ASHTAVAKRA
GITA
Vinneka
Tunggal Eka
PEMBUKAAN
Diantara berbagai karya sastra agung dan suci yang datang dari tanah Bharata (India), tanahnya para resi-resi ini, Ashtavakra-Gita yang sering disebut juga Ashtavakra-Samhita ini merupakan karya yang maha unik dari segi spiritual dan filosofi yang dikandungnya. Karya sastra yang adi-luhung ini menjabarkan dengan metodenya sendiri tentang pengalaman-pengalaman mistik dari seorang manusia dalam mencapai kedamaian dan penyatuan transedentalnya dengan Sang pencipta.
Seperti halnya Bhagavat-Gita, karya suci dan agung ini menjabarkan kebenaran dan filosofi kehidupan secara lembut dalam bentuk dialog-dialog yang padat antara seorang maha-raja rishi (Raja-rishi) Janaka yang disini hadir sebagai sang sishya (murid) dengan gurunya bernama Ashtavakra.
Legenda mengenai Ashtavakra ini dikisahkan di dalam
Mahabharata sebagai suatu kisah
yang menakjubkan. Sewaktu
Ashtavakra masih dikandung oleh Sujata, ibundanya maka sang ayah yang bernama
Kahor, seorang peneliti veda-veda, setiap harinya membacakan Mandala-Mandala
suci kepada sang janin sering
hingga larut malam. Dan sang jabang-bayi yang jenius ini telah mempelajari
bait-bait Veda semenjak dikandungan ibunya, dan pada suatu hari ia mendadak
berteriak dari dalam rahim ibunya, “Tat
Tat! Ayahku. Melalui kasih sayangmu daku telah mempelajari seluruh veda-veda,
bahkan sewaktu aku masih dalam kandungan ibuku ini. Hanyalah sudilah memaafkan daku yang lancang ini mengoreksi ayahanda yang sering
melakukan pengucapan-pengucapan yang salah”.
Sang ayah, Kahor tidak bisa menerima kenyataan ini dan beliau dengan
kemarahannya yang amat sangat mengutuk putranya ini, dan lahirlah sang
jabang-bayi dengan lekukan (cacat) di tubuhnya, Ashta (delapan) dan Vakra (cacat
akibat lekukan), menjadi namanya.
Selanjutnya dikisahkan sang ayah karena dilanda
kemiskinan meninggalkan keluarganya
dan beryatra ke istananya Raja Janaka demi mendapatkan suatu pekerjaan dibidang
spiritual di dalam lingkungan kerajaan. Melalui
seleksi pengujian yang dilakukan oleh seorang intelektual yang bernama Sri
Vandini yang bertugas sebagai pengajar filosofi kerajaan.
Ternyata ayah Ashtavakra ini gagal dalam ujian spiritual ini dan Kahor
yang malang ini harus menjalani baktinya sebagai pelayan ayah Sri Vandini yang
telah lanjut usia untuk kurun waktu yang tidak ditentukan.
Bertahun-tahun berlalu dan
tak seorangpun keluarganya yang tahu akan nasib Kahor yang malang ini.
Di sisi lain, Ashtavakra yang sangat cerdas ini
selalu diejek oleh teman-teman sekolahnya karena ia tidak mempunyai seorang
ayah. Pada suatu hari didorong oleh
kesedihannya ia memohon kepada ibunya yang selama ini merahasiakan tentang
ayahnya, agar sudi menceritakan sesuatu tentang keberadaan ayahnya.
Sang ibu kemudian membuka rahasia bahwa ayahnya pernah merencanakan
kunjungan ke istana Raja Janaka tetapi kemudian hilang tak tentu rimbanya.
Ketika itu usia Ashtavakra masih 12 tahun dan iapun langsung melakukan
perjalanan ke Videka, kerajaan Sang Prabhu Janaka.
Secara singkat dikisahkan dengan segala susah-payah
ia akhirnya berhasil memasuki istana sang
raja karena walaupun ia masih seorang bocah cilik toh daya inteleknya tidak
kalah dari para resi-resi agung di masa silam.
Sekali lagi Sri Vandini menguji Ashtavakra dan sekali
ini Sri Vandini kalah dan gagal dalam diskusi spiritualnya dengan Ashtavakra
dan sebagai konsekuensinya ia membebaskan ayahanda Ashtavakra.
Bersama ayahnya mereka berdua menuju ke sungai Samanga dan di sungai ini
Ashtavakra disucikan dan dimandikan lalu diberkahi oleh sang ayah. Begitu ia
keluar dari sungai, seluruh cacat di tubuhnya menghilang dan Ashtavakra berubah
menjadi tampan dan bercahaya seluruh raganya.
Kembali ke karya sastra ini, kabarnya karya ini
berasal dari kurun waktu sebelum sistem-sistem karya filosofi dharma dikenal
masyarakat India di zaman itu. Seperti
juga halnya dengan Bhagavat-Gita, karya ini sarat dengan ekspresi-ekspresi yang
penuh arti walaupun terkesan sederhana penyampaiannya … dan sama halnya dengan
Bhagavat-Gita, sang guru di sini menjauhi diskusi filosofi dan sebaliknnya lebih
banyak mengarahkan perhatian sang murid ke Realitas Spiritual yang tersembunyi
di balik kehidupan ini.
Para peneliti di India secara seksama menetapkan
bahwa Ashtavakra-Gita ini hadir langsung setelah Bhagavat-Gita diperkenalkan,
suatu kurun waktu di mana India mulai memasuki zaman filosofi spiritualnya dan
studi-studi mengenai dharma dan Ketuhanan Yang Maha Esa
dimulai.
Diperkirakan juga kelahiran gita ini dekat sekali
dengan zamannya berbagai Upanishad yang berasal dari tahap kemudian
diantaranya yang disebut Sivestawatara, Mundaka, Mandukya Karika dan
sebagainya. Diperkirakan juga ada ajaran-ajaran Sang Buddha mengenai konsep Non-Eksistensi
(Shunya-Vada) di karya sastra agung ini.
Karya ini tidak mengajarkan mengenai Tuhan Yang Maha Esa dalam bentuk personal (Sakara-Brahman) seperti yang tersirat di dalam Bhagavat-Gita. Karya ini lebih condong ke Upanishad-Upanishad Utama yang berfahamkan ide-ide monistik. Buku ini sangat bermanfaat bagi para pemuja yang mengambil jalan meditasi (Dhyana-Yoga), karena secara langsung menunjukkan jalan dan tujuan meditasi. Bagi yang belum terbiasa dengan jalan meditasi, maka karya ini akan sia-sia saja, ibarat seorang murid kelas nol yang mempelajari pelajaran di Universitas dan bisa-bisa malahan membahayakan upaya spiritualnya. Sebaliknya sangat dianjurkan agar buku ini dipelajari oleh mereka-mereka yang telah banyak mendalami jalan meditasi dan berbagai studi spiritual karena akan bermanfaat teramat sangat baginya untuk meniti dan mencapai jalan kebenaran tentang Hakekat Tuhan yang Maha Esa dalam bentuk Sang Jati Diri.
Bagi pemeluk Sanathana Dharma yang dikenal dengan
sebutan agama Hindhu-Dharma, karya ini akan sangat mengagetkan karena mungkin
dianggap bertentangan dengan konsep-konsep Hindhu yang selama ini dikenal di
Indonesia khususnya di Bali. Padahal kami yakin konsep Sang Jati Diri dan
Kemanunggalannya sudah dikenal semenjak kurun waktu yang amat lama di Nusantara,
khususnya di dalam konsep Kejawen. Sebagai
suatu contoh: Resi Ashtavakra tidak mengakui adanya
prinsip Sang Maya, tidak juga beliau mengakui keberadaan sang jiwa, atau
Sang Pencipta (Ishwara) ataupun konsep jagat-raya.
Baginya semua ini adalah Satu Sang Jati Diri yang merupakan Maha
Kesadaran yang bersifat Maha Tunggal
dan Tak Terjabarkan. Walaupun
begitu di India, Maha Karya ini
merupakan buku favorit di samping Bhagavat-Gita yang gemar sekali dipelajari
oleh kaum ilmuwan Hindhu karena dianggap sebagai suatu
KARYA ADI LUHUNG demi mengartikan dan memahami Keagungan Yang Maha Esa
dari sisi filosofi yang lainnya. Bagi
Resi Ashtavakra, hanya ada satu tujuan yang harus didambakan dan dicapai yaitu
ilmu pengetahuan tentang Sang Jati Diri melalui intuisi mistik langsung yang
disebutkannya sebagai vignana (Kekurang-pengetahuan atau kebodohan spiritual).
Pada tahap akhir maha karya ini, para peneliti dan
sidang pembaca akan mengalami berbagai visi dan penampakan yang mempesonakan
secara spiritual yang berlandaskan konsep Sang Jati Diri yang akan melarutkan
konsep dualistik yang dikenalnya selama ini sebagai yang mengetahui, sebagai
ilmu-pengetahuan, dan sebagai mengetahui (Mempelajari kedua
Aspek tersebut). Sebenarnya kedalaman karya
agung ini sulit untuk dijabarkan
dengan kata-kata, tetapi seharusnya didalami dengan memasuki kedalaman suatu
keheningan yang bersifat dinamis di dalam suatu meditasi pribadi setiap individu.
Sekali lagi karya ini bukan untuk mereka-mereka yang masih awam di dalam
penetrapan studi mengenai Hindhu Dharmanya dan masih terjebak dalam
“ke-akuannya” yang berlandaskan ritual-ritual kosong, tetapi
karya ini lebih condong dipelajari oleh manusia-manusia yang berkualitas
raja Janaka yang
walaupun adalah seorang Maha Raja Resi
toh ia bersikap sangat sederhana dan TANPA RASA MEMILIKI APAPUN JUGA.
Suatu saat dikala istananya yang konon dikatakan teramat fantastis itu
terbakar ludes oleh api, beliau dengan tulus mengatakan “Kalau Mithila
terbakar, tidak ada suatu apapun milikku yang terbakar”.
Di karya ini, raja Janaka mengatakan, sebenarnya di satu sisi, tak satu
benda pun adalah milikku. Dan di
sisi yang lainnya semuanya adalah punyaku semata-mata”.
Karya sastra ini kami hadirkan di satu puhak untuk
mereka-mereka yang bermeditasi kepada Sang Jati Dirinya agar dapat menimba lebih
banyak lagi dari segi sisi-sisi spiritual dan mistik Yang Maha Kuasa, dan
dipihak lain agar umat sedharma dapat memahami bahwa Sanathana Dharma (Hindhu-Dharma)
ini bukan sekedar ritual-ritual indah belaka ataupun pengorbanan hewan yang
tidak ahimsa sifatnya dan sesat, juga bukan pembuangan dana dalam jumlah yang
besar dan sia-sia, tetapi sesungguhnya penuh dengan kandungan yang adiluhung
sifatnya dan bukan milik satu golongan semata-mata dan sebenarnya karya ini
sangat berkorelasi dengan ajaran-ajaran Dharma yang lainnya dan merupakan suatu
kesinambungan yang amat kaya dari masa yang teramat silam sampai dengan masa
kini.
Di era kali ini para filsuf dan para guru di India
telah menjabarkan semua ini melalui teknologi mutakhir seperti dengan
menggunakan satelit, komputer dan berbagai sarana lainnya ditunjang oleh para
ilmuwan dari Barat dan India sendiri yang yakin bahwa sudah saatnya Sanathana-Dharma
ini menjadi landasan kehidupan
semua umat yang sadar dan sedang mencari hakekat dari Sang Pencipta alam-semesta
dan kehidupan ini. Kebhinekaan
dalam Sanathana-Dharma ini memperkaya perbendaharaan ilmu-pengetahuan tentang
Yang Maha Kuasa. Bagi kami sebanyak
mungkin ilmu-pengetahuan tentang Yang Maha Esa semakin baik bagi umat manusia.
Semoga AJARAN ADI LUHUNG INI
DAPAT BERMANFAAT BAGI KITA semuanya. Di
dalam karya ini seluruh seloka-seloka asli diterjemahkan langsung ke bahasa
Indonesia dengan tafsiran seminimum mungkin, agar yang mempelajarinya dapat
menafsirkannya sendiri sesuai dengan kadar kandungan spiritual yang dimilikinya
masing-masing. Sesungguhnya hanya
mereka-mereka yang telah mempelajari berbagai karya suci seperti Puranas,
veda-veda, shastras, simritis, Bhagavat-Gita dan sebagainya sajalah yang akan
mampu merasakan dalamnya isi dan kandungan
ajaran ini melalui intuisi murninya,
selamat mempelajari karya ini, dan mohon koreksinya untuk terjemahan
bebas ini yang pasti masih jauh dari kesempurnaan, karena terbatasnya intuisi
spiritual maupun daya intelek kami. Dengan
sangat senang hati kami mohon dituntun oleh sidang pembaca agar karya ini dapat
tampil lebih sempurna di masa yang akan datang.
Kembali ke daftar isi Ashtavakra Gita Kembali ke halaman induk Shanti Griya