
dan apakah non-aksi (akarma) yang
sebenarnya. |
Ketiga
bentuk hal tersebut di atas harus diketahui secara benar agar tidak terjadi
penyalahgunaan tindakan oleh yang tidak mengerti atau yang tidak mau mengerti
dan memutar-balikkan ajaran-ajaran Sang Krishna ini. Pekerjaan atau aksi apa saja yang benar dan harus dilakukan
seseorang dalam hidupnya, dan apa saja yang harus dihindarkannya, dan
bagaimanakah seseorang harus bertindak agar mencapai suatu bentuk aksi dalam
non-aksi misalnya?
|
|
18 |
Seseorang yang melihat
non-aksi di dalam aksi, dan aksi di dalam non-aksi,
maka diantara manusia orang ini disebut bijaksana (buddhiman).
Hidupnya penuh dengan keharmonisan (yutkah),
walaupun ia selalu penuh dengan berbagai aksi (atau perbuatan dan tindakan). |
Seseorang
yang tenang ditengah-tengah aktivitasnya, dan aktif dalam ketenangannya adalah
seorang yang bijaksana. Dalam
setiap tindakannya ia selalu secara stabil dan tenang bersandar pada Sang Atman
yang bersemayam di dalam dirinya, dan untuk setiap pekerjaan atau tindakannya ia
tak pernah mengharapkan sesuatu pamrih, jadi walaupun bekerja ia sebenarnya
“tidak bekerja.” Karena setiap
tindakan atau perbuatannya sekecil apapun juga selalu menjadi sembahan bagi Yang
Maha Esa, ia selalu melakukan pengorbanan atau pekerjaan demi dan untukNya
semata (ini disebut yagna atau aksi yang sebenarnya). Acapkali kalau kita naik kereta-api atau kendaraan lain, maka pepohonan
di kiri dan kanan kita seakan-akan bergerak padahal yang bergerak adalah
kendaraan yang kita tumpangi. Jadi
yang nampak adalah ilusi. Sebaiknya
kita pun dalam setiap tindakan kita berprinsip bahwa pekerjaan yang kita lakukan
itu sebenarnya adalah ilusi, dan kita sendiri sebenarnya tidak bekerja. Dalam aksi marilah kita lihat non-aksi, dan dalam non-aksi kita
praktekkan aksi. Non-aksi (akarma)
sejati tidak berarti tidak bekerja sama-sekali.
Misalnya kalau ada tetangga yang amat miskin sedang membutuhkan sesuatu
bantuan, dan walaupun ia tidak memintanya, seharusnya kita tidak diam-diam saja
tidak berbuat sesuatu kalau memang kita mampu melakukan sesuatu untuknya;
berdiam-diam saja tak mau tahu itu bukan non-aksi tetapi adalah vikarma
(aksi yang salah). Akarma
atau non-aksi yang sejati itu penuh dengan keharmonisan jiwa sang pelaku, orang
semacam ini selalu nampak tenang dan tidak tergesa-gesa dalam setiap tindakannya.
Akarma yang sejati selalu penuh dengan kepasrahan total yang tulus
kepadaNya, dan ciri-ciri khas dari tindakan akarma
yang sejati ini selalu merupakan tindakan yang positif bagi sesamanya, walaupun
secara duniawi bisa saja ia disalahkan. Tetapi
secara moral tindakan manusia semacam ini selalu bermotifkan kemanusiaan yang
agung sifatnya. Raja Janaka dan Suka adalah contoh dari dua orang manusia agung di masa
yang silam, yang betul-betul mempraktekkan ajaran ini, dan selalu melihat aksi
dalam non-aksi dan non-aksi dalam aksi. Non-aksi
yang sejati akan melepaskan diri seseorang dari semua nafsu-nafsu dan cinta
duniawinya, juga dari rasa egoisme pribadi tanpa kehilangan tanggung-jawab untuk
setiap kewajiban dan pekerjaannya. Inilah
yang disebut pasrah total kepadaNya secara spiritual.
|
|
19 |
Seseorang yang bertindak bebas dari segala bentuk nafsu (kama
sankalpa), seseorang yang setiap tindakannya terbakar bersih oleh api
kebijaksanaan (gnana-agni) -- orang semacam inilah oleh orang-orang yang
bijaksana, disebut seorang pandita (seorang yang suci, yang sadar akan
pengetahuan yang sebenarnya). |
Sankalpa
adalah rasa egoisme, dan merupakan dasar dari kama dan nafsu.
Pandit atau pandita adalah seorang yang bekerja demi dunia dan sesamanya
(loka-sangraha) di dunia ini, dan
hanya merasa cukup dengan apa yang didapatkannya untuk dirinya, sekedar untuk
pakai dan makan saja, itu pun sebagai kelangsungan hidupnya demi Yang Maha Esa. Gnana-agni adalah api ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan apakah itu? Ilmu
pengetahuan yang mengatakan bahwa setiap tindakan sebaiknya dikerjakan tanpa
suatu nafsu atau keinginan pribadi dan berdasarkan pada penerangan Sang Atman
yang ada dalam diri kita sendiri. Api
dari ilmu pengetahuan ini akan membersihkan semua tindakan kita dan membunuh
nafsu-nafsu duniawi kita yang selalu butuh imbalan atau pamrih.
Pandita semacam ini amat bijaksana, karena ia melihat aksi dalam non-aksi.
Raga dan pikirannya selalu bekerja demi Yang Maha Esa dan sesamanya,
tetapi untuk dirinya sendiri ia tak pernah bekerja.
|
|
20 |
Seseorang yang telah menanggalkan rasa-keterikatannya pada setiap
tindakannya, selalu merasa cukup dengan apa adanya, tidak bersandar pada orang
lain, orang semacam ini tidak melakukan apa-apa walaupun ia selalu aktif bekerja. |
21 |
Tidak mengharapkan apapun
juga, hati dan dirinya terkendali, menanggalkan
semua keserakahannya, dan bekerja dengan raganya saja -- orang semacam ini tidak
bertindak dosa. |
22 |
Selalu merasa cukup dengan yang
didapatkannya, bebas dari rasa dualisme
yang bertentangan (dvandas), tanpa rasa iri atau cemburu, bersikap sama (balans) untuk
setiap sukses atau kegagalan -- walaupun ia bekerja ia tak terikat. |
Orang
semacam ini menerima apa saja dalam hidupnya dengan rasa tentram, tenang, damai
dan selalu merasa cukup dengan apa adanya.
Suka dan duka, sukses dan kegagalan, rugi dan untung, lahir dan mati,
dianggap sama saja olehnya. Tak
pernah ia merasa iri, dengki atau cemburu melihat kesuksesan atau kekayaan atau
pun kejayaan orang lain. Baginya
apa saja yang diberikan oleh Yang Maha Esa terasa cukup dan selalu ia haturkan
terima-kasih kepadaNya untuk segala-galanya baik suka maupun duka. Semua tindakan orang semacam ini tak akan mengikatnya lagi ke
dunia yang fana ini, karena orang semacam ini telah mendapatkan Karunia Ilahi
yang tak terhingga dalam bentuk ketentraman batin dan spiritual.
|
|
23 |
Seorang yang keterikatannya telah
mati, yang telah bebas dari duniawi (mukta),
pikirannya telah teguh berdiri dalam kebijaksanaan, yang mengerjakan
pekerjaannya sebagai persembahan -- maka mencairlah semua tindakan orang semacam
ini. |
Sang
Krishna berulang-ulang menekankan di Bhagavat Gita bagaimana seseorang dapat
lepas dari kegelapan duniawi ini, yaitu dengan melakukan suatu atau setiap
tindakannya berdasarkan rasa tanpa pamrih.
Atau dengan kata lain semua pekerjaan yang kita lakukan haruslah
berbentuk persembahan bagiNya. Rasa ego kita selalu mengatakan ini punyaku dan itu pekerjaan hasil
kerjaku, sehingga yang tercipta selalu adalah suatu keterikatan duniawi, dimana
kita sendiri terikat dengan ke-aku-an ciptaan kita sendiri.
Padahal semua ini bukan milik kita, karena dari mana kita datang dan
kemana kita akan pergi pun sebenarnya tidak ada manusia yang mengetahuinya
secara pasti. Yang hadir hanyalah
ilusi, dan tanpa kehendakNya tak ada yang mungkin bisa terjadi.
Jadi sebaiknya secara sadar bekerjalah selalu secara aktif, tetapi
jadikanlah pekerjaan itu sebagai suatu yagna
(persembahan atau ibadah pengorbanan) baginya.
|
|
24 |
Seseorang yang berpikir bahwa tindakan pengorbanan itu Tuhan
adanya.
Yang dikorbankannya juga Tuhan. Dan
oleh Tuhan pengorbanan itu dikorbankan ke Api Tuhan. Maka ke Tuhan jugalah pergi orang yang sadar akan Ketuhanan
dalam pekerjaannya. |
Sloka
di atas ini merupakan suatu pesan yang amat dalam artinya.
Secara amat sederhana dapat diartikan bahwa apa yang kita kerjakan, yang
kita lihat, yang kita korbankan adalah Ia juga.
Jadi semuanya di dunia ini berasal dari Ia, untuk Ia, dan oleh Ia.
Jadi dalam segala hal sebenarnya hadir Yang Maha Esa, dan tanpa Ia tak
ada apapun di dunia ini. Secara
langsung menurut Bhagavat Gita, semua itu Ia juga adanya.
Seorang yang secara sejati bekerja demi Yang Maha Esa akan dapat melihat
fakta ini dalam setiap tindakannya. (Biasanya
sloka di atas ini dipakai oleh orang-orang Hindu sebelum menyantap makanan
mereka).
|
|
25 |
Sementara yogin (para pemuja) mempersembahkan sesajen kepada para dewa, (tetapi)
ada juga sementara yogin yang mempersembahkan “diri” mereka ke Api nan Agung. |
Ada
pemuja-pemuja yang membakar sesajen di bara-api, menaikkan puja-puji bagi para
dewa agar diberikan kepada mereka imbalan-imbalan tertentu.
Tetapi ada juga pemuja-pemuja yang mempersembahkan ego diri mereka
sendiri ke Api Abadi Sang Maha Kuasa (Sang Brahman).
Para pemuja ini mempersembahkan semua tindakan mereka kepada Yang Maha
Esa dengan tulus dan tanpa mengharapkan sesuatu imbalan.
Mereka berkata terjadilah kehendakNya sesuai dengan kehendakNya. |
|
26 |
Ada pemuja yang mempersembahkan pendengaran dan indra-indra lainnya ke
api pengorbanan (menjauhi kontak-kontak sensual indra-indra mereka dari
obyek-obyek indra-indra ini). Ada yang mempersembahkan suara dan obyek-obyek sensual mereka
ke api indra-indra mereka. |
Banyak
pemuja yang mengorbankan pendengaran mereka dan juga indra-indra lainnya dari
kontak-kontak sensual indra-indra ini dengan obyek-obyek kontaknya.
Usaha ini sebagai disiplin pribadi mereka dalam mengekang atau
mengendalikan kegiatan-kegiatan indra-indra mereka seperti mulut, hidung, kuping,
dan organ-organ seksual mereka. Disiplin
ini dimaksud untuk pemujaan kepada Sang Atman yang bersemayam di dalam diri
mereka masing-masing. |
|
27 |
Ada juga pemuja yang mempersembahkan semua tindakan-tindakan indra-indra
mereka dan semua fungsi tenaga vital (prana)
mereka ke api yoga pengendalian yang diterangi oleh ilmu pengetahuan (gnana). |
28 |
Tetapi ada juga yang mepersembahkan harta-benda mereka
atau, dengan
menyakiti diri mereka sendiri, atau dengan disiplin yoga; sedangkan mereka yang
mempunyai tekad (atau iman) yang kuat mempersembahkan pengetahuan dan ajaran
mereka sebagai pengorbanan mereka. |
29 |
Ada lagi mereka yang penuh dedikasi dalam pengendalian nafas (pranayama),
yang mengendalikan jalan prana (nafas) yang dikeluarkan dan jalan apana (nafas
yang dimasukkan), dan mengalirkan prana ke apana dan apana ke prana, sebagai
persembahan mereka. |
30 |
Ada lagi yang sangat membatasi makanan mereka dan mengalirkan nafas
kehidupan (prana) mereka ke dalam
prana mereka sebagai persembahan. Mereka semua ini tahu apa arti dari pengorbanan, dan dengan
pengorbanan mereka menghapus dosa-dosa mereka. |
31 |
Mereka-mereka yang memakan sisa-sisa makanan suci yang tersisa dari suatu
persembahan (atau pengorbanan) akan mencapaiSang Brahman Yang Abadi (Tuhan).
Dunia ini bukan untuk orang yang tak mau mempersembahkan suatu
pengorbanan, apa lagi dunia yang lainnya, oh Arjuna! |
32 |
Begitulah banyak ragam cara pengorbanan yang dipersembahkan dihadapan
Yang Maha Abadi (cara-cara untuk mencapai Tuhan Yang Maha Esa).
Dan ketahuilah dikau bahwa semua itu lahir dari tindakan (atau perbuatan). Dengan mengetahui hal ini dikau akan bebas. |
33 |
Lebih baik dari pengorbanan materi adalah
gnana-yagna, yaitu pengorbanan
dalam bentuk kebijaksanaan, oh Arjuna! Karena
semua tindakan, tanpa kecuali memuncak dalam kebijaksanaan (pengetahuan). |
Sang Krishna menyebut berbagai cara persembahan atau
pengorbanan yang dilakukan manusia kepadaNya. Semua
yagna ini timbul berdasarkan tingkat kesadaran manusia-manusia itu sendiri
berdasarkan evolusi manusia itu sendiri dalam hidup ini.
Setiap manusia berdasarkan sifat-sifat prakritinya membentuk varna (tujuan
hidupnya sendiri) secara pribadi masing-masing dan kemudian mempersembahkan
pengorbanan kepada Yang Maha Esa sesuai dengan kondisi-kondisi yang disandangnya
ini. Ada yang mengendalikan pendengaran mereka dengan tapasya (displin diri
berupa tapa atau meditasi) yang ketat. Ada
yang melepaskan semua selera-selera indra mereka dan menjauhi obyek-obyek
duniawi ini. Ada yang mempersembahkan harta-benda mereka, ada juga yang
mempersembahkan berbagai tindakan atau kegiatan spiritual seperti meditasi,
swadhaya (membaca secara hening), ilmu, prananyama (pengendalian nafas), dan ada
yang mengendalikan cara makan mereka dengan berpuasa atau berpantang sesuatu
seperti daging atau benda hidup, dan lain sebagainya.
Semua pengorbanan ini kalau dilaksanakan secara tulus akan mengantar
seseorang ke arah jalan yang benar, dan semua pengorbanan ini merupakan
tangga-tangga ke arah kebebasan karma-karma kita. Semua tindakan pengorbanan ini lahir dari karma
(aksi) dan oleh orang-orang yang sadar banyak dilakukan untuk upaya pembersihan
diri guna mencapai Yang Maha Esa. Dan
barangsiapa dengan jujur, tulus dan tanpa pamrih bekerja demi Yang Maha Esa maka
lambat-laun seluruh upaya-upayanya akan terpusat kepadaNya semata.
Seluruh tindak-tanduk maupun perbuatannya kemudian akan dikerjakannya
secara otomatis dan tanpa sadar demi Yang Maha Esa, dan sesudah itu secara sadar. Tetapi pengorbanan dalam bentuk kebijaksanaan (gnana-yoga)
adalah dianggap sebagai pengorbanan yang suci untuk Yang Maha Esa, dan
pengorbanan ini nilainya lebih tinggi dan luhur dibandingkan dengan
pengorbanan-pengorbanan bentuk lainnya. Tetapi
jangan menganggap remeh atau rendah bentuk-bentuk pengorbanan yang lainnya,
karena semua itu hanya merupakan tangga-tangga dalam evolusi seorang pemuja ke
arah spiritual yang lebih tinggi sifatnya.
Secara otomatis, bagi seorang pemuja yang tulus semuanya akan diatur
olehNya. Lalu pasti ada yang bertanya mengapa gnana lebih tinggi dari karma?
Karena karma selalu
menghasilkan imbalan atau pamrih, sedangkan gnana (pengetahuan atau
kebijaksanaan) sekali tercapai akan menuju ke Yang Maha Esa, karena gnana
yang tulus itu berdasarkan tanpa pamrih. Dalam
kebijaksanaan terdapat kebaikan atau kebebasan dari duniawi ini untuk kita
semuanya. Orang-orang bijaksana tak
akan menyimpan ilmu pengetahuannya untuk dirinya saja, tetapi akan
membagi-bagikannya kepada yang lain-lain agar tercapai kesentosaan untuk
semuanya, dan semua itu dilakukannya tanpa pamrih.
Karena sudah merupakan kewajiban orang-orang bijaksana ini untuk membantu
sesamanya untuk menyeberangi lautan luas duniawi ini ke ujung pantainya Yang
Maha Esa. Inilah gnana-yagna,
yaitu pengorbanan agung dan suci ilmu pengetahuan sejati mereka demi Yang Maha
Esa.
|
|
34 |
Pelajarilah kebijaksanaan dengan
merendahkan-diri, dengan bertanya (studi)
dan dengan bekerja demi seorang guru yang bijaksana).
Orang-orang yang bijaksana yang telah melihat Kebenaran -- akan
mengajarimu dengan penuh kebijaksanaan. |
Kebijaksanaan
akan diajarkan oleh mereka-mereka yang telah mencapai kebijaksanaan ini, yang
penting bagi seorang yang ingin mempelajarinya adalah dengan mengikuti tiga
faktor berikut ini: pertama, harus memiliki rasa rendah-diri (pranipata)
dalam segala hal, dan ia akan dapat banyak belajar dari seorang guru yang
bijaksana. Kedua disebut
pariprashna, yaitu dengan studi atau penyelidikan yang seksama.
Ia harus mencari sendiri kebijaksanaan ini dengan aktif dan dengan rajin
mempelajari ajaran-ajaran para gurunya. Untuk
mengerti sendiri arti dari kebijaksanaan ini haruslah menghayatinya secara
pribadi. Ketiga, Seva, yaitu
bekerja demi sang guru spiritual ini, yaitu sifatnya melayani segala kebutuhan
hidup sang guru dengan bekerja untuknya tanpa pamrih, dan menganggap sang guru
ini sebagai orang-tuanya sendiri yang harus diperhatikan segala bentuk
kehidupannya. Seorang guru yang
baik dan tulus sebaliknya akan selalu menolak bakti dari muridnya secara halus,
tetapi sang murid harus sadar akan kewajibannya, karena inilah salah satu tangga
dari bakti kepada Yang Maha Esa dan sesamanya di dunia ini. Sebenarnya Guru yang sejati yang disebut Adhi Guru ada dan bersemayam di
dalam diri kita masing-masing, tetapi sebagai manusia kita lebih condong kepada
bentuk duniawi daripada mendengar suara hati nurani kita sendiri, sehingga
selalu diperlukan seorang guru spiritual pada awalnya untuk kita semua agar kita
dapat lebih memahami apa yang sedang kita pelajari.
Pada tahap lanjut nanti seorang guru spiritual hanya berfungsi sebagai
jembatan, dan mengantarkan kita ke Sang Adhi Guru yang sebenarnya tidak jauh
berada dari kita semua. Sebenarnya dalam kepercayaan agama Hindu, seorang yang tulus dan ingin
menuju ke jalan Yang Maha Esa, tidak perlu kesana-kemari secara mati-matian
untuk mencari seorang guru spiritual baginya.
Yang penting adalah menyiapkan diri dan batinnya secara tulus dan memohon
kepada Yang Maha Esa agar dituntun jalannya, maka pada bentuk seorang guru dan
membimbingnya kearah Yang Maha Esa. Percaya
atau tidak, tetapi seorang guru spiritual pasti akan datang atau bertemu sendiri
dengan murid pilihannya sendiri pada suatu waktu yang tepat.
Seorang pemuja yang tulus dengan ini bukan berarti lalu diam-diam saja;
tidak, ia harus berusaha dengan tulus untuk menemukan guru ini, tetapi semuanya
akan terjadi pada saatnya yang tepat. Kemudian
kalau ini terjadi belajarlah sang murid dengan tulus dan penuh dengan kerendahan
hatinya, dan pada suatu waktu yang tepat sang guru ini akan menurunkan
kebijaksanaannya kepada sang murid ini. Ada guru-guru yang begitu luar-biasa kharismanya sehingga
dalam sekejab dapat membuka pintu hati sang murid dengan satu sentuhan spiritual
saja. Semua ini tentunya
berdasarkan persiapan mental yang tulus dari sang murid dan atas berkah Yang
Maha Esa semata. Sebenarnya
semuanya sudah diatur olehNya juga, tidak lebih dan tidak kurang. Om Tat Sat.
|
|
35 |
Dan setelah mengenal kebijaksanaan ini (gnana)
dikau, oh Arjuna, tak akan jatuh lagi kedalam kekalutan.
Karena dalam kebijaksanaan ini, dikau akan melihat semua mahluk, tanpa
kecuali, berintikan pada Sang Atman, dan lalu dalam DiriKu. |
Kebijaksanaan
ini sebenarnya adalah ilmu pengetahuan spiritual, ilmu pengetahuan yang sejati
yang membuka kenyataan tentang kesatuan antara kita dengan Yang Maha Esa.
Kesatuan antara semua mahluk dengan Sang Atman, dengan jiwa kita, dengan
Yang Maha Esa. Dan kalau suatu
waktu kita betul-betul sadar sendiri akan kesatuan ini, maka tercapailah
kesadaran-diri atau kesadaran akan hadirNya dan kesatuanNya Yang Maha Esa dengan
diri kita. Kebeijaksanaan ini adalah melihat atau mengerti dalam arti yang
sebenarnya, bahwa semua di dunia ini jatuh dalam satu garis atau suatu kesatuan,
yaitu Yang Maha Esa. Kita tidak hanya harus percaya atau merasa atau mengerti,
tetapi setelah mencapai kebijaksanaan ini seseorang akan melihat bahwa semua
mahluk, benda, susunan kosmos atau alam semesta ini berserta seluruh isinya
berada dalam suatu kesatuan yang Esa, yaitu kesatuan Sang Atman.
Para ilmuwan mengatakan bahwa setiap benda ada dan bergerak di alam
semesta ini. Seseorang yang sadar
melihat bahwa setiap benda ada dan bergerak dalam suatu kesatuan Ilahi.
|
|
36 |
Walaupun dikau ini adalah seorang yang paling berdosa di antara
mereka-mereka yang berdosa, tetapi dikau dapat menyeberangi semua dosa-dosa ini
hanya dengan berperahu kebijaksanaan saja. |
Kata-kata
atau sabda Sang Krishna ini penuh dengan pesan-pesan harapan bagi kita, manusia,
coba bayangkan bahkan seorang yang paling berdosapun dapat langsung mencapai
Yang Maha Kuasa dengan dedikasi yang tinggi. Kalau dipikir-pikir siapa di dunia ini yang tak pernah
berdosa atau pernah sesat dalam hidupnya, dan tak seorangpun ini harus
kehilangan harapannya, selama ia mau mengoreksi kehidupannya dan berjalan penuh
dedikasi dan kesadaran kepadaNya. Ia
akan mengangkat kita semua dari lembah dosa dan menuntun tangan kita kearahNya
selalu. Semua rasa keterikatan duniawi adalah
dosa, dan bukan saja keterikatan
pada hal-hal yang tidak baik, tetapi keterikatan pada hal-hal yang dianggap baik
seperti dharma itu sendiri, atau pada rasa egoisme yang dianggap positif.
Seseorang yang merasa dirinya adalah orang berdosa.
Jadi sebelum meneliti seseorang lain, sebaiknya hilangkan dulu rasa
egoisme pribadi kita.
|
|
37 |
Ibarat api yang membara membakar kayu-kayu menjadi
abu, oh Arjuna, begitu
pun api kebijaksanaan membakar semua aksi (tindakan) menjadi abu. |
Gnana
(kebijaksanaan) membakar semua karma
kita yang telah terkumpul maupun yang akan datang menjadi abu, maksudnya gnana
itu begitu tinggi nilainya sehingga semua karma
kita termasuk yang akan datang dapat tumpas karenanya.
Dan hanya karma yang telah
membuahkan hasil saja yang harus dilewati.
|
|
38 |
Sebenarnya tidak ada yang lebih menyucikan diri selain
kebijaksanaan.
Seseorang yang telah sempurna dalam yoga (ilmu pengetahuan)nya, akan
menemukan kebijaksanaan ini di dalam dirinya sendiri -- Sang Atmannya, sesuai
dengan waktunya. |
39 |
Seseorang yang mempunyai iman dan telah bersatu dalam kebijaksanaan dan
telah menguasai indra-indranya -- ia akan mendapatkan kebijaksanaan ini.
Dan setelah mencapai kebijaksanaan ini maka segera ia menuju ke Kedamaian
Yang Abadi (Ketenangan Ilahi, dimana tidak ada kematian lagi.) |
40 |
Tetapi barangsiapa yang tidak
tahu, tidak memiliki kepercayaan, yang
selalu ragu-ragu sifatnya, akan pergi ke kehancuran.
Untuk seseorang yang ragu-ragu tak akan ada dunia ini atau dunia yang
lebih tinggi lagi, bahkan baginya tidak ada kebahagiaan. |
Kepercayaan
yang sifatnya penuh dengan keragu-raguan pada yang akan menyesatkan seseorang
dalam perjalanannya mencari kebenaran. Rasa
ragu-ragu mengisi jiwa seseorang dengan keputus-asaan, dan terhambatlah sinar
yang menerangi orang ini. |
|
41 |
Seseorang yang telah menyerahkan semua aksi atau tindakan-tindakannya
dalam yoga (bekerja tanpa pamrih), yang telah menebas keragu-raguannya dengan
kebijaksanaannya, dan selalu memiliki Sang Atman (yang selalu dibawah raungan
atau perintah Sang Atman) -- maka untuk orang semacam ini tidak ada aksi yang
mengikatnya, o Arjuna! |
Seseorang
yang sesuai dengan karma-yoga bekerja
tanpa pamrih walau apapun statusnya dalam masyarakat, dan telah bulat tekadnya
ke arah Yang Maha Esa, dan telah hilang sama sekali keragu-raguannya, maka orang
semacam ini hanya bekerja demi Yang Maha Esa sesuai dengan bisikan Sang Atman;
untuk yang telah mencapai status ini tak ada karma atau aksi yang mengikatnya.
Orang semacam ini dikatakan telah mempersembahkan karmanya kepada Yang Maha Esa sebagai persembahan kasih-sayangnya
pada Ilahi. Dan ia pun akan
memiliki Sang Atman dalam dirinya secara sadar.
Ia akan dituntun dalam segala aksinya, dijauhkan dari kegelapan duniawi.
Secara benar dan sadar ia akan merasakan semua bisikan dan tuntunan Sang
Atman di dalam dirinya, dan ini merupakan suatu tahap yang sangat tinggi dalam
kehidupan spiritual seseorang. Dan
tidak ada lagi tahap yang lebih tinggi lagi dalam kehidupannya sebagai manusia,
karena ia telah mencapai status yang terpilih olehNya.
|
|
42 |
Dengan
demikian, tebas dan buanglah jauh-jauh keragu-raguan dalam hatimu,
yang timbul dari kekurang-pengetahuanmu, teguhkan dirimu dalam yoga (ilmu
pengetahuan sejati) dan berdirilah, oh Arjuna! |
Seseorang
yang penuh dengan kebijaksanaan adalah seorang manusia yang bebas dan tak ada
aksi atau tindakan yang dapat mengikatnya lagi, karena setiap ia bertindak ia
selalu menyerahkannya kepada Yang Maha Esa secara sadar dan tulus; orang semacam
ini telah menebas habis keragu-raguannya dengan imannya yang tebal terhadap Yang
Maha Esa. Pesan Sang Krishna untuk Arjuna di atas ini sebenarnya berlaku untuk kita
semua dan bermakna: bangkitlah dan maju berperang, dikau prajurit-prajurit Yang
Maha Esa, bangkitlah dan bekerja demi kewajibanmu sebagai seorang karma-yogi,
bekerjalah tanpa pamrih. Adalah
kewajibanmu (dharma) untuk berperang
melawan angkara-murka, nafsu dan
keinginan duniawi yang sebenarnya adalah kegelapan yang melilitmu dari jalan
kembali ke Yang Maha Pencipta.
|
|
Demikianlah
dalam Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu pengetahuan yang abadi, Karya Sastra Yoga,
dialog antara Sang Krishna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab keempat yang
disebut: atau Ilmu Pengetahuan tentang Kebijaksanaan. \ |
42
Kembali
ke halaman induk Bhagavat Gita
Kembali ke halaman induk Situs Shanti Griya