|
BAB
III Jalan
Aksi (atau Tindakan) |
1 |
Berkatalah
Arjuna 1.
Sekiranya Engkau berpikir, oh Krishna bahwa kesadaran (atau
pengetahuan) itu lebih baik dari pada suatu tindakan (aksi), lalu mengapa
pula Dikau menyarankan aku untuk berperang?
|
Di sini terlihat bahwa Arjuna telah salah menafsirkan
ajaran Sang Krishna, pertanyaan Arjuna ini mungkin tidak berbeda dengan
pikiran yang ada di benak kita sendiri karena setelah membaca dua bab
permulaan ini biasanya timbul pikiran mengapa ajaran Sang Krishna ini nampak
berkontradiksi. Arjuna berpikir
bahwa kesadaran yang dicapai seseorang akan Sang Brahman adalah lebih baik
daripada suatu tindakan yang bersifat destruktif seperti peperangan.
Arjuna lupa dan tidak sadar akan pesan-pesan Sang Krishna akan dharma-bhakti
setiap orang kepadaNya dan masyarakat pada umumnya.
|
|
2 |
Dengan kata-kata yang saling bertentangan ini, Dikau mengacaukan pengertianku. Beritahukanlah kepadaku akan suatu jalan yang jelas, dengan apa aku dapat mencapai yang terbaik. |
Menjawab pertanyaan di atas ini Sang Krishna pun lalu
mengajar ajaranNya mengenai jalan dari aksi atau tindakan, sebagai berikut:
|
|
3 | Di dunia ini ada dua ajaran yang telah Kuajarkan semenjak masa yang amat silam, oh Arjuna! Yang pertama adalah ajaran tentang ilmu pengetahuan (gnana-yoga) yang disebut ajaran Sankhya, untuk mereka-mereka yang penuh dengan ketekunan untuk mempelajarinya; dan yang kedua adalah ajaran mengenai tindakan (aksi, perbuatan pekerjaan, atau karma-yoga), jalannya para yogi, yaitu yang hidupnya harus bekerja dan selalu penuh dengan aksi. |
Skripsi-skripsi kuno Hindu mengajarkan tentang ajaran
Sankhya dan ajaran Yoga. Sankhya
adalah ilmu pengetahuan tentang Ilahi, sedangkan Yoga adalah ajaran tentang
perbuatan, pekerjaan atau yang disebut aksi.
Banyak orang membeda-bedakan kedua ajaran ini seperti halnya Arjuna,
tetapi sebenarnya inti-sari atau tujuan dari keduanya adalah satu, yaitu
Yang Maha Esa. Jadi sebenarnya
sama saja, tergantung pemakainya saja. Ilmu
pengetahuan (gnana) dan karma-yoga
sebenarnya selaras, tidak ada konflik atau perbedaannya.
Yang ada hanyalah masalah disiplin.
Yang satu disiplinnya condong ke arah gnana dan yang satu lagi
condong ke arah karma.
Mereka yang menganut gnana disebut penganut Sankhya atau Sankhya Yogi dan mereka yang
jalan di nishkama-karma
(tindakan bukan untuk diri pribadi) disebut Karma-yogi. Gnana
yoga disebut juga sanyasa yoga
(yoga-disiplin), karena ilmu pengetahuan yang sejati sebenarnya mengarah ke sanyasa. Sri Shankar Acharya, seorang filsuf Hindu yang besar pernah
berkata tentang Bhagavat Gita sebagai berikut:
“Seorang penganut ilmu pengetahuan yang sejati (gnani) seharusnya juga adalah seorang sanyasi sekaligus,” tetapi menjadi seorang sanyasi tidak berarti lalu kita semua harus menanggalkan kewajiban
duniawi kita, kewajiban kita kepada masyarakat di sekeliling kita dan
mengembara atau bertapa di hutan seorang diri tanpa acuh lagi kepada orang
hidupnya sebagai seorang sanyasi
dalam dirinya sendiri, dalam tindak-tanduknya sehari-hari.
Yang dimaksud adalah kendalikan nafsu-nafsu indra kita, dan itu hanya
bisa dilakukan sambil melakukan kewajiban kita sesuai dengan pekerjaan dan
status kita dalam masyarakat. Seperti misalnya Raja Janaka, yang adalah seorang Maha-Raja
yang amat kaya-raya dan berkuasa, tetapi dalam hidupnya sehari-hari ia tak
pernah merasa memiliki apapun juga. Ia
bertindak sebagai raja karena sudah merupakan kewajibannya pada Yang Maha
Esa dan masyarakatnya. Raja
Janaka di dalam epik Hindu dikenal sebagai seorang gnani yang mempraktekkan
sanyasa, yaitu tidak keterikatan pada hal-hal yang bersifat duniawi, atau
dengan kata lain menjauhi hal-hal yang bersifat duniawi. Dengan
kata lain, Gnana-yoga, Sanyasa-yoga dan Sankhya-yoga
adalah sininimus, atau sama saja artinya. Menurut
para guru agama Hindu, gnana tidak berarti ilmu pengetahuan yang didapatkan
dari buku-buku. Seorang gnani
bukanlah seorang kutu-buku, karena seseorang boleh saja membaca banyak buku
bahkan mengutip dari buku-buku suci, tetapi belum tentu ia menghayati isi
buku-buku ini dan berubah langsung menjadi seorang gnani. Gnana atau ilmu pengetahuan yang sejati didapatkan secara langsung,
bukan dari buku-buku. Seorang
gnani sejati adalah seorang “pertapa,’ seorang yang dapat melihat
kebenaran. Ia bukan seorang
penyair atau pengarang yang berbicara atau menulis dari apa yang ia dengar
atau lihat. Ia berbicara atau
menulis karena ia merasakan dan melihat kebenaran itu secara langsung dan
sendiri. Ia memiliki sakshatkara, yaitu persepsi atau intuisi langsung. Tidak
ada kebijaksanaan yang dapat kita ambil dari buku-buku begitu saja, tetapi
harus melalui proses di dalam hidup kita ini.
Gnana berarti menyadari diri kita sendiri.
Hargailah ketenangan dan keheningan, karena kesadaran atau
kebijaksanaan biasanya datang pada waktu-waktu yang hening.
Makin banyak ketenangan dan keheningan di dalam diri kita, makin
banyak timbul kesadaran dan kebijaksanaan.
|
|
4 |
Seseorang tidak akan mendapatkan kebebasan dengan menelantarkan
pekerjaannya, juga seseorang tidak akan mendapatkan kesempurnaan dengan hanya
berpasrah diri. |
Idealnya
seorang yang berjalan di jalannya karma-yoga
adalah bekerja sesuai dengan tugasnya tanpa terpengaruh oleh tugas itu secara
duniawi. Dan kondisi semacam ini
tidak dapat dicapai dengan tidak mengacuhkan atau menelantarkan pekerjaan itu
sendiri. Aktiflah, sabda Bhagavat
Gita, tetapi tanpa pamrih atau mengharapkan suatu imbalan sekecil apapun juga.
Yang penting bukan tidak acuh pada pekerjaan, tetapi tidak acuh pada
nafsu-nafsu indra kita yang serakah dan tidak terkendali. Bekerjalah, berproduktiflah dalam setiap hal, tetapi janganlah kita
menciptakan kekacauan atau hal-hal yang buruk atau negatif.
Ciptakanlah sesuatu yang indah, yang positif untuk dirimu dan semua di
sekitarmu dan semua perbuatanmu selama tidak dilakukan dengan nafsu egois, dan
selama tidak bermotifkan pamrih akan indah dan berguna untuk semuanya. Siddhi adalah kesempurnaan, dan
kesempurnaan biasanya tercapai dari suatu ketenangan atau keheningan.
Dan ciri-ciri khas seorang yang penuh dengan siddhi
ini adalah: a. Ia
memiliki disiplin yang kuat sekali dalam mengendalikan keinginan-keinginan
indra-indranya, bahkan sampi ke hal-hal yang terkecil sekali pun. b. Ia
telah belajar dan sadar bahwa “egonya harus dibunuh, apapun bentuk ego itu.”
Ada dua jalan ke arah siddhi ini: i. tidak
mengikuti jalan pikiran yang duniawi, dan ii. tidak mementingkan hal-hal yang bersifat duniawi. Agar
pikiran kita selalu tenang dan tak tergoyahkan, maka perlu sekali untuk
mengesampingkan semua unsur-unsur duniawi yang ada di sekitar kita.
Seseorang yang tekun bermeditasi harus selalu mengatakan pada dirinya:
uang, rumah, keluarga, istri, anak, harta milik, kekuasaan, rasa hormat dan lain
sebagainya adalah milik Sang Maya, dan bersifat tidak abadi, hanya Sang Atman
yang abadi! Dan pikiran semacam ini
harus betul-betul dihayati dan tertanam di dalam benak kita sehari-hari. Seseorang yang stabil meditasinya tak akan terganggu oleh berbagai
pikiran yang keluar masuk dalam kepalanya.
Semua itu dipikirkannya secara santai dan tenang dan tidak secara serius.
Meditasi yang benar akan menghasilkan seseorang yang selalu gembira,
bercahaya roman-mukanya, penuh dengan enersi dan dinamik tindak-tanduknya.
Pikiran-pikiran yang negatif tak akan membantunya sama sekali, tetapi
berpikir secara positif dan mengesampingkan kepentingan pribadi dan tak
terpengaruh oleh semua unsur-unsur duniawi akan menghasilkan energi yang positif
bagi seorang yang gemar bermeditasi. Bagi seorang yang ingin mencapai ketenangan, maka dianjurkan untuk
belajar bermeditasi pada seorang guru yang telah mencapai suatu kesempurnaan,
karena dari diri sang guru ini akan terpancar keluar getaran yang amat positif
bagi sang murid. Tanda-tanda
seorang spiritual yang telah mencapai ketenangan jiwa ini, adalah selain jiwanya
betul-betul telah tenang tak tergoyahkan, juga ia tak akan pernah terpengaruh
oleh semua kejadian-kejadian di dunia ini.
|
|
5 |
Tak seorang pun dapat lepas dari suatu
aksi, walaupun hanya sejenak;
karena setiap orang tanpa dikuasainya harus bertindak sesuai dengan guna-guna (sifat-sifat
alami pembawaannya) yang lahir dari prakriti
(alam). |
6 |
Seseorang yang nampak
tenang, tidak bertindak apapun dengan organ-organ
sensualnya (indra-indranya), tetapi di dalam benaknya yang terpikir justru
obyek-obyek sensual, orang yang kacau dan dalam kegelapan ini disebut orang yang
munafik. |
Aksi,
perbuatan atau karma adalah suatu hal
yang tak terelakkan lagi bagi manusia yang hidup; manusia bahkan tak bisa hidup
dengan baik kalau tak bertindak atau bekerja.
Hidup berarti bekerja, bertindak atau berbuat atau berpikir.
“Tidak-bekerja” yang sejati adalah dengan tidak berpikir tentang
hal-hal yang negatif, mengendalikan indra-indra kita dan mematikan ego kita
pribadi yang selalu menghubungkan setiap tindakan kita dengan “aku” dan “punyaku.”
Menyerahkan secara total semua bentuk ego, cinta, dan segala keterikatan
kita kepadaNya adalah bekerja dalam tidak bekerja. Mengelak dari pekerjaan adalah suatu hal yang tidak
mungkin.
Mata kita tak dapat bekerja selain melihat, kuping tak dapat bekerja lain
selain mendengar, dan badan kita tak dapat bekerja selain merasakan, dan otak
kita tak dapat bekerja selain berpikir. Jadi
mau tak mau seseorang harus bekerja atau bertindak sesuai dengan karmanya. Seandainya
kita tidak mau bekerja dan ingin duduk diam saja sebagai patung, maka bukankah
kita juga telah bertindak sebagai patung? Dengan mengelak dari
tindakan/aksi, kita tak akan pergi ke jalan penerangan/kesempurnaan, tetapi kembali ke “alam” (prakriti)
dan tindakan “alami.” Dalam “alam” ini ada tiga chakra atau tiga pusat
energi.
Dari ketiga pusat ini datanglah pekerjaan-pekerjaan untuk badan kita
secara otomatis tanpa kita sadari. Ketiga
chakra ini dengan kata lain disebut sifat sattva,
raja dan tama yang merupakan
pusat-pusat dari aksi kita masing-masing. Dan
sekiranya diluar badan kita, kita dapat mengendalikan semua unsur-unsur indra
kita, tetapi dalam benak kita justru tak dapat lepas dari selera-selera duniawi
ini, maka orang semacam ini disebut oleh Sang Krishna sebagai manusia yang
munafik. Contoh: seorang yang
dianggap suci sepert pendeta, misalnya, yang sehari-hari nampak bertindak suci,
tetapi sekali melihat gadis cantik langsung terangsang gairah sekssualnya.
Walaupun mungkin ia tidak bertindak lebih lanjut, tetapi itu sudah
menunjukkan betapa tindak-tanduknya sudah tidak sesuai dengan hati dan
pikirannya, dan inilah yang disebut munafik, karena tidak jujur pada diri dan
masyarakat sekelilingnya, apalagi kepada Yang Maha Esa.
Organ-organ sensual kita (indra-indra) adalah sebagian dari prakriti,
begitu pun pikiran-pikiran kita; untuk menjalani hidup yang sejati ini kita
harus dapat menaklukkan bukan saja indra-indra kita, tetapi juga pikiran kita,
dan itu berarti menaklukkan prakriti itu sendiri secara tidak langsung. Salah satu contoh yang baik untuk mengalahkan avykta ini adalah dengan
tinggal bersama-sama dengan seorang suci. Juga
sebaiknya setiap orang tidur dikamarnya masing-masing yang dilengkapi dengan
gambar-gambar orang-orang suci, dewa-dewi, dan ayat-ayat suci.
Mengoleksi buki-buku suci dan membakar wewangian untuk pujaan.
Sebelum tidur bermeditasilah, dan memfokuskan diri pada hal-hal yang
positif dan suci seperti mantra-mantra suci, atau pada suatu dewa tertentu, atau
pada sang guru, dan lebih baik lagi kalau dapat memfokuskan diri pada Sang
Atman, Sang Krishna atau Sang Brahman secara langsung (Yang Maha Esa).
|
|
7 |
Tetapi barangsiapa yang mengendalikan indra-indranya dengan
pikirannya,
oh Arjuna, dan tanpa keterikatan mempekerjakan organ-organnya demi karma-yoganya
(aksi atau pekerjaannya), maka ia disebut berhasil. |
Dalam karma-yoga (pekerjaan kita), lakukanlah karma atau pekerjaan kita sesuai dengan kewajiban kita tetapi tanpa
keterikatan secara duniawi. Kita
bekerja sebenarnya karena demi dan untukNya dan tanpa pamrih, tanpa rasa
memiliki, atau ego atau imbalan, dan sadar bahwa apapun yang dikerjakan adalah
manifestasi dari Yang Satu itu, Yang Abadi selama-lamanya.
|
|
8 |
Lakukan pekerjaan yang telah menjadi
kewajibanmu, karena bekerja adalah
lebih baik daripada tidak bekerja, bahkan ragamu saja tak mungkin stabil tanpa
suatu aktifitas. |
Aktifitas
adalah lebih baik daripada bermalas-malas tanpa suatu pekerjaan.
Seandainya kita duduk tanpa bekerja, maka raga atau badan kita bisa sakit
karenanya.
|
|
9 |
Pekerjaan merupakan suatu keterikatan di dunia
ini, kecuali kalau
dilakukan demi pengorbanan (demi Yang Maha Kuasa).
Seyogyanyalah, oh Arjuna, dikau aktif untuk pengorbanan ini, bebas dari
segala keterikatan. |
Setiap
manusia di dunia ini telah terkurung oleh pekerjaan, dan setiap orang sibuk dan
menjadi budak dari pekerjaan ini. Untuk
penggantinya, maka dianjurkan agar kita tidak menjadi budak dari
pekerjaan-pekerjaan ini, yaitu dengan bekerja demi Yang Maha Esa semata.
Dengan kata lain secara mental kita berpikir bahwa semua pekerjaan atau
kewajiban sebenarnya hanyalah untuk Dia semata.
Dengan demikian kita bisa bekerja dan merncanakan sesuatu secara tanpa
keterikatan duniawi. Dengan ini akan timbulah suatu rasa kebebasan dari hal-hal
yang bersifat duniawi, karena semua hasil akhir juga diserahkan kepadaNya untuk
diolah dan ditentukan akibat-akibatnya, atau hasil maupun buahnya. Di sloka di atas ada kata-kata, “lakukan pekerjaanmu demi pengorbanan
ini,” yang dimaksud dengan pengorbanan ini adalah yagna.
Menurut Shankara, ahli dan filsuf Hindu yang terkenal di masa silam,
yagna dapat berarti Vishnu, Sang Maha pengasih.
Yagna dengan demikian disimpulkan sebagai Yang Maha Esa dan juga
pengorbanan untuk Yang Maha Esa. Kemudian
mungkin timbul pertanyaan, pekerjaan apakah yang dapat disebut sejati?
Semua pekerjaan yang bermotifkan dedikasi atau semata untuk Yang Maha Esa
adalah pekerjaan yang sejati. Pengorbanan
selalu berarti “mengorbankan diri sendiri untuk orang atau hal lain,” dan
berkorban berarti menemukan diri sendiri yang sejati; tuluskah diri ini atau
masih tertutup oleh hawa-hawa nafsu dan ego?
|
|
10 |
Pada masa yang lalu, Prajapati . . . Dewanya para mahluk-mahluk,
menciptakan manusia dengan suatu itikad yang penuh dengan pengorbanan dan
berkatalah dewa ini: “Dengan pengorbanan ini engkau akan sejahtera.
Dan pengorbanan ini adalah ibarat Kamakhuk (sapi kemakmuan yang
beranak-pinak yang akan menghasilkan kemauan-kemauanmu).” |
Dewanya
para mahluk yang dalam epik-epik Hindu kuno disebut Prajapati, yang menciptakan
para mahluk di dunia ini; sewaktu menciptakan mahluk-mahluk ini ia mendasarkan
pekerjaan ini pada suatu sifat pengorbanan yang tulus demi Yang Maha Esa, karena
sang dewa ini sadar bahwa semua tugas atau pekerjaan sebenarnya adalah kehendak
dan demi Yang Maha Esa semata. Ia
mengibaratkan pengorbanan ini sebagai Kamadhuk, yaitu seekor sapi yang dianggap
suci dan terkenal sekali karena selalu beranak-pinak tanpa hentinya.
Sang Dewa ini selalu menganjurkan manusia agar dalam segala tindak-tanduk
manusia apakah itu suatu pekerjaan sehari-hari atau pekerjaan yang lain, agar
selalu mendasarkan setiap tindakan manusia tiu dengan rasa pengorbanan yang
tulus. Jadi tidak bekerja demi diri
semata tetapi demi suatu kehendak yang tersembunyi, demi suatu rahasia yang ada
di belakang setiap tindakan kita, dan rahasia atau kehendak ini tidak lain dan
tidak bukan adalah Ia semata. Setiap
pengorbanan yang tulus merupakan hal yang vital untuk perkembangan hidup kita,
karena akan membersihkan jiwa-raga kita, dan hal ini betul-betul merupakan suatu
tindakan spiritual yang tidak disadari oleh pelakunya.
Secara lambat laun pelaku yagna ini akan dijauhkan dari segala
mara-bahaya dan hal-hal yang bersifat negatif, dan banyak hal-hal diluar dugaan
dan pikirannya akan terjadi pada seseorang yang aktif dan tulus beryagna ini.
Tetapi ingat ini bukan untuk digembar-bemborkan, tetapi harus dilakukan
dengan tulus dan tanpa banyak cerita! Yagna sebenarnya bukan untuk
mendapatkan harta-benda duniawi, inilah kesalahan, sementara orang yang lebih
aktif beryagna secara duniawi, tetapi lebih bersifat untuk melajukan seseorang
ke arah Yang Maha Esa. Semakin banyak yagna
kita yang spontan dan tulus sehari-hari semakin dekat kita kepadaNya dan menyatu
denganNya. Dan pengorbanan ini
bukan satu jenis saja, misalnya dalam gnana-yoga yang dikorbankan adalah
ketidak-tahuan kita. Dalam karma-yoga yang dikorbankan adalah imbalan atau hasil kerja dan aktivitas
kita. Dalam bhakti-yoga yang
dikorbankan adalah keterikatan atas dua rasa atau sifat yang saling berlwanan
seperti senang-susah, suka-duka, benci-cinta, panas-dingin, dsb.
|
|
11 |
Dengan yagna, atau
pengorbanan,
berikanlah kepada para dewa, dan para dewa akan memberikannya kembali kepadamu
yang kau pinta. Dengan saling
memberikan kepada mereka ini dikau akan mencapai Kebaikan Yang Utama. |
12 |
Dengan mendapatkan
pengorbanan, para dewa akan memberkahimu dengan yang
kau pinta. Dan barangsiapa yang
menerima berkah dari para dewa tanpa berkorban kembali kepada mereka . . .
adalah betul betul seorang pencuri. |
Di
salah satu kitab suci Hindu Kuno yang disebut Vishnu Purana, dapat kita baca
suatu kisah di mana para dewa menurunkan hujan kepada manusia yang melakukan
upacara korban kepada dewa-dewa ini. Hal
yang sama masih kita lakukan juga pada waktu-waktu tertentu dewasa ini di mana
ada kepercayaan agama Hindu. Para
dewa ini sebenarnya diciptakan Yang Maha Esa untuk menjadi pelindung atau
partner dari manusia, dan sebaliknya manusia yang memuja dewa-dewa ini dengan
tujuan tertentu diharuskan untuk berkorban kepada dewa-dewa ini.
Dengan ini akan tercapai kerja-sama yang baik antara dewa-dewa dan
manusia demi langgengnya kehidupan dunia ini dengan segala kesibukannya.
Para dewa tidak saja dapat memberikan harta-benda duniawi, tetapi juga
dapat dipanggil melalui mantra-mantra tertentu baik untuk penyembuhan atau untuk
meminta melawan perbuatan jahat. Tetapi
ingat dari dewa untuk dewa, dari Yang Maha Esa untuk Yang Maha Esa, dan setiap
tindakan untuk Yang Maha Esa berarti lebih dekat lagi denganNya. Juga terdapat makna lain dari pengorbanan ini yaitu, agar apa yang kita
lakukan itu hasilnya dapat kita bagi juga untuk yang lainnya dan tidak hanya
untuk diri sendiri. Di Manava Dharma Shastra tertulis: “Seseorang hanya memakan dosa, sekiranya ia memasak untuk
dirinya sendiri!” Sekiranya sewaktu kita
makan, alangkah baiknya kalau dimulai dulu dengan
doa dan kita serahkan dulu yang kita makan kepadaNya dan kemudian kita bagi juga
bagi sesama mahluk lain, misalnya dengan membuang sedikit nasi yang kita makan
untuk semut-semut di halaman rumah, atau untuk anjing dan kucing piaraan di
rumah, dan lebih dari itu kalau ada kelebihan dibagi kepada fakir-miskin atau
orang lain yang membutuhkannya. Memberikan
sesuatu yang berlebihan di rumah kita adalah pekerjaan sosial yang dianjurkan
setiap agama, karena merupakan titipan dariNya juga untuk orang-orang lain yang
membutuhkannya. Dan ingatlah setiap
orang yang kikir selalu kehilangan sebagian dari harta-bendanya atau
kebahagiannya karena hukum alam akan berlaku atas orang yang berlebih-lebihan
miliknya baik itu dalam bentuk materi atau yang bersifat abstrak seperti pikiran
atau rasa.
|
|
13 |
Mereka yang
baik, adalah yang memakan sisa-sisa dari yang telah dikorbankannya, dan mereka-mereka ini akan lepas dari
dosa-dosa.
Tetapi yang tak beriman hanya memikirkan diri mereka sendiri yang mereka
makan hanyalah dosa! |
Dengan
membagi makan atau kelebihan harta-benda kita kepada sesamanya yang
membutuhkannya, dan menyerahkan setiap tindakan dan posesi kita kepadaNya, maka
lambat-laun akan terjadi proses pembersihan dan pemurnihan diri kita pribadi.
|
|
14 |
Dari makanan terbentuklah
mahluk-mahluk, dari hujan terbentuklah makanan;
hujan terbentuk dari yagna atau pengorbanan; dan pengorbanan lahir dari aksi (karma). |
Di sini
terlihat bahwa roda kosmik berputar secara sistimatis berdasarkan yagna atau
pengorbanan. Dengan ini kita
seharusnya sadar bahwa betapa besarnya sebenarnya nilai dari suatu yagna atau
amal yang tulus, yang demi Ia semata-mata tanpa mengaharapkan pahala atau pamrih.
|
|
15 |
Ketahuilah oleh dikau bahwa karma
(aksi) timbul dari Sang Brahma, dan Sang Brahma datang dari Yang Maha Esa (Yang
Tak Terbinasakan). Jadi Sang Brahma
yang selalu ada selalu hadir pada setiap pengorbanan. |
Dunia
diciptakan oleh Sang Purusha Tunggal (Sang Brahma) dengan penuh pengorbanan
besar yaitu dirinya sendiri. Tangan-tangan
kaki-kakinya tersebar ke seluruh dunia (di alam semesta).
Berkat pengorbanan inilah dunia diciptakan dan berkat
pengorbanan-pengorbanan dari berbagai dewa-dewa, para pahlawan-pahlawan,
manusia-manusia suci sepanjang masa, maka dunia ini sampai sekarang masih bisa
bertahan. Lihatlah di sekitar
kita,
kalau ada yang berbuat jahat maka pasti ada individu lain yang berbuat baik
untuk menetralisir keadaan ini. Ini
berarti sebenarnya tanpa kita sadari setiap pengorbanan yang mengorbankan
dirinya sendiri sedang atau sudah berusaha menstabilkan alam dan unsur-unsur
yang ada di alam ini sendiri.
|
|
16 |
Seseorang yang hidup di dunia ini tanpa mau menggerakkan roda-roda
pengorbanan, adalah seorang yang penuh dengan dosa dan nafsu-nafsu duniawi.
Orang semacam ini, oh Arjuna, hidup secara sia-sia. |
Seorang
yang hidupnya adalah untuk diri-pribadinya sendiri, sebenarnya kehilangan
nilai-nilai kehidupan yang berarti. Yang
rugi sebenarnya adalah dirinya sendiri.
|
|
17 |
Tetapi seseorang yang bahagia di dalam Sang Atmannya
sendiri, yang merasa
cukup dengan Dirinya, dan selalu puas oleh Dirinya . . . untuk orang semacam ini
sebenarnya tidak ada pekerjaan yang harus diselesaikan. |
Seseorang
yang telah menemukan kebahagian dan kedamaian di dalam Sang Atman (Jati Dirinya
sendiri), yang bersemayam di dalam dirinya sendiri, tidak perlu menyelesaikan
pekerjaannya, ujar Sang Krishna penuh makna.
Maksudnya di sini bukan lalu orang semacam ini lalu bermalas-malasan
tanpa kerja. Tetapi semua
aktivitias baginya bahkan merupakan pekerjaan yang membahagiakan dan menimbulkan
rasa damai baginya, karena ia berpikir sebagai alat ia dipakai oleh Yang Maha
Kuasa, dan setiap pekerjaan atau problema bukanlah jadi beban lagi tetapi
kewajban yang ditunggu-tunggu olehnya. Secara
mental ini berarti sama saja tidak ada ‘pekerjaan’ untuknya. semata.
Bukankah Yang Maha Esa sendiri mengorbankan DiriNya sendiri untuk menjadi
seorang manusia, yaitu Sang Krishna agar dapat secara langsung dan pribadi
mengajarkan Bhagavat Gita kepada kita semuanya.
Tidak ada suatu bentuk pekerjaan yang kotor bagi yang telah menemukan
Jati Dirinya, karena Ia selalu akan dituntun oleh Sang Atman sesuai dengan
kehendakNya.
|
|
18 |
Ia
tidak punya kepentingan pribadi di dunia ini baik ia melakukan sesuatu
maupun ia tidak melakukan sesuatu. Ia
tidak bersandar kepada siapapun untuk mencapai (atau mendapatkan) sesuatu
dalam hidupnya. |
Orang
yang telah mencapai taraf kejiwaan ini benar-benar adalah seorang manusia yang
amat bebas hidupnya. Baik ia
melakukan sesuatu maupun tidak ia tidak pernah merasa rugi atau untung karena
tindakan itu, benar-benar alat sifat dan statusnya, karena semua tindakan tidak
disangkut-pautkan dengan pribadinya. Ia
bebas dari segala beban duniawi dan tidak bersandar pada siapapun maupun pada
suatu keadaan atau benda-benda dan sekelilingnya, ia hanya bersandar pada Yang
Maha Easa semata. Baginya
sehari-hari apa saja yang dimakan atau disandangnya walau hanya sedikit sudah
terasa amat cukup. Hidupnya sudah
menyatu dengan Yang Maha Kuasa, dan segala kejadian-kejadian duniawi seperti
huru-hara, peperangan, musibah dan lain sebagainya, walaupun di perhatikannya
secara manusiawi sekali sebenarya tidak lagi berpengaruh terhadapnya.
Tanpa disadarinya maupun tidak disadarinya lepas sudah
kewajiban-kewajiban duniawi dari dirinya, yang ada hanya kewajibannya terhadap
Yang Maha Kuasa. Bekerja atau tidak
sama saja baginya, tetapi ia akan selalu bekerja terus tanpa henti dan tanpa
pamrih, karena setelah mengenal Sang Atman, ia akan sadar bahwa semua adalah
satu, dan apapun yang dilakukannya atau dikorbankannya adalah dari Dia, oleh Dia
dan untuk Dia semata.
|
|
19 |
Seyogyanyalah dikau selalu mengerjakan kewajibanmu tanpa rasa
keterikatan,
karena dengan bekerja tanpa pamrih seseorang akan mencapai Parama Yang Tertinggi. |
Bekerjalah
selalu tanpa pamrih, inilah pesan inti dari Bhagavat Gita yang tidak
bosan-bosannya diulang-ulang oleh Sang Krishna bagi kita semua.
Dengan dedikasi yang berkesinambungan, yang secara konstan dilakukan oleh
seseorang terhadapnya, maka suatu saat pasti orang atau pemuja ini akan mencapai
Kebenaran Yang Sejati, Yang Tertinggi sifatnya.
Janganlah ragu dan bimbang akan hasil pekerjaan itu, mereka yang bekerja
secara murni untuk Yang Maha Kuasa tidak akan gentar dengan segala hasil yang
diperolehnya. Orang semacam ini
tidak akan memaksakan suatu pekerjaan tertentu, tetapi selalu akan bekerja
sesuai dengan kehendakNya, dan bekerja tanpa keterikatan akan sukses atau
tidaknya pekerjaan itu, bahkan tanpa pamrih.
Dan bekerja tanpa pamrih ini akan melepaskan kita dari ikatan-ikatan
duniawi ini, dan bebaslah kita sesungguh-sungguhnya bebas.
|
|
20 |
Janaka dan juga yang
lain-lainnya benar-benar mencapai kesempurnaan
dengan bekerja. Dan dikau pun seharusnya bekerja dengan dasar kesejahteraan
dunia ini. |
Raja
Janaka Dari Mithila, adalah seorang raja yang amat kaya-raya dan agung sifatnya.
Ia juga adalah seorang karma-yogi yang ideal, karena ia memerintah kerajaannya demi Yang
Maha Kuasa tanpa sedikit pun ambisi pribadi atau merasa semua itu miliknya
pribadi. Ia berhasil menguasai
egonya dan pernah berkata, “Seandainya kerajaan Mithila ini terbakar tidak ada
sesuatu pun punyaku yang hilang.” Raja
Janaka berkuasa dikerajaannya sampai akhir hayatnya karena ia merasa bekerja
demi yang lainnya dan menjadi contoh atau model untuk raja-raja yang lainya agar
bekerja demi Yang Maha Kuasa semata. Suatu
saat kemudian Sang Raja ini mencapai kesempurnaannya dengan bekerja
terus-menurus, tanpa pamrih demi Yang Maha Kuasa.
Boethius seorang filsuf Barat pernah berkata: “Seseorang tak akan
pernah pergi ke sorga kalau hanya ia sendiri yang ingin ke sana.”
|
|
21 |
Apapun yang dilakukan oleh seorang
pemimpin, maka masyarakat akan mengikutinya. Masyarakat akan
meniru sama kaidah-kaidah yang dilaksanankan oleh pimpinan itu. |
Masyarakat
selalu cenderung untuk meniru tingkah-laku dan kehidupan seorang pemimpin bangsa.
Seandainya seorang pemimpin atau pemuka masyarakat bertindak religius,
bijaksana, rendah-hati, hidup sederhana dan tidak serakah pada kekuasaannya,
maka masyarakat akan menghormatinya dan bertindak sama dalam kehidupan mereka
sehari-hari. Tetapi seandainya
seorang pemimpin mulai bertindak serakah, menyalah-gunakan kekuasaannya,
memerintah dengan angkara-murka, dan korupsi, maka jajaran menteri-menteri dan
para bawahan-bawahan menteri sampai ke pamong-praja dan masyarakat akhirnya,
akan bertindak sama, karena itulah pola atau kaidah-kaidah yang telah diterapkan
oleh sang pemimpin, yang lambat-laun menjalar ke semuanya dan terasa biasa oleh
para pelaku-pelakunya.
|
|
22 |
Tidak ada sesuatu apapun di ketiga loka ini yang Kukerjakan, oh Arjuna, atau pun
ingin mencapai sesuatu yang belum tercapai, tetapi Aku selalu aktif bekerja. |
Yang
Maha Kuasa sebenarnya tidak perlu bekerja untuk menunjang alam semesta ini
beserta seluruh isinya, tetapi Ia memberikan contoh yang baik dengan menitis
menjadi Sang Krishna dan mengajarkan Bhagavat Gita kepada manusia agar jalan
lurus ke arahNya.
|
|
23 |
Karena, kalau Aku tidak
aktif, maka mereka-mereka yang aktif dan penuh
pengorbanan tidak akan mencontoh Diriku, oh Arjuna! |
Sekali
lagi Yang Maha Kuasa memberikan keteladanan yang amat agung, agar mereka-mereka
yang bekerja demi dan untukNya semata makin aktif saja untuk bekerja demi
sesamanya dan demi Yang Maha Kuasa. Di
sini terlihat bahwa Bhagavat Gita tidak menganjurkan siapa saja untuk berdiam
diri tanpa berbuat sesuatu karena merasa semua sudah diatur Yang Maha Kuasa.
Tetapi sebaliknya setiap insan dianjurkan untuk selalu bekerja, tetapi
harus tanpa pamrih.
|
|
24 |
Seandainya Aku berhenti
bekerja, maka dunia ini akan runtuh, dan Aku jadi
penyebab kekacauan, dan semua manusia-manusia ini akan binasa. |
25 |
Ibarat seorang bodoh yang bekerja demi
hasilnya, oh Arjuna, maka
seyogyanyalah seorang yang bijaksana juga bekerja, tetapi tanpa pamrih, dan
dengan tujuan untuk kelangsungan hidup di dunia ini. |
Kontradiksi
antara yang bodoh (jurang pengetahuannya) dan yang bijaksana jelas sekali di
sloka atas ini. Yang pertama
bekerja demi suatu motif dan untuk kepentingan dirinya sendiri, sedangkan yang
bijaksana bekerja tanpa pamrih dan untuk sesamanya. Pekerjaannya sama, motif dan tujuannya lain.
|
|
26 |
Janganlah seorang vidvan (bijaksana) mencegah pikiran mereka-mereka yang terikat
kepada pekerjaan mereka. Tetapi
bertindaklah berdasarkan ilmu pengetahuan ini . . . sesuai dengan kehendakKu . .
. dengan begitu memberikan inspirasi (atau mengajarkan) mereka untuk bertindak
yang betul. |
Jangan
mengusik atau mengritik mereka-mereka yang terikat pada kehidupan dan pekerjaan
mereka, karena kesadaran yang sejati harus datang dari hati-nurani mereka
sendiri. Kewajiban seorang yang
bijaksana adalah memberikan contoh-contoh kepada orang-orang semacam ini, dengan
begitu menimbulkan kesadaran atau inspirasi kepada mereka, bahwa bekerja atau
hidup ini sebenarnya untuk Yang Maha Esa semata dan bukan untuk kepentingan diri
pribadi sendiri. Dengan bertindak
begitu seorang yang bijaksana akan bertindak sesuai dengan kemauan atau kehendak
Yang Maha Kuasa Yang tak pernah memaksakan kehendak atau keinginanNya untuk
diikuti seseorang. Setiap orang bebas untuk memuja atau tidak memujaNya,
untuk berperi-laku baik atau buruk. Jangan sekali-kali kita meremehkan kepercayaan orang-orang lain, apapun
kepercayaan dan keyakinan mereka, bahkan seharusnya kita harus menghormatinya
dan kemudian membantunya untuk lebih mengenal Yang Maha Esa dan bertugas demi
Yang Maha Esa. Setiap simbol yang
dipuja atau tindakan atau kepercayaan seseorang sebenarnya merupakan suatu
proses atau tindakan atau anak-tangga dari setiap individu untuk ke Yang Maha
Esa juga, tetapi karena “kebodohan” seseorang maka ia berjalan atas konsep
atau pengertian yang salah, pada hal yang ditujunya adalah Kekuatan Yang Abadi
juga. Dan setiap individu ini suatu
saat secara perlahan tetapi pasti akan menuju ke Yang Maha Esa juga.
Jadi sebaiknya seorang yang bijaksana memperbaiki dan membantu
mengarahkan orang-orang ini ke jalan yang benar, dan tidak sekali-kali memaksa
atau menertawakan kepercayaan orang lain.
|
|
27 |
Sebenarnya semua tindakan
(aktifitas) dilakukan berdasarkan sifat-sifat
alam (ketiga guna), tetapi seseorang yang penuh dengan rasa egois (ahankara)
akan berpikir: Akulah yang melakukannya.” |
28 |
Tetapi
seseorang, oh Arjuna, yang sadar benar akan perbedaan antara Sang
Jiwa dan sifat-sifat alam serta cara kerja sifat-sifat alam ini, tak akan
terikat pada pekerjaannya, karena ia sadar bahwa yang bekerja sebenarnya adalah
sifat-sifat alam ini. |
Seseorang
yang bijaksana sadar bahwa Sang Atman (yang bersemayam di dalam diri kita), tak
akan tercemar oleh pekerjaan-pekerjaan yang dilakukan orang tersebut.
Seperti juga halnya Sang Atman ini tidak dapat dibakar, dibunuh atau
dihancurkan. Orang bijaksana ini
pun sadar bahwa yang bertindak dengan aktif sebenarnya bukan Sang Atman tetapi
adalah ketiga sifat alam yang disebut guna, dari Sang Prakriti.
Sedangkan seseorang yang tidak bijaksana atau yang kurang pengetahuannya
merasa semua tindakan yang dilakukannya berasal dari dirinya semata. Secara sadar seorang yang bijaksana mengorbankan segala tindakannya
kepada Yang Maha Esa, dan secara otomatis ia akan selalu bekerja melawan segala
dosa dan cobaan agar dirinya makin bersih dan dapat lepas dari segala kegelapan,
penderitaan dan kekotoran duniawi ini. Jalan
ini menuju ke jalan “tanpa-pamrih.” Karena
seseorang yang bijaksana sadar bahwa yang bekerja sebenarnya bukan Sang Atman
tetapi sifat-sifat prakriti yang
menimbulkan berbagai ragam aktivitas atau tindakan.
Sifat berinteraksi dengan sifat, dan benda berinteraksi dengan benda,
Sang Atman sendiri selalu teguh sebagai saksi.
|
|
29 |
Mereka-mereka yang di dalam kegelapan akibat sifat-sifat alam ini terikat
pada pekerjaan-pekerjaan yang ditimbulkan oleh sifat-sifat ini.
Seorang yang sadar semuanya itu tak akan menggoyahkan pikiran seseorang
lain yang hanya mengerti sebagian kecil. |
Seseorang
yang bijaksana akan membantu tanpa pamrih kepercayaan atau tindakan positif
orang lain yang kurang mengerti ini, dan tidak sekali-kali menimbulkan kekacauan
dalam hati orang yang ditolongnya ini. Dengan memberikan contoh-contoh yang baik
seseorang yang bijaksana akan membantu orang yang lain sesuai pengabdiannya
kepada Yang Maha Esa.
|
|
30 |
Serahkan semua tindakan-tindakanmu
kepadaKu, dengan pikiran-pikiranmu
bersandar pada Yang Maha Esa, lepas dari segala kemauan dan egoisme, sadarlah
dari penyakit(mental)mu, berperanglah dikau, oh Arjuna! |
Dengan
menyerahkan semua imbalan atau pamrih dari segala tindakan-tindakan kita kepada
Yang Maha Esa, maka seyogyanyalah seseorang berdoa kepadaNya agar Ia memberkahi
alam semesta beserta segala isinya ini dengan segala karuniaNya.
Jangan mencari kebahagian pribadi, tetapi berkorbanlah selalu demi
sesamamu dan semuanya, demi Yang Maha Esa pada hakikatnya.
Serahkanlah semua milikmu kepadaNya, serahkan semua itu dengan jiwa yang
penuh dedikasi dan suatu waktu kelak kita pun dapat merasakan datangnya karunia
Ilahi Yang Sejati (Brahmananda). Serahkan
semua yang menjadi milikmu, apapun bentuknya, baik secara mental maupun harta
duniawi dan sadarlah bahwa Ia juga yang hadir di setiap benda dan mahluk di alam
semesta ini, dan Yang Maha Esa pun akan turun kepada diri kita dan lengkaplah
lalu diri kita ini. Dalam setiap
tindakan selalulah berdoa, “Terjadilah KehendakMu, Yang Maha Kuasa.”
|
|
31 |
Barangsiapa menjalankan ajaran-ajaranKu ini penuh dengan kepercayaan dan
lepas dari mencari-cari kesalahan (ajaran ini) maka mereka juga akan lepas dari
keterikatan kerja. |
32 |
Tetapi mereka yang mencari-cari kesalahan dalam ajaranKu ini dan tidak
bertindak seharusnya; ketahuilah mereka-mereka ini buta tentang kebijaksanaan,
sesat dan tak berpikiran sehat. |
Bhagavat
Gita mengharuskan kita untuk menjalankan ajaran-ajaran Sang Krishna ini dengan
konsekwen dan penuh kesadaran, bukan dengan mencari-cari kesalahan dalam ajaran
ini. Bukan juga dengan
menyalah-gunakan ajaran ini untuk maksud-maksud duniawi tertentu. Mengetahui saja ajaran-ajaran ini tidak cukup, tetapi harus
dihayati, dipraktekkan dan dipelajari secara tekun dan berulang-ulang karena
selalu merupakan sumber inspirasi yang tak ada habis-habisnya bagi diri kita,
dan kemudian selalu diamalkan untuk sesamanya.
Tidak berjalan sesuai dengan ajaran-ajaran ini lambat laun malahan akan
menyesatkan seseorang yang menganut agama Hindu atau ajaran Sang Krishna ini.
|
|
33 |
Seorang yang penuh dengan ilmu pun bertindak sesuai dengan
sifat-prakritinya. Setiap mahluk
mengikuti sifat-sifatnya masing-masing. Menentang
sifat-sifat ini-ini tidak akan berarti apa-apa! |
34 |
Keterikatan dan rasa-dualistik yang bertentangan pada obyek-obyek selalu
hadir di setiap hal. Janganlah
seseorang terbius oleh kedua hal ini. Karena
kedua-duanya adalah musuh dan hambatan-hambatan dalam perjalanannya. |
Adalah
kenyataan bahwa kita dilahirkan dengan sifat-sifat tertentu yang dominan.
Tetapi sifat-sifat ini menjadi amat kuat kalau selalu dikaitkan dengan
keterikatan duniawi dan rasa dualistik kita, sehingga sering misalnya kita
menyukai hal-hal yang terlarang dan tidak menyukai kewajiban-kewajiban tertentu
karena terasa tidak menyenangkan untuk dikerjakan.
Semua ini dapat di atasi secara lambat-laun kalau mau kita mendisiplinkan
dan belajar secara bersama dengan orang-orang lain tentang hal-hal yang
spiritual dan dengan penuh dedikasi bertindak dan melihat kedalam diri kita
sendiri. Prakriti itu sendiri bukanlah sesuatu kekuatan yang
dinamik.
Memang betul dalam kehidupan ini prakriti memainkan peranan yang amat
penting dan kuat pengaruhnya pada kita semua, tetapi selama kita mau menceburkan
diri di dalamnya dan mau terseret oleh arusnya, maka selama itu juga kita akan
terbenam di dalam prakriti ini. Tetapi
sekali kita menentangnya maka akan timbul kesadaran untuk mengatasinya.
Mengatasinya tidak dengan berperang dengan prakriti ini, karena sukar
untuk mengalahkannya, tetapi dengan merubah diri kita yang terbenam ini menjadi
ibarat sebuah perahu yang melayarinya. Jadi
masih dengan prakriti juga karena memang tidak bisa lepas darinya selama kita
masih hidup, tetapi sudah tidak berseret lagi tetapi malahan berlayar dengannya
sampai ketujuan. Sekali sudah
menyeberang maka selamatlah kita, beginilah orang-orang Hindu mengibaratkan
prakriti, sebagai sebuah sungai yang amat kuat arusnya, yang tak perlu ditentang
tetapi sebaliknya dilayari saja untuk sampai ke tujuan kita, yaitu Yang Maha Esa. Keterikatan dan rasa dualistik adalah musuh-musuh kita yang harus
dikalahkan. Caranya adalah dengan karma-yoga,
kuasailah rasa dualikstik seperti suka dan tak suka.
Organ-organ sensual atau indra-indra kita dapat dikalahkan oleh tekad
yang kuat. Tetapi jangan
menelantarkan atau menjadikan indra-indra kita ini lapar.
Tanpa terganggu oleh rasa dualistik ini, yang hadir dalam berbagai bentuk
apapun juga, lakukanlah kewajiban-kewajibanmu.
Kita bukanlah boneka-boneka ditangan sang prakriti; prakriti hanya bisa
menghambat kebebasan kita tetapi tidak mungkin bisa merampas kebebasan kita
kecuali itu mau kita sendiri. Setiap
orang memang hanya bisa mengikuti alur-alur sifat-sifatnya belaka, tetapi
seyogyanyalah seseorang meneliti dirinya sendiri, melihat sifat-sifat apa saja
yang dimilikinya, karena setiap manusia sebenarnya bersifat balans, ada segi
negatif dan positifnya. Kembangkanlah
yang positif dan kurangilah yang negatif. Sia-sia
saja melawan semua itu, sebaiknya menyesuaikan diri dulu, kemudian merubahnya
secara perlahan tetapi pasti.
|
|
35 |
Lebih baik mengerjakan kewajiban atau pekerjaan
(svadharma) seseorang, walaupun mengerjakannya kurang
sempurna, daripada melakukan kewajiban
orang lain, walaupun pelaksanaannya sempurna.
Lebih baik mati dalam mengerjakan kewajiban seseorang.
Mengerjakan kewajiban orang lain itu penuh dengan mara-bahaya. |
Adalah
lebih baik kalau kita mengerjakan pekerjaan yang sudah jadi kewajiban kita
walaupun dalam mengerjakannya mungkin saja tidak sempurna, daripada melakukan
kewajiban orang lain, walaupun dalam pelaksanaannya mungkin sangat sempurna.
Mati dalam melakukan kewajiban kita adalah sesuatu hal yang agung dan
sebaliknya dharma yang seharusnya
menjadi hak orang lain malahan akan menimbulkan bahaya spiritual bagi kita,
seandainya kita memaksakannya juga. Jadi
seorang yang bersifat brahmana tidak perlu melakukan pekerjaan seorang waishya,
dan begitupun sebaliknya. Tidak ada masalah bagi Yang Maha Esa mengenai tinggi-rendahnya nilai
suatu pekerjaan atau kewajiban, semuanya bagi Yang Maha Esa sama saja sifatnya.
Tetapi mengerjakan kewajiban kita masing-masing secara baik dan penuh
dedikasi nilainya lebih baik untuk kepuasan batin kita sendiri, dan secara
spiritual berkatanya ditentukan olehNya sesuai dengan kehendakNya juga.
Seorang tukang sepatu membuat sepatu yang baik, seorang pendeta
mengarahkan umatnya dengan penuh dedikasi dan iman, dan seorang raja memerintah
dengan bijaksana; jika semua orang bekerja dengan baik sesuai dengan kewajiban
dan sifatnya yang asli tanpa menyerobot usaha atau pekerjaan orang lain dengan
alasan apapun juga, maka semuanya akan stabil dan harmonis dalam kehidupan ini.
|
|
36 |
Berkatalah
Arjuna: 36.
Oleh sebab apakah seseorang tertarik untuk berbuat dosa pada hal itu
bertentangan dengan pikirannya, oh Krishna, seakan-akan dihela oleh daya yang
amat kuat? |
Arjuna
bertanya seperti juga yang sering kita tanyakan pada diri-sendiri maupun kepada
guru-guru kita, mengapa seseorang harus berbuat dosa padahal di dalam hatinya
mungkin sekali ia tidak ingin melakukan dosa tersebut?
Apa yang ada dibalik semua rahasia ini?
Seakan-akan ada sesuatu kekuatan yang dahsyat yang menarik manusia untuk
terjerumus ke dalam dosa. Apakah
manusianya yang lemah, ataukah memang ada semacam musuh manusia yang tidak
terlihat oleh mata, dan apakah musuh ini dapat dihilangkan atau dikalahkan? Dalam jawabannya di sloka-sloka
mendatang, Sang Krishna menunjuk bahwa
manusia ini sebenarnya bukan mesin-otomatis.
Dharma atau kewajiban seseorang telah digariskan berdasarkan
kehidupan atau karmanya semasa lampau.
Seseorang bisa saja lahir untuk menjadi seorang guru, polisi, pedagang,
tukang-kayu, pendeta, pegawai negeri, atau mengabdi kepada fakir-miskin, dan
sebagainya. Kewajiban itu sudah digariskan, kita harus menemukannya
sendiri sesuai dengan bisikan hati nurani kita.
Sedangkan kesucian atau perbuatan dosa seseorang . . kedua hal ini tidak
digariskan, jadi terserah kepada orang atau individu yang bersangkutan untuk
memilihnya sendiri, mau berbuat dosa atau hal yang baik-baik saja.
Memang karma dan kehidupan
sebelumnya akan cenderung untuk menentukan jalan yang kita pilih, tetapi Yang
Maha Kuasa pun memberikan kita kekuatan batin, tekad, dan ratio, dan semua ini
dapat menentukan jalan apa yang harus kita ambil.
Kalau seseorang maunya tersandung terus yah lama kelamaan ia harus jatuh
juga, tetapi kalau tekadnya kuat untuk berjalan lurus yah ia tak akan pernah
jatuh, atau kalau jatuh ia akan lebih berhati-hati selanjutnya. Arjuna bertanya, “mengapa seseorang berbuat dosa padahal belum tentu ia
mau melakukannya.” Sebenarnya hal
tersebut tidak benar, setiap orang yang berbuat dosa sebenarnya di dalam hatinya
sudah kalah lebih dahulu dengan cobaan-cobaan yang dihadapinya, baru kemudian ia
terjerumus ke dosa itu. Seseorang
yang dasarnya memang terikat-erat pada benda-benda dan nafsu-nafsu duniawi ini
akan mudah jatuh setiap ada cobaan. Sebaliknya
jika ia penuh tekad untuk bertindak suci dan jauh dari keterikatan duniawi, maka
ia akan menang. Dengan kata lain
semuanya itu, sebenarnya kembali ke disiplin manusia itu sendiri.
|
|
37 |
Bersabdalah
Yang Maha Pengasih: 37.
Keinginan (kama), kemarahan (krodha),
yang lahir dari rajoguna (berbagai ragam nafsu dan keinginan), semua ini serba
penuh dengan keserakahan dan penuh dengan pencemaran. Inilah musuh kita di bumi ini. |
Ada dua
musuh manusia yang utama di dunia ini, yaitu: kama atau nafsu dan keinginan, dan
yang kedua kemarahan (krodha).
Kedua-duanya ini adalah dua wajah dari sang rajoguna, dan kedua-duanya
adalah musuh yang mematikan bagi manusia. Berhati-hatilah
terhadap mereka!
Kita sebaliknya tidak memusatkan pikiran kita pada hal-hal yang duniawi
yang kelihatannya menyenangkan. Sekiranya
pikiran selalu terpusat ke arah suatu obyek yang menyenangkan.
Sekiranya pikiran selalu terpusat ke arah suatu obyek yang menyenangkan
ini, maka akan timbul suatu pengalaman atau kejadian yang akan membangkitkan
nafsu atau keinginan kita, kemudian timbul hasrat untuk mendapatkan obyek
tersebut dan, menguasainya secara total, dan jatuhlah kita ke dalam cengkraman
sang Maya. Dan seandainya
sebaliknya keinginan tersebut tidak tercapai atau kita tidak puas akan hasil
yang tercapai, maka akan timbul rasa amarah, dan rasa amarah ini kalau tidak
terkendali dapat menghancurkan segala-galanya.
Cara yang terbaik untuk keluar dari cobaan kama ini adalah dengan
mengembangkan tekad kita ke jalan yang penuh disiplin dan dedikasi kepada Yang
Maha Esa. Bekerja aktif sesuai
kewajiban kita kepada Yang Maha Esa akan banyak menolong kita membentuk tekad
itu sendiri, dan tekad ini akan tumbuh terus dengan tegar di dalam diri kita.
|
|
38 |
Seperti bara-api yang terbungkus oleh
asap, seperti cermin yang terlapis
oleh debu dan ibarat embrio (janin bayi) yang terbungkus oleh kulit perut --
begitu juga ini terbungkus oleh itu. |
Asap
selalu melingkup bara-api, debu selalu menutupi permukaan kaca atau cermin, dan
sang jabang bayi selalu berbungkus oleh kulit perut ibunya semasa ia masih belum
dilahirkan, begitu pun nafsu ini membungkus Sang Atman kita sehingga tak nampak
cahayaNya dari luar.
|
|
39 |
Kebijaksanaan, oh
Arjuna, juga terbungkus oleh api nafsu yang tak
terpuaskan ini yang jadi musuh tetap orang-orang yang bijaksana. |
Nafsu
atau karma yang lapar dapat menjadi
musuh dari mereka-mereka yang bijaksana, karena sering sekali nafsu ini dapat
menutupi sinar Sang Atman yang bersemayam di hati seseorang yang tidak kuat
imannya. Salah satu ucapan Sang Manu (manusia pertama) yang terkenal adalah:
“Nafsu tak pernah puas oleh obyek-obyek sensual yang didapatkannya.
Semakin banyak yang dicapainya semakin besar ia tumbuh bagaikan bara-api
yang tersiram minyak.”
|
|
40 |
Indra-indra, pikiran dan intelegensia (buddhi)
adalah tempat-tempat nafsu ini bersemayam.
Mencegah kebijaksanaan dengan ini, nafsu menggelapkan sang jiwa yang ada
di dalam tubuh. |
Apa
saja yang dilakukan oleh kama? Kama
atau nafsu ini mencegat selalu di pintu-gerbang indra-indra kita, kemudian kama
ini meruntuhkan benteng pikiran kita, dan kemudian masuk ke daerah buddhi
(intelegensia) dan menghancurkan kekuatan batin dan tekad kita.
Seorang yang bijaksana akan selalu menjaga baik-baik gerbang-gerbang
indranya dari segala cobaan. Setiap
kenikmatan indra kita baik itu dan mulut, mata, sex dan sebagainya walaupun
sedikit sebaiknya menjadi lampu-merah dan peringatan akan bahaya, atau sang
musuh yang akan menyelip masuk di saat-saat kita lengah.
Begitu kama menguasai segala indra-indra kita, pikiran kita dan ratio
kita, maka seseorang akan menuju ke arah kehancuran dirinya.
Itulah nafsu yang telah menghancurkan banyak pahlawan-pahlawan besar,
orang-orang bijaksana yang tercatat dalam sejarah baik di Asia, Eropa maupun di
mana saja di dunia ini.
|
|
41 |
Seyogyanyalah, oh
Arjuna, kendalikan indra-indramu dan bantailah nafsu
berdosa ini yang menghancurkan gnana dan vignana. |
Gnana
dan vignana telah dijelaskan artinya dalam bab-bab yang lalu dengan berbagai
arti. Disini yang penting adalah
bahwa jalan pikiran kita harus bersih dan murni dalam setiap tindakan yang kita
ambil. Jalan pikiran atau buddhi
kita harus dikendalikan dengan baik,atau sang nafsu keinginan akan segera
menghancurkan pengetahuan dan kebijaksanaan (gnana
dan vignana) yang telah kita bina
sedikit demi sedikit.
|
|
42 |
Indra-indra kita itu besar
kadarnya.
Tetapi pikiran itu lebih besar kadarnya dibandingkan dengan indra-indra
itu. Lebih besar lagi kadar buddhi.
Tetapi yang lebih besar lagi kadarnya adalah Ia (Sang Atman, Sang Inti Jiwa kita). |
Jadi
bagaimana jalan keluar dari dosa? Serahkan
saja yang lebih ringan kadarnya kepada yang paling berat.
Lepaskan semua itu dan berpalinglah kepada yang paling Inti, dan jalanlah
seperti yang selalu dianjurkan Bhagavat Gita secara berulang-ulang yaitu: Jangan
sekali-kali jatuh pada keinginan atau rasa dualisme yang saling bertentangan
seperti suka-duka, senang-susah, dsb. Dan
bertindaklah selalu dalam setiap hal karena rasa kewajibanmu kepada Yang Maha
Esa semata. Bergeraklah dalam kesadaran mulai dari tangga yang pertama
yaitu indra-indra kita dulu, lalu ke pikiran kita, dan lambat-laun dari buddhi
ke Sang Atman dan suatu saat kelak ke Yang Maha Esa.
Sekali kita tak terikat lagi pada nafsu-nafsu duniawi dan telah bersih
dari segala kekotoran duniawi, dan sekali kita berubah jernih maka akan terjadi
peleburan diri kita ke Sang Atman dan tahap selanjutnya diantar untuk menyatu
dengan Yang Maha Pencipta.
|
|
43 |
Dengan mengetahui Dirinya (Sang Atman) lebih agung dari buddhi,
maka kuasailah dirimu (strata yang lebih rendah) dengan Dirimu (Sang Atman, yang
lebih tinggi), dan bunuhlah musuhmu yang bernama nafsu ini, musuh yang sukar
untuk dikalahkan. |
Musuh
dalam bentuk nafsu ini tidak harus dikalahkan saja, tetapi juga harus
dihancurkan. Kalau tidak ia akan
kembali sewaktu ia kuat lagi untuk menyerang kita. Maka jangan sekali-kali lengah begitu anda mengira bahwa anda
sudah kuat, karena musuh yang satu ini sukar untuk dikalahkan.
Pasrahkan dan serahkan dirimu kepadaNya dan bertindaklah selalu tanpa
pamrih; tanpa suatu usaha atau tindakan yang positif maka hidup ini akan
gagal.
Yang harus diperhatikan dari sabda-sabda Sang Krishna ini adalah bahwa
sang musuh ini selalu hadir sebagai musuh dalam selimut dan akan menyerang kita
di saat kita lengah atau merasa kuat. Bersatulah
dengan Sang Atman, dan bertekadlah untuk membantai musuh nomor wahid ini, dan Ia
akan menuntunmu ke jalan yang benar.
|
|
Dalam
Upanishad Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan yang Abadi, Karya Sastra Yoga,
dialog antara Sang Krishna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab ketiga yang
disebut: Karma yoga atau Ilmu Pengetahuan tentang tindakan (atau pekerjaan) \ |
Kembali
ke halaman induk Bhagavat Gita
Kembali ke halaman induk Situs Shanti Griya