ASHTAVAKRA GITA

Vinneka Tunggal Eka   

 

BAB XVIII

TUJUAN

 

Ashtavakra berucap:

1.        Puja-puji bagiNya  yang merupakan pengejawantahan Kebahagiaan Yang Maha Kuasa Ketenangan, Maha Teja (terang-benderang), Yang dengan sentuhan ilmu-pengetahuanNya, seluruh khayalan (duniawi ini) berubah menjadi tidak nyata ibarat sebuah mimpi.

2.        Seseorang mendapatkan kenikmatan-kenikmatan dalam jumlah yang besar dengan merasakan berbagai obyek-obyek  sensual. Tentu saja seseorang tak akan bisa berbahagia (secara spiritual) tanpa menanggalkan semua itu.

3.        Dimanakah berada seseorang yang sendi-sendi bagian dalamnya telah tersinari oleh cahaya mentari yang timbul dari kedukaan yang merupakan akibat dari perbuatan-perbuatannya, bisa menikmati kebahagiaan, selain di dalam kesinambungan curahan air suci keabadian (Nektar) yang tidak berdasarkan nafsu dan berbagai hasrat dan keinginan duniawi.

4.        Alam semesta ini hanyalah hasil dari pemikiran belaka.  Pada kenyataannya alam-semesta ini  adalah bukan apa-apa. Sifat kesatuan dari Yang Maha Eksis (Sang Jati Diri) dan Yang Maha Non-Eksis (alam-semesta, kekosongan) tidak pernah hilang.

5.        Sang Jati Diri yang bersifat Absolut, Yang Tak Perlu Berupa, Yang Tak Dapat Diubah-ubah, Yang Tidak Ternoda, tidak jauh adanya ----- tidak terjangkaukan.  Juga tidak terbatas – Tak Tercapai.  Sebenarnya ia dapat dicapai.

6.        Begitu ilusi mereka terhenti, mereka menyadari Sang Jati Diri dan terbebaskan dari kedukaan ---- pemahaman mereka terbuka secara penuh.

7.        Semua yang hadir hanyalah imajinasi semata-mata. Sang Jati Diri bersifat  Bebas dan Abadi. Setelah memahami hal tersebut apakah seseorang yang Bijaksana akan bertindak ibarat seorang anak yang kecil?

8.        Setelah mengetahui dengan penuh keyakinan bahwa Sang Jati Diri itu adalah Brahman, dan kehadiran dan non kehadiran itu adalah imajinasi (Khayalan) belaka, (kemudian) apakah yang dapat dilakukan oleh seseorang yang tak memiliki hasrat dan nafsu, (lalu) apa yang dapat difahaminya atau dikatakannya ataupun dilaksanakannya?

9.        Berbagai pikiran seperti “ini adalah itu”. “Aku adalah itu” dan “Aku bukannya ini” …….. menjadi padam bagi para yogin yang telah berubah menjadi pendiam, setelah faham dengan penuh keyakinan bahwa semua ini sebenarnya adalah Sang Jati Diri itu sendiri.

10.   Sang yogin yang telah mencapai ketenangan tidak lagi memiliki rasa ketidak-tertarikan (akan duniawi), juga tidak memiliki kekurang-pengetahuan. Ia tidak memiliki kenikmatan maupun penderitaan.

11.   Apakah ia berada di swarga ataukah ia berada di dunianya para pengemis ---- apakah ia beruntung atau ia merugi ---- di tengah-tengah masyarakat atau sendiri (seorang diri) di hutan belantara ---- tak ada  perbedaan bagi seorang yogin, yang bebas dari nafsu dan gangguan duniawi.

12.   Bagi seorang yogin yang telah melampaui tahap dualistik seperti :” Ini harus dilakukan” dan “ini tidak harus dilakukan”, dimanakah adanya (Dharma)? Dan dimanakah adanya (Kama). Dan dimanakah adanya hati-nurani (Vivekita)?

13.   Sang yogin yang telah Bebas di dalam kehidupan ini, tidak lagi memiliki kewajiban-kewajiban, ataupun berbagai keterikatan di hatinya. Tindakan-tindakannya hanya berdasarkan  Prarabdha (akibat dari tindakan-tindakan masa lalunya belaka).

14.   Dimanakah terdapat khayalan? Dimanakah berada alam-semesta  ini? Dimanakah terdapat pemasrahan kehidupan ini? Atau dimanakah terletak kebebasan bagi seseorang yang mulia, yang berada dalam tahap di luar dunia yang penuh dengan gangguan berbagai nafsu dan keinginan (duniawi) ini?

15.   Sesorang yang melihat (sadar akan) alam-semesta (yang penuh dengan berbagai fenomena yang beraneka-ragam) ini mungkin berupaya untuk menghapuskan semua itu! Lalu apa artinya faktor-faktor  yang tidak berlandaskan  nafsu? Orang itu tidak melihat apapun juga, padahal ia menyaksikannya.

16.   Barangsiapa menyaksikan Brahman Yang Maha Kuasa, bermeditasi “Aku adalah Brahman”.  Barangsiapa telah melampaui  semua bentuk pemikiran dan sewaktu ia sampai kepada titik kekosongan, kemudian kenapa gerangan ia harus bermeditasi?

17.   Barangsiapa di dalam dirinya timbul faktor-faktor ketidak-tertarikan akan hal-hal yang bersifat duniawi, maka ia harus mengendalikan dirinya (secara ketat).  Tetapi seseorang yang mulia tidak akan terganggu oleh faktor-faktor tersebut karena setelah mencapai tahap dimana ia tidak lagi berhasrat akan sesuatu apapun juga di dunia ini, maka apa lagi yang harus ia lakukan (inginkan)?

18.   Seseorang yang bijaksana, walaupun ia hidup sebagai seorang biasa, merupakan kebalikan dari seorang yang bersahaja tersebut. Ia tidak tertarik ataupun menolak atau melibatkan dirinya dengan hal-hal yang bersifat duniawi.

19.   Barangsiapa telah melampaui tahap-tahap eksistensi ataupun non-eksistensi, yang bijaksana, merasa cukup akan segalanya, lepas dari berbagai nafsu dan keinginan, tidak melakukan apapun juga walaupun seandainya ia terkesan teramat aktif di tengah-tengah masyarakat.

20.   Seseorang yang bijaksana yang hidup berbahagia, dan melakukan hal-hal yang seharusnya dilakukannya, tak akan merasa galau seandainya ia beraktifitas ataupun sebaliknya.

21.   Tertiup oleh angin Samsakaranya, seseorang yang tak memiliki lagi keinginan, yang merdeka yang bebas dan telah lepas (dari kehidupan ini), bergerak ibarat sehelai daun kering (yang bergerak kesana-kemari tertiup oleh angin).

22.   Tiada lagi kegembiraan maupun kesedihan, bagi seorang yang telah memasrahkan diri (kehidupannya) secara duniawi ini.  Begitu tenang batinnya sehingga ia hidup seakan-akan tanpa memiliki raga.

23.   Seorang yang Bijaksana yang telah berbahagia di dalam Sang Jati Dirinya, yang batinnya tenang dan jernih, tak terusik untuk melepaskan apapun juga, (karena) Ia tidak merasa kehilangan apapun juga.

24.   Dengan berisikan kekosongan di dalam batinnya akan melaksanakan apapun juga yang datang tanpa dipintanya, maka seorang yang  Bijaksana ini, tidak seperti manusia biasa, ia tidak akan terpengaruh oleh kehormatan ataupun kenistaan.

25.   Seseorang yang melaksanakan berbagai aspek kehidupannya dengan berpikir: “Ini dilaksanakan oleh sang raga dan bukan oleh Sang Jati Diri” bagi seseorang yang telah mencapai tahap ini, walaupun ia bekerja sehari-hari sebenarnya ia tidak melakukan apapun juga.

26.   Seseorang yang telah terbebaskan dari kehidupan ini, bertindak tanpa banyak berkata-kata mengapa ia bekerja seperti apa adanya. Tetapi ia juga bukan seorang yang bodoh. Walaupun ia hidup di dunia ini, ia senantiasa berbahagia dan penuh dengan karunia.

27.   Seorang yang Bijaksana yang telah mengundurkan dirinya dari berbagai logika duniawi, dan telah mencapai ketegaran yang penuh, tak akan berpikir, tak akan faham dan tak akan mendengar atau melihat.

28.   Karena seorang yang Bijaksana tidak terusik secara duniawi dan tidak bermeditasi ia bukan merupakan calon kebebasan (dari hal-hal yang bersifat duniawi) tidak juga ia berada di dalam keterikatan (duniawi). Setelah faham bahwa alam-semesta hanyalah sesuatu hal yang tidak nyata di dalam imajinasinya, Walaupun ia menyaksikan kehidupan ini, ia hadir sebagai Brahman itu sendiri.

29.   Seseorang yang memiliki rasa ego di dalam dirinya, bertindak (melaksanakan) sesuatu walaupun ia tidak melaksanakan apapun juga.  Tentu saja, seseorang yang bijaksana, yang telah lepas dari rasa egonya, tidak bertindak apapun juga, walaupun ia sedang melaksanakan sesuatu ---- atau sewaktu ia tidak bertindak.

30.   Batin dari seorang yang telah terbebaskan tidak akan terganggu atau merasa senang. Batin ini tidak bertindak (melaksanakan) apapun juga, lepas dari berbagai fluktuasi, lepas dari berbagai nafsu dan keinginan, dan lepas dari semua keragu-raguan.

31.   Batin seseorang yang telah terbebaskan tidak terlibat dengan meditasi atau aktifitas. Batin ini menjadi meditatif dan aktif tanpa sesuatu motif, secara spontan.

32.   Seseorang yang cerdas berubah menjadi galau pikirannya setelah mendengar tentang Kebenaran Yang Hakiki, tetapi beberapa manusia yang cerdas ini merenung ke dalam diri mereka (dan hidup) ibarat orang bodoh (yang tidak banyak berbicara dan terkesan melakukan hal-hal yang mubazir).

33.   Orang-orang yang bodoh melakukan konsentrasi batin (meditasi) dan pengendalian pikiran. Orang yang Bijaksana, bersemayam di dalam Sang Jati Dirinya sendiri, ibarat seorang yang tertidur lelap, tidak memerlukan sesuatu untuk dicapai olehnya.

34.   Seorang yang bodoh tidak dapat mencapai keheningan baik dengan melaksanakan atau tidak melaksanakan sesuatu. Seorang yang Bijaksana berubah hening hanya dengan memahami Kebenaran.

35.   Di dunia ini seseorang yang mengabdikan dirinya demi berbagai kegiatan, tidak mengenal Sang Jati Diri, Yang Murni, Bebas, Tercinta, Sempurna, Transedental dan Tak Ternoda.

36.   Seorang yang teramat tidak cerdas tidak akan pernah mencapai (Sang Jati Diri) walaupun ia selalu  berupaya tanpa henti-hentinya  untuk mengendalikan batinnya. Orang yang penuh dengan berkat ini, hanya melalui penerangan intuisinya, akan selalu berada dalam tahap Pembebasan dan Tak Tergoyahkan.

37.   Seseorang yang bodoh tidak akan mencapai Brahman, karena ia menginginkan untuk menjadi Brahman!  Seorang yang Bijaksana secara pasti menyadari akan hakekat dari Sifat Yang Maha Kuasa (Brahman) tanpa berhasrat sedikitpun untuk menjadi Brahman.

38.   Tanpa suatu penunjang, dan berhasrat sekali untuk mencapai tahap kebebasan, seorang yang bodoh (hanya berilusi) di dunia ini!  Seorang yang bijaksana memangkas habis  akar kehidupan ini yang merupakan sumber dari semua bentuk penderitaan.

39.   Sesorang yang bodoh yang menginginkan kedamaian melalui pengendalian pikirannya, tidak mencapainya. Seorang yang bijaksana yang faham sekali akan Kebenaran, selalu berdiam di dalam keheningan batinnya.

40.   Di manakah letak penglihatan (dharsana) akan Sang Jati Diri bagi seseorang yang terbiasa melihat dunia materi (yang termanifestasi) ini?  Seorang  yang Bijaksana tidak melihat ini ataupun itu, tetapi ia hanya menyaksikan Sang Jati Diri yang Teramat Tegar.

41.   Di manakah terletak kendali batinnya seorang bodoh yang berupaya dengan amat sangat  untuk mencapainya?  Bagi seseorang yang bijaksana yang telah berbahagia di dalam Sang Jati Dirinya, tahap kendali batinnya selalu bersifat spontan dan abadi (berkesinambungan).

42.   Banyak yang berpikir akan keberadaan “eksistensi” itu, dan banyak lagi yang berpikir bahwa “non-eksistensi” adalah keberadaan tersebut.  Langka sekali ada seorang  insan yang tidak memikirkan kedua hal ini (karena ia telah menyatu dengan Yang Maha Damai,  Sang Jati Diri).  Insan ini keheningannya telah mencapai tahap sempurna ----- bebas dari semua unsur-unsur gangguan  (duniawi).

43.   Mereka-mereka yang memiliki intelek (budhi) yang tumpul, bermeditasi ke arah Sang Atman sebagai Yang Maha Sejati dan Yang Maha Tunggal tanpa ada tuhan yang lain yang menjadi sainganNya, tetapi mereka-mereka ini tidak dapat menyadariNya. Diliputi oleh kegelapan, orang-orang semacam ini selalu menderita selama hidup mereka.

44.   Budhi (intelek) seseorang yang menghasratkan kebebasan tidak bisa berfungsi tanpa sesuatu obyek penunjang.  Tetapi budhi seseorang yang tak berlandaskan nafsu dan keinginan dan seseorang yang telah Terbebas, sebenarnya tidak memerlukan suatu penunjang apapun juga (di kala ia bermeditasi).

45.   Berhadapan dengan harimau-harimau (berbagai indra-indra sensual), mereka-mereka yang ketakutan, mencari perlindungan  dan memasuki (bersembunyi) di dalam gua (batinnya), agar dapat mengendalikan pikiran mereka dan agar dapat berkonsentrasi dengan baik.

46.   Sebaliknya menghadapi seorang manusia berhati singa (tanpa keinginan dan nafsu) obyek-obyek sensual ibarat kawanan gajah yang diam-diam lari jauh meninggalkannya: atau seandainya obyek-obyek sensual ini tidak mampu melarikan diri, maka mereka ini akan melayaninya ibarat para pelayan raja yang amat berbakti dan setia.

47.   Barangsiapa lepas dari berbagai keragu-raguan dan yang batinnya telah sadar akan Sang Jati Diri, tidak akan berupaya mengendalikan dirinya demi kebebasan spiritualnya. Walaupun ia melihat, mendengar, menyentuh, mencium dan bersantap, ia tetap hidup berbahagia.

48.   Setelah mantap di dalam budhinya yang murni dan setelah berubah menjadi tenang ---- hanya dengan mendengarkan Yang Maha Sejati, si orang Bijaksana ini, tidak lagi melihat tindakan yang seharusnya pantas dilakukan ataupun yang tidak pantas dilakukan ----- ia bahkan tidak melihat non-aksi.

49.   Seorang yang bijaksana melakukan secara bebas apa saja yang datang kepadanya sebagai tugas hidupnya, apakah itu baik maupun buruk, tindakan-tindakannya mirip sekali dengan tindakan-tindakan seorang anak kecil.

50.   Melalui kebebasan, seorang mencapai kebahagiaan; melalui kebebasan, seorang mencapai yang tertinggi; melalui kebebasan seorang mencapai tahap beristirahat; dan melalui kebebasan seorang mencapai  Tahap Yang Maha Kuasa.

51.   Seluruh modifikasi sang pikiran menjadi hancur berantakan, sewaktu seseorang menyadari bahwa Sang Jati Diri di dalam dirinya, bukanlah si pelaksana atau si penikmat semua tindakan.

52.   Tindakan-tindakan seorang yang Bijaksana, yang tidak pernah penuh dengan larangan-larangan dan bersifat spontan, bercahaya; tetapi tindakan-tindakan seseorang yang bodoh yang penuh dengan pertimbangan dan penuh nafsu dan berbagai keinginan, tidak bercahaya.

53.   Seorang yang Bijaksana ---- yang bebas dari khayalan mentalnya (pikirannya), tidak terlihat oleh apapun juga, dan yang telah  bebas budhi (inteleknya) sering bertamasya kesana-kesini (secara spiritual) dan sering menyepi dan beristirahat ke gua atau ke pegunungan sepi (untuk bersemadhi).

54.   Apakah ia sedang menghormati seorang ahli Veda, dewa-dewi, atau tempat-tempat suci --- atau melihat seorang wanita atau seorang raja, kekasih, semua ini tidak menimbulkan sedikitpun nafsu dan keinginan di dalam sanubarinya.

55.   Seseorang yang telah Terbebaskan, tidak akan terganggu walau ia diolok-olokkan dan disalah-gunakan oleh pelayan-pelayan, para putra-putranya, istri dan anak-anaknya dan juga oleh sanak-keluarganya yang lain.

56.   Walaupun hatinya bergembira-ria, ia tidak bergembira. Walaupun ia tersinggung, ia tidak tersinggung. Hanya orang-orang yang mirip dengannya, faham akan Tahap yang penuh dengan Ketakjuban ini.

57.   Rasa kewajiban adalah sesuatu yang sebenarnya bersifat duniawi. Faktor ini tidak diakui oleh seseorang yang Bijaksana yang telah sadar akan dirinya sebagai Yang Maha Hadir, Yang Maha Tak Berbentuk, Yang Maha Tegar, Sang Jati Diri, Yang Maha Tak Ternoda.

58.   Seseorang yang bodoh, walaupun ia berada dalam kleadaan “tidak melakukan sesuatu”, senantiasa akan terusik oleh kegalauan di dalam dirinya. Tetapi seseorang yang mantap (Bijaksana) walaupun ia sedang melakukan kewajiban-kewajibannya, tidak akan pernah terusik.

59.   Walaupun ia melakukan pekerjaannya sehari-hari, seorang yang bijaksana, yang batinnya telah damai, duduk dengan gembira, tidur dengan gembira, bergerak dengan gembira dan bersantap dengan gembira (dan bahagia).

60.   Seseorang yang dikarenakan oleh kecenderungan batinnya, walaupun ia melaksanakan tugasnya sehari-hari tidak memiliki rasa kekhawatiran seperti manusia pada umumnya, ia senantiasa tak terusik, ibarat danau yang luas, dengan semua penderitaannya yang telah padam ---- ia sebenarnya bercahaya.

61.   Dan bagi seorang yang bodoh, dikala ia mengundurkan dirinya dari sesuatu, pelaksanaan tersebut terasakan baginya sebagai sesuatu tindakan. Bagi seseorang yang bijaksana sewaktu ia bertindak  (melaksanakan sesuatu), malahan yang ia hasilkan adalah penarikan (pengunduran) dirinya dari yang bersifat duniawi.

62.   Seseorang yang bodoh sering kali menunjukkan  rasa enggan  ke harta-benda yang dimilikinya. Di manakah terdapat keterikatan, dan dimanakah terletak rasa enggan bagi seseorang yang (bahkan) cinta akan badannya sudah tiada lagi?

63.   Pandangan seorang bodoh selalu terpaku (tertambat) pada pemikiran akan sesuatu atau non-pemikiran akan sesuatu. Tetapi bagi seorang yang telah mantap di dalam Sang Jati Dirinya, walaupun ia terlibat pada pemikiran akan sesuatu, sifat yang sebenarnya adalah non-pemikiran akan sesuatu (suatu tahap di mana pemikiran akan sesuatu tidak eksis).

64.   Seorang yang bijaksana yang tidak lagi memiliki nafsu, keinginan dan  berbagai hasrat dikala melaksanakan tindakannya sehari-hari, bertindak seakan-akan seorang anak kecil, dan ia bersifat murni, dan tak terlibat oleh tindakan-tindakan yang ia laksanakan ini.

65.   Seseorang yang mengetahui Sang Jati Diri, sebenarnya penuh dengan berkah, ia bersikap sama dalam keadaan apapun juga; baik itu dikala ia sedang melihat, mendengar, menyentuh, mencium dan bersantap karena batinnya telah terbebaskan dari berbagai nafsu dan keinginan.

66.   Dimanakah berada dunia ini dan dimanakah berada “upaya atau cara mencapai tujuan tersebut’? …… bagi seseorang yang senantiasa bersifat tidak berganti-ganti ibarat angkasa yang terdapat di alam-semesta.

(Diperingatkan di dalam karya sastra ini, bahwa seloka ini tidak ditujukan untuk seseorang yang masih awam pengetahuan spiritualnya ataupun penalarannya dalam Hindhu-Dharma, sebaiknya mendapatkan bimbingan untuk mempelajari buku ini, karena sebenarnya ajaran ini ditujukan untuk mereka-mereka yang berkaliber spiritual seperti Raja Janaka, demikian agar sidang pembaca tidak menyimpulkan ajaran yang ada di buku ini sebagai sesat karena tahap penalaran agama Hindhunya sangat bersifat spiritual dan sebenarnya sudah disinggung di Bhagavat-Gita dan karya-karya suci lainnya, tetapi khusus di karya ini diungkapkan secara amat mendalam.

67.   Jaya-rayalah ia yang telah menanggalkan semua bentuk hasrat, nafsu dan keinginan, yang merupakan pengejawantahan dari Sang Maha Sempurna (KaruniaNya), yang adalah sifatnya, dan yang secara spontan telah terserap ke ruang yang tak terbatas (Realitas alam-semesta yang tak tebatas).

68.   Secara singkat, disini tidak ada keperluan untuk berkata-kata lagi. Seorang yang agung, yang telah menyadari Kebenaran, bebaslah ia dari keinginan-keinginan sensualnya dan bahkan dari keinginan untuk bebas secara spiritual. Ia tak terusik oleh segala bentuk nafsu, dimanapun ia berada di setiap waktu.

69.   Apakah yang harus dilakukan oleh seseorang yang telah mencapai tahap Kesadaran Sejati?  Ia telah meninggalkan berbagai hasrat dan benda-benda duniawi ini, yang terlahir dari Mahat (yaitu intelek/budhi-makrokosmik, sebuah istilah yang terdapat di filosofi Sankhya), dan semua yang serba duniawi ini termanifestasi dalam berbagai nama (di dunia ini).

70.   Seseorang Sejati dengan penuh keyakinan faham bahwa alam-semesta ini adalah suatu produk ilusi dan sebenarnya tidak ada yang eksis. Sang Jati Diri Yang Tidak Terjangkau oleh apapun juga terbuka untuk disaksikannya, dan secara alami, iapun berubah menjadi hening.

71.   Peraturan-peraturan kehidupan lepas dari berbagai hawa-nafsu, pemasrahan total (akan hal-hal yang bersifat duniawi), kendali-pikiran …. Apa artinya semua ini bagi seseorang yang bersifat Cahaya Sejati, yang tidak terjamah sama sekali oleh fenomena-fenomena dunia ini?

72.   Dimanakah letak keterikatan? Dimanakah letak kebebasan? Dimanakah  berada kesenangan, dimanakah berada penderitaan?. Bagi sesorang yang tak terpengaruh oleh benda-benda yang ada di alam sekitarnya, Ia hanya melihat Sang Jati Diri bercahaya di dalam berbagai wujud yang tidak ada habis-habisnya.

73.   Ilusi yang terdapat di dunia yang penuh dengan berbagai fenomena ini berlanjut  sampai dengan seseorang mencapai ilmu-pengetahuan mengenai Sang Jati Diri (yaitu persepsi langsung akan Realitas), seorang yang bijaksana hidup sehari-hari tanpa “Ke aku an”nya, tanpa rasa “ini punyaku” dan lepas dari berbagai bentuk nafsu.

74.   Bagi seseorang yang Bijaksana yang telah merasakan Sang Jati Diri sebagai Yang Maha Tak Terbinasakan dan jauh dari penderitaan, baginya tak ada ilmu-pengetahuan ataupun Alam-semesta .  Baginya tak ada lagi rasa “aku ini raga”, atau “raga ini milikku”.

75.   Bagi seseorang yang tumpul budhinya menghentikan kendali-kendali pikiran-pikirannya, langsung saja datang kepadanya berbagai nafsu dan keinginan dan juga beragam-ragam bentuk hal-hal yang aneh.

76.   Seseorang yang tumpul budhinya walaupun ia telah mendengarkan akan Kebenaran tetap saja tidak akan menanggalkan khayalan-khayalan duniawinya.  Walaupun di sisi luar ia tampak tidak terpengaruh oleh batinnya yang berfluktuasi, selalu saja ia menghasratkan berbagai obyek-obyek sensual (di dalam batinnya).

77.   Seseorang yang telah menanggalkan pekerjaannya sehubungan dengan kebijaksanaannya, mungkin saja bekerja ---- agar terlihat oleh masyarakat banyak, bahwa ia senantiasa bekerja, tetapi sebenarnya ia melakukannya tanpa suatu motif duniawi tertentu.

78.   Bagi seseorang yang Bijaksana yang tak pernah terpengaruh dan tidak mengenal rasa takut, baginya tidak terdapat kegelapan, tidak terdapat penerangan, tidak terdapat kerugian …… tidak terdapat apapun juga.

79.   Bagi seorang yogin (yang telah mencapai tahap penerangan spiritual dan ilmu-pengetahuan), baginya sudah tidak ada lagi atribut, tidak ada lagi sifat-sifat yang terterangkan, tidak ada lagi perbedaan, dan bahkan tidak ada lagi rasa khawatir atau takut.

80.   Tidak ada sorga maupun neraka …. Tidak juga keadaan bebas secara spiritual. Secara singkat di dalam pemikiran dan ilmu-pengetahuan (visi) seorang yogin tiada sesuatu apapun yang eksis di kehidupan ini, (status ini disebut sebagai pencapaian Sang Jati Diri (Sachidananda), juga seloka ini terkesan mirip dengan teori non-eksistensi (Sunyavada) yang terdapat di agama Budha).

81.   Seorang yang bijaksana tiada menghasratkan keuntungan, ataupun bersedih hati karena suatu kerugian. Pikirannya hening karena selalu terisi dengan  nektar … dalam bentuk Karunia Yang Maha Kuasa.

82.   Seseorang yang tidak memiliki berbagai keinginan tidak pernah memuji seorang yang berperi-laku baik dan bahkan juga tidak mengecam seorang yang berperi-laku penuh kebatilan.  Merasa puas akan apa adanya, merasa bersikap sama-rata … baik dikala ia berbahagia atau menderita ia merasa tidak ada yang perlu dicapainya lagi dalam kehidupan ini.

83.   Seorang yang Bijaksana tidak membenci dunia yang penuh dengan perubahan ini, juga tidak berhasrat untuk “melihat” Sang Jati Diri. Lepas dan bebas dari kebahagiaan dan penderitaan, ia tidak mati tetapi juga tidak hidup (di dunia ini).

84.   Bercahaya senantiasa kehidupan seorang yang bijaksana, lepas dari berbagai harapan, tanpa keterikatan dengan anak-anaknya, istri dan lain-lainnya, terlepas diri dari berbagai bentuk nafsu dan keinginan demi obyek-obyek sensualnya, dan bahkan tidak mengindahkan raganya sendiri.

85.   Rasa puas dan bersyukur atas segala-galanya selalu hadir di dalam sanubari seorang yang Bijaksana, yang hidup berdasarkan apa saja yang datang kepadanya tanpa diminta, dan senantiasa berkelana sesuka hatinya, dan baru beristirahat dimanapun sang surya mulai terbenam!

86.   Sadar dan faham sekali akan asal-usul kehadirannya sebagai seorang manusia (makhluk ciptaanNya) dan secara total telah melampaui berbagai kehidupan yang berulang-ulang. Seorang Yang Agung ini tidak mengacuhkan lagi raganya sendiri, (ia bahkan sudah tidak memperdulikan kehidupan raga yang disandangnya lagi).

87.   Seorang yang bijaksana berdiri sendiri, tanpa terikat oleh yang lainnya. Ia tanpa harta-benda dan kesana-kemari  sesuai dengan kemauan dan kesenangannya. Ia bebas dari unsur-unsur dualistik yang saling bertentangan, dan rasa keragu-raguannya  telah  terpangkas habis. Ia sebenarnya adalah seorang yang penuh dengan Karunia (Yang Maha Esa).

88.   Seseorang yang bijaksana yang telah lepas dari egonya, dan yang baginya segumpal tanah, ataupun sebuah intan, ataupun sebongkah emas bernilai sama, yang jalinan sanubarinya telah terputus habis dan yang telah membersihkan dirinya dari unsur-unsur raja dan tama----- insan yang bijaksana ini bercahaya.

89.   Siapakah yang dapat dibandingkan dengan seseorang yang telah Bebas Merdeka (secara spiritual), yang sudah dimiliki hasrat-hasrat apapun juga  di dalam hati-sanubarinya, yang senantiasa merasa cukup dan bersyukur dan apa adanya dan yang bersikap secara sama rata kepada semuanya?

90.   Siapa lagi kalau bukan seseorang yang telah lepas dan bebas dari berbagai nafsu  dan keinginan yang mengetahui tetapi tidak faham akan apapun juga, yang tidak melihat walaupun sedang menyaksikan …. Yang tidak berbicara walaupun sebenarnya ia sedang mengucapkan kata-kata?

91.   Apakah ia seorang pengemis ataupun seorang raja, ia sebenarnya telah melampaui semuanya, ia yang tidak terikat dan ia yang pandangannya akan benda-benda duniawi telah terbebaskan dari unsur-unsur baik dan buruk.

92.   Bagi seorang Yogin, yang telah mencapai secara penuh  tujuan (spiritualnya), dan yang merupakan pengejawantahan dari ketulusan yang setulus-tulusnya, tidak lagi ada kerisauan padanya! Tidak ada lagi pantangan ataupun upaya-upaya agar menjauhi sesuatu!  Ia telah mencapai Kebenaran Sejati akan Sang Jati Dirinya sendiri (dengan menyatu, manunggal denganNya).

93.   Bagaimanakah dan kepada siapakah dapat kami jabarkan pengalaman di dalam seseorang yang telah bersifat tidak memiliki berbagai hasrat ini, yang telah melampaui semua penderitaan dan yang telah terpuaskan oleh penyatuannya (Kemanunggalannya) dengan Sang Jati Dirinya.[1])

94.   Seseorang yang bijaksana tidak tertidur, bahkan dikala  ia tertidur lelap.  Ia tidak terbaring walaupun ia sedang bermimpi. Dan ia tidak terjaga walaupun ia sedang bermimpi. Dan ia tidak terjaga walaupun ia sedang sadar dan tidak tertidur. Ia terpuaskan dan senantiasa bersyukur (akan) setiap keadaan yang dialaminya.

95.   Seseorang yang bijaksana jauh dari berbagai pikiran walaupun ia sedang berpikir.  Ia jauh dari indra-indra sensualnya walaupun ia menggunakan indra-indra ini (sehari-harinya). Ia jauh dari intelegensia (budhinya) walaupun sehari-hari ia senantiasa menggunakan intelegensianya ini. Ia jauh dari rasa ego walaupun ia memiliki ego.

96.   Seseorang yang bijaksana tidak merasa bahagia maupun menderita, tidak tertarik ataupun sebaliknya, tidak terbebaskan ataupun berhasrat untuk bebas ….. ia senantiasa bukan ini dan bukan itu.

97.   Seseorang yang penuh dengan Karunia  ini tidak merasakan penolakan walaupun ia menjauhkan diri dan menolak hal-hal yang bersifat duniawi. Ia tidak bermeditasi walaupun ia sedang Samadhi.  Ia tidak bodoh walaupun ia berada dalam tahap kebodohannya.  Dan ia tidak terpelajar walaupun sangat terpelajar (dan penuh dengan berbagai ilmu-pengetahuan).

98.   Seorang yang telah bebas dan merdeka secara spiritual, bersemayam dalam Sang Jati Diri, dalam berbagai  situasi dan keadaan, ia terbebaskan dari Tujuan juga bebas dari berbagai perilaku dan kewajiban. Ia bersikap sama dimanapun  ia berada, dan karena ia lepas dari berbagai hasrat dan nafsu, ia tidak mengeluh akan apa yang telah dilaksanakan dan yang belum dilaksanakan.

99.   Seseorang yang telah bebas dan merdeka dari kehidupan ini tidak merasa senang sewaktu ia dipuji dan tidak dipuji (tidak merasa kecewa) sewaktu ia dikecam.  Ia tidak bergembira-ria  dikala menjalani Kehidupannya, dan juga ia tidak takut akan kematiannya.

100.       Seseorang yang telah tinggi tahap spiritualnya ini, yang telah damai dan hening batinnya, tidak memerlukan (mencari) tempat yang penuh sesak ataupun  yang sepi ditengah-tengah hutang belantara.  Ia bersikap sama dalam situasi dan kondisi apapun juga – dimanapun ia berada.



[1] ) Tahap kemanunggalan antara seorang manusia dan Tuhannya tidak mungkin dijabarkan oleh siapapun juga, oleh karena itu walaupun Resi Ashtavakra telah mencapai tahap ini tetap saja ia tidak dapat menerangkan pengalaman spiritual yang maha tinggi ini kepada muridnya Raja Janaka, apalagi kita kaum awam, bagaimana mungkin menghayatinya? Di salah satu Upanishad terdapat kata-kata seperti berikut ini: “Yang mengetahui Sang Brahman berubah menjadi Brahman.”

 

Kembali ke daftar isi Ashtavakra Gita        Kembali ke halaman induk Shanti Griya