BHAGAVATA PURANA

Vinneka Tunggal Eka 

 

BAB   III 

KISAH MAHARAJA AMBARISA

DAN DURVASA MUNI

   (Bagian ke I) 

Tulisan yang satu ini merupakan salah satu rangkaian kisah-kisah yang diambil dari Srimad Bhagavatham. Konon di kisah ini diceritakan secara singkat mengenai sejarah Maharaja Nabhaga dan putranya yang bernama mirip dengan ayahnya yaitu Naabhaaga. Nabhaga adalah putra Sang Manu, manusia pertama. Naabhaaga, cucu Sang Manu ini bertahun-tahun hidup di gurukula yaitu perguruan di zaman lampau yang mendidik para putra raja dengan ilmu kebatinan dan lain sebagainya, sebelum para pangeran ini diangkat jadi raja. Karena terlalu lama belajar di gurukula maka saudara-saudaranya beranggapan bahwa Naabhaaga tidak berhasrat kembali ke kerajaannya, dan tanpa berunding dengan ayah maupun dirinya, mereka membagi-bagi kerajaan di antara mereka sendiri. Suatu saat pangeran Naabhaaga kembali ke kerajaannya dan oleh para saudaranya ia diberitahu akan pembagian warisan ini dan sudah tidak ada apapun lagi di kerajaan yang dapat diwariskan selain ayah mereka yang sudah lanjut usia, jadi sang ayah inilah yang diwariskan kepadanya.

Sang ayah merasa telah terjadi kecurangan diantara putra-putranya dan beliau menitahkan Naabhaaga untuk bertapa di sebuah tempat pemujaan pengorbanan. Naabhaaga dibekali dengan dua buah mantra yang harus dipanjatkan di tempat ini sewaktu diperlukan. Lokasi pengorbanan dan pemujaan yang suci ini dihuni oleh para resi yang dipimpin oleh Resi Angira yang banyak sekali mendapatkan harta dalam bentuk dana-punia yang disumbangkan oleh masyarakat kepadanya. Seluruh harta ini kemudian diwariskan kepada Naabhaaga, tetapi Dewa Shiwa sebagai penunggu di tempat suci tersebut ingin menguji iman sang pangeran ini, ternyata Naabhaaga malahan menyerahkan seluruh harta ini kepada Dewa Shiwa, yang tentu saja sangat memuaskan hati sang dewa yang kemudian mengembalikan seluruh harta ini kepadanya.

Konon Naabhaaga suatu waktu berputrakan Ambarisa, seorang raja yang sangat dashyat kesaktiannya dan juga merupakan pemuja ideal Yang Maha Kuasa, dan sangat terkenal di negaranya. Begitu dashyat kekuasaannya sehingga pada zamannya beliau dianggap raja dunia karena menguasai sebagian besar bumi ini, tetapi sang raja sendiri konon sangatlah sederhana dan rendah hati dan sebagai pemuja Maha-Vishnu beliau selalu beranggapan bahwa semua harta benda dan kekuasaan beliau adalah milik Yang Maha Kuasa, ia secara pribadi tidak ingin terikat dengan segala kebesaran ini. Beliau mengarahkan seluruh aktifitas kehidupan spritualnya ke Yang Maha Esa semata-mata (Yuktah-Vairagya). Beliau bahkan tidak menghasratkan moksha, karena kehidupan bagi beliau adalah kewajiban tanpa pamrih.

Pada suatu hari di keheningan Vrandawana (tempat kelahiran Sang Krishna), sang raja memuja sesuai dengan tradisi upacara Dvadasi, yaitu hari yang jatuh sesudah hari Ekadasi. Pada saat beliau akan berbuka puasa hadirlah seorang resi yang teramat sakti tanpa diundang yang bernama Durvasa Muni. Dengan segala kebesaran dan rasa hormat yang dalam sang resi diterima olehnya dan diajak untuk bersantap bersama, sang resi menerima undangan berbuka puasa ini tetapi memunta waktu sejenak untuk mandi dan membersihkan dirinya di sungai Yamuna di siang hari itu. Konon begitu lamanya sang resi ini berada di sungai tersebut sehingga waktu berbuka puasa hampir lewat dan kalau sang raja tidak berbuka puasa pada saat itu, ia harus berpuasa setahun lagi lamanya. Tentu saja hal ini menimbulkan dilema bagi sang raja dan para resi yang hadir, dan akhirnya diputuskan bersama untuk meneguk sedikit air sebagai simbol berbuka puasa tetapi tanpa menyentuh santapan karena menunggu datangnya kembali Durvasa Muni. Sang resi yang datang terlambat ternyata sangat murka sewaktu menyadari bahwa sang raja telah meneguk air tanpa menunggunya dan menyadari kesalahannya dengan sangat angkuh dan penuh angkara murka ia menciptakan seorang iblis yang menakutkan dari rambutnya.

Sang iblis langsung menyerang sang raja, tetapi Maharaja Ambarisa tidak dapat tersentuh oleh iblis ini karena tiba-tiba entah dari mana muncullah Sudharsana-cakra milik Sang Hyang Maha Vishnu dan menangkis serangan ini. Hancur dan musnahlah sang iblis dalam sekejab, kemudian sang cakra meleset ke arah Durvasa Muni, yang langsung kabur dan terbang ke angkasa karena tidak dapat menahan kedashyatan cakra ini. Dari satu loka ke loka lainnya ia terbang mencari perlindungan para dewa tetapi tidak ada seorang dewapun yang mau menolong resi yang takabur ini, akhirnya ia menyerahkn dirinya ke Sang Hyang Narayana, tetapi Beliaupun menolaknya dan memerintahkan sang resi yang angkuh ini agar meminta maaf langsung ke Maharaja Ambarisa yang masih menunggunya kembali; selama menunggu kembalinya sang resi, sang raja melanjutkan puasanya dan tanpa disadari kurun waktu setahun telah terlampaui. Puasa sang raja yang agung ini dianggap sebagai sebuah yoga tersendiri bagi pemuja Yang Maha Esa khususnya pemuja Vishnu dan Kreshna Vasudewa yang sebenarnya adalah satu. Sloka-sloka di akhir kisah ini akan menyadarkan kita akan keserahkahan dan kesaktian sementara Brahmana yang selalu sema-mena kepada kaum yang berasal dari varna lainnya. Disisi lain Yang Maha Esa itu sendiri sangat berendah hati dalam melindungi umatnya dengan proteksi total. Semoga kisah suci ini bisa menambah wawasan kita dalam mendekatkan diri kita kepadda Tuhan Yang Maha Esa.  

OM.....TAT.....SAT 

 

1.       Sukadewa Goswami bersabda kepada Raja Parikesit  :

“Putra Nabhaga yang bernama Naabhaaga hidup selama bertahun-tahun berguru di kediaman seorang guru spritualnya, sehingga para saudara-saudaranya berpikir ia tidak akan kembali menjalani masa grhastanya. Tanpa banyak berpikir mereka membagi-bagi harta kerajaan diantara mereka sendiri tanpa meninggalkan sisa apapun untuknya. Sewaktu Naabhaaga kembali dari perguruannya, mereka memberikan ayah mereka sebagai pembagiannya.”

2.       Naabhaga memohon, “Wahai para saudara-saudaraku, di manakah hak-hakku akan kekayaan ayahku ?” Dan para kakak-kakaknya menjawab, “Kami telah menyisahkan ayah kami sebagai bagianmu.” Tetapi sewaktu mengunjungi ayahnya dan menceritakan hal tersebut, sang ayah menjawab : “Jangan dikau mendengarkan kata-kata mereka yang penuh dengan berbagai tipu-daya, aku bukan milikmu.”

3.       Ayah Naabhaga berkata : “Keturunan Angira seluruhnya akan segera melakukan sebuah upacara pengorbanan, dan walaupun mereka ini sangat cerdas, tetapi pada setiap hari keenam upacara mereka akan kacau-balau jalan pikirannya dan tidak akan mampu melanjutkan upacara pengorbanan dengan baik dan mereka akan melakukan berbagai kesalahan dalam menunaikan kewajiban mereka sehari-hari.”

4/5.Ayah Naabhaaga melanjutkan : “Pergilah ke para resi yang agung ini dan jabarkan dua mantra Veda yang kuberikan kepadamu ini kepada mereka. Sewaktu mereka selesai dengan upacara pengorbanan mereka (dan tidak kacau lagi pada hari ke enam upacara), maka mereka semua akan pergi ke swargaloka, mereka akan memberikan sisa harta-benda yang mereka terima untuk upacara ini kepadamu. Jadi cepatlah pergi.” Dan Naabhaagapun melaksanakan perintah ayahnya dan berhasil mendapatkan kekayaan yang luar biasa dari para resi-resi ini yang kesemuanya berhasil moksha ke loka-loka lainnya.”

6.       ”Tak lama setelah Naabhaaga menerima kekayaan ini, dari utara datang seseorang yang berkulit hitam-legam dan berkata,”Seluruh harta-benda pengorbanan ini adalah milikku.”

7.       Naabhaaga kemudian berkata, “Semua kekayaan ini adalah milikku, para resi yang agung telah menganugrahkannya kepadaku. Setelah ia selesai dengan ucapannya, pria hitam ini kemudian berkata,”Kalau begitu kita harus pergi ke tempat ayahmu dan memintanya untuk menuntaskan masalah ini,” Dan Naabhaaga pun setuju dengan usul ini.”

8.       Sabda ayah Naabhaga : “Apapun yang telah dipersembahkan oleh para resi agung di arena pengorbanan Daksa-Yajna itu, sebenarnya diperuntukkan bagi Dewa Shiwa, jadi semua persembahan tersebut adalah miliknya semata.”

9.       ”Selanjutnya, dengan penuh rasa hormat dan sembah sujud ke Dewa Shiwa, Naabhaaga berkata : “Wahai Tuhan yang kupuja (Isa), semua di arena itu adalah milikMu. Aku tunduk pada sabda-sabda ayahku. Sekarang penuh rasa hormat, aku bersujud kepadaMu, sudilah mengampuniku.”

10.    Dewa Shiwa bersabda : “Apapun yang telah dikatakan oleh ayahmu adalah benar, dan yang dikau katakan pun adalah kebenaran yang sama. Oleh karena itu, Aku yang memahami mantra-mantra Veda-Veda, akan menjabarkan ilmu pengetahuan transendental (mistik/spritual) kepadamu.”

11.    ”Dewa Shiwa bersabda : “Sekarang dikau boleh mendapatkan semua sisa harta-benda pengorbanan ini, karena kuanugrahkan kepadamu.” Setelah berkata demikian, Dewa Shiwa, yang teramat sakti ini dan sangat taat pada ajaran dharma (dharma-vatsalah) sirna dari tempat tersebut.”

12.    ”Seandainya seseorang mendengar dan mengulang atau mengingat sloka-sloka di atas setiap pagi dan petang penuh dengan perhatian, maka orang tersebut pasti akan berubah menjadi terpelajar, penuh dengan pengertian akan ajaran Veda, dan tangkas dalam mendapatkan kesadaran tentang Sang Jati Diri.”

13.    ”Dari Nabhaagaa lahirlah Maharaja Ambarisa. Maharaja Ambarisa dikenal sebagai seorang pemuja yang dihormati sekali oleh para resi dan rakyatnya, beliau dipuja-puji karena berbagai kebajikan dan bakti beliau baik kepada masyarakat maupun kepada Tuhan Yang Maha Esa. Walaupun ia dikutuk oleh seorang brahmana sakti, ternyata kutukan tersebut tidak mampu menyentuhnya.”

14.    ”Raja Parikesit bertanya : “Wahai resi yang mulai, Maharaja Ambarisa adalah seorang yang terhormat dan penuh dengan kebajikan. Kami ingin tahu lebih banyak tentang beliau. Sangat menakjubkan bahwa kutukkan dari brahmana yang sedemikian dashyat kesaktiannya tidak mampu menyentuhnya.”

Keterangan : Seluruh kisah-kisah di Srimad Bhagavatam ini, sebenarnya adalah dialog antara Resi Goswami dan Parikesit. Dan di dalam dialog ini termuat anak kisah dari berbagai dialog yang saling berkesinambungan. Harap para pembaca tidak bingung karenanya.

15/16.Resi Sukadewa Goswani berucap : “Maharaja Ambarisa adalah seorang yang amat beruntung, beliau menguasai seluruh dunia yang terdiri dari 7 benua (sapta-dvipa-vatim) dan sang maharaja ini telah mencapai status yang tak terkalahkan dan memiliki kekuasaan yang tak terbatas dan kemakmuran yang amat sangat di atas muka bumi ini. Walaupun status semacam ini sulit dicapai oleh seorang manusia, Maharaja Ambarisa sebaliknya tidak pernah mengacuhkan semua itu, karena beliau sadar semua kemegahan ini bersifat ilusi duniawi dan serba materi, dan suatu saat pasti akan hancur. Sang maharaja sadar sekali bahwa semua itu merupakan godaan yang dapat menyeretnya ke sidhi (dunia kegelapan yang penuh dengan kesaktian dan kemakmuran).”

17.    ”Maharaja Ambarisa adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa, yaitu Vasudewa, dan berada dalam jajaran para kaum suci yang memuja Yang Maha Esa. Karena baktinya yang sedemikian kuat beliau beranggapan bahwa seisi alam semesta ini ibaratnya hanya sebuah batu biasa.” 

18/19/20.”Maharaja Ambarisa dalam semadinya selalu berfokus ke telapak kaki padma Sang Krishna, beliau selalu memuja-muji Keagungan Yang Maha Esa, tangan beliau secara pribadi selalu membersihkan berbagai tempat pemujaan Yang Maha Esa. Telinganya selalu mendengarkan sabda-sabda Sang Krishna atau hal-hal mengenai Sang Krishna. Beliau sangat memperhatikan tempat-tempat ibadah Sang Krishna seperti Mathura dan Vrandavana. Beliau juga selalu menyentuh dengan penuh hormat kaki semua bakta Sang Krishna, dan penciuman hidungnya selalu diarahkan ke daun-daun Tulasi yang dipersembahkan kepada Yang Maha Esa, dan lidahnya selalu menikmati berbagai prashadam bagi Yang Maha esa. Kedua kaki beliau selalu digerakkan dan diarahkan ke tempat-tempat suci Yang Maha Esa, dan selama 24 jam sehari-harinya beliau bersujud dan memuja Tuhan Yang Maha Esa sambil memasrahkan secara total seluruh hasrat-hasrat duniawinya kepada Sang Krishna Vasudewa. Sebenar-benarnya beliau tidak pernah menghasratkan sesuatu bagi kenikmatan indra-indranya secara pribadi. Seluruh indra-indra di tubuhnya diarahkan demi pengabdiannya kepada Tuhan Yang Maha Esa melalui berbagai bakti beliau. Inilah cara (upaya) demi merapat lebih erat dengan Tuhan Yang Maha Esa dan secara total menjauhi berbagai hasrat duniawi.”

21.    ”Dalam melaksanakan tugas-tugas sehari-harinya sebagai raja, Maharaja Ambarisa selalu mempasrahkan hasil dari berbagai pelaksanaannya kepada Yang Maha Esa, yang adalah penikmat dan penentu semua tindakan-tindakannya dan begitu juga Yang Maha Esa adalah juga penentu hasil dari semua tindakan yang jauh dari persepsi duniawi ini. Beliau selalu meminta berbagai pendapat dan nasehat dari para brahmana yang berbakti kepada Yang Maha Esa secara amat setia, dengan demikian beliau menguasai planet bumi ini tanpa kesulitan.”

22.    ”Di negara-negara yang bergurun pasir di mana sungai Sarasvati mengalir, Maharaja Ambarisa telah melaksanakan berbagai upacara pengorbanan seperti Asvamedha-yagna dan telah memuaskan Yang Maha Esa, Penguasa Utama seluruh yagna (Yajna). Berbagai upacara ini dilaksanakan penuh dengan perhatian dan memenuhi semua syarat-syarat yang diperlukan dan lengkap dengan berbagai daksina bagi para brahmana yang hadir dan berpartisipasi, yang dipimpin oleh Resi Vasistha, Asita, dan Gautama, yang mewakili Sang Raja, pelaksana berbagai upacara suci ini.”

Keterangan : Negara-negara yang bergurun pasir bisa diartikan berbagai negara bagian di India kini, tetapi juga bisa berarti jazirah Timur-Tengah di mana pada zaman tersebut sungai Sarasvati pernah mengalir dan berujung di teluk Arabia. Konon orang-orang di Timur-Tengah baik yang keturunan Yahudi dan Arab atau Palestina dipercayai oleh masyarakat India sebagai keturunan mereka (keturunan wangsa Bharata pada zaman dahulu kala). Yesus Kristus sangat dihormati di India karena dianggap sepertiga turunan Arya-India, dan tiga orang Majus yang menghadapnya dengan ratna mutu manikam sewaktu Beliau lahir adalah sebagian dari utusan para resi dari India; dari sekitar puluhan utusan hanya tiga orang saja yang mampu menghadiri kelahiran sang Kristus.

Menurut versi India, Kristus pada usia 12 tahun diajak ke India dan kembali sebagai seorang resi-yogi yang brahmacari pada usia sekitar 32 tahun, Beliau juga bersifat vegetarian, ahimsa dan memuja Yang Maha Esa (Isa), dan mengajarkan kembali inti Hindhu-Dharma kepada kaum Yahudi yang tidak mau menerima ajaran ini. Akhirnya beliau disalib, dan diselamatkan oleh ketiga resi tersebut dan dibawa kembali ke India dan meninggal dunia pada usia yang sangat tua di suatu tempat di Kashmir, konon kuburan Beliau dan turunan Beliau masih eksis sampai saat ini di lokasi tersebut. Demikian versi India ini. Konon itulah sebabnya Beliau bernama Isa, karena Beliau adalah pemuja Isa.

23.    ”Pengorbanan (Yajna) yang diselenggarakan oleh Maharaja Ambarisa ini dihadiri oleh para anggota dewan negara dan para pendeta yang terdiri dari berbagai golongan yang kesemuanya mengenakan jubah-jubah kebesaran, mereka semua terkesan mirip para dewa. Dengan mata yang bersinar-sinar mereka menyaksikan dengan penuh perhatian penyelenggaraan yajna ini.”

24.    ”Penduduk di kerajaan Maharaja Ambarisa sudah terbiasa dengan berbagai aktifitas dan puja-puji spritual yang ditujukan kepada Tuhan Yang Maha Esa, para penduduk ini ikut melakukan berbagai upacara ini tanpa mengharap sedikitpun agar dapat moksha atau pergi ke berbagai swarga-loka, walaupun mereka juga sadar bahwa loka-loka ini menjadi dambaan para dewa sekalipun.”

25.    ”Mereka-mereka yang telah larut dalam kebahagian transendental dengan berbakti kepada Yang Maha Esa tidak tertarik akan kesaktian dan berbagai kedashyatan para kaum mistik, karena mereka sadar bahwa faktor tersebut adalah halangan bagi pencapaian karunia sejati Yang Maha Esa yang dapat dirasakan di dalam hati sanubari seorang pemuja yang senantiasa berpikir akan Yang Maha Esa dan memujaNya dari bagian relung kalbunya yang paling dalam.”

26.    ”Maharaja Ambarisa sebagai penguasa planet bumi ini, khusus demi upacara ini melaksanakannya penuh bakti dan berupawasa (tapa-brata dan berpuasa) yang sangat berat dan penuh disiplin. Dengan senantiasa berpikir untuk memuaskan Yang Maha Esa sewaktu melaksanakan bakti spritualnya, beliau mengesampingkan seluruh nafsu-nafsu duniawinya secara bertahap.”

27.    ”Maharaja Ambarisa menanggalkan semua ikatan-ikatan kekeluargaannya termasuk dengan para istri, putra-putri, teman-teman dan handai-taulan, bahkan dengan hewan-hewan peliharaan yang teramat prima seperti koleksi gajah dan kuda, kereta-kereta perang dan emas permata, berbagai perhiasan, jubah-jubah yang mewah dan harta benda yang serba gemerlapan ditinggalkan semua, karena beliau beranggapan semua ini sebagai tidak abadi dan bersifat materi duniawi belaka.”

28.    ”Tuhan Yang Maha Esa (Hari) yang teramat puas dan bahagia akan bakti yang teramat tekun dan penuh dedikasi ini menganugerahkan cakraNya kepada sang maharaja, agar beliau selalu terhindar dari segala mara-bahaya dan serangan-serangan para musuhnya.”

Keterangan : Umumnya para pemuja atau bakta Yang Maha Esa terkesan selalu lemah-lembut, penakut, mengalah dan sebagainya, karena mereka-mereka ini selain bersikap sangat pasrah juga bersifat ahimsa, apalagi yang sadar bahwa Sang Atman hadir di dalam segala mahluk hidup, tidak akan menyakiti seseorang walaupun disakiti olehnya.

Para mahluk jahat, asura dan manusia-manusia yang penuh dengan kebatilan selalu ingin mempersulit para pemuja yang lemah-lembut ini dengan berbagai cara dan alasan. Tetapi tanpa disadari para pemujaNya, Yang Maha Kuasa (Hari) selalu menjaga para bakta-baktaNya dengan cara-cara yang penuh dengan keajaiban, sering sekali di luar nalar manusiawi kita. Sang Maharaja yang mendapatkan anugrah Cakram ini sebenarnya sama sekali tidak menyadari akan fungsi dan keampuhan cakra ini karena beliau ini sudah jauh dari sidhi dan pamrih.

29.    ”Maharaja Ambarisa yang berhasrat memuja Sri Krishna Vasudewa, beserta istri (permasuri)nya yang tidak kalah imannya dari sang suami, beritikad untuk melakukan tapa-brata Ekadasi dan Dvadasi dengan berpuasa selama setahun penuh.”

Keterangan : Hanya pria yang beruntung saja yang bisa mendapatkan istri yang sama imannya, begitupun hanya seorang istri yang beruntung mendapatkan pasangan suami yang beriman sama karena hal ini amatlah langkah di dunia yang serba materi ini. Masyarakat Hindhu India percaya bahwa dengan berpuasa setahun penuh, khusus untuk hari-hari yang disebut di atas dapat membahagiakan dan memuaskan Sang Kresna Vasudewa. Biasanya setelah selesai dengan upacara ini seseorang akan memasuki kehidupan Vanaprastanya.

30.    ”Pada bulan Kartika, setelah menjalankan tapa-bratanya selama setahun, dan berpuasa selama tiga hari selanjutnya, dan setelah bersiram diri di sungai Yamuna, Maharaja Ambarisa memuja Sang Hari, Tuhan Yang Maha Penyayang, di suatu lokasi yang disebut Madhuvana.”

31/32.”Maharaja Ambarisa melaksanakan upacara pemandian Arca Sang Krishna Vasudewa (Maha-bisheka) sesuai dengan kaidah-kaidah yang berlaku dengan segala ragam tata upacara yang seharusnya, kemudian beliau mengenakan kepada arca tersebut berbagai pakaian kebesaran, perhiasan, kalungan-kalungan bunga yang serba bermutu prima. Dengan seksama dan penuh bakti, beliau memuja Sri Krishna dan juga menghaturkan puja bagi semua brahmana yang berbahagia yang lepas dari berbagai nafsu duniawi.”

33/34/35.”Selanjutnya Maharaja Ambarisa memuaskan hati semua tamu yang hadir dengan berbagai sesajian dan lain sebagainya, khususnya para brahmana yang hadir mendapatkan perhatian yang penuh dan teramat khusus. Beliau menyumbangkan 60 kror (600 juta) ekor sapi yang masing-masing tanduknya berlapiskan emas dan bagian lehernya berkalungkan perhiasan yang berlapisan perak. Semua sapi-sapi ini berhiaskan kain dan disertai kantung-kantung susu yang penuh. Semua sapi-sapi ini nampak sangat jinak, berusia muda dan sangat menawan dan disertai oleh anak-anak sapi mereka. Setelah mempersembahkan sapi-sapi ini, sang raja secara penuh perhatian mempersembahkan santapan bagi semua brahmana yang hadir, dan setelah mereka semua telah terpuaskan, maka dengan izin mereka Sang Raja lalu memutuskan untuk mengakhiri puasa Ekadasinya. Dan tepat pada saat itu, hadir seorang resi agung dan teramat sakti mandraguna, tanpa diundang.”

Keterangan : Di dalam Hindhu-dharma sebenarnya ada peraturan yang tidak memperbolehkan seseorang untuk menghadiri upacara orang lain termasuk sanak-saudara tanpa diundang, hanya upacara kematian saja yang merupakan kekecualian, karena pada upacara kematian umat Hindhu Dharma di India tidak mengundang siapapun; adalah kewajiban para handai-taulan untuk datang sendiri dan bergotong-royong membantu keluarga yang meninggal dunia. Di Bali saat ini sering terlihat dan dibagi-bagikan kartu undangan yang mewah untuk upacara ngaben padahal undangan tersebut sama sekali tidak sesuai dengan ajaran Veda-Veda, juga tidak tertera di lontar, ataupun Shastra Vidhi lainnya yang bernuansakan Hindhu Dharma.

36.    ”Setelah berdiri dari tempat duduknya dan menerima Durvasa Muni, Raja Ambarisa mempersilakan sang resi untuk duduk bersama, kemudian sang resi dihormati seperti layaknya menghormati seorang resi yang agung. Setelah menyentuh kedua telapak kaki sang resi, Maharaja Ambarisa mempersilakan beliau untuk berbuka puasa secara bersama-sama.”

37.    ”Dengan senang hati Durwasa Muni menerima ajakan bersantap bersama ini, tetapi beliau meminta waktu agar dapat melakukan ritual kebiasaannya dahulu. Di sungai Yamuna yang airnya dianggap sangat suci dan ia bersemadi ke arah Sang Brahman (brhad-dhyana).”

Keterangan : Sang resi bermeditasi untuk waktu yang agak lama dan mungkin lupa bahwa sang raja sedang menunggunya dengan penuh kerisauan karena waktu berbuka sudah hampir berlalu, dan kalau batal berbuka pada saat tersebut sang raja harus berpuasa satu tahun lagi.

38.  ”Sementara itu hanya sedikit sesajen upacara hari Dvadasi yang tersisa untuk berbuka puasa. Sehingga mau tidak mau sang raja harus cepat-cepat berbuka puasa. Dalam situasi yang teramat kritis ini, sang raja memohon nasehat dari para brahmana yang hadir.”

39/40.Sang raja berkata : “Adalah suatu pelanggaran yang berat seandainya kami tidak menghormati para brahmana. Dan pada saat yang sama seandainya tidak segera berbuka puasa berarti janji puasa kami selama kurun waktu setahun akan terlanggar. Oleh sebab itu wahai brahmana seandainya anda semua beranggapan bahwa adalah suatu tindakan yang suci dan tidak melanggar kaedah-kaedah agama, perkenankan kami berbuka puasa dengan meneguk air. Dengan cara ini, setelah mendapatkan masukan dari para brahmana, sang raja meneguk sedikit air, yang menurut para brahmana ini, tidak dianggap menyantap ataupun tidak menyantap sesuatu.”

41.    ”Wahai yang terbaik, di antara jajaran dinasti Kuru, setelah meneguk sedikit air, Raja Ambarisa bersemedi dengan menunjukan pikirannya ke arah Tuhan Yang Maha Esa yang bersemayam di dalam relung hatinya, sambil menunggu kembalinya resi Durvasa Muni.”

42.    ”Setelah menyelesaikan berbagai upacara ritual siang hari, Resi Durvasa meninggalkan tepian sungai Yamuna. Sang raja menyambutnya dengan baik, penuh segala kehormatan, namun Durvasa Muni, melalui kesaktiannya memahami bahwa Raja Ambarisa telah berbuka puasa dengan meneguk air tanpa seizin sang resi.”

43.    ”Durvasa Muni yang masih dalam keadaan lapar, dan bergetar tubuhnya, dengan kedua alisnya yang terangkat akibat geramnya, murka sekali kepada sang raja yang berdiri di depannya dengan kedua tangan yang terkatub.”

44.    ”Aduh, coba lihat kelakuan orang jahat ini ! Ia bukan pemuja dewa Vishnu. Karena merasa sombong akan kekayaan dan kedudukannya, ia merasa dirinya seakan-akan telah menjadi Tuhan itu sendiri. Coba perhatikan bagaimana ia telah melanggar peraturan-peraturan agama.”

45.    ”Maharaja Ambarisa, dikau telah mengundangku sebagai seorang tamu untuk bersantap, tetapi dikau telah bersantap lebih dahulu. Oleh karena ulahmu ini, akan kuperlihatkan sesuatu untuk menghukummu.”

46.    ”Pada saat Durvasa Muni berkata demikian wajahnya memerah penuh rasa angkara-murka. Ia mencabut sejumput rambut dari kepalanya, dan menciptakan seorang iblis yang mirip api yang berkobar-kobar secara dashyat untuk menghukum Maharaja Ambarisa.”

47.    ”Bersenjatakan sejenis trisula dan menggetarkan permukaan bumi ini dengan langkah-langkah kakinya, mahluk api ini mendekati Maharaja Ambarisa. Namun sang raja tidak merasa terganggu oleh kehadiran mahluk ini dan tidak beranjak sedikitpun dari tempat ia berdiri.”

48.   ”Ibarat api di hutan yang membakar habis ular yang marah menjadi abu, dengan perintah Yang Maha Kuasa, maka Sudharsana Cakra milik Sang Hyang Vishnu pun tiba-tiba muncul dan memusnahkan iblis tersebut menjadi abu dalam sekejab. Demikian ini cara Beliau menjaga para pemuja-pemujaNya.”

49.    ”Menyaksikan kegagalannya, dan nampak bahwa Cakra Sudharsana sedang menuju ke arahnya, Durvasa Muni menjadi sangat ketakutan dan mencoba berlari ke segala arah demi menyelamatkan hidupnya.”

50.    ”Ibarat api di hutan yang mengejar seekor ular, cakra Yang Maha Esa ini pun mengejar terus Durvasa Muni ke arah manapun ia berlari. Durvasa Muni melihat bahwa cakra ini hampir-hampir saja membelah punggungnya, ia langsung saja lari dan masuk ke sebuah gua yang terdapat di gunung Sumeru.”

51.    ”Namun Sang Cakra mengejarnya ke manapun ia bergerak baik itu di langit, atau di darat, baik itu di dalam berbagai gua atau di dalam samudera, bahkan resi ini dikejar terus sewaktu ia terbang ke berbagai loka-loka dan planet-planet di alam semesta ini. Kemanapun ia pergi (terbang) ia akan selalu tersusul oleh api Sudharsana Cakra yang tak tertahankan baranya ini.”

52.    ”Dengan penuh rasa ketakutan, Durvasa Muni pergi kesana kemari mencari perlindungan, tetapi sia-sia saja, dan akhirnya ia terbang  ke Brahma-Loka dan mengharap ke dewa Brahma. “Wahai Dewataku, wahai dewa Brahma, mohon kami dilindungi dari kobaran api Sudharsana Cakra yang dikirimkan oleh Yang Maha Esa ini.”

53/54.”Dewa Brahmapun bersabda : “Pada saat dwi-parardha, sewaktu seluruh ciptaan masa lalu selesai siklusnya, maka Dewa Vishnu, dengan sebuah kerlingan bulu-bulu matanya akan melenyapkan seisi alam semesta ini (kiamat,pralaya) termasuk di dalamnya itu brahma-loka tempat kediaman kami ini. Dewa-dewa jajaran kami ini, seperti Dewa Shiwa, juga para Daksa, Berghu dan berbagai orang-orang suci dan penguasa-penguasa berbagai bentuk kehidupan, manusia-manusia, dan para dewa-dewi......kami semua tunduk menyerahkan diri kami semua ini kepada Dewa Vishnu yang adalah pengejawantahan dari Yang Maha Esa itu sendiri. Sambil menundukkan kepala kami, kami bersujud demi melaksanakan segala perintah-perintahNya demi kepentingan semua bentuk kehidupan di alam semesta ini.”

55.    ”Sewaktu Durwasa yang kepanasan oleh api Sudharsana Cakra ini ditolak oleh Dewa Brahma, ia langsung terbang ke bersemayamnya Dewa Shiwa di Kailasa  memohon bantuan.”

56.    Namun Dewa Shiwa, “bersabda,” “Wahai anakku, kami dan Dewa Brahma dan jajaran dewa-dewi lainnya, bergerak melingkar di dalam alam semesta ini di bawah kebesaran kami yang merupakan sebuah konsep (spritual) yang salah, karena kami semua sebenarnya tidak memiliki kesaktian apapun juga untuk melawan Kekuasaan Yang Maha Esa, karena tidak terhitung jumlahnya alam-alam semesta yang telah diciptakanNya dan yang telah dimusnahkanNya dengan sedikit arahanNya saja.”

Keterangan : Banyak pemuja beranggapan bahwa Tuhan itu adalah para dewa-dewi seperti Brahma, Vishnu, Shiwa, Laxmi, Durga, Saraswati, Ganeshya dan lain sebagainya tanpa mau menyadari bahwa jajaran para dewa-dewi ini adalah simbol dan medium dari Yang Maha Kuasa. Di Bhagavat-Gita, Sri Krishna dengan jelas dan tegas menjabarkan fenomena-fenomena ini. Sebenarnya hakikat dari Hindhu (Sanatana-dharma) adalah pemujaan kepada Yang Maha Kuasa, pada saat yang sama bagi para pemuja yang masih duniawi sifatnya tersedia medium-medium lain. Manusia cenderung melupakan hakikat akan keberadaannya di bumi ini, dan lupa akan Sang Atman yang hadir di dalam tubuh kita ini. Seharusnya kita sadar bahwa raga adalah sebuah kuil yang suci dan harus selalu kita sucikan agar Sang Atman betah diam di astana ini, bukannya dikotori dengan berbagai kekotoran duniawi termasuk makan-minum yang tidak satvik dan sebagainya.

57/58.”Masa lalu, masa kini dan masa yang akan datang dapat kufahami (demikian sabda dewa Shiwa), dan juga oleh para Sanatkumara, Narada, yang maha terhormat Dewa Brahma, Kapila (putra Dewahuti), Apantaratama (Vyasadewa), Dewala, Yamaraja, Asuri, Marici dan berbagai orang-orang suci yang dipimpinnya, juga oleh mereka-mereka yang telah mendapatkan anugrah keabadian. Namun begitu, karena kami semua terbungkus oleh kekuatan ilusi Yang Maha Kuasa, maka kami semua tidak bisa memahami akan Kebesaran dan Keagungan dari Zat (energi) ini. Anda sebenarnya langsung saja ke Beliau Yang Maha Kuasa agar mendapatkan pembebasan, karena Sudharsana Cakra ini tidak tertahankan bahkan oleh kami. Pergilah langsung ke Dewa Vishnu, Beliau pasti akan melindungi dan mengayomimu.”

Keterangan : Sudharsana Cakra jangan diartikan secara harafiah sebagai suatu senjata yang dashyat, tetapi kata cakra itu sendiri bisa berarti secara simbolis, yaitu hukum karma, dan dalam skala besar bisa berarti juga hukum reinkarnasi. Kata Sudharsana berasal dari kata akar Sudhar (sadar, kesadaran).

Hanya dengan menghayati kata-kata ini saja mungkin kita bisa lebih sadar lagi akan hakikat Yang Maha Esa, demikian yang tersirat dari wejangan Dewa Shiwa bagi Durwasa Muni dan bagi kita semua. Kalau saja para dewa-dewi yang teramat agung ini saja masih diliputi oleh materi duniawi apalagi kita manusia yang bodoh ini ? Dewa Vishnu yang dimaksudkan di atas adalah Maha Vishnu (Narayana) yang bersemayam di Vaikuntha-loka. 

60.    ”Selanjutnya kecewa karena ditolak oleh dewa Shiwa, terbanglah Durwasa Muni ke Vaikuntha-loka (Vaikuntha-dharma) dimana bersemayam Yang Maha Esa dalam wujud Maha Vishnu yaitu Narayana, didampingi oleh Laksmi (Laxmi), saktinya yang berwujud Dewi Kemakmuran.”

61.    ”Durwasa Muni, resi yang sakti mandraguna ini, lemas karena terbakar oleh bara api Sudharsana Cakra, jatuhlah ia di kedua telapak kaki Hyang Narayana. Seluruh tubuhnya gemetar, ia mengatakan : “Wahai Dikau Yang Maha Kuasa, Yang Tak terbatas, Pengayom seisi alam semesta ini, hanya Dikau semata yang menjadi tujuan semua pemuja. Daku adalah penyandang dosa yang terbesar, Tuhanku, mohon kami dilindungi olehMu.”

Keterangan : Hyang Narayana adalah wujud Yang Maha Kuasa dalam bentuk Maha Vishnu Yang Maha Pengayom dan Pengasih. Sarguna Brahman adalah wujud Tuhan yang nampak dan bermanifestasi, sedangkan Nirguna Brahman adalah Tuhan yang tidak terterangkan dan tidak berwujud. Hyang Narayana adalah bentuk Sarguna Brahman.

62.    ”Wahai Tuhanku, Yang Maha Pengendali, tanpa kusadari akan keagunganMu yang tak terbatas, daku telah berbuat dosa terhadap pemujaMu yang teramat Dikau kasihi. Dikau adalah Maha Pelaksana, walau seseorang harus masuk ke Neraka, dapat Dikau selamatkan hanya karena orang tersebut mengingat namaMu di dalam hatinya.”

Keterangan : Suatu waktu dikisahkan di Srimad Bhagavatham, hidup seorang turunan brahmana yang bergelimangan dosa. Orang tersebut mempunyai seorang putra yang diberi nama Narayana. Tepat pada saat sang brahmana ini meninggal dunia ia memanggil sang putra, tetapi yang datang malahan para utusan Hyang Narayana dan mereka lalu menyelamatkan sang brahmana ini dari tangan para malaikat maut utusan Dewa Yamaraja. Episode yang memikat ini mengingatkan kepada kita semua bahwasanya begitu agung dan sucinya Nama Yang Maha Esa sehingga hanya dengan menyebutNya saja kita bisa diselamatkan dari mara-bahaya, apalagi kalau diresapi hakikatNya yang agung.

63.    Hyang Narayana, Yang Maha Esa bersabda kepada resi Durvasa Muni : “Daku ini secara keseluruhan berada di bawah kendali para pemuja-pemujaKu. Daku sebenarnya tidak bisa bebas dari pemuja-pemujaKu. Karena semua pemuja-pemujaKu ini telah bebas dari berbagai hasrat-hasrat duniawi mereka, Daku bersemayam di setiap hati para pemuja-pemujaKu. Bagaimana daku harus menggambarkan kebesaran para pemuja-pemujaKu ini, mereka-mereka yang bahkan adalah pemuja dari pemujaKu adalah kesayanganKu juga.”

Keterangan : Betapa tersentuhnya hati ini membaca sabda-sabda yang begitu rendah diri yang keluar langsung dari bibir Hyang Narayana itu sendiri. Begitu besar dan agung KasihNya kepada para pemuja-pemujaNya sehingga Beliau mengibaratkan para pemuja sebagai tuan dan Beliau sendiri sebagai hamba dari para pemuja ini.

Dengan kata lain, tanpa para pemuja Tuhan itu tidak “eksis” di dunia ini dan tidak dipuja maupun diajarkan KeberadaanNya kepada umat manusia, seakan-akan Hyang Narayana ingin mengatakan betapa berutang budiNya Beliau kepada para resi, nabi, utusan Tuhan dan para pemuja yang senantiasa memujaNya dan menyebarkan dharma kepada sesama umat manusia. Kalau Hyang Narayana sebagai manifestasi tertinggi saja sudah merendah sedemikian rupa maka seharusnya mereka-mereka yang mengaku brahmana atau utusan Tuhan harus lebih rendah diri lagi dan tidak mempergunakan pengaruh dan status mereka untuk membohongi para pemuja dharma.    

64.    ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana, tanpa mereka-mereka yang suci yang telah menjadikan Daku tujuan mereka satu-satunya. Daku tidak berminat untuk menyandang dan menikmati KeEsaanKu dan KeagunganKu Yang Transendental ini.”

65.    ”Karena para pemuja ini meninggalkan rumah-rumah, istri-istri, anak-anak, keluarga, kekayaan dan bahkan kehidupan mereka demi pengabdian kepadaKu, dengan tanpa pamrih dan hasrat-hasrat duniawi ini maupun demi kehidupan-kehidupan mendatang, maka bagaimana mungkin Daku dapat meninggalkan (mengabaikan) para pemuja-pemujaKu. (Setiap saat Daku menjaga dan memperhatikan para pemuja-pemujaKu).”

66.    ”Ibarat para istri yang setia yang mengendalikan suami mereka dengan bakti para istri ini, demikian juga halnya dengan para pemujaKu yang tulus dan murni, yang berderajat sama dengan semua insan yang secara total tertambat di dalam relung KalbuKu yang terdalam, dan menjadikan Daku berada di bawah kendali mereka secara penuh.”

67.    ”Para pemuja-pemujaKu, yang senantiasa puas dengan berbakti kepadaKu dengan penuh rasa kasih-sayang, tidak akan tertarik akan empat prinsip kebebasan (yaitu : salokya, sarupya, samipya dan sarsti), walaupun (sebenarnya) mereka secara langsung mendapatkan status-status ini akibat dari pemujaan dan bakti mereka. Apalagi terhadap hal-hal yang tidak bersifat abadi dan kebahagiaan semu yang terdapat di berbagai loka-loka (sorga-sorga) tersebut.”

Keterangan : Banyak sekali manusia yang memuja Yang Maha Esa dengan mengharapkan mukti atau moksha atau penyatuan denganNya. Faktor ini menunjukkan masih tersirat rasa pamrih di dalam pemujaan tersebut. Tetapi mereka-mereka yang tulus dan murni memuja Yang Maha esa karena kewajiban yang dilandasi oleh kesadaran semata, padahal mereka juga sadar bahwa sorga-sorga tersebut bisa mereka dapatkan melalui pemujaan mereka itu, tetapi mereka tidak acuh sama sekali karena semua loka atau sorga ini tidak abadi sifatnya, penjelmaan sebagai manusia adalah suatu anugrah yang luar biasa yang seharusnya jangan disia-siakan, sorga-sorga dan moksha sebenarnya tidak menjanjikan apapun juga; kecuali keterikatan baru.

68.    ”Para pemujaKu yang sejati selalu berada di dalam relung kalbuKu yang paling dalam, dan Daku selalu berada di dalam hati mereka. Para pemuja-pemujaKu tidak mengenal yang lain-lainnya kecuali Aku, dan Aku tidak mengenal yang lain-lainnya selain mereka ini.”

Keterangan : Alangkah berbahagianya secara spritual para pemuja yang sejati yang selalu terhubungkan secara mistis dan gaib kepadaNya. Apalagi beliau ini hadir dan menuntun secara langsung para pemuja-pemujaNya ini dari kedalaman hati mereka. Itulah sebabnya para manusia awam tidak bisa memahami peri-laku para nabi, utusan Tuhan, dan para pemuja-pemuja sejati dari berbagai agama dan penghayatan, karena pola pemikiran mereka di atas normal dan rasio/logika duniawi yang serba materialistis ini. Mereka sering dianggap kurang waras, kurang ajar ataupun gila dan ibarat fakir-miskin dan sebagainya. Padahal seluruh sastra Smritis dan Srutis turun dari orang-orang atau insan-insan agung semacam ini. Mereka baru diakui setelah mereka sudah tidak eksis di dunia ini, mereka baru disanjung-sanjung dan disucikan setelah tiada.

69.    ”Wahai brahmana, Kunasehatkan kepadamu demi kebaikanmu sendiri. Dengarkan kata-kataku ini. Dengan melukai hati Maharaja Ambarisa, dikau telah bertindak secara egois. Oleh sebab itu dikau harus segera menemuinya tanpa membuang-buang waktu sedetikpun. Seseorang masuk ke dalam kawasan bencana begitu ia melawan (menghujat) seorang pemuja (Ku). Demikianlah, subjek itu lalu terimbas oleh bencana bukan yang dituju (objek).

70.    ”Bagi seorang brahmana, kesucian berbakti dan memuja dan mempelajari ilmu pengetahuan adalah tindakan-tindakan yang menyucikan, tetapi seandainya semua ini didapatkan oleh seseorang yang berperi-laku kasar, maka semua kesucian dan ilmu pengetahuan ini lalu berubah menjadi sangat berbahaya.”

Keterangan : Ingat dan perhatikan selalu, bahwa semua ilmu pengetahuan dan yoga, berbagai pelaksanaan spritual dan tapa-brata bisa berubah menjadi kesaktian yang menyesatkan (sidhi) kalau sipemuja tercemar oleh ego, ahankara (angkara), iri hati dan sebagainya. Semua mantra di Veda-Veda dapat berubah menjadi jalan kegelapan (black-magic) kalau disalah-gunakan. Satu contoh : lambang Swastika oleh Nazi dan Hitler dibalik, diwarnai hitam dan dipuja, hasilnya Ganeshya dalam bentuk kebatilan yang muncul (yaitu salah satu istrinya yang berupa wujud iblis, satu lagi istrinya adalah lambang dharma, Swastikanya adalah merah dan mengarah ke arah kanan, Ganeshya sendiri berlambang Swastika merah atau emas dengan dua garis tambahan di sisi kiri dan dua garis tambahan di sisi kanan yang melambangkan bahwa ilmu-pengetahuan itu ada dua jenis yang bersifat dharma dan adharma, Ganeshya memiliki kedua-duanya, anda mau memilih dan memuja yang mana?)

71.    ”Wahai dikau yang terbaik diantara para brahmana, dikau harus segera pergi ke Raja Ambarisa, putra Maharaja Naabhaaga. Semoga dikau mendapatkan semua karunia. Seandainya dikau dapat memuaskan hati Maharaja Ambarisa, maka pasti kedamaian akan datang beserta kepadamu.” 

Dengan ini berakhirlah bab suci yang disebut : “Penghujatan kepada Maharaja Ambarisa oleh Durvasa Muni.”

Bagian ke II

Kisah Maharaja Ambarisa dan Durwasa Muni

Di dalam bagian ini diterangkan bahwasanya Maharaja Ambarisa melakukan puja kepada Sudharsana Cakra dan Sang Hyang Cakra ini selanjutnya memaafkan Durvasa Muni (yang langsung saja terbang kembali ke istana Maharaja Ambarisa setelah diperitahkan oleh Sang Hyang Narayana.)

Begitu sampai kehadapan sang raja, langsung saja Durvasa Muni menyembah kedua kaki sang maharaja. Sang raja yang memiliki rasa rendah hati yang murni ini langsung menjadi risih dan teramat malu karenanya. Segera dan seketika itu juga beliau langsung menghaturkan puja kepada Sudharsana Cakra dan doanya dikabulkan, Durvasa Muni diampuni dan selamat dari bencana.

Banyak ahli di India yang selalu memperdebatkan akan status hakiki cakra ini. Ada yang berdalih bahwa Sudharsana Cakra adalah simbol dari hukum karma, hukum sebab-akibat dan reinkarnasi beserta seluruh akibat-akibatnya yang berputar terus dari masa ke masa. Ada juga yang menyatakan bahwa cakra ini adalah zat atau energi murni Yang Maha Esa guna mencipta dan mengayomi seluruh ciptaan-ciptaanNya (Sa aiksata,Sa asrjata); demikian, konon versi dari berbagai pengamat Veda kata ahli yang lainnya. Ada juga yang mengatakan bahwa inti kekuatan cakra ini hadir ditengah-tengah kita dan memenuhi seluruh jajaran alam-semesta dan melawan unsur-unsur hitam (asurik) yang meraja-lela dimana-mana. Unsur cakra ini selalu hadir melindungi para pemuja Yang Maha Esa dari segala mara-bahaya, sehingga selalu sejarah para resi dan pemuja yang agung penuh dengan berbagai mukzizat yang melindungi pemuja dharma.

Kembali ke Durvasa Muni, beliau langsung saja sadar bahwa kasta brahmana tidak berarti lebih hebat dan harus diistimewakan dari golongan yang lain. Pada saat yang sama Maharaja Ambarisa yang sudah berpuasa setahun lagi karena menunggu kembalinya resi Durvasa langsung menghaturkan santapan bagi sang resi dan mengambil sisa santapannya sebagai prashadam bagi sang raja. Kemudian sang raja membagi-bagi kerajaannya diantara para putra-putrinya dan berangkat ke ketepian Manasa-Sarovara untuk melakukan tapa semedi kepada Yang Maha Esa. Inti pesan yang tersembunyi di dalam kisah ini adalah bahwasanya tidak mudah bagi seseorang untuk meniti jalan spritual ke arah Yang Maha Kuasa, karena banyak iblis siap menghadang di jalan. Inti pesan yang kedua : Walau sudah merasa menjadi orang yang suci dan sakti sekali terjegal oleh ego, iri-hati dan angkara-murka, maka seseorang segera saja jatuh ke lembah kehinaan, contoh resi Durvasa Muni.

Inti pesanan ketiga : Yang Maha Esa menjamin dan menjaga secara pribadi para pemuja-pemujaNya dengan suatu mekanisme gaib yang baik dan sistimatis sekali. Semua halangan dan rintangan sudah dipersiapkan jalan keluarnya sesuai dengan iman sang pemuja tersebut. Yang penting sekuat apakah iman dan bakti kita kepadaNya. Seperti juga Maharaja Janaka, Arjuna dan Darmawangsa (Yudhistira) dan Parikesit, maka Maharaja Ambarisa sebagai seorang raja-resi telah menunjukkan pedoman dan ajaran yang maha adi-luhung bagi kita semua. Selamat berjuang di jalan Yang Maha Esa, Om santih-santih-santih, OM TAT SAT.

Bagian  II

“Penyelamatan Nyawa Durvasa Muni”

1.       Sukadewa Goswami bersabda kepada Maharaja Parikesit  : “Sewaktu Sang Hyang Vishnu bersabda dan menasehati Durvasa Muni yang terganggu oleh Cakra Sudarsana, langsung saja sang resi kembali ke Sang Maharaja Ambarisa. Dengan penuh rasa duka-cita dan penyesalan yang teramat dalam beliau menyembah sang raja dan menyentuh kedua telapak kakinya penuh rasa hormat.”

2.       “Sewaktu sang resi menyentuh kakinya, sang raja merasa teramat malu, dan sewaktu menyaksikan bagaimana sang resi mulai menghaturkan puja-puji kepadanya, sang raja merasa tertekan batinnya. Langsung saja Maharaja Ambarisa memanjatkan doa kepada Sang Sudharsana Cakra.”

3.       “Berkatalah sang raja : “Wahai Sudharsana, Dikau adalah sang Agni, Dikau juga adalah sang Surya dan Somah (rembulan), terutama, diantara semua yang terang benderang di langit. Dikau adalah apah (air), Bumi, Langit, Udara dan kelima unsur sensual (suara, rasa, bentuk, dan sebagainya), dan Dikau adalah indra-indra itu sendiri.”

4.       “Wahai Dikau yang paling disegani (disayangi) oleh Acyuta (nama lain Yang Maha Esa), Dikau memiliki beribu-ribu gerigi. Wahai pemimpin dunia materi, penghancur semua jenis senjata, penampakan murni (dharsana) dari Tuhan Yang Maha Esa, daku menghaturkan puja hormatku kepadaMu. Sudilah kiranya melindungi dan mengampuni brahmana ini.”

Keterangan : Secara tersirat kami berpikir bahwa kemungkinan kata Sudharsana Cakra berasal dari kata Sudhar (sadar, kesadaran murni = eling) dan dharsana = penampakan murni dari Yang Maha Esa, jadi kemungkinan besar Sudharsana bisa juga berarti Yang Maha Esa itu sendiri dalam bentuk atau Manifestasi murni yang bercahaya dan bertenaga dashyat (Aura Ilahi) yang mengayomi secara khusus seluruh jagat-raya dan isinya dan hanya dapat disaksikan dan dirasakan Kehadirannya oleh mereka-mereka yang telah murni kesadarannya seperti Raja Ambarisa, Arjuna dan resi Vyasa, dan selalu disebut-sebut di berbagai shastra-vidhi secara tersirat.

5.       “Wahai Sudharsana Cakra, Dikau adalah agama, Dikau adalah kebenaran, Dikau adalah pernyataan-pernyataan yang penuh dorongan semangat, Dikaulah pengorbanan, Dikau adalah penikmat semua pahala hasil pengorbanan, Dikau adalah pengayom seisi alam-semesta ini, dan Dikau adalah Teja Utama yang suci dan bersifat gaib dari pancaran Yang Maha Esa. Dikau adalah dharsana murni, oleh karena itu Dikau dikenal sebagai Sudharsana. Semuanya ini diciptakan olehMu dan oleh karena itu Dikau adalah Yang Maha Hadir (Sarva-Atman).”

Keterangan : Diatas terdapat tersirat “sikap” yang jelas sekali yang menyatakan  bahwa Sudharsana Cakra adalah Teja Yang Maha Dashyat yang terpancar dari Yang Maha Esa itu sendiri.

6.       “Wahai Sudharsana Cakra, Dikau memiliki pusat (as roda) yang teramat suci sifatnya, oleh sebab itu Dikau adalah penegak semua agama (akhila dharma setawe). Dikau ibarat sebuah komet yang dashyat dan pembasmi para asuras dan unsur-unsur adharma (adharma sila). Sebenarnya Dikau adalah pemelihara ketiga loka (tri-loka), Dikau penuh dengan pemahaman (pikiran), Dikau penuh dengan berbagai ketakjuban. Daku hanya mampu mengutarakan kata “namah” bagimu sambil menghaturkan hormat bagiMu.”

Keterangan : Kata Namah atau Namoh, Namo adalah kata-kata yang bersifat sangat halus dan diucapkan terhadap Yang Maha Tinggi, contoh untuk menggambarkan atau menghormati Tuhan Yang Maha Esa atau para istha-dewata, dan biasanya hanya dijumpai dalam mantram-mantram yang sakral sifatnya saja seperti misalnya, “Om Namah Sri Krishna Vasudeva Namaha”, “Om Nama Shivaya”, “Om Namo Sri Ganeshya Ganapati Namaha”, dan sebagainya.

7.       “Wahai pemimpin dari berbagai pembicaraan (diskusi, girampate), dengan cahayaMu, yang penuh dengan prinsip-prinsip dharma, kegelapan dunia ini dapat diterangi, dan ilmu pengetahuan timbul tercipta diantara para ilmuwan dan orang-orang suci. Sebenarnya tiada seorangpun yang mampu melampaui CahayaMu, karena setiap benda baik yang berwujud maupun yang tidak berwujud, yang bersifat agung dan kecil, adalah semata-mata berbagai manifestasiMu yang hadir melalui CahayaMu.’

8.       “Wahai Dikau Yang Tak Terkalahkan, sewaktu Dikau dikirimkan oleh yang Maha Kuasa ke antara (ke tengah-tengah kawanan) daityas dan Danawas (para setan, dedemit, raksasa, asuras, dan sebagainya). Dikau menghancurkan dan memotong tangan-tangan, perut, kepala kaki dan berbagai organ para asuras ini.”

9.       “Wahai pelindung alam semesta, Dikau dipergunakan oleh Yang Maha Kuasa sebagai senjataNya yang maha ampuh demi membasmi berbagai musuh. Demi kebaikan seluruh jajaran dinasti, sudilah memaafkan brahmana yang miskin dan lemah ini. Pengampunan ini akan merupakan anugrah bagi kami semua.”

10.  “Seandainya keluarga kami telah menghaturkan dana-punia kepada orang-orang yang seharusnya menerima, seandainya kami telah melakukan berbagai upacara ritual dengan seksama, seandainya kami telah melaksanakan tugas kami sehari-hari dengan baik, seandainya kami telah dituntun dengan benar oleh para brahmana yang terpelajar, (maka), kami memohon sebagai gantinya, brahmana ini dibebaskan dari api yang membara yang terpancar keluar dari Cakra Sudharsana ini.”

11.  “Seandainya Tuhan Yang Maha Kuasa, Yang Tak Terukur oleh sang waktu, yang adalah sumber dari segala sifat gaib, yang adalah kehidupan dan jiwa seluruh mahluk hidup, memberkahi kami, (maka) kami memohon agar brahmana ini, Durvasa Muni, dibebaskan dari rasa sakitnya akibat terpanggang oleh api sang Sudharsana Cakra ini.”

12.  Sri Sukadwa Goswami melanjutkan : “Sewaktu sang raja memanjatkan doa permohonan ini kepada Sang Sudharsana Cakra dan kepada Sang Hyang Vishnu, maka cakra Sudharsanapun berubah menjadi tenang dan berhenti membara dan membakar brahmana yang disebut Durvasa Muni ini.”

13.  Durvasa Muni yang teramat sakti ini, merasa sangat bahagia sewaktu terlepas dari siksaan bara api Sudharsana cakra ini. Langsung saja ia memuja-muji keagungan sang Maharaja Ambarisa dan memberkahi sang raja dengan parama asisahnya (memberkahi secara utama).

14.  Durvasa Muni berkata : “Wahai raja yang kuhormati, hari ini telah kualami keagungan para pemuja Tuhan Yang Maha Esa, walaupun aku telah menganiayamu, tetapi sebaliknya dikau berdoa demi kesejahteraanku.”

15.  “Bagi mereka-mereka yang telah mencapai strata Yang Maha Esa, pemimpin diantara para pemuja-pemuja sejati, apakah yang mustahil dan apakah yang tidak mungkin ditanggalkannya ?”

16.  “Apa yang tidak mungkin bagi hamba-hamba Tuhan ? Hanya dengan mendengarkan nama suciNya semata seseorang itu bisa disucikan (ibarat nirmala).”

17.  “Wahai raja, daku sangat menyesali dosa-dosaku, dikau telah menyelamatkan jiwaku ini. Oleh karena itu daku sangat berhutang budi kepadamu karena dikau bersifat teramat pengampun.”

18.  (Pada saat itu) Sang Raja memang sudah menunggu kembalinya Durvasa Muni dan selama masa menanti ini beliau mempertahankan puasanya. Selanjutnya dengan kembalinya sang resi, Maharaja Ambarisa bersujud dan menyentuh kedua kaki sang resi, menghormatinya dan menyuguhkan santapan yang lezat kepadanya secara besar-besaran.

19.  Demikianlah dengan penuh rasa hormat sang raja menyambut kembali Durvasa Muni, yang setelah selesai bersantap berbagai hidangan yang teramat lezat merasa demikian bahagianya sehingga penuh dengan kasih-sayang yang melimpah memohon sang raja untuk berbuka puasa, “silahkan bersantap wahai Raja !”

20.  Berkatalah Durvasa muni : “Aku merasa sangat bahagia dengan segala penerimaan dan penghormatanmu ini wahai raja yang kuhormati. Pada mulanya aku berfikir bahwasanya dikau adalah manusia biasa dan menerima ajakan untuk bersantap bersamamu, tetapi kemudian melalui jalan pikiranku, aku faham bahwa dikau adalah seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa yang sangat terhormat dan agung (di mata Tuhan Yang Maha Esa). Hanya dengan memandangmu, dengan menyentuh kedua belah telapak kakimu dan berkata-kata denganmu, daku merasa teramat berbahagia dan (bahkan) telah berhutang budi dan nyawa kepadamu.”

21.  “Selanjutnya setiap wanita yang suci yang berdiam di berbagai loka-loka di alam-semesta akan selalu menyenandungkan sifat-sifatmu yang tanpa cacat ini, dan masyarakat dunia akan selalu mengagungkan kebesaranmu dari waktu ke waktu.”

22.  Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini; setelah puas dalam segala hal resi Durvasa yang konon teramat sakti dan mistis ini memohon pamit kepada sang raja dengan tanpa henti-hentinya memuja sang raja. Melalui berbagai titian jalan di langit, beliau menuju ke Brahma-loka yang merupakan sebuah sorga di mana hal-hal yang bersifat mubazir tidak hadir, dan hanya didiami oleh mereka-mereka yang telah sadar (eling).

Keterangan : Kemungkinan kunjungan sang resi yang telah sadar ini ke Brahma-loka adalah untuk menyampaikan berita mengenai keagungan para pemuja Yang Maha Esa yang lebih dijaga dan dihormati oleh Yang Maha Esa itu sendiri dibandingkan dengan para resi atau brahmana yang sok pamer kekuasaan dan kesaktian, demikian kesimpulan sementara peneliti kisah ini.

23.  Sementara pelarian Durvasa muni ke berbagai loka-loka, maka Maharaja Ambarisa menantinya kembali dengan berpuasa makan dan hanya minum air demi menjaga dirinya.

24.  Setahun berlalu sewaktu Durvasa Muni kembali kehadapan sang raja, dan Maharaja Ambarisa langsung saja menghaturkan penghormatan dan berbagai santapan yang bersifat suci dan satvik (ati-pavitram), kemudian baru menyusul beliau ikut bersantap setelah sang resi memohonnya. Sewaktu sang raja menyaksikan bagaimana sang resi ini selamat dari bara apinya Sudharsana-Cakra, beliau langsung saja faham bahwa berkat karunia Yang Maha Esa, beliau sendiri (sang raja) ternyata juga sakti mandraguna, beliau juga langsung sadar bahwa semua itu bukan miliknya, karena pada hakikatnya yang melaksanakan semua hal di dunia ini adalah Tuhan Yang Maha Kuasa itu sendiri.

Keterangan : Sang raja tidak terkecoh oleh sidhi (kesaktian yang bisa menyesatkan para orang suci yang berada di persimpangan jalan spritual mereka) Sidhi dalam bentuk ketenaran, kesaktian, keajaiban, kedudukan dan berbagai popularitas lainnya selalu menghadang kaum suci yang masih memiliki sedikit banyak ego, angkara (ahankara), iri-hati dan sebagainya. Dan banyak kaum suci ini yang jatuh dan gagal ditengah-tengah perjalanan sadhana dan bhakti mereka, di antara mereka yang terbaik adalah seperti yang disebutkan Bhagavat-Gita di bawah ini :

Sri Krishna bersabda : “Diantara semua yogis, ia yang selalu bersemayam secara harmonis  di dalamKu, penuh dengan iman, memujaKu dengan puja bhakti secara mistis, terjalin denganKu secara intim di dalam yoga, adalah pemujaKu yang tertinggi.”

Sloka di atas sulit untuk dijabarkan kepada manusia awam, karena pada hakikatnya hubungan antara Sang Pencipta dan sang pemuja bisa terjalin secara sangat intim. Sehari saja sang pemuja tidak bertegur-sapa denganNya, ia merasa resah, gelisah dan “sakit” karena rasa rindunya kepada Beliau yang senantiasa mengayomi sang pemuja ini. Para pemuja ini sering dianggap gila dan tidak bertanggung jawab kepada sekitarnya karena selalu terserap kedalamNya, padahal ia sebenarnya diliputi oleh kesaktian yang luar biasa dan selalu tercukupi kebutuhannya.

25.  Berdasarkan iman yang tanpa pamrih ini, juga berdasarkan bakti yang berkesinambungan, Maharaja Ambarisa yang sebenarnya termasuk digjaya dan sakti-wirawan ini, memuja Paramatma dan Vasudewa (Yang Maha Esa), dan karenanya selalu sempurna puja-baktinya. Begitu dalam bakti beliau kepada Yang Maha Esa, sehingga selalu beranggapan bahwa swarga atau loka yang tertinggi itu sama saja nilainya dengan neraka yang paling rendah statusnya.

Keterangan : Sekali seseorang manunggal dengan Jati Dirinya, maka ia akan mengenali berbagai wujud dan manifestasi Yang Maha Esa baik yang secara duniawi berwujud (Sakara Brahman) maupun yang tidak terwujud (Nirguna Brahman) seperti Brahman, Para Brahman, Paramatman, Atman, Krishna, Rama dan sebagainya dalam suatu pemahaman yang Esa dan Eka.

26.  Sri Sukadewa Goswami melanjutkan kisah ini. Selanjutnya dikarenakan tahap bakti dan kesadarannya yang teramat tinggi, Maharaja Ambarisa, tidak berhasrat lagi terhadap kehidupan duniawinya, dan memutuskan untuk meninggalkan keluarganya. Beliau kemudian membagi-bagi kerajaannya kepada para putra-putranya yang konon sebaik dirinya, dan memasuki tahap vanaprasta. Beliau mengasingkan dirinya ke tepi sebuah lautan yang shanti demi pemusatan pikirannya ke Vasudewa (Yang Maha Esa).

27.  Barangsiapa mengulang (berjapa dan mengisahkan) kisah ini kepada para pemuja yang lain-lainnya maka dipastikan ia akan berubah menjadi pemuja sejati Yang Maha Esa (Bhagavatah).

28.  “Dengan karunia Yang Maha Esa, mereka-mereka yang mendengarkan kisah bhakta agung Maharaja Ambarisa ini dipastikan mendapatkan kebebasan spritual dan menjadi seorang pemuja Tuhan Yang Maha Esa dalam sekejab.” 

Dengan ini berakhirlah kisah 

Maharaja Ambarisa dan Durvasa muni.

 OM.....SHANTI.....SHANTI.....SHANTI

 OM.....TAT.....SAT

 

    Kembali ke daftar Bhagavata Purana       Kembali ke halaman induk Shanti Griya