SHANTIGRIYA

Sejarah Candi-Candi di Indonesia

 

IV. CANDI-CANDI DI JAWA TENGAH DAN DIY 

1)  DAERAH ISTIMEWA YOGJAKARTA DAN SEKITARNYA

Untuk mengunjungi semua candi atau sebagian candi-candi penting di daerah ini, diperlukan sekali untuk menginap di Jogjakarta atau Solo, ataupun kedua-duanya, baru puas dapat berkunjung dan memuja di candi-candi ini.

 

A. KOMPLEKS CANDI-CANDI PRAMBANAN

Terletak sekitar lebih kurang 17 kilometer dari arah Yogjakarta ke Magelang. Berbagai peta ke berbagai candi mudah didapatkan di berbagai penginapan, disamping itu rambu-rambu jalan raya ke arah candi yang terletak di luar kota cukup jelas. Jangan lupa mengunjungi Keraton Jogjakarta dan Taman Sari di pusat kota, yang masih menyisakan budaya leluhur yang bersifat adi-luhung.Kompleks Perambanan adalah salah satu kompleks percandian yang makin dipugar makin fantastik kharismanya. Candi-candi disini merupakan pemujaan dari berbagai dewa-dewi utama seperti Shiwa, Durga, Brahma, Vishnu, Ganeshya, dsb. Durga Mahisasuramardani yang dikenal dengan nama setempat Loro (Rara) Jonggrang adalah primadona candi ini, dan terkait dengan berbagai legenda kuno dan kisah-kisah modern, yang berhubungan dengan kegaiban dan kesaktian beliau.

Di kompleks ini terdapat juga arca-arca bagi pemujaan, yaitu Arca Nandi dan Hamsa (angsanya Sang Brahma), Garuda, Candi Apit dan Candi Penjaga, dsb. Seperti juga halnya Borobudur, maka kompleks candi ini di jadikan warisan budaya Internasional karena dianggap sebagai salah satu keajaiban dunia, sebaiknya berkunjung pagi hari karena luasnya kompleks candi-candi ini. Bagi umat Hindhu dan umat Kejawen yang mau bersembahyang disini akan di halang-halangi akan petugas keamanan, namun jangan hiraukan mereka dan sebaiknya mereka diberi tahu bahwa mereka hidup dan bekerja di candi-candi ini karena hasil karya nenek moyang orang Hindhu, biasanya mereka malu sendiri kecuali itu sedikit uang biasanya lebih efektif menutup mulut mereka.

Hal yang sama bisa terjadi di candi-candi lainnya. Namun tidak dilarang untuk pacaran dan berpiknikria di candi ini, walaupun hal tersebut merusak kesakralan dan kesucian candi-candi ini, disamping kerusakan bangunan candi itu oleh tangan-tangan jahil.    

 

1. CANDI SHIWA

Candi dengan luas dasar 34 meter persegi dan tinggi 47 meter adalah yang terbesar dan terpenting. Dinamakan candi Shiwa karena didalamnya terdapat arca SHIWA MAHADEWA yang merupakan arca terbesar. Bangunan ini dibagi atas tiga bagian secara vertikal kaki, tubuh dan kepala/atap, kaki candi menggambarkan “dunia bawah” tempat manusia yang masih diliputi hawa nafsu, tubuh candi menggambarkan “dunia tengah” tempat manusia yang telah meninggalkan keduniawian dan atap melukiskan “dunia atas” tempat para dewa. Gambar kosmos nampak pula dengan adanya Arca Dewa-dewa dan mahluk-mahluk surgawi yang menggambarkan Gunung Mahameru (Gunung Everest di India) tempat para dewa. Percandian Prambanan merupakan replika gunung itu terbukti dengan adanya arca-arca dewa Lokapala yang terpahat pada kaki Candi Shiwa. Empat pintu masuk pada candi itu sesuai dengan keempat arah mata angin. Pintu utama menghadap ke timur dengan tangga masukya yang terbesar. Di kanan- kirinya berdiri 2 arca raksasa  penjaga dengan membawa gada yang merupakan manifestasi dari Shiwa.Di dalam candi terdapat 4 ruangan yang menghadap keempat arah mata angin dan mengelilingi ruangan terbesar yang ada di tengah-tengah. SHIWA MAHADEWA sedangkan ketiga kamar lainnya masing-masing berisi arca-arca: Ganesha dan Durga. Dasar kaki candi dikelilingi selasar yang dibatasi oleh pagar langkan. Pada dinding langkan sebelah dalam terdapat relief ceritera Ramayana yang dapat diikuti dengan cara “pradaksina” (berjalan searah jarum jam) mulai dari pintu utama. Hiasan-hiasan pada dinding sebelah luar berupa “kinara-kinara” (mahluk bertubuh burung berkepala manusia), “kalamakara” (kepala raksasa yang lidahnya berwujud sepasang mitologi) dan mahluk surgawi lainnya. Atap candi bertingkat-tingkat dengan susunan yang amat komplek masing-masing dihiasi sejumlah “ratna”dan puncaknya terdapat “ratna” terbesar.  

a.      Arca Shiwa Mahadewa

Menurut ajaran Trimurti-Hindu, yang paling dihormati adalah Dewa Brahma sebagai pencipta alam, kemudian Dewa Wisnu sebagai pemelihara dan Dewa Shiwa sebagai perusak alam. Tetapi di India maupun di Indonesia, Shiwa adalah yang paling terkenal.Di Jawa, Ia dianggap yang tertinggi, karenanya ada yang menghormatinya sebagai Mahadewa. Arca ini mempunyai tinggi 3 meter berdiri diatas landasan batu setingi 1 meter. Di antara kaki arca dan landasannya terdapat batu bundar berbentuk bunga teratai. Arca ini menggambarkan Raja Balitung, tanda-tanda sebagai Shiwa adalah tengkorak diatas bulan sabit pada mahkotanya, mata ketiga pada dahinya, bertangan empat berselempangkan ular, kulit harimau dipinggangnya serta senjata Trisula pada sandaran arcanya. Tangan-tangannya memegang kipas, tasbih, tunas bunga teratai dan benda bulat sebagai benih alam semesta. Raja Balitung dipandang sebagai penjelmaan Shiwa sehingga setelah wafat dicandikan sebagai Shiwa oleh keturunan dan rakyatnya. 

b.      Arca Shiwa Maha Guru

Arca ini berwujud seorang tua berjanggut yang berdiri dengan perut gendut. Tangan kanannya memegang tasbih, tangan kiri memegang kendi dan di bahunya terdapat kipas. Semuanya adalah tanda-tanda seorang pertapa. Trisula yang terletak disebelah kanan belakangnya menandakan senjata khas Shiwa. Arca ini menggambarkan seorang pendeta  dalam istana Raja Balitung sekaligus seorang penasehat dan guru. Karena besar jasanya dalam menyebarkan agama Hindhu-Shiwa, maka ia dianggap sebagai salah satu aspek (bentuk) dari Shiwa (Agastya). 

c.       Arca Ganesha

Arca ini berwujud manusia berkepala Gajah bertangan 4 yang sedang duduk dengan perut gendut. Tangan-tangan belakangnya memegang tasbih dan kampak sedangkan tangan depannya memegang patahan Gadingnya sendiri dan sebuah mangkok.

 Ujung belalainya dimasukkan ke dalam mangkok itu yang menggambarkan bahwa ia tak pernah puas meneguk ilmu pengetahuan. Ganesha memang menjadi lambang kebijaksanaan dan ilmu pengetahuan, penghalau segala kesulitan. Pada mahkotanya terdapat tengkorak dan bulan sabit sebagai tanda bahwa ia anak Shiwa dan Uma, istrinya. Arca ini menggambarkan putra mahkota sekaligus panglima perang Raja Balitung.

d.      Arca Durga atau Loro Jonggrang

        Arca ini berwujud seorang wanita bertangan 8 yang memegang beraneka ragam senjata: Cakra, Gada, anak panah, ekor banteng, sankha, perisai, busur, panah dan rambut berkepala raksa Asura. Ia berdiri diatas banteng Nandi dalam sikap “tribangga” (3 gaya gerak yang membentuk 3 lekukan tubuh). Banteng Nandi sebenarnya penjelmaan dari asura yang menyamar. Durga berhasil mengalahkan dan menginjaknya sehingga dari mulutnya keluarlah asura yang lalu ditangkapnya. Ia salah satu aspek dari “sakti”(istri) Shiwa. Menurut mitologi ia tercipta dari lidah-lidah api yang keluar dari tubuh para dewa. Durga adalah dewi kematian, karenanya arca ini menghadap ke utara yang merupakan mata angin kematian. Sebenarnya arca ini sangat indah bila dilihat dari kejahuan nampak seperti hidup dan tersenyum namun hidungnya telah dirusak oleh tangan-tangan jahil. Arca ini menggambarkan permaisuri Raja Balitung.  

 

2. CANDI BRAHMA

Luas dasarnya 20 meter persegi dan tingginya 37 meter. Di dalam satu-satunya ruangan yang ada berdirilah  arca Brahma berkepala 4 dan berlengan 4. Arca ini sebenarnya sangat indah tetapi sudah rusak. Salah satu tangannya memegang tasbih yang satunya memegang “kamandalu” tempat air. Keempat wajahnya menggambarkan keempat kitab suci Weda masing-masing menghadap keempat arah mata angin. Keempat lengannya menggambarkan keempat arah mata angin. Sebagai Pencipta ia membawa air karena seluruh alam keluar dari air. Tasbih menggambarkan waktu. Dasar kaki candi juga dikelilingi oleh selasar yang dibatasi pagar langkan dimana pada dinding langkan sebelah dalam terpahat relief lanjutan cerita Ramayana dan relief serupa pada Candi Shiwa hingga tamat.

 

3. CANDI WISNU

Bentuk, ukuran relief dan hiasan dinding luarnya sama dengan candi Brahma. Didalam satu-satunya ruangan yang ada berdirilah Arca Wisnu bertangan 4 yang memegang Gada, Cakra, Tiram. Pada dinding langkan sebelah dalam terpahat relief cerita Kresna sebagai “Avatara” atau penjelmaan Wisnu dan Balarama (Baladewa) kakaknya.

 

4. CANDI NANDI

Luas dasarnya 15 meter persegi dan tingginya 25 meter. Didalam satu-satunya ruangan yang ada, terbaring arca seekor lembu jantan dalam sikap merdeka dengan panjang ± 2 meter. Di sudut belakangnya terdapat Dewa Candra. Candra yang bermata tiga yang berdiri diatas kereta yang ditarik 10 ekor kuda. Surya berdiri diatas kereta yang ditarik oleh 7 ekor kuda.

 

5. CANDI ANGSA

Candi ini mempunyai 1 ruangan yang tak berisi apapun. Luas dasarnya 13 meter persegi dan tingginya 22 meter. Mungkin ruangan ini hanya dipakai untuk kandang angsa hewan yang biasa dikendarai oleh Brahma.

 

6. CANDI GARUDA

Bentuk, ukuran serta hiasan dindingnya sama dengan Candi Angsa. Didalam satu-satunya ruangan yang ada terdapat arca kecil yang berwujud seekor garuda diatas seekor naga. Garuda adalah kendaraan Wisnu.

 

7. CANDI APIT

Luas dasarnya 6 meter persegi dengan tinggi 16 meter. Ruangannya kosong. Mungin candi ini dipergunakan untuk bersemedi sebelum memasuki candi-candi induk. Karena keindahannya mungkin digunakan untuk menanamkan estetika dalam kompleks percandian Prambanan.

 

8. CANDI KELIR

Luas dasarnya 1,55 meter persegi dengan tinggi 4,10 meter. Candi ini tidak mempunyai tangga masuk. Fungsinya sebagai penolak bala.

 

9. CANDI SUDUT

Ukuran candi-candi ini sama dengan Candi Kelir.

 

B. CANDI KALASAN

Disebut juga Candi KALIBENING, tepatnya terletak di ruas kanan kilometer ketiga-belas jurusan Yogjakarta-Solo, sering tidak terlihat papan petunjuknya, walaupun rambu jalan cukup jelas, lebih banyak bertanya lebih bermanfaat dari pada kebablasan cukup jauh. Candi yang dulunya sangat indah itu, pada saat ini cukup rusak parah namun masih menyisakan keagungan dan keindahan masa lalunya. Di candi ini penjaga lebih fleksibel dan umat siapa saja dapat memuja, khususnya pada siang hari, umumnya penjaga yang mengerti dapat menjaga kita pada malam hari, dimana kita dapat memuja dengan khusyuk barang satu, dua jam, tentunya tip jangan dilupakan, karena gaji para pegawai ini sangat kecil. Candi Kalasan dibangun untuk memuja Dewi Tara, di bangun oleh Raja Tejapurnapana Panangkaran dari keluarga agung Syailendra.

Masih tersisa satu atau dua Arca Dhiyanibudha yang sudah rusak di dinding atas candi ini, yang terletak di sebelah timur kota Yogjakarta. Keistimewaan candi ini adalah dindingnya yang terbuat lekatan campuran pasir, seperti halnya cara pembuatan dinding pada jaman sekarang ini. Candi ini secara khusus adalah lokasi pemujaan pada Sang Budha Gautama, dibangun sekitar abad 7(770 s/d 780).

 

C. CANDI SARI

Atau juga disebut CANDI BENDAH, terletak tidak jauh dari Candi Kalasan, mungkin dahulunya merupakan rangkaian kompleks candi-candi Buddhis di kawasan ini. Gaya dan arsitektur pembuatan candi ini mirip sekali dengan Candi Kalasan, dan terkesan sebagai sebuah wihara sekitar luas 17,30 meter dan lebar lebih kurang 10 meter, dahulunya candi ini dikelilingi oleh gang yang berbentuk segi empat.

 

D. CANDI SAMBISARI

Ditemukan pada tahun 1966 oleh seorang petani yang sedang mencangkul di sawahnya di Desa Sambisari, Kecamatan Kalasan, 12 Kilometer Timur-Laut Yogjakarta. Kompleks ini ternyata terkubur di dalam tanah selama ini. Setelah dipugar tetap tidak mungkin dinaikkan ke permukaan tanah. Selama peninggalan abad ke IX ini masih tersembunyi dengan anggun dilembah kediluatan, yang dapat berubah menjadi kolam air di musim penghujan. Kedalaman lembah buatan ini sekitar 6.5 meter dari permukaan tanah. Tidak ada petunjuk resmi kapan candi ini dibangun namun berdasarkan arca-arca yang ditemukan ternyata merupakan candi Hindhu. Ada tiga dewa utama yang dipuja disini yaitu: Durgamahisasuramardini, Ganeshya, dan Agastya.

Pintu muka candi dijaga oleh dua orang dewa yaitu Mahakala dan Nandiswara. Candi terbuat dari batu padas, mungkin dibangun pada abad ke-VIII. Terletak didusun yang sepi namun menawan, merupakan salah satu daya tarik mistis spiritual candi ini. Di dalam candi terdapat Lingga-Yoni setinggi ± 1 meter yang masih dalam keadaan prima dan berdaya prana amat tinggi.

 

F. CANDI SEWU

Selesai dibangun pada tahun 1098 m, terletak di utara Candi Prambanan di tapal batas antara Yogjakarta dan Surakarta (Solo), candi ini terdiri dari sebuah candi induk yang dikelilingi oleh dua ratus lima puluh candi-candi perwara yang tersusun rapi dalam empat baris tangga melingkari candi induk. Dinding batu yang melingkari candi ini berbentuk segi empat. Stupa-stupa di candi ini menunjukkan bahwasannya candi ini sebagai peninggalan agama Buddha.

 

G. CANDI WATU GUDHIG

Watu Gudhig nama candi abad IX M, terletak sekitar 4 km sebelah barat daya Candi Prambanan. Tepatnya di pinggir sebelah timur Sungai Opak atau sebelah barat jalan raya Prambanan dengan Piyungan. Nama Watu Gudhig juga merupakan nama watu baru yang diberikan penduduk setempat karena batu-batu candi (umpak batu) terkena lumut dan warnanya berbintik-bintik seperti penyakit kulit (gudhig). Tidak jelas nama aslinya pada zaman dulu.

 

H. CANDI LUMBUNG DAN CANDI BUBRAH

Terletak di sebelah selatan kompleks Candi Sewu. Kelompok candi-candi ini terdiri candi pusat yang sudah rusak yang dilingkari oleh enam belas candi-candi kecil berbenuk segi empat. Tempatnya terletak dikabupaten Klaten, Surakarta. Candi ini merupakan candi pemujaan kepada Sang Buddha.

 

I. CANDI PLAOSAN

Terletak di sebelah timur, Candi Sewu. Candi Plaosan ini dapat dicapai melalui setasiun kereta api, kemudian menyebrangi jalan Raya Yogja –Solo ke arah utara. Candi Plaosan agak jauh dari Prambanan. Candi Buddha ini pada saat ini masih dalam dalam keadaan rusak, namun sangat menarik untuk disaksikan.

 

J. CANDI SOJIWAN

Terletak lebih kurang 2 kilometer di sebelah selatan kompleks Candi Prambanan, candi ini bercorak dan berorientasi ke Buddhisme. Dahulunya lokasi ini merupakan tempat pemujaan dari Rakrian Sanjiwana yang memuja Sang Buddha. Sanjiwana adalah nama lain dari Sri Pramowardhani, putri Samaratungga yang menikah dengan Rakai Pikatan. Perkawinan ini adalah wujud persatuan antara kaum Buddhis (Wangsa Syailendra) dengan kaum Shiwais (Wangsa Sanjaya). Pada zaman tersebut Raja Pikatan memperkenankan candi-candi Buddhis dibangun dekat dengan candi-candi Hindhu, suatu sikap toleransi yang agung, yang seharusnya menjadi pelajaran pada umat Hindhu-Buddha di Indonesia atau dimana saja, selalu untuk bersatu dibawah panji Dharma, bukan sebaliknya menghasut umat untuk memisahkan diri, dan bercerai berai, pada hal Hindhu-Buddhis berasal dari satu rumpun yang sama. Kalau kita tercerai-berai maka orang lain akan merusak terus ajaran leluhur ini, dan merampas anak-anak kita untuk masuk kealiran mereka, kalau ini terjadi maka yang salah adalah kita sendiri. Di Indonesia ini ada sekitar 13 juta kaum Buddhis yang potensial baik dari segi ibadah, iman dan ekonomi, dan 7 juta kaum Hindhu, semuanya tersebar di Nusantara secara merata melalui beberapa etnis budaya seperti Tionghoa, India, Bali, Jawa, Toraja, Kalimantan, dsb. Kalau bersatu, kita bahkan mampu berbicara di forum politik yang mempunyai wakil-wakil sendiri di DPR, bukan seperti sekarang kita tidak bersuara sama sekali.

 

K. KERATON BOKO

Terletak kurang lebih 2 kilometer dari Candi Perambanan. Di sebut Keraton Boko, berdasarkan legenda, bahwa disitulah terletak Istana Rai Boko, saudari Loro Jonggrang. Keraton ini dapat dicapai melalui gunung dan ditengah perjalanan harus melalui dua buah gua, masing-masing 1,30 meter dan 3,30 meter tingginya. Pernah ditemukan arca-arca di goa-goa ini dahulunya. Pada saat ini candi ini hanya merupakan fondamen saja.

Di atas gunung sebelah utara Keraton Boko terdapat sisa-sisa bekas CANDI BOWANG dan disebelah Timur terletak CANDI NGAGLIK, WATU GUDIK, GEBLOK, BUBRAH, SINGA, dan CANDI GRIMBIANGAN yang kesemuanya dalam keadaan rusak. Besar kemungkinan candi-candi ini adalah candi-candi Hindhu beraliran Shiwais.

 

L. BOROBUDUR

Yang merupakan primadona candi di Indonesia dan Dunia ini merupakan salah satu keajaiban dunia yang tidak akan ada habis-habisnya untuk dikupas dan dikagumi baik dari segi sepiritual maupun arsitekturnya. Pada zamannya tersebut, candi megah ini terletak di Pusat Pulau Jawa, dikelilingi oleh perbukitan Menoreh yang membujur dari arah Timur ke Barat dan juga oleh berbagai Gunung-gunung berapi seperti Merapi dan Merbabu di sebelah Timur, dan Gunung Sumbing dan Sindoro di sebelah Barat. Candi Borobudur terletak di Kabupaten Magelang, Karisedenan Kedu, Daerah Tingkat I, Propinsi Jawa Tengah. Dari Yogyakarta jaraknya kurang lebih 41 Kilometer ke arah Utara melalui Magelang. Dari kota kecil Muntilan (Lebih kurang  27 Kilometer) dari Yogjakarta, lokasi Borobudur dapat dicapai melalui dokar (andong).

Kata Borobudur diperkirakan berasal dari kata Bhara (besar) dan Budur (biara) bisa juga diartikan seperti berikut ini, Bhara adalah Vihara (bahasa Sansekerta), budur adalah di atas, di puncak ketinggian. Namun ada juga pendapat yang mengatakan Borobudur seharusnya bernama asli yaitu: “Bhumi Sambhara-bhudira”. Bentuk candi ini disebut stupa karena berhubungan dengan agama Buddha walaupun sentuhan Hindhunya kental sekali, konon dibangun selama seratus tahun oleh para ahli dari sekitar 10 negara di Asia seperti: India, China, Kamboja, Thailand, Laos, Bhurma, dan sebagainya. Lokasi candi ini adalah tempat pemujaan Wangsa Syailendra. Dengan demikian Borobudur adalah lambang persatuan Hindhu-Buddha terbesar dan termegah di Dunia, karena merupakan kerjasama Internasional.

Konon setiap lantai, ukurannya berbeda gaya dan motifnya karena setiap lantai digarap oleh satu negara. Begitu juga bentuk bangunan merupakan replica dari Punden berundak yang melambangkan alam paling rendah ke yang paling tinggi, ciri khas jaman pra-sejarah dan juga khas Hindhu yang mempercayai adanya Dewa Nawa Sanggha atau Grahas yang masing-masing berlokasi disembilan lokasi. Konon menurut kepercayaan setempat, candi ini ditutup pada zaman Islam menghancurkan Jawa Barat dan Jawa Timur, kemudian diatasnya ditanami pepohonan agar terhindar dari pemusnahan total, dan baru pada tahun 1811-1815 Sir Stanford Raffles dari Inggris yang pada waktu itu menjajah Indonesia memerintahkan penggalian dan pelestariannya. Unesco akhirnya membangun dan merenovasi candi ini dengan dukungan Internasional selama bertahun-tahun sampai ketaraf sekarang ini, namun candi yang bertingkat 10 ini, harus ditutup tingkatnya yang paling bawah agar lebih kuat fondasinya karena terancam akan ambruk.

 Bagian candi yang tertutup ini disebut Kamadhatu, bagian paling atas disebut Arupadhatu. Selain sebagai lambang tertinggi agama Buddha, maka stupa Borobudur ini juga merupakan simbol Tiga alam yaitu: Kamadhatu-Rupadhatu-Arupadhatu (alam bawah), alam tengah (antara) dan alam atas, suatu perwujudan antar hubungan buana alit dan buana agung, yang dibangun dalam bentuk arsitektur yang jauh kedepan melampaui zamannya.

Dasar bangunan diperkirakan lebih kurang sekitar 123 meter persegi, dan diperlukan sekitar 55.000 meter kubik batu andesit untuk membangunnya. Tingkat Kamadhatu terdiri dari sekitar 16.000 meter kubik batu. Dan pada dinding asli ini terdapat sekitar 160 adegan Karmawibhangga yang memperlihatkan hukum karma. Semua relief ini sekarang dapat disaksikan diruang audio-visual yang terletak dikawasan candi, dengan tambahan biaya. Di tingkat Rupadhatu terdapat naskah-naskah relief yang melukiskan legenda-legenda kuno Hindhu seperti Gandawyuha, Lalitawistara, Jataka, Awadana, dll. Kemudian ada tingkat peralihan yang batas luarnya berbentuk bujur sangkar, namun bagian dalamnya berbentuk lingkaran bundar.

Di tingkat atas terdiri dari Tiga dataran (teras) berundak berbentuk lingkaran dimana tidak hadir lagi relief-relief, namun masing-masing tingkat memuat 32, 24 dan 16 buah stupa yang didalamnya berisikan masing-masing arca Buddha yang halus sekali pemahatannya, konon bentuk Buddha di Borobudur adalah yang paling manis di dunia, kata para ahli dan pengunjung.

Di tengah puncak paling atas terdapat stupa besar (induk) yang tertutup rapat, dengan bagian dalamnya kosong (simbolis sekali maknanya). Seluruh relief berisikan 1460 adegan di dunia dan di alamnya Sang Buddha. Seluruh hikayat kehidupan Sang Buddha hadir di dalam candi yang agung dan suci ini. Sia-sialah anda menyebut diri anda seorang Hindhu atau Buddhis kalau tidak pernah bertirta-yatra ke monumen agung ini. Setiap bulan Mei dirayakan hari raya Waisak di candi ini dan candi-candi seperti Mendut, dan sebaginya, yang terletak dekat kawasan Borobudur ini.

M. ARCA-ARCA BUDHA

Candi Borobudur tidak hanya diperindah dengan relief-relief hias, tetapi juga dapat dibanggakan karena arca-arcanya yang sangat tinggi mutu seninya. Arca ini semua menggambarkan Dhayani-Budha terdapat pada bagian Rupadhatu dan Arupadhatu. Arca-arca Budha di Rupadhatu ditempatkan dalam relung-relung yang tersusun berjajar pada sisi luar pagar langkan sesuai dengan kenyataan bahwa tingkatan-tingkatan bangunannya semakin tinggi letaknya semakin kecil ukurannya.

Langkan Pertama           :           104 patung Bhuda

Langkan Kedua              :           104 patung Bhuda

Langkan Ketiga              :             88 patung Bhuda

Langkan Keempat          :             72 patung Bhuda

Langkan Kelima             :             64 patung Bhuda

Teras Bundar Pertama    :             32 patung Bhuda

Teras Bundar Kedua       :            24 patung Bhuda

Teras Bundar Ketiga       :             16 patung Bhuda

_______________________________________

Jumlah seluruhnya         :           504 patung Bhuda

Sekilas arca-arca Bhuda itu tampak serupa semuanya, tetapi sesungguhnya ada juga perbedaan–perbedaannya. Perbedaan yang sangat jelas ialah sikap tangannya, yang disebut Mudra dan yang merupakan ciri khas untuk setiap arca. Sikap tangan atau Mudra yang dimiliki oleh arca-arca yang menghadap semua arah baik dibagian Arupadhu pada umumnya menggambarkan maksud – maksud yang sama,  maka jumlah Mudra yang pokok ada 5.

Ke – 5 Mudra itu adalah:

1.       Bhumispara – Mudra

Sikap tangan ini melambangkan saat Sang Bhuda memanggil Dewi Bumi sebagai saksi ketika ia menangkis serangan Iblis Mara. 

2.       Wara – Mudra

Sikap tangan ini melambangkan pemberian amal, memberi anugerah atau berkah. Mudra ini adalah khas bagi Dhayani Bhuda Ratna Sambawa arca-arcanya menghadap ke Selatan. 

3.       Dhayana – Mudra

 Sikap tangan ini melambangkan sedang semadi atau mengheningkan cipta. Mudra atau sikap tangan ini adalah merupakan tanda khusus bagi Dhayani Budha Amittabbah. Arca-arca menghadap ke Barat. 

4.       Abhaya – Mudra

Sikap tangan ini melambangkan sedang menenangkan. Mudra atau sikap tangan ini merupakan tanda khusus Dhayani Bhuda Amoghasidhi. 

5.       Dharma Cakra – Mudra

Sikap tangan ini melambangkan gerak memutar roda Dharma. Mudra ini menjadi cirri khas Dhayani Budha Wairoecana, daerah kekuasaannya terletak di pusat. Khusus di Candi Borobudur Wairoecana ini digambarkan juga dengan sikap tangan yang disebut Witarka Mudra.  (Dr. Soekmono, Candi Borobudur, Pustaka Jaya, 1981 hal. 80,82,83)

Adapun tingkatan-tingkatan itu pada dasarnya dapat pula diterapkan pembagian alam semesta menjadi 3 dunia:

-    Dunia Paling Bawah

              KAMADHATU (dunia hasrat):                Dalam tingkatan ini manusia masih terikat kepada-bahkan (Karma wibangga)  dikuasai  oleh hasrat. Relief ini terdapat pada kaki candi bangunan asli.

-     Dunia Yang Lebih Tinggi

RUPADHATU (dunia rupa):                     Manusia telah meninggalkan segala hasratnya tetap masih terikat pada nama dan rupa. Bagian ini pada langkah 1-5.

-  Dunia Yang Tertinggi

ARUPADHATU (dunia tanpa rupa):          Pada tingkat ini sudah tidak ada sama sekali nama maupun rupa. Manusia telah habis sama sekali dan telah memutuskan untuk selamanya segala ikatan kepada dunia fana.

(Dr. Soekmono, Candi Borobudur, Pustaka Jaya, 1981, hal. 47)

Bangunan Candi Borobudur berbentuk limas berundak dan apabila dilihat dari atas merupakan bujur sangkar. Bangunan Candi Borobudur adalah 10 tingkat. Tiga tingkat yang paling atas berbentuk lingkaran dengan 3   teras:

Teras pertama terdapat                            : 32 stupa berlubang

Teras kedua terdapat                               : 24 stupa berlubang

Teras ketiga terdapat                               : 16 stupa berlubang

Jumlah seluruhnya                                   : 72 stupa berlubang

Masing-masing Stupa terdapat patung Budha.

 

Di tengah-tengah Stupa tersebut terdapat stupa induk yang merupakan mahkota dari bangunan Candi Borobudur.

Stupa induk bergaris tengah                                      : 9,90 meter

Tinggi sampai bagian bawah pinakel                          : 7      meter 

Drs. Soediman dalam bukunya Borobudur Salah Satu Keajaiban Dunia hal 36 menuliskan bahwa: diatas puncak pinakelnya dahulu diberi payung (CATTRA) bertingkat tiga (sekarang tidak terdapat lagi). Stupa induk ini tertutup rapat, sehingga orang tidak bisa melihat bagian dalamnya. Di dalamnya terdapat kamar (ruang) yang sekarang tidak berisi lagi. Ada yang mengatakan ruangan itu untuk menyimpan area atau relief, tetapi pendapat itu masih diragukan kebenarannya. Karena sewaktu diadakan penyelidikan mengenai isi dari stupa induk oleh Residen Kedu, Hartman dalam tahun 1842 sama sekali tidak dapat dibuatkan laporan tertulis, sehingga semua pendapat mengenai isi stupa induk itu hanyalah dugaan belaka.

Lebar Candi Borobudur                             : 123  m

Panjang Candi Borobudur                         : 123  m

Keliling Candi Borobudur                          : 492  m

Tinggi sekarang                                       : 34,5 m

Batu andesit yang dipergunakan

untuk bangunan Borobudur sebanyak        : 55.000 meter kubik.

  

N.  USAHA PENYELAMATAN CANDI BOROBUDUR 

1.       Candi Borobudur didirikan sekitar tahun 800 tarikh Masehi.

2.       Tahun 1814 Borobudur dikenal kembali berkat usaha Sir Thomas Stamford Raffles.

3.       Tahun 1834 Residen Kedu memerintahkan untuk melakukan pembersihan disekitar candi sehingga tampak bangunan candi seluruhnya.

4.       Tahun 1850 dilakukan usaha memindahkan relief-relief keatas kertas gambar.

5.       Tahun 1873 diterbitkan monografi pertama tentang Borobudur.

6.       Tahun 1882 ada usul untuk membongkar seluruh bangunan dan memindahkan relief-relief ke suatu Museum.

7.       Tahun 1885 YZERMAN melakukan penyelidikan, ia mendapatkan dibelakang batu kaki candi terdapat relief.

8.       Tahun 1880 dibentuk panitia khusus merencanakan penyelamatan Candi Borobudur.

9.       Saat ini telah selesai dipugar Unesco dan jadi milik dunia.

 

O. CANDI MENDUT

Terletak sekitar 2 atau 3 kilometer dari Yogjakarta kearah Borobudur, tepatnya hanya beberapa kilometer sebelum Borobudur dan terlihat jelas dari jalan raya. Konon candi ini didirikan pada awal abad ke-9 (lebih kurang 825 Masehi) oleh Raja Samaratungga. Candi ini aslinya disebut Candi Welluwana Wandira, dan berusia lebih tua dari Borobudur. Di dalam candi terdapat tiga buah arca besar yang indah menawan dan terkesan sangat mengagumkan pembuatannya. Arca-arca tersebut yang duduk dalam posisi bersila adalah Buddha Cakyamurti yang duduk bersila lengkap dengan mudra-mudranya, kemudian hadir Arca Avalokiteswara (Bodhisatwa) dan sebuah arca lagi yaitu Maytrea (Bodhisatwa) pembebas insan di masa-masa yang akan datang. Pada dinding candi terdapat relief-relief yang menggambarkan berbagai legenda anak-anak. Di samping candi telah didirikan Wihara baru dengan taman dan bangunan yang cantik dimana umat dapat melakukan puja sembah ke Sang Buddha.

Oknum-oknum sekuriti Candi Mendut ada yang mengecoh dengan meletakkan uang didalam baskom didepan Arca Buddha didalam candi, akibatnya para pengunjung ikut-ikutan meletakkan uang yang kemudian masuk kekantong oknum-oknum sekuriti yang korup ini, dan mereka ini sama sekali bukan umat kita, namun gemar sekali memanfaatkan situasi sakral dengan cara-cara yang tidak terpuji ini. Di dalam Wihara baru terletak kotak amal yang khusus diletakkan secara sopan bagi umat yang ingin berdharma (berdana-punia). 

 

P. CANDI PAWON

Satu kilometer dari Mendut dan tidak begitu jauh dari Borobudur, terdapat sebuah candi kecil yang mungkin dibangun untuk Sang Buddha namun karena hilang arcanya, menurut ahli-ahli, mungkin dahulunya candi-candi ini di bangun oleh kaum Hindhu untuk Dewa Kubera (Dewa kekayaan dan kemakmuran).

 

2)  SURAKARTA (SOLO)

 

A. CANDI SUKUH

Terletak di sebelah Barat Gunung Lawu, Kabupaten Daerah Tingkat II Karanganyar, Surakarta (Solo), Jawa Tengah. Bentuknya mirip punden berundak menghadap ke Barat dan memiliki pyramid yang terpangkas bagian atasnya. Candi ini bangunannya makin meninggi kearah Timur. Udara yang sejuk dan mistis menyelimuti daerah ini, sehingga menimbulkan kesan yang syahdu dan mistis yang khas di daerah yang sunyi ini. Candi Shiwais ini mungkin semacam tempat pemujaan dan pendidikan beraliran Shiwa di mana mungkin dahulunya ajaran-ajaran rahasia mengenai alam semesta dan berbagai kesaktian diturunkan. Berbagai ornamen sakral Tantrik seperti Lingga-Yoni yang digambarkan secara realistis mirip sekali dengan genital pria dalam kehidupan kita sehari-hari. Oleh kaum lain yang tidak memahami apa-apa, candi ini disebut candi porno, padahal pada zaman dahulu mungkin kaum awam mungkin tidak mudah masuk kedalam candi ini karena kesakralannya yang tinggi. Pihak keraton Solo yang memahami hal ini tidak banyak cerita apa-apa walaupun Sri Sultan sering berziarah ke candi-candi Gunung Lawu pada waktu-waktu tertentu. Jenis pendidikan seks dan garbha-loka yang menghasilkan penderitaan adalah tema candi sakral ini, namun sayang banyak sekali yang telah hilang dari candi ini sehingga seluruh gambaran tidak terungkap secara sempurna.  

Dengan persetujuan sang penjaga juru kunci candi, maka kita bisa mengunjungi dan bersembahyang pada candi ini pada hari-hari tertentu dan bahkan pada malam hari. Ada pendopo khusus diluar candi yang dibangun oleh pemuja-pemuja yang khusus bermeditasi disini. Candi ini luar biasa untuk bersemedi (non-pamrih).

 Candi ini yang dibangun pada abad XV terletak dilereng Gunung Lawu di Wilayah Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah. Dari permukaan air laut, ketinggiannya sekitar 910 m. Berhawa sejuk dengan panorama yang indah. Kompleks situs purbakala Candi Sukuh mudah dicapai dengan kendaraan bermotor baik roda dua maupun roda empat, dengan jarak 27 km dari kota Karanganyar. Situs purbakala Candi Sukuh ini ditemukan oleh Residen Surakarta “Yohson” ketika masih penjajahan Inggris. Mulai saat itu banyak kalangan sarjana mengadakan penelitian Candi Sukuh antara lain Dr. Van der Vlis tahun 1842, Hoepermen diteruskan Verbeek tahun 1889, Knebel tahun 1910, dan sarjana Belanda Dr. WF. Stutterheim. Untuk mencegah kerusakan yang semakin memprihatinkan, Dinas Purbakala setempat pernah merehabilitasi Candi Sukuh pada tahun 1917, sehingga keberadaan Candi Sukuh seperti kondisi yang kita lihat sekarang. Candi Sukuh terdiri tiga tiga trap. Setiap trap terdapat tangga dengan suatu gapura. Gapura-gapura itu amat berbeda bila dibandingkan dengan gapura umumnya candi di Jawa Tengah, apa lagi gapura pada trap pertama. Bentuk bangunanya mirip candi Hindu dipadu dengan unsur budaya asli Indonesia yang nampak begitu kentara, yakni kebudayaan Megaliticum. Trap I Candi Sukuh menghadap ke barat. 

Seperti yang sudah diutarakan, trap pertama candi ini terdapat tangga. Bentuk gapuranya amat unik yakni tidak tegak lurus melainkan dibuat miring seperti trapezium, layaknya pylon di Mesir ( Pylon : gapura pintu masuk ke tempat suci ). Pada sisi gapura sebelah utara terdapat relief “manusia ditelan raksasa” yakni sebuah “sengkalan rumit” yang bisa dibaca “Gapura buta mangan wong “ (gapura raksasa memakan manusia ). Gapura dengan karakter 9, buta karakternya 5, mangan karakternya 3, dan wong mempunyai karakter 1. Jadi candra sengkala tersebut dapat dibaca 1359 Saka atau tahun 1437 M, menandai selesainya pembangunan gapura pertama ini. Pada sisi selatan gapura terdapat relief raksasa yang berlari sambil menggigit ekor ular. Menurut KC Vrucq, relief ini juga sebuah sangkalan rumit yang bisa dibaca : “Gapura buta anahut buntut “(gapura raksasa menggigit ekor ular ), yang bisa di baca tahun 1359 seperti tahun pada sisi utara gapura. Menaiki anak tangga dalam lorong gapura terdapat relief yang amat erotis,  terpahat pada lantai. Relief ini menggambarkan phallus yang berhadapan dengan vagina yang di kelilingi oleh kalungan sperma.  

Sepintas memang nampak porno, tetapi tidak demikian maksud si pembuat. Sebab tidak mungkin di tempat suci yang merupakan tempat peribadahan terdapat lambang-lambang yang porno. Relief ini mengandung makna yang mendalam. Relief ini mirip lingga yoni dalam agama Hindu yang melambangkan Dewa Shiwa dengan istrinya ( Parwati ). Lingga Yoni merupakan lambang kesuburan. Relief tersebut sengaja di pahat di lantai pintu masuk dengan maksud agar siapa saja yang melangkahi relief tersebut segala kotoran yang melekat di badan menjadi sirna sebab sudah terkena “suwuk”. 

Boleh dikata relief tersebut berfungsi sebagai “suwuk” untuk “ngruwat”, yakni membersihkan segala kotoran yang melekat di hati setiap manusia. Dalam bukunya Candi Sukuh Dan Kidung Sudamala Ki Padmasuminto menerangkan bahwa relief tersebut merupakan sengkalan yang cukup rumit yaitu : “Wiwara Wiyasa Anahut Jalu “.Wiwara artinya gapura yang suci dengan karakter 9, Wiyasa diartikan daerah yang terkena “suwuk” dengan karakter 5, Anahut (mencaplok) dengan karakter 3, Jalu ( laki-laki ) berkarakter 1. Jadi bisa di temui angka tahun 1359 Saka. Tahun ini sama dengan tahun yang berada di sisi-sisi gapura masuk candi. 

 Trap kedua lebih tinggi daripada trap pertama dengan pelataran yang lebih luas. Gapura kedua ini sudah rusak, dijaga sepasang arca dengan wajah komis. Garapannya kasar dan kaku, mirip arca jaman pra sejarah di Pasemah. Di latar pojok belakang dapat dijumpai  jejeran tiga tembok dengan pahatan-pahatan relief, yang disebut relief Pande Besi. Relief sebelah selatan menggambarkan seorang wanita terdiri di depan tungku pemanas besi, kedua tangannya memegang tangkai “ububan” ( peralatan mengisi udara pada pande besi).  Barangkali maksudnya agar api tungku tetap menyala. Ini menggambarkan berbagai peristiwa sosial yang menonjol pada saat pembangunan Candi Sukuh ini. Pada bagian tengah terdapat relief yang menggambarkan Ganesya dengan tangan yang memegang ekor. Inipun salah satu sengkalan yang rumit pula yang dapat dibaca : Gajah Wiku Anahut Buntut, dapat ditemui dari sengkala ini tahun 1378 Saka atau tahun1496 M.  

Relief pada sebelah  utara menggambarkan seorang laki-laki sedang duduk dengan kaki selonjor. Di depannya tergolek senjata-senjata tajam seperti keris, tumbak dan pisau. Trap Ketiga ini trap tertinggi yang merupakan trap paling suci. Sedangkan ikwal Candi Sukuh ternyata menyimpang dari aturan-aturan itu, hal tersebut bukanlah suatu yang mengherankan, sebab ketika Candi Sukuh dibuat, era kejayaan Hindu sudah memudar, dan mengalami pasang surut, sehingga kebudayaan asli Indonesia terangkat ke permukaan lagi yaitu kebudayaan prahistori jaman megalithic, sehingga mau tak mau budaya-budaya asli bangsa Indonesia tersebut ikut mewarnai dan memberi ciri pada Candi Sukuh ini. Karena trap ketiga ini trap paling suci, maka maklumlah jika ada banyak petilasan. Seperti halnya trap pertama dan kedua, pelataran trap ketiga ini juga dibagi dua oleh jalan setapak yang terbuat dari batu (anak tangga). Jalan batu ditengah pelataran candi ini langka ditemui di candi-candi pada umumnya. Model jalan seperti itu hanya ada di “bangunan suci” prasejarah jaman Megalithic. 

Di sebelah selatan jalan batu, pada pelataran terdapat fragmen batu yang melukiskan cerita Sudamala. Sudamala adalah salah satu 5 kesatria Pandawa atau yang dikenal dengan Sadewa. Di sebut Sudamala, sebab Sadewa telah berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang mendapat kutukan dari Batara Guru karena perselingkuhannya. Sadewa berhasil “ngruwat” Bathari Durga yang semula adalah raksesi  bernama Durga atau Sang Hyang Pramoni kembali ke wajahnya yang semula yakni seorang Bidadari di kayangan dengan nama Bethari Uma Sudamala maknanya adalah yang telah berhasil membebaskan kutukan atau yang telah berhasil”ngruwat”. Adapun cerita Sudamala diambil dari buku kidung Sudamala. Sejumlah 5 adegan yaitu: 1. Relief pertama menggambarkan ketika Dewi Kunthi meminta pada Sadewa agar mau “ngruwat” Bethari Durga namun Sadewa menolak. 

 2. Relief kedua menggambarkan ketika Bima mengangkat raksasa dengan tangan kiri, sedangkan tangan kanannya menancapkan kuku “pancanaka” ke perut raksasa. 3. Relief ketiga menggambarkan ketika Sadewa diikat kedua tangannya diatas pohon randu alas karena menolak keinginan “ngruwat” Sang Bethari Durga. Dan Sang Durga mengancam Sadewa dengan sebuah pedang besar ditangannya untuk memaksa Sadewa. 4. Relief keempat menggambarkan Sadewa berhasil “ngruwat” Sang Durga. Sadewa kemudian diperintah pergi kepertapaan Prangalas, di situ Sadewa menikah dengan Dewi Pradapa. 5. Relief kelima menggambarkan ketika Dewi Uma (Durga setelah di “Ngruwat” Sadewa) berdiri di atas Padmasana. Sadewa beserta panakawan menghaturkan sembah pada Sang Dewi Uma. Pada pelataran itu juga dapat ditemui soubasement dengan tinggi 85 cm, luasnya sekitar 96 m2. Ada juga obelisk yang menyiratkan cerita Garudeya. Cerita ikwal Garudeya merupakan cerita “ruwatan” pula. Ceritanya sebagai berikut: Garuda mempunyai ibu bernama Winata yang menjadi budak salah seorang madunya yang bernama Dewi Kadru. Dewi Winata menjadi budak Kadru karena telah kalah bertaruh tentang warna ekor kuda uchaiswara. 

 Dewi Kadru menang dalam bertaruh sebab dengan curang dia menyuruh anak-anaknya yang berwujud ular naga yang berjumlah seribu yang menyemburkan bisa-bisanya di ekor kuda Uchaiswara sehingga warna ekor kuda berubah hitam. Dewi Winata dapat diruwat Sang Garuda dengan cara memohon “tirta amerta” (air kehidupan) kepada para Dewa. Demikianlah keterangan menurut kisah Adhiparwa. Pada sebelah selatan jalan batu ada terdapat candi kecil, yang didalamnya terdapat arca dengan ukuran yang kecil pula. Menurut mitologi setempat, candi kecil itu merupakan kediaman Kyai Sukuh penguasa Gaib kompleks candi tersebut. Di dekat candi kecil terdapat kura-kura yang cukup besar sejumlah tiga ekor sebagai lambang dari dunia bawah yakni dasar Gunung Mahameru, juga berkaitan dengan kisah suci agama Hindhu yakni “samudra samtana” yaitu ketika Dewa Wisnu menjelma menjadi kura-kura raksasa untuk membantu para dewa-dewa lain mencari air kehidupan (tirta perwita sari). Ada juga arca garuda dua buah berdiri dengan sayap membentang. Salah satu arca garuda itu ada prasasti menandai tahun saka 1363. Juga terdapat prasasti yang menyiratkan bahwa Candi Sukuh dalam candi untuk Pengruwatan, yakni prasasti yang diukir dipunggung relief sapi.  

Sapi tersebut digambarkan sedang menggigit ekornya sendiri dengan kandungan sengkalan rumit: Goh wiku anahut buntut maknanya tahun 1379 Saka. Sengkalan ini makna tahunnya persis sama dengan makna prasasti yang ada dipunggung sapi yang artinya  kurang lebih demikian: untuk diingat-ingat ketika bersujud di kahyangan (puncak gunung), terlebih dulu agar datang di pemandian suci. Saat itu adalah tahun saka Goh wiku anahut buntut 1379. Kata yang sama dengan ruwatan disini yaitu kata: “pawitra” yang artinya pemandian suci. Karena di kompleks Candi Sukuh tidak terdapat pemandian atau kolam pemandian maka pawitra dapat diartikan air suci untuk “ngruwat” seperti halnya kata “tirta sunya”. Tempat suci untuk pengruwatan, seperti yang sudah diutarakan, dengan bukti-bukti relief cerita Sudamala, Garudeya serta prasasti-prasasti, maka dapat dipastikan candi Sukuh pada jamannya adalah tempat suci untuk melangsungkan upacara-upacara besar (ritus) ruwatan.  

Tetapi dengan melihat relief Lingga-yoni di gapura terdepan dan bagian atas candi induk, tentulah candi Sukuh juga sebagai lambang ucapan syukur masyarakat setempat kepada Tuhan Yang Maha Esa atas kesuburan yang mereka peroleh. Sedangkan dilihat dari bentuk candi yang mirip dengan “punden berundak” tentulah candi ini merupakan tempat pemujaan roh-roh leluhur. 

Bukti-bukti bahwa Candi Sukuh merupakan tempat untuk upacara Pengruwatan yakni: a. Relief Lingga-yoni di gapura pertama selain berfungsi sebagai “suwuk” juga berfungsi untuk “ngruwat” siapa saja yang memasuki candi. b. Relief Sudamala yang menceritakan Sadewa “ngruwat” Sang Durga. c. Relief Garideya yang menggambarkan Garuda “ngruwat” ibunya yang bernama Dewi Winata. d. Prasasti tahun 1363 Saka dalam kalimat “bebajang maramati setra hanang bango”. e. Prasasti tahun 1379 Saka dipunggung lembu yakni kata “pawitra” yang berarti air suci (air untuk pengruwatan). Ikwal upacara “ngruwat” yang dipaparkan di sini sudah barang tentu berbeda dengan upacara ruwatan pada jaman sekarang yang biasanya dilakukan oleh seorang dalang sejati. Yang sering disebut dalam masyarakat jawa dalang Kandha Buwana.

Dan ada anak yang diruwatpun mempunyai “sukerta” karena posisinya dalam keluarga misalnya : anak ontang-anting, uger-uger lawang, kembang sekawan, kedhana-kedhini, sendhang kapit pancuran. Pancuran kapit sendang dan sebagainya; juga karena kebiasaan sehari-hari yang tidak kita sadari misalnya: menjatuhkan “dandang” (tanakan nasi), membuang sampah dari jendela, berjalan seorang diri diwaktu siang hari bolong, atau karena bawaan sejak lahir misalnya gondang kasih, bungkus, kalung usus; atau karena waktu kelahirannya misalnya julung serap, julung wangi dan sebagainya. Anak-anak yang mempunyai sukerta ini diruwat oleh dalang sejati agar terbebas dari incaran Bathara Kala. Yang dimaksud ruwat di Candi Sukuh jelaskah berbeda dengan ruwatan anak-anak Sukerta tersebut di atas, tetapi ruwatan yang melingkupi sebuah masyarakat dan berbagai permasalahan yang melilit kehidupan mereka.

 Namun disini perlu kita cermati keberadaan Candi Sukuh ini yang merupakan tempat peribadahan yang suci yang menjadi saksi atas ketaatan sebuah generasi dan keutuhan sebuah masa yang begitu mengagungkan nilai-nilai kebudayaan dan peribadahan menjadi satu dalam wujud karya yang tiada ternilai harganya, maka picik bagi kita sebagai generasi pewaris bila tak ada niatan dari kita untuk tidak turut berbagi dalam upaya pelestarian nilai-nilai dan kandungan yang tersimpan didalamnya.

 

Yang lama kita pahami, yang kini kita mengerti, kedepan kita capai 

Ngenutaken wasana badhe

ing emuta tyang jawi mangke

 nrenyuh kawruh pepundene

oncat saking lingsem pratiwine

 

B. CANDI CETHA (CETO)

Terletak di dusun Ceto tidak jauh dari Sukuh. Ceto yang jalannya diwaktu hujan sangat kurang aman untuk dijalani karena masih agak rusak dan licin disana-sini, di samping jalan sering terlihat jurang, jadi agak berhati-hatilah dijalan sempit ini. Candi Ceto dahulunya berarkeologi klasik, dan sewaktu ditemukan terdiri dari 11 teras dimuka yang penuh dengan ornamen batu rebah yang melambangkan hiasan bola dilehernya, serta bentuk batu datar berbentuk segi tiga dengan hiasan-hiasan fauna lambang kesuburan seperti tiga katak, seekor fauna laut yang disebut mimi, seekor belut dan tiga ekor kadal. Candi ini sarat dengan lambang-lambang kosmis dengan lingga sebagai patokan Gunung Meru. Baik Sukuh maupun Ceto diperkirakan merupakan perpaduan budaya jawa kuno dan Hindhu India. Walaupun sering disebut dibangun oleh raja-raja Wangsa Brajawijaya, namun sampai saat ini hakekat sejatinya masih samar-samar. Sayang pemugaran Candi Ceto oleh orang-orang dan pejabat Orde Baru sangat merusak Candi Ceto karena tidak mengikuti pola candi asli yang seharusnya,sehingga merusak kesejatian candi.

Candi Ceto terasa aneh dan angker serta bernuansa gaib, sehingga sering menjadi ajang para dukun dan orang-orang tertentu untuk bertirakat secara rutin di candi ini dan di Candi Sukuh. Memasukinya saja sudah terasa magnitnya. Bangunan gapura utama, bertangga undak lurus ketanah yang lebih tinggi ke candi induk diatas dalam susunan candi-candi Shiwa yang terdiri dari tiga loka (Bhur, Bwah dan Swah). Berbagai gapura harus dilalui sebelum tiba dipuncak candi. Candi ini sebenarnya baik untuk bersemedi secara pamrih dan non-pamrih. Candi yang unik ini sebaiknya dikunjungi untuk sembahyang / bermeditasi. Museum Radya Pustaka di Jalan Slamet Riyadi Solo, banyak memuat koleksi buku-buku penting candi diatas dan harus dikunjungi.

Candhi Cetho merupakan peninggalan Hindhu dari abad XIV pada masa akhir pemerintahan Majapahit. Fungsi candi tidaklah berbeda dengan candi Hindhu yang lain yakni sebagai tempat pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Esa. Sampai saat inipun Candi Cetho tetap digunakan oleh penduduk sekitar yang memang merupakan penganut agama Hindhu yang taat. Candi Cetho terdiri dari sembilan trap, berbentuk memanjang kebelakang dengan trap/tingkat terakhir sebagai trap utama pemujaan terhadap Tuhan Yang Maha Kuasa (seperti bentuk-bentuk tempat pemujaan pada masa purba; punden berundak). Trap pertama setelah gapura masuk merupakan halaman candi. Trap kedua masih berapa halaman namun di trap ini terdapat petilasan Ki Ageng Krincing Wesi yang merupakan leluhur masyarakt Cetho. Pada trap ketiga terdapat sebuah soubment memanjang diatas tanah yang menggambarkan nafsu badaniah manusia (nafsu hewani). Berbentuk phallus (alat kelamin laki-laki) sepanjang kuang lebih 2 m, dengan diapit dua buah lambang kerajaan Majapahit menunjukkan masa pembuatan candi. Pada trap selanjutnya dapat ditemui relief pendek yang merupakan cuplikan kisah “sudhamala”, (seperti yang terdapat pula di Candi Sukuh) yaitu kisah tentang usaha manusia untuk melepaskan diri dari malapetaka. Dua trap diatasnya terdapat pendapa-pendapa yang mengapit jalan masuk candi. Sampai sekarang pendapa-pendapa tersebut masih sering digunakan sebagai tempat pelangsungan upacara-upacara besar keagamaan.

Trap ketujuh dapat ditemui dua buah arca di samping kanan-kiri yang merupakan arca sabdopalon dan nayagenggong dua orang abdi kinasih dari Sang Prabu Brawijaya yang merupakan penasehat spiritual dari beliau.Hal ini melambangkan kedekatan jiwa beliau dengan rakyatnya yang diwakili dengan sosok Sabdopalon dan Nayagenggong. Pada trap kedelapan terdapat arca phallus (Kuntobimo) di samping kiri dan arca Sang Prabu Brawijaya yang digambarkan sebagai “Mahadewa”. Arca phallus melambangkan ucapan syukur atas kesuburan yang melimpah atas bumi Cetho dan sebuah penghargaan kepada Tuhan Yang Maha Esa supaya kesuburan yang dilimpahkan itu tak akan terputus selamanya. Arca Sang Prabu Brawijaya menunjukkan penauladanan masyarakat terhadap kepemimpinan beliau, sebagai raja yang “berbudi bawa laksana, ambek adil paramarta” yang diyakini pula sebagai utusan Tuhan dimuka bumi.

Trap terakhir (trap kesembilan) adalah trap utama yang merupakan tempat pemanjatan do’a kepada penguasa semesta. Trap terakhir ini berbentuk kubus berukuran 1,50 m2. Candi Ceto menghadap kearah Timur berarti dengan candi-candi yang ada di Jawa-Tengah karena Candi Ceto begitu pula Candi Sukuh dibangun pada masa Majapahit sehingga dengan sendirinya pembangunan candi terpengaruh oleh apa yang terbiasa ada di candi-candi Jawa Timur. Di sebelah atas bangunan Candi Cetho terdapat sebuah bangunan yang pada masa lalu di gunakan sebagai tempat membersihkan diri sebelum melaksanakan upacara ritual peribadahan (patirtan). Sedangkan disebelah Barat dari bangunan candi dengan menuruni lereng yang sangat terjal bisa ditemukan lagi bangunan candi yang oleh masyarakat sekitar disebut sebagai Candi Kethek. Namun sayang sekali penggalian candi sampai saat ini belum dilakukan.  Hal ini memerlukan perhatian dari Dinas Kepurbakalaan setempat dan instansi terkait.

Bangunan Candi Cetho secara keseluruan terbuat dari batu-batuan yang dipahat berbentuk segi empat dan ditata rapi untuk ubin, ataupun pagar serta relief candi. Kebanyakan arca dan relief sudah mengalami banyak kerusakan. Mungkin karena usia dan keusilan tangan-tangan jahil yang tak bertanggung jawab dan hanya mementingkan kepentingan pribadi serta kepuasan semata atau karena sebab-sebab lain yang hanya sejarah yang dapat menjawabnya. Candi Cetho yang terletak di lereng Gunung Lawu sebelah Barat masuk di Kabupaten Karanganyar Jawa Tengah, dikelilingi kelebatan Rimba dan sejuknya udara kebun teh kemuning, menjanjikan keindahan panorama alam untuk bersama kita nikmati. Dan tentunya menambah wawasan kita tentang kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

 

 

kembali ke halaman utama Sejarah Candi                    kembali ke halaman induk Shanti Griya