|
BAB II Dimulailah Ajaran Bhagavat Gita
|
1 |
Berkatalah Sanjaya 1. Sang Krishna pun penuh dengan perasaan iba bersabda kepada Arjuna yang sedang dalam keadaan gundah, dan kedua matanya penuh dengan linangan air mata dan merasa dirinya tanpa semangat dan harapan lagi. |
2 |
Berkatalah Sang Krishna Yang Maha Pengasih Dari
manakah timbulnya depresi batinmu ini, pada saat-saat yang penuh dengan
krisis seperti ini? Menolak
berperang adalah tidak pantas untuk seorang Aryan.
Penolakan ini akan menutup pintu masuk ke sorga.
Penolakan ini adalah puncak dari kehinaan, oh Arjuna!
|
3 |
Janganlah
bertindak sebagai seorang pengecut, oh Arjuna!
Tiada laba yang akan kau petik dari kelakuanmu ini.
Buanglah jauh-jauh kelemahan hatimu.
Bangkitlah, wahai Arjuna! |
4 |
Berkatalah Arjuna Bagaimana
mungkin, wahai Krishna, daku menyerang Bhisma dan Drona dengan
panah-panahku dalam perang ini? Bukankah
mereka sebenarnya layak untuk dijunjung tinggi, oh Krishna? |
5 |
Lebih
baik hidup sebagai pengemis di dunia ini, daripada membantai para guru
yang agung ini. Dengan
membunuh mereka, yang kudapatkan hanyalah kepuasan yang bergelimang darah! |
6 |
Juga kami tak tahu manakah yang lebih baik -- kami mengalahkan mereka atau mereka mengalahkan kami. Dengan membunuh putra-putra Dhristarashtra, yang berdiri sebagai lawan, berarti juga menghilangkan sendi-sendi kehidupan (keluarga besar mereka). |
7 |
Seluruh svabhavaku (jiwa-ragaku), serasa sedang dirundung rasa lemas dan rasa iba, dan hatiku bimbang untuk melaksanakan kewajibanku ini. Maka kumohon kepadaMu. Ajarilah daku, sesuatu yang pasti, yang manakah yang lebih baik. Daku adalah muridMu.* Daku berlindung di dalam diriMu. Ajarilah daku.** |
Arjuna terombang-ambing di antara kesedihannya dan rasa tanggung jawabnya
dalam menunaikan kewajibannya sebagai seorang kesatria.
Dan puncak dari keragu-raguannya ini adalah berpasrah diri kepada
Sang Krishna agar ditunjukkan jalan yang benar dan pasti. ‘Aku adalah muridmu dan aku sedang mencari
penerangan’: inilah
kira-kira yang dimaksud oleh Arjuna.
Dalam hidup ini ada tiga tahap untuk seorang jignasu
(seseorang yang mencari): pertama-tama
ia akan masuk dalam tahap “mencari,” kedua ia akan menjadi seorang
murid, seorang yang ingin sekali belajar sesuatu dan pada tahap ketiga ia
menjadi seorang “anak” dari sang Guru untuk kemudian dituntun.
Selanjutnya sang jignasu akan masuk kedalam suatu tahap yang
“tenang” dan tidak lagi dalam keadaan “depresi.” ‘Ajarilah daku’ dalam bahasa Sansekertanya adalah
“shadhi mam,” yang juga
dapat berarti pengaruhilah daku. Seorang Guru kebatinan tidak saja mengajari muridnya dengan
ajaran secara verbal maupun tertulis tetapi juga akan menimbulkan suatu
“shakti” atau “energi” di dalam diri seorang murid. Dalam pengembaraan kita dari setitik atom sampai ke Atman (Inti-Jiwa
kita), kita semua memerlukan sebuah jembatan, dan jembatan ini adalah
seorang Guru yang sejati. Carilah
dia dan berlindunglah di dalamnya, niscaya kau akan berhasil melalui
jembatan ini ke tujuanmu. Tetapi
ingat seorang guru bukan untuk berbantah-bantah, seorang guru adalah
penuntunmu, dan engkau harus tulus jiwa- dan ragamu dalam pengabdianmu
kepadanya, dan barulah jalan akan terbuka, bukan dengan berdebat kepadanya.
|
|
8 |
Rasa bimbang ini merubah seluruh indraku menjadi layu. Aku tak melihat masa depan, walau seandainya aku berkuasa tanpa batas atas seluruh permukaan bumi ini atau pun atas para Dewa-Dewa. |
9 |
Berkatalah Sanjaya Setelah
ucapan-ucapan Arjuna ini selesai, Arjuna berkata kepada Sang Krishna:
“Aku tak akan berperang.” Dan
dengan kata-kata ini Arjuna pun langsung berdiam diri. |
Arjuna bersikap diam diri. Diam atau pun hening sebenarnya adalah salah satu “guru”
kita. |
|
10 |
Kemudian
Sang Krishna penuh dengan senyuman bersabda kepada Arjuna yang masih
diliputi kedukaannya (masih terduduk) di kereta yang berada di antara
kedua laskar ini.
|
Krishna tersenyum karena ia mengetahui bahwa kesedihan Arjuna sebenarnya
adalah proses cinta-duniawi yang terpengaruh oleh ilusi Sang Maya.
Arjuna sedih karena belum memiliki ilmu pengetahuan yang sejati.
Arjuna harus melewati dulu semua rasa egonya baik yang buruk maupun
yang baik, untuk mencapai suatu “pengertian” tentang hidup ini. Sang Krishna tersenyum karena Ia sadar bahwa Arjuna
harus melalui proses “habis gelap terbitlah terang.” Arjuna harus disadarkan dan diluruskan jalan
pikirannya bahwa tradisi lama memang tidak boleh dibunuh tetapi sebaliknya
harus dimanfaatkan sebagai alat bagi langgengnya kebenaran untuk segalanya.
Keadilan harus ditegakkan kalau tidak agama dan tradisilah yang
akan menuju ke arah kehancuran total. Sang Krishna tersenyum karena apa yang diutarakan
oleh Arjuna adalah kulit-luar dari kitab-kitab shastra dan Upanishad.
Arjuna lupa akan isi ajaran-ajaran semua itu dalam bentuk yang
sebenarnya. Apakah dharma
itu sebenarnya? Arjuna alpa
akan hal itu, baginya dharma
adalah tradisi dan peraturan yang sesuai dengan adat-istiadat ritual; bagi
Sang Krishna dharma adalah suatu peraturan atau tata-cara atau hukum yang
menganjurkan/mewajibkan seseorang untuk bekerja demi Yang Maha Esa, sesuai
dengan segala kehendakNya, untuk mereka-mereka yang menderita dan tersiksa
dan diperlakukan tidak adil, dan semua itu tanpa pamrih dalam bentuk
apapun juga, tetapi diserahkan kembali kepada Yang Maha Esa.
|
|
11 |
Berkatalah Sang Maha Pengasih Dikau
bersedih hati untuk mereka yang seharusnya tidak perlu dikau risaukan, tetapi
dikau bertutur seakan dikau amat bijaksana.
Seseorang yang bijaksana tak pernah bersedih baik untuk yang hidup maupun
untuk yang telah tiada. |
Kesedihan Arjuna adalah berdasarkan “kebodohan,”
Arjuna tidak sadar akan arti hidupdan mati yag sebenarnya, kedua-duanya adalah
permainan Sang Maya (Ilusi-Ilahi), Inti-Jiwa (Atman) kita tak akan pernah mati.
Seseorang yang “bijaksana” akan terus jalan dalam hidup ini penuh
dengan dedikasi akan tugas-tugasnya bagi Yang Maha Esa tanpa perduli akan ilusi
yang beraneka-ragam bentuknya yang selalu mencoba mencengkeram kita dengan
berbagai cara baik itu baik maupun yang buruk, baik dengan jalan kekerasan
maupun kasih-sayang (moha). Bukankah
Columbus yang terserang badai dalam suatu pelayarannya pernah berteriak,
“Lajulah terus, terus, terus dan terus, terus.”
Di dunia ini tidak ada jalan mundur, yang ada hanyalah jalan terus baik
kita mau atau tidak. Tidak ada
jalan lain. Bab ini desebut Sankhya Yoga yang berarti yoga
Kebijaksanaan, kebijaksanaan yang disarikan dari seluruh Upanishad-Upanishad.
Sloka 11-38, akan banyak mengupas soal kebijaksanaan ini.
|
|
12 |
Tiada
waktu di mana Aku tak pernah hadir dan juga engkau, juga mereka-mereka ini, dan
juga semuanya, dan kita semua akan selalu terus hadir. |
Badan atau raga kita akan selalu hidup dan mati
sesuai dengan mas pakainya, tetapi Inti-Jiwa (Atman) akan selalu mengembara dari
satu raga ke raga yang lainnya, tanpa henti sesuai dengan karmanya. Inilah yang harus disadari Arjuna. Seseorang sebenarnya tidak pernah mati, yang mati adalah
raganya, suatu permukaan kasar yang merupakan medium belaka. Raga selalu menikmati semua kesenangan dan juga merasakan
penderitaan yang diakibatkan oleh kesenangan itu, tetapi Atman akan jalan terus
tanpa terkontiminasi sedikitpun. Arjuna
dalam kebodohannya mencampur-adukkan antara yang “nyata” dengan yang
“tidak nyata.”
|
|
13 |
Sang
Inti Jiwa ini berkelana dari satu raga ke raga lainnya sambil melewati masa
kanak-kanaknya, masa remaja dan mas tuanya.
Seorang yang bijaksana akan maklum akan semua ini dan tidak terpengaruh
oleh ilusi ini. |
Timbul pertanyaan mengapa Sang Jiwa selalu berkelana
dari satu raga ke raga yang lainnya, tidak lain karena harus melalui berbagai
perjalanan yang sudah digariskan oleh Yang Maha Pencipta, dan merupakan
pengalaman untuk memperkaya diri Sang Atman ini, dan pada akhirnya kembali ke
Sang empuNya sesuai dengan tugas dan siklus yang sudah diatur.
Sedangkan raga itu sendiri sebagai suatu medium harus juga melalui
berbagai tahap seperti masa kanak-kanak, remaja dan masa tua, sesudah itu binasa
dan Atman berpindah ke raga lainnya, dan begitulah siklus ini berputar terus
seakan-akan tidak ada akhirnya.
|
|
14 |
Setiap
hubungan kita dengan berbagai obyek (duniawi), oh Arjuna, menimbulkan dingin dan
panas, kesenangan dan penderitaan. Semua
ini datang dan pergi, dan tidak abadi. Hadapilah semua ini, Arjuna (sebagai sesuatu fakta). |
Atman sendiri sebenarnya tidak terpengaruh oleh semua
obyek sensual duniawi ini, yang terpengaruh dan merasakannya ini adalah raga
yang ditumpangi Atman. Raga ini
setelah ditumpangi Atman akan merasakan dingin dan panas, kesenangan dan
penderitaan, dan sebagainya. Semua
ini harus kita maklumi dan kita jalani sebagai sesuatu yang datang dan pergi.
Kita harus bersikap tidak terikat kepada semua ilusi ini tetapi juga
tidak menutup mata, bahkan harus kita hadapi dan rasakan semua itu sebagai
dedikasi kita kepadaNya, demi dan untukNya.
|
|
15 |
Seseorang
yang tenang dalam kesenangan dan penderitaan -- tidak terusik oleh kedua-duanya
-- ia hidup dalam suatu kehidupan yang tak pernah mati, oh pemimpin diantara
anak-anak manusia (Arjuna)! |
16 |
Yang
tidak sejati tidak mempunyai bentuk, Yang Sejati tak pernah ada habis-habisnya.
Kebenaran kedua hal ini telah dirasakan oleh para pencari Kebenaran. |
Yang sejati di sini adalah Atman (Inti Jiwa Kita),
yang tidak sejati adalah raga kita yang selalu habis dan binasa, sedangkan Atman
terus berkelana tanpa ada batas-batasnya. Raga kita berbentuk asat: tidak abadi, dapat rusak atau mati dimakan waktu atau keadaan.
Sedangkan Atman adalah sat:
Kesejatian yang Abadi, dalam Sat selalu tercipta yang baru, tanpa
henti-hentinya, terus-menerus, abadi dan langgeng. Bukankah Itu sama saja dengan Yang Maha Pencipta. Seorang
penyair Barat yang terkenal di dunia pernah menulis: Yang Satu Abadi, yang banyak berganti dan berlalu, Cahaya Ilahi bersinar tanpa habis, bayangan bumi
hilang berterbangan. Hidup, bagaikan sebuah rumah kaca yang memantulkan
pelangi berwarna-warni, Sebenarnya bersumber pada warna putih yang abadi.
(Percy Bysshe Shelley)
|
|
17 |
Tiada
seseorang pun mempunyai kekuatan untuk menghancurkan Yang Tak Pernah Binasa,
Yang menunjang semua ini. Ketahuilah
Ia tak akan pernah bisa dihancurkan. |
Yang dimaksudkan Yang Tak Pernah Binasa di sini
adalah Atman (Yang sebenarnya adalah sepercik kecil dari Brahman).
Raga kita akan hancur dan berganti raga lain, tetapi Atman tak akan
pernah binasa karena Ia abadi.
|
|
18 |
Raga
yang ditumpangi Sang Jiwa yang abadi, dan yang tak bisa dihancurkan atau
terjangkau oleh pikiran, dikatakan tidak abadi. Jadi berperanglah, oh Arjuna! |
19 |
Seseorang
yang berpikir bahwa ia membunuh, atau seseorang yang berpikir ia terbunuh
kedua-duanya tidak memahami dengan baik arti dari kebenaran.
Tiada seorangpun yang sebenarnya dapat membunuh atau terbunuh. |
20 |
Tak
ada seseorangpun yang pernah dilahirkan atau pun suatu saat nanti harus mati.
Tak ada seorangpun sebenarnya yang hilang atau terhenti proses hidupnya (eksistensinya).
Ia tak pernah dilahirkan, bersifat konstan, abadi dan telah ada semenjak
masa yang amat silam. Ia tak pernah mati walau raga habis terbunuh. |
Emerson seorang penyair terkenal dari Barat pernah
mengatakan tentang Atman sebagai berikut: “Aku
datang, lewat dan berputar lagi.” Sedangkan
Yesus pernah bersabda kepada orang-orang Yahudi, “Ye are gods” (Engkau
semuanya adalah dewa-dewa). “Barangsiapa
mengenal dirinya sendiri tahu akan Cahaya ini,” kata filsuf terkenal Lao Tse
dari Cina, sedangkan seorang sufi terkenal pernah berkata, “Inti dirimu adalah
inti Tuhan itu sendiri.”
|
|
21 |
Seseorang
yang mengenal bahwa Jati Dirinya tak akan dapat dihancurkan dan selalu abadi,
tak pernah dilahirkan dan tak pernah berganti-ganti, bagaimana mungkin orang
seperti itu membunuh, oh Arjuna, atau bahkan mengakibatkan orang lain jadi
pembunuh? |
“Seseorang yang mengenal Jati Dirinya,” sadar
Dirinya hanyalah saksi dan bukan yang melakukan sesuatu tindakan atau aksi,
inilah arti yang tersirat dari mukti atau penerangan yang sesungguhnya.
|
|
22 |
Seperti
seseorang yang mengganti baju usangnya dengan baju yang baru, begitupun Jiwa ini
berganti-ganti raga dari yang lama ke yang baru. |
Dalam Shanti Parwa yang terdapat di kitab Mahabarata,
ada perumpamaan lain dari proses jalannya Jiwa ini yang diibaratkan sebagai
seseorang yang pindah dari rumahnya yang usang ke rumahnya yang baru; inilah
jalan kehidupan Sang Jiwa dari satu raga ke raga lainnya.
Tetapi harus diingat bahwa yang dimaksud ini bukan raga manusia saja
tetapi bisa juga berbagai ragam raga yang ada di alam semesta ini, seperti hewan,
manusia, tumbuh-tumbuhan, raga-raga lainnya yang bertebaran di laut, bumi di
sistim planet-planet lainnya atau di mana saja di seluruh alam semesta yang
tanpa batas ini. Dan bentuk raga
ini bisa saja yang berbentuk abstrak, atau pun dewa-dewi, mahluk-halus, dll,
semuanya sesuai kehendakNya dan alur karma
kita sendiri.
|
|
23 |
Tidak
ada senjata yang dapat memisah-misahkanNya, tidak juga api dapat membakarNya,
atau air membuatNya basah, bahkan anginpun tak dapat mengeringkanNya. |
24 |
Tak
terpisahkan Ia. Tak terbakarkan Ia.
Tak berbasahkan dan terkeringkan Ia.
Ia abadi dan hadir di mana saja. Ia
selalu konstan dan tak tergoyahkan. Ia
hadir semenjak masa yang amat silam, dan selalu sama selama-lamanya. |
Inilah gambaran dari Atman (Inti Jiwa) kita, yang karena bentuknya yang
sangat unik, tak dapat digambarkan secara duniawi, tetapi dapat kita fahami
sebagai sesuatu yang berbentuk Ilahi dan selalu konstan dan abadi. Tak akan rusak atau pun
binasa. |
|
25 |
Tak
terterangkan, tak terpikirkan dan tak dapat diubah-ubah -- begitulah Ia
disebut.
Setelah mengenalNya seperti itu, seharusnya engkau (Arjuna) tak perlu
lagi merisaukan hatimu. |
Diri ini harus bersih dulu dari segala keterikatan
duniawi ini yang aneka-ragam corak dan bentuknya, setelah itu kita akan lebih
mengerti akan hadirNya Sang Atman dalam diri kita dan mengenalNya lebih baik.
Selama kita masih diliputi rasa-ego (apa saja bentuknya), rasa ketakutan
duniawi, dan selalu terikat kepada unsur-unsur disekitar kita; dan tak pernah
menyerahkan semua ini kepadaNya secara tulus, selama itu juga yang dekat akan
terasa amat jauh. Sebenarnya Ia
amat dekat di dalam diri kita sendiri. Kenalilah
Dia!
|
|
26 |
Pun
sekiranya kau pikir Sang Jiwa (Atman) ini bisa mati dan hidup, dan tidak
bersifat abadi, wahai Arjuna, tak perlu juga dikau harus risau dan bersedih hati. |
27 |
Karena
sudah pasti yang lahir harus binasa dan yang binasa harus lahir.
Jadi janganlah dikau bersedih untuk sesuatu yang sudah pasti dan
semestinya ini. |
Sesuatu yang sudah digariskan Ilahi tak akan bisa
berubah, jadi sebenarnya tak perlu dirisaukan lagi, que sera sera, apa yang akan terjadi terjadilah.
Mati-hidup kemudian hidup-mati, dan seterusnya sudah semestinya begitu,
jadi apa yang harus dirisaukan lagi. Tidak
ada jalan lain; yang mau tak mau harus kita terima karena sudah tidak ada jalan
lain, takdir sudah mengaturnya begitu. Yang
penting adalah kesadaran untuk menerimanya sebagai kewajiban kita kepada Ilahi,
bukan karena terpaksa.
|
|
28 |
Keadaan
dari mereka-mereka yang belum dilahirkan tak dapat diterangkan dalam bentuk
duniawi ini. Tetapi pada periode
antara kelahiran dan kematian situasi mereka dapat kita lihat dan fahami.
Setelah mati mereka kembali lagi ke suasana yang tak dapat diterangkan
ini lagi. Jadi untuk apa dikau
harus bersedih hati, wahai Arjuna? |
Jadi sebenarnya yang diketahui oleh kita manusia ini
hanyalah bentuk kehidupan yang terjadi antara kelahiran sampai dengan kematian
kita dan orang-orang disekitar kita saja. Sebelum
dan sesudah itu gelap dan tidak terang bagi kita.
Yang kita rasakan atau kita lihat hanya sedikit yang ditengah-tengah saja,
ujung dan pangkalnya kita tak akan pernah tahu.
Lalu untuk apa kita bersedih hati, toh kita datang dari suatu alam yang
tidak kita ketahui dan kemudian harus kembali ke sana juga, dan ini berlangsung
terus tanpa henti-hentinya. Lalu
untuk apa risau akan semua masalah yang harus kita hadapi, bukankah kita ini
sebenarnya hanya alatNya saja di dunia ini, yang dikirimkan untuk melakukan
tugas-tugasNya saja, jadi berbaktilah kita seharusnya sesuai dengan kehendakNya.
Itulah dharma-bhakti
yang semestinya.
|
|
29 |
Ada
yang mengesankanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, ada yang
membicarakanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, dan ada juga yang
mendengarkanNya sebagai sesuatu yang amat menakjubkan, tetapi tak seorang pun
yang benar-benar dapat mengenalNya (mengetahuiNya) dengan pasti apa Ia
sebenarnya. |
Kebenaran tentang Atman sebenarnya terbuka untuk kita
semuanya; dan mereka-mereka yang merasakanNya menjadi takjub sendiri.
Toh tidak semua kita ini dapat merasakan ketakjuban ini, karena sudah
tersandung dalam perjalanan sebelum mencapaiNya.
Ada yang ragu-ragu, ada yang terhadang oleh kesulitan-kesulitan dan hanya
sedikit yang sampai ke Tujuan yang menakjubkan ini. Timbul pertanyaan kalau Dia memang mengasihi kita
lalu mengapa banyak yang harus tersandung sebelum mencapaiNya?
Sebenarnya Yang Maha Kuasa meberikan kita kebebasan untuk memilih, dan
sering sekali kita-kita ini lebih condong untuk terikat dengan segala
unsur-unsur duniawi ini yang seakan-akan sudah jadi milik kita atau sudah
menjadi urusan pribadi kita yang tak dapat diganggu-gugat.
Seharusnya kita harus melepaskan semua unsur ego baik yang positif maupun
yang negatif, dan menyerahkannya semua kepadaNya untuk kemudian dibimbing
olehNya sesuai dengan kehendakNya. Jadilah
seperti seorang anak kecil yang bersandar pada orang-tuanya, polos, bersih dan
jujur dalam segala aspeknya. Dan
seperti juga orang-tua kita yang akan selalu membimbing kita dalam suka dan duka,
maka Yang Maha Kuasa pun akan selalu menunjukkan jalan kita dalam setiap
tindak-tanduk kita. Ia sebenarnya
setiap hari mengetuk pintu hati kita dan tersenyum penuh cinta-kasih, yang
menjadi masalah adalah kita menganggapNya ia berada di tempat yang amat jauh. Bukankah Ia tersirat dalam keheningan, bahkan Ia sebenarnya
dapat ditemui setiap saat dalam diri pribadi kita masing-masing yang juga adalah
DiriNya sendiri. Ia hadir selalu
dalam diri kita, tak usah jauh-jauh mencarinya di hutan atau di laut, di bulan
atau di matahari, carilah Dia dalam ketenangan dirimu senidiri.
|
|
30 |
Ia
yang bersemayam dalam setiap mahluk -- adalah Kehidupan dalam setiap mahluk --
Ia tak tersentuh senjata apapun juga. Jadi
Arjuna, seharusnya dikau tidak bersedih hati untuk mahluk apapun juga. |
Yang dimaksud Sang Krishna di
sini, adalah Sang
Arjuna boleh saja memikirkan dan memperhatikan semua mahluk di dunia ini,
malahan itulah salah satu aspek penting dalam dharma. Tetapi juga
harus tahu bahwa yang bersemayam dalam setiap mahluk ini, yang disebut Atman tak
akan bisa binasa walau apapun yang terjadi.
Jadi sebenarnya Arjuna tidak perlu sedih, karena kesedihan itu sia-sia
belaka, takdir sudah menentukan jalan hidup setiap mahluk ciptaanNya sesuai
kehendakNya dan bukan sesuai kehendak Arjuna atau kita semuanya.
|
|
31 |
Dedikasikan
dirimu kepada kewajibanmu dan jangan kau ingkari itu. Karena tidak ada imbalan yang lebih baik untuk seorang
kesatria, dari pada suatu perang demi kebenaran. |
Dharma
demi kebenaran adalah tugas suci untuk siapa saja, apalagi kalau ia seorang
kesatria yang seharusnya membela nusa dan bangsa serta negaranya dari segala
kezaliman dan angkara-murka. Dalam
salah satu kisah Mahabarata tertulis, “Barangsiapa menyelamatkan suatu
kehancuran adalah seorang kesatria” dan juga tertulis di bagian lainnya,
“Hanya ada dua tipe manusia yang dapat mencapai alam Brahman setelah melewati
konstelasi matahari: yang pertama adalah para sanyasin
(orang-orang suci) yang telah dalam ilmu pengetahuannya dan yang kedua adalah
para kesatria yang mati dalam peperangan membela kebenaran.”
Bukankah itu berarti bahwa kalau kita selamanya berjalan/berperang demi
kebenaran maka kita sedang menuju kearahnya, Yang Maha Pencipta.
|
|
32 |
Berbahagialah
mereka para kesatria, yang harus berperang demi kebenaran -- terbukalah
kesempatan ke sorga tanpa mereka minta. |
Sang Krishna di sini menegaskan bahwa
berperang/mati
demi kebenaran membawa kita langsung ke alam sorga; ini berarti bahwa berperang
demi kebenaran adalah tugas yang maha suci bagi kita dari Yang Maha Esa.
Kalau direnungkan dengan baik-baik bukankah kita dikelilingi oleh
berbagai bentuk tidak kebenaran dalam hidup ini, dari segala bentuk nafsu-nafsu
pribadi kita yang negatif sampai ke penindasan yang tidak berperi -- kemanusian
dalam peri laku manusia, sesuatu bentuk pemerintahan, diskriminasi, dan berbagai
aspek tidak benar lainnnya yang seakan-akan tidak ada habis-habisnya dan semua
itu bertebaran di sekeliling kita setiap saat.
|
|
33 |
Dan
seandainya dikau tak maju berperang di jalan yang suci ini, dikau akan
mengabaikan kewajiban dan kehormatan dikau, dan dikau akan dikejar-kejar oleh
perasaan salahmu itu. |
Seseorang yang berjalan atau berjuang di jalan
kebenaran harus siap mengorbankan segala miliknya. Bukan saja sanak-saudara dan harta bendanya tetapi juga
nyawanya sendiri. Apalagi untuk
suatu tugas yang besar dan suci. Sebagai
seorang kesatria, seandainya Arjuna mengingkari kewajibannya ini, maka ia akan
kehilangan segala kehormatannya.
|
|
34 |
Setiap
orang akan menghinamu, dan bagi seorang yang terhormat, penghinaaan adalah lebih
buruk dari suatu kematian. |
35 |
Para
pendekar-pendekar yang besar akan mengira dikau mundur dari peperangan ini
karena rasa ketakutanmu. Dan
mereka-mereka yang menghormatimu akan memandang rendah padamu. |
36 |
Belum
lagi hinaan-hinaan lainnya yang diucapkan oleh musuh-mushmu, semua itu akan
membuatmu lebih lemah lagi. Adakah
yang lebih menyakitkan dari semua itu? |
37 |
Seandainya
dikau terbunuh, maka dikau akan ke sorgaloka.
Sekiranya dikau perkasa dalam peperangan ini, maka dikau akan menikmati
bumiloka ini. Jadi bangkitlah wahai
putra Kunti (Arjuna) dan angkatlah senjata untuk yudhamu ini. |
38 |
Samakanlah
rasa nikmat dengan derita, laba dengan rugi, menang dengan kalah, bersiaplah
untuk yudha ini.
Dengan begitu dikau tak akan tercemar oleh dosa. |
Pada sloka-sloka sebelumnya Sang Krishna menyindir
rasa ego dan tanggung-jawab Arjuna pada dharma
yang sebenarnya. Di sloka atas ini
Sang Krishna meminta agar Arjuna melaksanakan kewajibannya yang tertinggi yaitu
berperang menegakkan kebenaran. Tugas
ini merupakan tugas yang amat suci bagi seorang kesatria demi Yang Maha Esa dan
kebenaran.
|
|
39 |
Sejauh
ini Aku telah menerangkan tentang ajaran Sankhya. Sekarang dengarkanlah ajaran mengenai Yoga (Ilmu pengetahuan),
dengan mengikuti ajaran ini dikau akan lepas dari ikatan-ikatan perbuatanmu. |
Yang dimaksud dengan ajaran Sankhya ini adalah ajaran
Bhagavat Gita mengenai KeTuhanan yang Maha Esa, secara khusus Tentang Sang Jati
Diri (Sang Atman). Yang diajarkan
adalah hubungan Sang Atman dan raga kita, di sini ditekankan bahwa Sang Atman
yang merupakan inti dari jiwa kita itu tak mungkin dapat binasa, walau raga kita
hancur sekali pun. Sedang yang
dimaksud dengan Yoga di sini, adalah Ilmu pengetahuan yang sejati.
Ajaran Sankhya ini tidak dapat ditelaah begitu saja, melainkan harus
disertai atau didasarkan pada yoga tentang dharma-bhakti kita kepada Yang Maha Esa secara benar.
Mengenal dan bekerja untuk Yang Maha Esa tidak berarti lalu harus kita
kepada Yang Maha Esa sesuai dengan pekerjaan yang kita sandang.
Tetapi semua dharma-bhakti ini harus dilakukan dengan menyamakan rasa kita terhadap dua
sifat dualisme yang saling berkontradiksi, yaitu memandang atau merasa sama akan
senang dan susah, untung dan rugi, panas dan dingin, dan lain sebagainya. Lalu bagaimana seseorang dapat mencapai tingkat
kesadaran semacam ini? Caranya
adalah dengan menggabungkan daya-intelek (Buddhi)
kita dengan jalan pikiran kita. Setelah
intelek kita sadar bahwa semua unsur dualisme yang kelihatannya amat berlawanan
ini seberarnya sama saja, dan hanya merupakan permainan pikiran kita belaka,
maka secara tahap demi tanpa kesadaran kita akan meningkat dan kita akan melaju
ke arah Yang Maha Esa dengan baik, dan jadilah kita seorang Buddhi-Yukta (seorang yang telah mencapai kesadaran). Seorang Buddhi-Yukta
yang baik adalah ia yang telah berhasil mengendalikan hawa-nafsunya yang
bersifat aneka-ragam. Ia juga
adalah seorang yang bersikap sama dan tenang dalam setiap keberhasilan maupun
kegagalan, bersikap tenang dalam segala tugas-tugasnya, dan tidak memiliki
ambisi pribadi tertentu atau nafsu duniawi lagi. Semua perbuatannya sudah menjadi kewajibannya untuk Yang Maha
Esa semata. Seseorang semacam ini
tidak perlu harus dapat melihat Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya,
tetap sudah pasti ia akan dapat merasakan kehadiran Sang Atman ini. Seorang Buddhi-Yukta
yang sempurna akan selalu tenang tindak-tanduknya, dan stabil jiwanya, akibat
dari pengaruh Sang Atman yang bersemayam di dalam dirinya.
|
|
40 |
Di
jalan ini tidak ada usaha yang akan sia-sia, dan tak ada rintangan yang akan
bertahan lama. Sedikit saja usaha dharma
ini akan melepaskan seseorang dari rasa takut yang besar. |
Sedikit saja usaha ke arah dharma (jalan kebenaran) ternyata akan melepaskan kita dari samsara,
yaitu penderitaan di dunia ini yang tak ada habis-habisnya, karena jalan akhir
dari dharma adalah kebebasan mutlak dan kembali ke Ilahi Yang Tanpa
Batas.
|
|
41 |
Buddhi (Kesadaran Intelektual) ini, Arjuna, sifatnya
tegas dan hanya menunjuk ke satu arah saja.
Tetapi mereka yang tidak tegas dalam dharma-bhaktinya,
maka cara berpikirnya akan berjalan keberbagai arah seakan-akan tiada
habis-habisnya. |
Buddhi
adalah suatu kesadaran total seseorang; yang memilikinya akan selalu bersifat
satu arah saja, yaitu bekerja demi Yang Maha Esa semata tanpa pamrih sekecil
apapun juga. Sedangkan bagi mereka
yang belum sadar, maka cara atau pola berpikirnya pasti didasarkan oleh
kebutuhan-kebutuhan nafsu, keinginan, selera, ego dan pertimbangan-pertimbangan
duniawi lainnya dan efek-efeknya, jadi dharma
mereka pasti tidak akan ada habis-habisnya karena didasarkan oleh banyaknya
kebutuhan atau tujuan mereka. Buddhi
bersifat eka sedangkan nafsu bersifat ananta
(aneka ragam tanpa habis-habisnya).
|
|
42 |
Kata-kata
manis diucapkan oleh seseorang yang tidak dapat membedakan, yang tidak bijaksana,
yang lebih tertarik dan bahagia dengan kata-kata yang terdapat di Veda-Veda yang
memuat: “yang ada hanyalah ini saja!” |
Di sinilah kita harus mencamkan sabda Sang Krishna di
atas ini yang merupakan peringatan bagi kita-kita yang lebih mementingkan
ritus-ritus atau tradisi agama atau dogma, daripada Yang Maha Esa itu sendiri.
Karena semua itu bukan jalan yang sebenarnya ke arah Yang Maha Esa.
Kata-kata indah dalam Veda-Veda yang dianggap suci dan indah tidak akan
bermakna kalau tidak didasari dengan dharma-bhakti
kita kepada Yang Maha Esa.
|
|
43 |
Mereka-mereka
ini penuh dengan keinginan duniawi. Tujuan
akhir mereka adalah sorga. Akibatnya
mereka ini akan lahir kembali. Mereka melakukan berbagai upacara keagamaan hanya untuk
mendapatkan kesentosaan dan kekuatan duniawi. |
Mereka-mereka yang melakukan upacara-upacara
keagamaan dengan tujuan tertentu akan mendapatkan keinginan mereka masing-masing,
tetapi tindakan keagamaan ini tidak akan membebaskan mereka dari samsara,
melainkan membuat mereka lahir kembali ke dunia ini sesuai dengan karma-karma mereka. Sedangkan
seorang karma-yogi yang bekerja semata-mata demi Yang Maha Esa, maka karmanya
akan merupakan pengorbanan yang tulus dan tanpa pamrih kepada Yang Maha Esa (merupakan
yagna, pengorbanan atau sesajen).
|
|
44 |
Buddhi ini bukan untuk mereka yang hidupnya hanya untuk
agama yang dipraktekkan demi kesenangan duniawi, yang berdasarkan kata-kata
Veda, karena pengetahuan ini memerlukan tekad yang keras demi melepaskan
unsur-unsur duniawi (seseorang). |
45 |
Di dalam Veda terdapat ajaran mengenai tiga jenis guna
(kwalitas atau
sifat manusia). Bebaskanlah dirimu,
oh Arjuna dari ketiga kwalitas ini. Bebaskanlah
dirimu dari kedua sifat yang saling berkontradiksi.
Tegak dan berakarlah ke dalam kebersihan jiwamu, dalam sifat kebenaran
yang abadi, tanpa merasa memiliki suatu apapun: milikilah Dirimu sendiri
-- Gurumu! |
Veda mengajarkan tentang guna, yaitu tiga sifat atau
jenis kwalitas manusia. Yang
pertama sattva, yaitu sifat yang penuh
dengan unsur-unsur kebajikan, kecerdasan, kesucian, kejernihan dan berbagai
hal-hal lainnya yang penuh dengan unsur kebaikan. Sifat yang ketiga disebut tama, yaitu sifat-sifat manusia yang selalu menjurus ke arah
kebobrokan mental seperti sifat-sifat pemalas, peminum, penjudi, seks-maniak,
sifat yang penuh dengan unsur-unsur gelap yang lengkap sifatnya.
Ketiga sifat ini hadir dalam pkiran dan raga kita, sedangkan Sang Atman
atau Sang Jati Diri kita duduk bersemayam terpisah dari mereka ini semuanya.
Sang Atman adalah saksi Ilahi dalam diri kita sendiri, suatu bentuk
Kesadaran Ilahi yang sukar diterangkan dengan kata-kata, yang bagi yang telah
merasakan atau menyadariNya merupakan Keberkahan Nan Abadi. Sebenarnya di sini Sang Krishna sedang menganjurkan
kita semua agar mencari dan menemukan Sang Atman dalam diri kita masing-masing
dan menyembah dan memujaNya penuh dengan dedikasi dan dharma-bhakti.
Caranya adalah dengan membebaskan diri kita dari sifat atau rasa dualisme
yang saling berkontradiksi yang hadir dalam setiap aspek kehidupan kita.
Juga membebaskan diri kita dari rasa ego, dari rasa iri dan benci, dari
segala perhitungan-perhitungan atau rencana yang bersifat amat duniawi, dan
hanya memfokuskan diri kita ke suatu jalan yang penuh dengan sattva, tetapi bukan yang bersifat sattva duniawi tetapi Sattva
Ilahi. Dengan kata lain jadilah seorang manusia sejati bagi dirimu
sendiri, bagi masyarakat banyak dan yang terutama bagi Yang Maha Esa.
Jadilah manusia yang lepas dari segala unsur duniawi dan hiduplah secara
cukup dan sederhana saja, puas dengan apapun yang diberikan oleh Yang Maha Esa,
puas dengan diri dan Diri mu sendiri, sadar akan DiriNya (Sang Atman), yang
hadir di dalam diri kita semua dan bekerja atau hidup demi Ia semata.
|
|
46 |
Kegunaan
Veda-Veda untuk seorang Brahmin yang telah mendapatkan penerangan Ilahi adalah
ibarat sebuah kolam air yang terletak ditengah-tengah genangan air banjir (bah). |
Seorang Brahmin atau Brahmana yang sejati bukanlah
yang dinyatakan secara kastanya, melainkan adalah seorang yang secara sejati
menemukan kesadaran Ilahi dan bekerja untukNya tanpa pamrih.
Bagi orang semacam ini atau yang sudah sampai ke taraf ini, semua
ajaran-ajaran Veda termasuk semua tradisi agama atau pun upacara-upacara ritual
menjadi sekadar simbol saja. Di
sloka di atas diibaratkan seperti sebuah kolam air tawar ditengah-tengah air bah
atau banjir. Dengan kata lain bagi seseorang Brahmin yang sejati,
ajaran-ajaran Veda sudah tidak berarti lagi untuknya karena ia telah melewati
semua itu, dan telah mencapai suatu ajaran Ilahi yang sejati atau dengan kata
lain telah mencapai penerangan Ilahi yang tak terbatas sifatnya.
|
|
47 |
Engkau
hanya berhak untuk bekerja, tidak untuk hasilnya. Jangan sekali-kali motif pekerjaanmu mengarah ke hasil akhir
(imbalan dari pekerjaan ini), dan juga jangan sekali-kali engkau tidak
bekerja. |
Jangan mengharapkan suatu imbalan/buah/hasil untuk
setiap tindakan atau perbuatan atau pekerjaan kita dengan harapan duniawi kita,
tetapi pasrahkanlah hasil-akhir atau efek dari semua perbuatan ini kepadaNya
semata. Semua hasil atau efek dari
perbuatan ini adalah Ia yang menentukan dan akan terjadi sesuai dengan
kehendakNya tanpa lebih maupun kurang. Setiap
tindakan atau perbuatan kita harus didasarkan atas kesadaran bahwa semuanya demi
dan untuk Ia semata. Dengan bekerja
untukNya tak mungkin kita diarahkan ke jalan yang salah atau merugikan orang
lain. Semua hasil tindakan harus
diambil hikmahnya dengan tulus.
|
|
48 |
Lakukan
tindakanmu, oh Arjuna! dengan hati yang terpusat pada Yang Maha Esa, tanpa
keterikatan dan bersikaplah sama untuk semua kesuksesan dan kegagalanmu.
Hati yang damai dan penuh rasa imbang adalah suatu yoga. |
Yoga di sini jadi lebih terang dan luas artinya.
Yoga itu disebut samatvan, yaitu pikiran dan hati yang selalu seimbang
dalam setiap situasi baik menghadapi sesuatu kegagalan maupun kesuksesan, buruk
atau yang baik dan seterusnya. Seandainya
seseorang di dalam setiap tindak-tanduknya dapat selalu balans atau seimbang dan
tak terpengaruh oleh emosinya, maka ia akan mencapai rasa ketenangan di dalam
dirinya dan inilah yang disebut oleh orang-orang Hindu sebagai yoga yang sejati.
|
|
49 |
Pekerjaan
demi suatu imbalan itu lebih rendah derajatnya daripada Buddhi-yoga, oh Arjuna! Maka
selalulah bernaung dibawah buddhi (intelek)mu.
Kasihan mereka yang bekerja untuk suatu imbalan tertentu. |
Pekerjaan yang benar dan bersih dari segala
unsur-unsur duniawi akan melajukan perjalanan kita ke arah Yang Maha Kuasa
karena memang itulah yang diajarkan oleh Sang Krishna.
Janganlah seseorang bekerja demi nama, rumah-tangga, dan kedudukannya
dalam masyarakat, bekerjalah semua itu tetapi berdasarkan dedikasi kita kepada
Yang Maha Esa semata, sebagai bhakti kita kepadaNya. Dan
jenis pekerjaan itu bisa apa saja, dari pekerjaan seorang pembersih sampah ke
pekerjaan seorang pendeta, tetapi harus bermotifkan dedikasi yang tulus dan
bukan didasarkan pada imbalan atau efek yang akan diterima.
Semuanya terserah Ia yang menentukan, kita bekerja tanpa pamrih.
|
|
50 |
Ia
yang telah menjadikan dirinya seorang Buddhi-Yukta
(yang telah sadar dan mendapatkan kesadaran Ilahi) akan mengesampingkan semua
yang baik dan buruk dalam hidup ini. Jadi
berjuanglah untuk Yoga; Yoga ini lebih bermanfaat dari suatu tindakan yang penuh
harapan akan suatu imbalan. |
Seorang yang telah sadar akan peranannya dalam hidup
ini suatu saat akan mengerti bahwa kebaikan dan keburukan sebenarnya hanyalah
berupa ilusi dari Sang Maya (Kekuatan dari Yang Maha Esa juga). Sesuai dengan
tugas-tugas maka kita hidup di dunia ini hanyalah sekedar sebagai alat-alatNya,
dan tentu saja terserah kepada Yang Maha Kuasa apakah kita ini jadi alat yang
baik atau alat yang buruk. Seorang
yang telah mencapai tingkat kesadaran yang benar akan memandang sama, dengan
mata, hati dan pikiran yang sama kepada semua mahluk, semua unsur baik dan buruk
pada setiap mahluk. Orang semacam
ini akan selalu tunduk atas segala kehendakNya, dan tindak-tanduk maupun
pikirannya akan selalu bersandar pada Yang Maha Esa, dan selalu minta dituntun
sesuai dengan kehendakNya semata. Orang
semacam ini akan selalu bergairah untuk bekerja: bukan malahan tidak bekerja
karena berpikir semua sudah jadi kehendakNya.
|
|
51 |
Mereka-mereka
yang bijaksana dan telah mendapatkan penerangan menyerahkan semua imbalan dari
setiap pekerjaan (tindakan) mereka; lepas dari siklus kelahiran, mereka pergi ke
alam yang tanpa derita. |
Seandainya hati dan pikiran kita telah bersih dari
segala nafsu duniawi dan buddhi (daya
intelektual) kita penuh dengan kesadaran atau penerangan, maka setiap tindakan
kita malahan akan merupakan ekspresi kebebasan jiwa kita.
Dan jiwa kita akan menanjak dalam perjalannya dari bhakti
dan gnana (kesadaran) ke arah Berkah
Sang Ilahi, kemudian menyusul kepembebasan jiwa kita dari siklus hidup dan mati
di dunia ini (moksha).
Di bawah ini terdapat beberapa anak-anak tangga yang lebih terperinci
sifatnya: Karma-yoga:
menyerahkan semua imbalan/hasil dari setiap pekerjaan atau perbuatan baik Bangkitnya kesadaran intelektual kita (buddhi),
dan timbullah kebijaksanaan Ilahi. Lepas dari ikatan lahir dan mati. Mencapai berkah Ilahi, lalu terus ke moksha.
|
|
52 |
Sewaktu
kesadaranmu melewati putaran kegelapan (moha),
maka dikau akan mencapai suatu kesadaran tentang apa yang telah kau dengar dan
apa lagi yang akan kau dengar. |
Sewaktu kesadaran kita telah mencapai suatu tahap di
mana segala nafsu telah berhenti berfungsi dan tidak penting lagi artinya, maka
di situ kita akan merasakan perbedaan-perbedaan atau arti sebenarnya akan semua
tradisi, upacara keagamaan, dan lain sebagainya yang dianjurkan di Veda-Veda.
|
|
53 |
Sewaktu
kesadaranmu, yang salah mengerti tentang shruti
(ayat-ayat Veda), mencapai suatu tahap yang kukuh dan tak tergoyahkan dan jiwamu
tenang dalam samadi, disitulah dikau akan mencapai yoga (penerangan ke dalam). |
Samadi adalah konsentrasi jiwa kita ke Inti Jiwa
(Sang Atman atau Sang Jati Diri) yang berada di dalam jiwa kita sendiri.
Samadi adalah dialog atau pertemuan diantara kita dan Sang Atman.
Pertemuan atau sentuhan ini dapat tercapai bila seseorang lepas dari
segala keterikatannya dalam melakukan setiap tugas-tugas duniawinya, termasuk di
dalamnya tugas-tugas keagamaannya. Semua
tugas-tugas ini harus dilakukan dengan pikiran yang sinkron atau selaras dengan
kehendakNya. Bagaimana mungkin kita
tahu bahwa apa yang kita kerjakan itu selaras dengan kehendakNya; dengan
menyerahkan hasil dari perbuatan ini kepadaNya secara total dan kemudian
terserah Ia akan efek-efeknya kemudian. Orang
semacam ini yang menyerahkan hasil pekerjaannya bulat-bulat kepada Yang Maha Esa
akan tegak dan kokoh merasakan semua hasil dari pekerjaan atau perbuatannya yang
berefek baik atau buruk, negatif atau positif baginya atau bagi yang lainnya
sebagai kehendakNya. Ia lebih
bertindak sebagai alat atau petugas Yang Maha Esa dan jauh dari hasil
perbuatan-perbuatannya. Karena ia
tidak mengharapkan pamrih dari pekerjaan-perbuatannya, maka selalu ia berpikir
semua terserah kehendak Ilahi. Selamanya
ia akan teguh menghadapi apapun juga, dan kalau sudah mencapai tahap ini,
komunikasi atau samadinya dengan Sang Atman akan tercipta dan terjalan dengan
amat baik.
|
|
54 |
Berkatalah Arjuna Apa
saja ciri-ciri seseorang yang telah mencapai kebijaksanaan yang stabil ini, yang
teguh dalam segala hal, dan telah bersatu dengan Sang Brahman, oh Krishna?
Bagaimanakah seseorang yang telah mendapatkan kesadaran Ilahi ini
berbicara? Bagaimanakah cara
duduknya? Dan bagaimana cara ia
berjalan? |
Arjuna seperti juga kita semuanya ingin sekali
mengetahui ciri-ciri khas seseorang yang telah bijaksana dan mencapai kesadaran
Ilahi ini. Sang Krishna pun
menjawabnya satu persatu dengan senang hati, misalnya di sloka 55, 61 dan 64
yang mendatang ini diterangkan tentang cara orang bijaksana ini duduk.
Di sloka 56 diterangkan tentang caranya berbicara dan di sloka 58 tentang
caranya ia bergerak dalam hidupnya.
|
|
55 |
Sewaktu
seseorang mengesampingkan semua nafsu-nafsu duniawi yang ada di dalam pikirannya
dan merasa puas dalam DiriNya oleh DiriNya, akan ia disebut sthita-prajna,
seorang yang melihat kebijaksanaan secara tegar. |
Seseorang yang merasa puas dengan DiriNya (Sang
Atman) dan semua sentuhan Sang Atman terhadap dirinya adalah seorang yang sudah
mencapai suatu penerangan Ilahi, dan telah berubah tegar dalam setiap hal yang
dihadapinya.
|
|
56 |
Ia
yang bebas pikirannya dari rasa gelisah di kala duka dan sakit, merasa tenang
saja di kala senang, lepas dari nafsu duniawi, dari rasa ketakutan dan marah,
adalah seorang yang telah mendapatkan penerangan. |
57 |
Ia
yang tak terikat dari sisi mana pun juga, yang tidak pernah benci maupun cinta
pada suatu obyek, yang bertindak secara netral terhadap suatu yang adil maupun
yang tidak adil, orang semacam itu mempunyai pengertian yang tegar dalam
kebijaksanaannya. |
Orang yang telah tegar dalam penerangan atau
kesadaran adalah seseorang yang menjadi saksi dalam kehidupannya dan kehidupan
di sekitarnya. Ia berdiri di atas
semua faktor baik yang negatif maupun positif.
Baginya semua itu hanya ilusi saja dan merupakan proses dalam kehidupan
setiap orang. Bukannya lalu berarti
ia sudah lemah jalan pikiran atau tindak-tanduknya, tetapi ini justru merupakan
ekspresi sejati dari kebebasannya yang tulus, kuat dan penuh dengan semangat
dedikasi kepadaNya. Ia puas dengan
apapun yang diberikanNya, dan setiap hal yang menimpahnya dianggap biasa-biasa
saja baik itu berupa kesenangan maupun kedukaan.
|
|
58 |
Ia
yang menarik seluruh organ-organ nafsunya dari semua obyek-obyek nafsunya dari
segala jurusan, ibarat seekor kura-kura yang menarik semua kaki-kakinya ke dalam
tempurungnya, adalah seorang yang telah tegar rasa pengertiannya dan teguh dalam
kebijaksanaan. |
Perumpamaan seekor kura-kura adalah suatu contoh yang
amat baik, karena sekali seekor kura-kura menarik semua kaki-kakinya ke dalam
tempurung, maka ia tenang-tenang saja menghadapi reaksi atau ancaman dari
luar,
karena sudah merasa aman di dalam tempurungnya ini.
Dengan kata lain dapat diibaratkan sebagai “bersemedi di dalam
tempurungnya tanpa rasa keterikatan dengan apapun di luarnya.”
|
|
59 |
Obyek-obyek
sensual akan menjauh dari seseorang yang tidak mau memberikan umpan kepada
mereka, tetapi akan menetap pada mereka yang menyenanginya.
Bahkan sisa-sisa keinginan pun akan pergi dari seseorang yang telah
melihatNya (Yang Maha Esa). |
Penyerahan total kepada Yang Maha Kuasa bukan saja
berarti menjauhi semua unsur-unsur duniawi saja tetapi juga berarti
menghilangkan sisa-sisa selera yang masih ada dalam diri seseorang.
Bagi yang telah merasakan sentuhan Ilahi, tidak sedikit pun selera
duniawi yang dirasakannya. Baginya Yang Satu itulah segala-galanya dan Yang Terindah.
|
|
60 |
Oh
Arjuna! Organ-organ sensual yang
terangsang akan segera menggerakkan pikiran seseorang, walaupun ia seorang yang
bijaksana dan sedang jalan menuju ke arah sempurna. |
Walaupun seseorang telah bertahun-tahun berusaha
menuju ke arah penerangan dan mengabaikan semua kebutuhan sensualnya, tetapi
selama ia masih menyimpan selera untuk hal-hal yang bersifat duniawi, maka
setiap waktu ia bisa saja jatuh bangun oleh hal-hal yang bersifat duniawi ini.
Maka janganlah heran atau tertawa mengejek melihat seorang yang dianggap
bijaksana atau suci tersandung oleh hal-hal yang berbau duniawi, karena
organ-organ sensual dan pikiran kita memang sangat peka dan mudah dipermainkan
oleh Sang Maya.
|
|
61 |
Dengan
mengendalikan semua organ-organ sensualnya, ia harus duduk secara harmonis dan
menjadikan Aku sebagai Tujuannya yang Terakhir. Seorang yang telah berhasil mengatasi semua organ-organ
sensualnya, akan segera mencapai kesadaran yang tegar. |
Duduk dan bermeditasi dengan teratur, mengendalikan
semua unsur-unsur duniawi kita (organ-organ sensual kita) baik lahir maupun
batin, dan selalu memfokuskan pikiran dan tindak-tanduk kita ke Yang Maha Kuasa
secara konstan akan menghasilkan suatu penerangan Ilahi atau kesadaran Ilahi
yang tegar. Semua ini memerlukan
disiplin pribadi yang kuat dan salah satu cara untuk membentuk disiplin ini
adalah dengan bermeditasi secara tekun.
|
|
62 |
Seandainya
seseorang mengarahkan pikirannya ke arah obyek-obyek sensual, maka ia akan
menghasilkan keterikatan pada obyek-obyek ini.
Dari keterikatan ini timbullah hawa-nafsu. Dari hawa nafsu timbullah rasa amarah. |
Seseorang yang berpikir senantiasa akan hal-hal yang
duniawi akan terikat kepada hal-hal ini, dan sekali terikat akan menjadi
kebiasaan. Dan kebiasaan ini kalau
sekali-kali tak didapatkannya akan menimbulkan rasa-amarahnya, rasa-kesal, dan
memuncak menjadi angkara-murka. Jadi
yang penting bukan saja penyerahan total dari nafsu-nafsu atau berbagai
beinginan kita tetapi juga pikiran-pikiran kita, karena di dalam pikiranlah
sebenarnya terdapat benih atau asal dosa.
|
|
63 |
Dari
marah timbullah angkara-murka, dan keangkara-murkaan akan menghilangkan
akal-sehat, dan dengan hilangnya akal-sehat ini hancurlah daya intelek dan
kesadaran (buddhi) kita, dan dengan
hilangnya buddhi ini maka ia akan
binasa. |
Kalau pikiran sudah kacau maka lupalah kita akan
pengalaman-pengalaman pahit kita yang lampau, karena hilang sudah akal-sehat
kita dan rasio kita porak-pranda jadinya. Lupalah
kita akan hal yang baik dan buruk, dan pada skala besar kalau kita jadi tersesat
karenanya, maka lupalah kita akan tujuan kita lahir ke dunia ini.
Itu berarti binasalah kita secara spiritual.
|
|
64 |
Tetapi
seseorang yang penuh dengan disiplin, yang bergerak di tengah-tengah obyek-obyek
sensual tanpa suatu keterikatan kepada obyek-obyek sensual ini dan dapat
mengendalikan dirinya dengan baik, akan pergi ke suatu kedamaian yang luhur. |
Bhagavat Gita menganjurkan kita semua untuk
mengendalikan (bukan menghentikan), semua organ-organ sensual (indra-indra) kita
dengan mengendalikan jalan pikiran kita melalui suatu proses disiplin.
Ini berarti belajar mengendalikan diri, pikiran dan indra-indra kita. Lari dari kenyataan dunia ini (hal-hal yang bersifat duniawi),
adalah percuma atau sia-sia saja, jadi dianjurkan untuk hidup ditengah-tengah
obyek-obyek duniawi ini dengan mengendalikan diri kita sendiri, maka akan
sampailah kita ke suatu rasa perdamaian atau ketenangan yang luhur.
Rasa perdamaian ini akan timbul dari suatu hati yang penuh dedikasi
kepadaNya semata, hati yang betul-betul luhur dan bersih.
|
|
65 |
Setelah
mencapai kedamaian, maka berakhirlah derita seseorang, dan seorang dengan
kedamaian semacam ini akan segera mencapai keseimbangan yang stabil. |
Bagi yang tak mau atau takut mengendalikan dirinya,
maka jalan ke arah damai atau ketenangan tidak akan pernah terbuka.
Sedangkan bagi yang penuh disiplin, daya-juang dan tekad, yang penuh
dengan kendali, maka mereka ini akan menuju ke arah Yang Maha Esa, dan karena
konsentrasinya ini maka mereka ini akan mencapai tahap berkah Ilahi dalam bentuk
kedamaian yang abadi dan tak tergoyahkan. Dalam
suka dan duka mereka ibarat timbangan yang stabil dan tidak condong menurun ke
satu arah.
|
|
66 |
Untuk
yang tak pernah mengendalikan diri, tak akan ada buddhi, untuk yang tak pernah mengendalikan diri tak akan ada
konsentrasi. Dan kalau tak ada
konsentrasi maka tak akan ada kedamaian, dan kalau seseorang tak memiliki
kedamaian maka bagaimana mungkin ia kan memiliki kebahagiaan? |
67 |
Sewaktu
pikiran mengejar obyek-obyek sensual, maka pergi jugalah prajna (kebijaksanaan,
kesadaran), ibarat arus yang menyeret sebuah perahu di lautan. |
68 |
Jadi,
oh Arjuna, ia yang seluruh indra-indranya telah terkendali dari obyek-obyek
sensual, maka buddhinya telah mencapai
keteguhan. |
69 |
Apa
yang merupakan malam bagi semua insan, bagi seorang yang penuh disiplin
dirasakan sebagai pagi hari. Dan
apa yang merupakan pagi bagi semua insan merupakan malam untuk seorang muni (seorang
yang telah mencapai kesadaran penuh). |
Semua manusia mungkin atau sedang larut dalam
tidurnya Sang Maya, tetapi seroang muni akan tegar terbangun dan bernafas dalam
kesadarannya. Ia acuh saja terhadap
ilusi Sang Maya. Sebaliknya ia akan
tertidur untuk hal-hal yang bersifat duniawi yang bagi manusia pada umunya akan
merupakan kebutuhan yang amat vital, karena mereka mengikuti indra-indra mereka
tanpa kendali. Ia terpejam untuk
duniawi tetapi matanya terbuka selalu ke arah Ilahi dan cinta-kasihNya Yang
Agung, yang tak pernah kunjung habis.
|
|
70 |
Seseorang
yang kemauan-kemauan indranya, ibarat sungai-sungai mengalir ke lautan yang
selamanya tenang-tenang saja menerima aliran-aliran sungai ini . . . orang ini
akan mencapai kedamaian, bukan ia yang memeluk erat-erat nafsu-nafsunya. |
Sungai-sungai mengalir dari berbagai arah ke lautan
yang lepas, tetapi sang lautan tak pernah mengeluh atau goncang karenanya dan
selalu dengan tenang dan tegar menerima semua aliran-aliran air yang telah
tercemar ini, bahkan dikembalikannya dalam bentuk uap yang bersih untuk
dijadikan hujan oleh alam itu sendiri. Begitu
pun pikiran seseorang yang telah tegar jiwa-raganya demi dedikasinya kepada Yang
Maha Esa. Ia akan selalu kuat
menghadapi semua cobaan dan kemauan-kemauan indra-indranya dalam kedamaian yang
abadi.
|
|
71 |
Seseorang
yang melupakan semua keinginannya dan bertindak lepas dari segala hasrat, tanpa
rasa egoisme dan tanpa rasa memiliki apapun . . . ia pergi ke arah damai. |
72 |
Inilah
daerah suci (brahmishiti), oh Arjuna!
Setelah mencapai daerah ini tak ada seorangpun yang kacau pikirannya.
Barangsiapa, bahkan pada detik-detik akhir hayatnya mencapai daerah (kondisi)
ini, maka ia akan pergi ke brahma-nirvana, di mana terdapat Berkah Sang
Ilahi. |
Yang dimaksud dengan daerah ini sebenarnya adalah
kondisi atau status seseorang. Dalam
kondisi atau status yang dimaksud ini seseorang pemuja dan Sang Brahman telah
mencapai suatu kesatuan yang tak dapat dipisahkan lagi.
Seseorang yang telah mencapai kondisi ini akan kehilangan semua ilusi
duniawi dan Sang Atman akan bersinar di dalam dirinya, dan sampailah manusia ini
ke arah sempurna dan kesucian. Bersatu
dengan Yang Maha Esa (Sang Atman) berarti lepas sudah semua kemauan duniawi kita,
dan kalau seseorang dapat bertahan dalam status emacam ini, atau bahkan baru
saja mencapainya, dan langsung berakhir hidupnya di dunia ini, maka ia langsung
akan menuju ke Yang Maha Esa, yang menjadi tujuan akhirnya, dan tak perlu
kembali lagi ke dunia yang penuh dengan penderitaan ini.
|
|
Dalam Upanishad
Bhagavat Gita, Ilmu Pengetahuan Yang Abadi, Karya Sastra Yoga, dialog antara
Sang Krishna dan Arjuna, maka karya ini adalah bab kedua yang disebut:
Sankya Yoga atau Yoga mengenai ilmu pengetahuan \
|
Kembali
ke halaman induk Bhagavat Gita
Kembali ke halaman induk Situs Shanti Griya