SHANTIGRIYA

Sejarah Candi-Candi di Indonesia

 

IV. CANDI-CANDI DI JAWA TENGAH DAN DIY 

2)  SURAKARTA (SOLO)

A. CANDI SUKUH

Terletak di sebelah Barat Gunung Lawu, Kabupaten Daerah Tingkat II Karanganyar, Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Bentuknya mirip punden berundak menghadap ke Barat dan memiliki pyramid yang terpangkas bagian atasnya. Candi ini bangunannya makin meninggi kearah Timur. Udara yang sejuk dan mistis menyelimuti daerah ini, sehingga menimbulkan kesan yang syahdu dan mistis yang khas di daerah yang sunyi ini. Candi Shiwais ini mungkin semacam tempat pemujaan dan pendidikan beraliran Shiwa di mana mungkin dahulunya ajaran-ajaran rahasia mengenai alam semesta dan berbagai kesaktian diturunkan. Berbagai ornamen sakral Tantrik seperti Lingga-Yoni yang digambarkan secara realistis mirip sekali dengan genital pria dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh kaum lain yang tidak memahami apa-apa, candi ini disebut candi porno, padahal pada zaman dahulu mungkin kaum awam mungkin tidak mudah masuk kedalam candi ini karena kesakralannya yang tinggi. Pihak keraton Solo yang memahami hal ini tidak banyak cerita apa-apa walaupun Sri Sultan sering berziarah ke candi-candi Gunung Lawu pada waktu-waktu tertentu. Jenis pendidikan seks dan garbha-loka yang menghasilkan penderitaan adalah tema candi sakral ini, namun sayang banyak sekali yang telah hilang dari candi ini sehingga seluruh gambaran tidak terungkap secara sempurna.  

Dengan persetujuan sang penjaga juru kunci candi, maka kita bisa mengunjungi dan bersembahyang pada candi ini pada hari-hari tertentu dan bahkan pada malam hari. Ada pendopo khusus diluar candi yang dibangun oleh pemuja-pemuja yang khusus bermeditasi disini. Candi ini luar biasa untuk bersemedi (non-pamrih).

 Candi ini yang dibangun pada abad XV terletak dilereng Gunung Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Dari permukaan air laut, ketinggiannya sekitar 910 m. Berhawa sejuk dengan panorama yang indah. Kompleks situs purbakala Candi Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, dengan jarak 27 km dari kota Karanganyar. Situs purbakala Candi Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta “Yohson” ketika masih penjajahan Inggris. Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim. Untuk mencegah kerusakan yang semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat pernah merehabilitasi Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi Sukuh seperti kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga tiga trap. Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura. Gapura-gapura itu amat berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah, apa lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunanya mirip candi Hindu dipadu dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara, yakni kebudayaan Megaliticum. Trap I Candi Sukuh menghadap ke barat. 

Seperti yang sudah diutarakan, trap pertama candi ini terdapat tangga. Bentuk gapuranya amat unik yakni tidak tegak lurus melainkan dibuat miring seperti trapezium, layaknya pylon di Mesir ( Pylon : gapura pintu masuk ke tempat suci ). Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan raksasa” yakni sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong “ (gapura raksasa memakan manusia ). Gapura dengan karakter 9, buta karakternya 5, mangan karakternya 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M, menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini. Pada sisi selatan gapura terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut KC Vrucq, relief ini juga sebuah sangkalan rumit yang bisa dibaca : “Gapura buta anahut buntut “(gapura raksasa menggigit ekor ular ), yang bisa di baca tahun 1359 seperti tahun pada sisi utara gapura. Menaiki anak tangga dalam lorong gapura terdapat relief yang amat erotis,  terpahat pada lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina yang di kelilingi oleh kalungan sperma.  

Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab tidak mungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Shiwa dengan istrinya ( Parwati ). Lingga Yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”. 

Boleh dikata relief tersebut berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”, yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia. Dalam bukunya Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan bahwa relief tersebut merupakan sengkalan yang cukup rumit yaitu : “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu “.Wiwara artinya gapura yang suci dengan karakter 9, Wiyasa diartikan daerah yang terkena “suwuk” dengan karakter 5, Anahut (mencaplok) dengan karakter 3, Jalu ( laki-laki ) berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359 Saka. Tahun ini sama dengan tahun yang berada di sisi-sisi gapura masuk candi. 

 Trap kedua lebih tinggi daripada trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah komis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman pra sejarah di Pasemah. Di latar pojok belakang dapat dijumpai  jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita terdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan” ( peralatan mengisi udara pada pande besi).  Barangkali maksudnya agar api tungku tetap menyala. Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan Candi Sukuh ini. Pada bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor. Inipun salah satu sengkalan yang rumit pula yang dapat dibaca : Gajah Wiku Anahut Buntut, dapat ditemui dari sengkala ini tahun 1378 Saka atau tahun1496 M.  

Relief pada sebelah  utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau. Trap Ketiga ini trap tertinggi yang merupakan trap paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada Candi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah jika ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapak yang terbuat dari batu (anak tangga). Jalan batu ditengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic. 

Di sebelah selatan jalan batu, pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 kesatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Di sebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang semula adalah raksesi  bernama Durga atau Sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang Bidadari di kayangan dengan nama Bethari Uma Sudamala maknanya adalah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil”ngruwat”. Adapun cerita Sudamala diambil dari buku kidung Sudamala. Sejumlah 5 adegan yaitu: 1. Relief pertama menggambarkan ketika Dewi Kunthi meminta pada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun Sadewa menolak. 

 2. Relief kedua menggambarkan ketika Bima mengangkat raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku “pancanaka” ke perut raksasa. 3. Relief ketiga menggambarkan ketika Sadewa diikat kedua tangannya diatas pohon randu alas karena menolak keinginan “ngruwat” Sang Bethari Durga. Dan Sang Durga mengancam Sadewa dengan sebuah pedang besar ditangannya untuk memaksa Sadewa. 4. Relief keempat menggambarkan Sadewa berhasil “ngruwat” Sang Durga. Sadewa kemudian diperintah pergi kepertapaan Prangalas, di situ Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa. 5. Relief kelima menggambarkan ketika Dewi Uma (Durga setelah di “Ngruwat” Sadewa) berdiri di atas Padmasana. Sadewa beserta panakawan menghaturkan sembah pada Sang Dewi Uma. Pada pelataran itu juga dapat ditemui soubasement dengan tinggi 85 cm, luasnya sekitar 96 m2. Ada juga obelisk yang menyiratkan cerita Garudeya. Cerita ikwal Garudeya merupakan cerita “ruwatan” pula. Ceritanya sebagai berikut: Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama Dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena telah kalah bertaruh tentang warna ekor kuda uchaiswara. 

 Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berwujud ular naga yang berjumlah seribu yang menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam. Dewi Winata dapat diruwat Sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para Dewa. Demikianlah keterangan menurut kisah Adhiparwa. Pada sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang didalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh penguasa Gaib kompleks candi tersebut. Di dekat candi kecil terdapat kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar Gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta perwita sari). Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh dalam candi untuk Pengruwatan, yakni prasasti yang diukir dipunggung relief sapi.  

Sapi tersebut digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan kandungan sengkalan rumit: Goh wiku anahut buntut maknanya tahun 1379 Saka. Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada dipunggung sapi yang artinya  kurang lebih demikian: untuk diingat-ingat ketika bersujud di kahyangan (puncak gunung), terlebih dulu agar datang di pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh wiku anahut buntut 1379. Kata yang sama dengan ruwatan disini yaitu kata: “pawitra” yang artinya pemandian suci. Karena di kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk pengruwatan, seperti yang sudah diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan candi Sukuh pada jamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan.  

Tetapi dengan melihat relief Lingga-yoni di gapura terdepan dan bagian atas candi induk, tentulah candi Sukuh juga sebagai lambang ucapan syukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan yang mereka peroleh. Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak” tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan roh-roh leluhur. 

Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara Pengruwatan yakni: a. Relief Lingga-yoni di gapura pertama selain berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. b. Relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” Sang Durga. c. Relief Garideya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama Dewi Winata. d. Prasasti tahun 1363 Saka dalam kalimat “bebajang maramati setra hanang bango”. e. Prasasti tahun 1379 Saka dipunggung lembu yakni kata “pawitra” yang berarti air suci (air untuk pengruwatan). Ikwal upacara “ngruwat” yang dipaparkan di sini sudah barang tentu berbeda dengan upacara ruwatan pada jaman sekarang yang biasanya dilakukan oleh seorang dalang sejati. Yang sering disebut dalam masyarakat jawa dalang Kandha Buwana.

Dan ada anak yang diruwatpun mempunyai “sukerta” karena posisinya dalam keluarga misalnya : anak ontang-anting, uger-uger lawang, kembang sekawan, kedhana-kedhini, sendhang kapit pancuran. Pancuran kapit sendang dan sebagainya; juga karena kebiasaan sehari-hari yang tidak kita sadari misalnya: menjatuhkan “dandang” (tanakan nasi), membuang sampah dari jendela, berjalan seorang diri diwaktu siang hari bolong, atau karena bawaan sejak lahir misalnya gondang kasih, bungkus, kalung usus; atau karena waktu kelahirannya misalnya julung serap, julung wangi dan sebagainya. Anak-anak yang mempunyai sukerta ini diruwat oleh dalang sejati agar terbebas dari incaran Bathara Kala. Yang dimaksud ruwat di Candi Sukuh jelaskah berbeda dengan ruwatan anak-anak Sukerta tersebut di atas, tetapi ruwatan yang melingkupi sebuah masyarakat dan berbagai permasalahan yang melilit kehidupan mereka.

 Namun disini perlu kita cermati keberadaan Candi Sukuh ini yang merupakan tempat peribadahan yang suci yang menjadi saksi atas ketaatan sebuah generasi dan keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-nilai kebudayaan dan peribadahan menjadi satu dalam wujud karya yang tiada ternilai harganya, maka picik bagi kita sebagai generasi pewaris bila tak ada niatan dari kita untuk tidak turut berbagi dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan kandungan yang tersimpan didalamnya.

 

Yang lama kita pahami, yang kini kita mengerti, kedepan kita capai 

Ngenutaken wasana badhe

ing emuta tyang jawi mangke

 nrenyuh kawruh pepundene

oncat saking lingsem pratiwine

 

B. CANDI CETHA (CETO)

Terletak di dusun Ceto tidak jauh dari Sukuh. Ceto yang jalannya diwaktu hujan sangat kurang aman untuk dijalani karena masih agak rusak dan licin disana-sini, di samping jalan sering terlihat jurang, jadi agak berhati-hatilah dijalan sempit ini. Candi Ceto dahulunya berarkeologi klasik, dan sewaktu ditemukan terdiri dari 11 teras dimuka yang penuh dengan ornamen batu rebah yang melambangkan hiasan bola dilehernya, serta bentuk batu datar berbentuk segi tiga dengan hiasan-hiasan fauna lambang kesuburan seperti tiga katak, seekor fauna laut yang disebut mimi, seekor belut dan tiga ekor kadal. Candi ini sarat dengan lambang-lambang kosmis dengan lingga sebagai patokan Gunung Meru. Baik Sukuh maupun Ceto diperkirakan merupakan perpaduan budaya jawa kuno dan Hindhu India. Walaupun sering disebut dibangun oleh raja-raja Wangsa Brajawijaya, namun sampai saat ini hakekat sejatinya masih samar-samar. Sayang pemugaran Candi Ceto oleh orang-orang dan pejabat Orde Baru sangat merusak Candi Ceto karena tidak mengikuti pola candi asli yang seharusnya,sehingga merusak kesejatian candi.

Candi Ceto terasa aneh dan angker serta bernuansa gaib, sehingga sering menjadi ajang para dukun dan orang-orang tertentu untuk bertirakat secara rutin di candi ini dan di Candi Sukuh. Memasukinya saja sudah terasa magnitnya. Bangunan gapura utama, bertangga undak lurus ketanah yang lebih tinggi ke candi induk diatas dalam susunan candi-candi Shiwa yang terdiri dari tiga loka (Bhur, Bwah dan Swah). Berbagai gapura harus dilalui sebelum tiba dipuncak candi. Candi ini sebenarnya baik untuk bersemedi secara pamrih dan non-pamrih. Candi yang unik ini sebaiknya dikunjungi untuk sembahyang / bermeditasi. Museum Radya Pustaka di Jalan Slamet Riyadi Solo, banyak memuat koleksi buku-buku penting candi diatas dan harus dikunjungi.

Candhi Cetho merupakan peninggalan Hindhu dari abad XIV pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi tidaklah berbeda dengan candi Hindhu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindhu yang taat. Candi Cetho terdiri dari sembilan trap, berbentuk memanjang kebelakang dengan trap/tingkat terakhir sebagai trap utama pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba; punden berundak). Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berapa halaman namun di trap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincing Wesi yang merupakan leluhur masyarakt Cetho. Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang diatas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani). Berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang kuang lebih 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi. Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah “sudhamala”, (seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap diatasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai sekarang pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan.

Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan-kiri yang merupakan arca sabdopalon dan nayagenggong dua orang abdi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang merupakan penasehat spiritual dari beliau.Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili dengan sosok Sabdopalon dan Nayagenggong. Pada trap kedelapan terdapat arca phallus (Kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “Mahadewa”. Arca phallus melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi Cetho dan sebuah penghargaan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya kesuburan yang dilimpahkan itu tak akan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang “berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta” yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan dimuka bumi.

Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan do’a kepada penguasa semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2. Candi Ceto menghadap kearah Timur berarti dengan candi-candi yang ada di Jawa-Tengah karena Candi Ceto begitu pula Candi Sukuh dibangun pada masa Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur. Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu di gunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Sedangkan disebelah Barat dari bangunan candi dengan menuruni lereng yang sangat terjal bisa ditemukan lagi bangunan candi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Candi Kethek. Namun sayang sekali penggalian candi sampai saat ini belum dilakukan.  Hal ini memerlukan perhatian dari Dinas Kepurbakalaan setempat dan instansi terkait.

Bangunan Candi Cetho secara keseluruan terbuat dari batu-batuan yang dipahat berbentuk segi empat dan ditata rapi untuk ubin, ataupun pagar serta relief candi. Kebanyakan arca dan relief sudah mengalami banyak kerusakan. Mungkin karena usia dan keusilan tangan-tangan jahil yang tak bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan pribadi serta kepuasan semata atau karena sebab-sebab lain yang hanya sejarah yang dapat menjawabnya. Candi Cetho yang terletak di lereng Gunung Lawu sebelah Barat masuk di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, dikelilingi kelebatan Rimba dan sejuknya udara kebun teh kemuning, menjanjikan keindahan panorama alam untuk bersama kita nikmati. Dan tentunya menambah wawasan kita tentang kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

 

 

kembali ke halaman utama Sejarah Candi                    kembali ke halaman induk Shanti Griya